Kamis, 08 Januari 2009

Psikologi Penerbangan dalam Perspektif Human Factors

Oleh : Widura IM.


Pendahuluan

Psikologi yang diaplikasikan dalam penerbangan merupakan suatu bidang tersendiri yang menuntut pemahaman topik-topik psikologi dan perilaku pada umumnya, seperti ; persepsi dan perhatian, berfikir, psikofisiologis, industri/ organisasi, psikologi sosial, pendidikan dan klinis. Seperti dikemukakan oleh Roscoe (1980), psikologi penerbangan adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia dalam operasi sistem penerbangan. Sejalan dengan batasan tersebut, peran psikologi dalam sistem penerbangan berhubungan dengan bagaimana konsep-konsep dan teori-teori psikologi yang dapat mendukung, dan menambah informasi mengenai bagaimana tingkah laku dalam operasi penerbangan itu terjadi atau mungkin dilakukan (Donald dan Johnston, 1994). Tentunya, dalam mempelajari psikologi penerbangan, orang perlu mengetahui bidang penerbangan itu sendiri, seperti ; tugas-tugas penerbang, dari daya ingat sampai pengambilan keputusan penerbang, seleksi penerbang, cockpit designs, interaksi manusia komputer, training systems development, program manajemen dan human performance research.

Mengamati perilaku manusia khususnya penerbang dalam kegiatan operasional penerbangan, penerbang dapat dipandang sebagai suatu sistem di dalam sistem (Sells & Berry, 1961). Sebagai penerbang, yang bersangkutan meru-pakan mata rantai atau komponen yang penting dalam sistem kontrol pesawat terbang, tetapi sebagai manusia juga dapat dilihat sebagai sistem yang independen. Dengan kata lain, seorang penerbang dapat dilihat sebagai salah satu komponen instrumen dalam sistem kegiatan operasional penerbangan yang tak terlepas dari sistem organisasi yang menyelenggarakan operasi penerbangan itu sendiri, dan sebagai organisme manusia dengan sistem psikofisiknya.
Dalam mengulas topik psikologi dalam konteks yang luas seperti di lingkungan penerbangan, studi psikologi penerbangan masuk dalam lingkup kajian human factors. Terutama hal ini dianggap penting dalam menelaah keselamatan penerbangan, termasuk upaya pencegahan kecelakaan sampai dengan penyelidikan kecelakaan penerbangan. Khususnya dalam tulisan disini akan diungkap aspek-aspek psikologi penerbangan dalam perspektif human factors yang mencoba menelaah upaya-upaya pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya incident dan accident dalam konteks keselamatan penerbangan.

Manusia Dalam Sistem Operasi Penerbangan

Organisasi kerja awak pesawat, terutama penerbang sangat erat kaitannya dengan sistem kerja mesin, sehingga mereka dalam menjalankan tugasnya sering dianalogikan sebagai suatu mata rantai sistem operasional mesin yang “identik” dengan sub-sistem mesin. Sebagai sub-sistem mereka harus dapat bekerja layaknya mesin yang efisien, efektif, dan terpelihara kualifikasinya. Kondisi ini tentunya memberikan konsekuensi pada keseluruhan sistem organisasi kerja yang dipersyaratkan bagi penerbang. Penerbang dituntut ability atau kemampuan untuk menangani tugas-tugasnya. Ada kualifikasi profesi yang dipersyaratkan bagi individu yang melaksanakan tugas penerbangan, dan kualifikasi ini hanya dapat diperoleh melalui seleksi yang ketat, pendidikan serta latihan terprogram yang membutuhkan waktu relatif lama, dilakukan dengan intensif, juga pengalaman tugas yang kadang membutuhkan waktu cukup panjang selama masa penerapan profesinya.

Salah satu tuntutan atau persyaratan disamping tuntutan kemampuan dan keterampilan, sangat ditekankan penguasaan prosedur kerja baku atau SOP (Standard Operation Procedure) yang terinci sesuai jenis pesawat yang diawaki. Untuk itu dalam melaksanakan tugasnya, walaupun mereka diyakini sudah menguasai prosedur yang harus dijalankan, mereka tetap dilengkapi checklist prosedur tindakan yang harus diikuti dengan penuh disiplin. Bahkan penguasaan terhadap prosedur ini harus diuji secara periodik oleh pihak otoritas agar tetap memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan. Tidak dapat dielakkan bahwa untuk mengoperasikan pesawat terbang dengan segala peralatan dan sistem pendukungnya, dibutuhkan individu yang memiliki keterampilan tinggi disamping kemampuan dan kemauannya dalam mematuhi prosedur kerja dengan penuh disiplin.

Agar individu atau manusia yang bergerak dalam sistem penerbangan dapat berfungsi layaknya subsistem mesin dengan berbagai tuntutan seperti telah diuraikan di atas, maka tak dapat dielakan bahwa hal ini menuntut sistem organisasi dan sistem manajemen yang sesuai, serta dapat bekerja optimal untuk memfasilitasi berjalannya fungsi-fungsi sub-sistem di dalamnya. Kelemahan dan kegagalan dari salah satu sub-sistem dipercaya dapat berdampak buruk pada berfungsinya sistem secara keseluruhn mengingat manusia secara teoritik merupakan sub-sistem yang paling sensisitif terhadap pengaruh yang dapat berdampak pada kegagalan performance. Bila kegagalan tersebut terjadi pada penerbang (sebagai salah satu sub-sistem) maka tentunya incident atau kecelakaan penerbangan tidak dapat dihindari.

Aktivitas Psikologi dalam Perspektif Human Factors

Pemahaman tentang kapabilitas dan keterbatasan (limitasi) manusia serta aplikasi pemahaman ini adalah perhatian utama dari human factors. Dan studi tentang human factors sejak setengah abad ini sudah berkembang ke aspek-aspek kognitif dari tugas-tugas penerbang. Kecenderungan ini terus berlanjut memasuki area studi yang lebih luas, antara lain ; upaya-upaya mengoptimalkan peran manusia di lingkungan kerja kompleks yang melibatkan semua aspek dari performance dan perilaku manusia, seperti ; pengambilan keputusan dan proses-proses kognitif lainnya, design display dan control serta layout kabin, perangkat lunak komunikasi dan komputer, charts dan map-map, dokumen-dokumen manual operasi, checklist, dsb. Termasuk juga pengetahuan yang menyangkut seleksi personel, pelatihan, monitoring, dan penyelidikan kecelakaan.

Human factors sebagai ilmu pengetahuan pada dasarnya merupakan pengetahuan multidisplin. Sebagai contoh, pengetahuan tentang informasi dijelaskan oleh psikologi untuk memahami bagaimana manusia memproses informasi sampai ia membuat keputusan. Dari psikologi dan fisiologi, dipahami proses sensori dalam arti mendeteksi dan mengirimkan (transimiting) informasi. Sedangkan antropometri dan biomekanika berupaya menjelaskan gerakan dan tindakan tubuh sehingga dapat dioptimalkan rancangan desain serta layout kendali yang sesuai dan tepat. Dan tak kurang pentingnya adalah pemahaman tentang dasar-dasar statistik dalam rangka menganalisis data yang diperoleh melalui survey berbagai kejadian dan kegiatan di lingkungan penerbangan.

Seperti diketahui, manusia sebagai komponen sistem atau sub-sistem adalah yang paling fleksibel, adaptable dan valuable dari sistem penerbangan, tapi juga yg paling sensitif terhadap pengaruh yang dapat berdampak pada performance. Setidaknya berbagai publikasi tentang topik keselamatan penerbangan menunjukan 3 dari 4 kecelakaan penerbangan dalam satu periode disebabkan kurang optimalnya performance manusia, dan seringkali hal ini diistilahkan dengan ”pilot error”. Sebenarnya penggunaan istilah ”pilot error” tidak membantu dari segi usaha pencegahan kecelakaan penerbangan. Istilah ini sering kontraproduktif karena, walaupun ”pilot error” dapat memberi indikasi ”dimana” terjadinya kelemahan (breakdown) di dalam sistem, namun tidak dapat menjadi petunjuk ”mengapa” kecelakaan itu terjadi. Roscoe (1980) mengungkapkan bila membatasi tanggung jawab hanya pada penerbang saja berarti membebaskan orang lain atau faktor lain yang mungkin terlibat. Karena, suatu kesalahan (error) dalam sistem penerbangan mungkin atau dapat saja disebabkan antara lain ; oleh kesalahan design atau karena pelatihannya yang tidak adekuat, karena rancangan prosedur atau konsep layout checklist dan manual yang buruk, dan/atau kegagalan manajemen. Sehingga penggunaan istilah ”pilot error” cenderung akan membuat fakta-fakta pendukung terjadinya kecelakaan tetap tersembunyi yang sebenarnya bila dikenali lebih awal dapat mencegah terjadinya kecelakaan.

Jadi human factors esensinya menekankan perhatiannya pada pemecahan masalah praktis dari dunia nyata. Human factors pada hakekatnya adalah pengetahuan praktis yang berorientasi pada solusi masalah dibandingkan orientasi pada disiplin ilmu bersifat teoritik yang ketat. Human factors adalah aktivitas tentang manusia dalam kehidupan maupun situasi kerja, tentang hubungan manusia dengan mesin, tentang hubungannya dengan prosedur dan lingkungannya serta aturan-aturan, dan tentang hubungan manusia dengan manusia lainnya. Dalam hal ini human factors merupakan pengetahuan terapan bersifat praktis dari teori-teori psikologi yang menekankan pada optimasi hubungan antar manusia beserta aktivitasnya, dengan aplikasi sistematikanya, yang terintegrasi dalam kerangka kerja ”system engineering”. Sasarannya adalah efektivitas sistem, termasuk keselamatan dan efisiensi, serta kesejahteraan (well being) individu.

Upaya Pencegahan Kecelakaan Penerbangan

Kemajuan industri penerbangan yang pesat dalam beberapa puluh tahun terakhir yang ditandai dengan meningkatnya kehandalan dan kinerja pesawat generasi baru hingga diaplikasikannya inovasi-inovasi peralatan dan prosedur-prosedur ATC (air traffic control) pada kenyataannya tidak menurunkan angka kecelakaan penerbangan yang disebabkan kesalahan manusia (human error). Menurut Chappell (1994), hampir 75% dari keseluruhan kecelakaan (accidents) maupun insiden (incidents) penerbangan disebabkan karena kegagalan manusia dalam memantau, mengelola dan mengoperasikan sistem penerbangan itu sendiri. Apa pun alasannya, kecelakaan penerbangan harus dicegah, demi keselamatan manusia itu sendiri, kesiapan operasional maupun tempur dan tentu saja untuk alasan-alasan ekonomis (efisiensi). Karena itu program zero accident di kalangan operator penerbangan baik sipil maupun militer perlu terus menerus diupayakan, antara lain dengan memanfaatkan data insiden penerbangan maupun data-data bahaya (hazard) dalam penerbangan jauh sebelum kecelakaan terjadi.

Studi terinci (Budiman Z, 1996) dari sejumlah ratusan kecelakaan penerbangan menunjukan bahwa setiap satu kali terjadi kecelakaan besar (ada korban manusia) terdapat 30 kecelakaan kecil (tidak ada korban manusia) dan 300 bahaya (hazard). Studi lainnya menunjukan hasil yang hampir sama walaupun istilah yang digunakan berbeda, yaitu ; hazard, incident & accident, atau hazard, minor dan mayor incident. Hubungan antara hazard, incident dan accident juga penting dalam penelitian tentang permasalahan human factors. Bagaimana hubungan antara ketiga kejadian tersebut dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini.
ACCIDENT
INCIDENT
HAZARDS
INVESTIGATION PROCESS
PREVENTION MEASURES







Gambar 1. Hubungan Hazard, Incident dan Accident.

Hubungan antara hazard, incident dan accident dapat dijelaskan sebagai berikut. Misalnya, seorang penerbang transport yang melaksanakan penerbangan jarak jauh, suatu ketika membuat kesalahan dalam approach dan membaca peta. Apabila penerbang atau awak pesawatnya menyadari situasi tersebut dan melakukan koreksi sebelum problem berikutnya muncul, kejadian ini dapat dikategorikan sebagai manifestasi dari adanya bahaya (hazards). Hal ini mungkin disebabkan penerangan yang lemah di dalam cockpit, atau lay out peta yang buruk, atau lelah karena penerbangan yang lama. Tetapi apabila kejadian tersebut tidak disadari sampai kebetulan muncul pesawat lain dengan tujuan sama, sehingga penerbang terpaksa mengadakan gerakan mendadak untuk menghindari kecelakaan, maka kejadian ini dapat dikategorikan sebagai insiden/incident. Sedangkan apabila sampai terjadi tabrakan, maka kejadian tersebut diklasifikasikan sebagai kecelakaan/accident. Sebenarnya terjadinya hazards dan insiden telah diatur atau “dipersyaratkan” untuk segera dilaporkan. Namun pada sebagian besar awak pesawat termasuk penerbang tidak pernah melaporkannya, terutama bila pada saat itu tidak ada kerusakan atau tidak ada penumpang yang mengetahuinya. Padahal, apabila peraturan fundamental yang menekankan pada kewajiban “mendokumentasikan” hazard dan insiden, serta ”memahami” bahwa hazard dan insiden pada hakekatnya harus diperlakukan sama dengan kecelakaan (accident), maka kecelakaan dapat dicegah lebih dini dan keselamatan penerbangan dapat ditegakan secara optimal.

Model Pendekatan Reason dalam Penyelidikan Kecelakaan Penerbangan

Bila pada uraian di atas mencoba mengungkapkan bagaimana upaya yang selayaknya dilakukan dalam rangka pencegahan kecelakaan penerbangan, maka selanjutnya akan diulas pendekatan dalam penyelidikan sebab-sebab kecelakaan penerbangan secara menyeluruh dan terintegrasi dengan memposisikan operasi penerbangan kerjsebagai kerja suatu sistem. Adalah Jim Reason, seorang peneliti human factors pada akhir 1980-an memunculkan gagasan mengenai human error yang pengaruhnya sangat diperhitungkan dalam memahami keselamatan penerbangan atau aviation safety. Model pendekatan Reason tidak hanya melibatkan pendekatan sistemik dalam menganalisis suatu kecelakaan, tapi juga bermanfaat untuk menganalisis kecelakaan pada berbagai moda transportasi termasuk insiden dan kecelakaan penerbangan, kapal laut dan kereta api, kebakaran, dsb.

Model dari Reason ini dapat dikatakan merupakan kelanjutan dari bentuk pendekatan human factors sebelumnya, yaitu ; dari kinerja penerbang secara individual ke arah kinerja tim (crew performance), kemudian menuju kinerja organisasi (organizational performance), walaupun fokus perhatian dalam dimensi-dimensi itu tetaplah pada individunya. Reason didukung ahli-ahli dari ICAO memperkenalkan paradigma sentral dari pendekatan sistem terhadap safety yang membedakan antara active failures (kegagalan aktif) dan latent failures (kegagalan laten).
Active failures berkaitan dengan kesalahan operator, dalam hal ini penerbang atau petugas ATC. Sedangkan latent failures merupakan kondisi yang mempengaruhi bagaimana kinerja operator saat melaksanakan tugasnya, atau bagaimana pengaruh kemampuan sistem untuk mengatasi perilaku atau situasi yang tidak diharapkan. Latent failures ini dapat mencakup kegagalan komponen, seperti kegagalan struktur dari sistem atau tidak berfungsinya sistem, dan kegagalan ini dapat muncul jauh sebelum terjadinya kecelakaan. Model Reason yang disederhankan dapat dilihat pada gambar 2.

Defences

Organisational Local Unsafe Accidents
Deficiencies Factors Acts



Gambar 2. Skema sederhana dari Model Reason (dikutip dari Hobbs, 1998).


Latent failures yang berhubungan dengan lingkungan yang terkait langsung dimana active failures terjadi dikenal sebagai local factors. Dalam kategori ini faktor-faktornya antara lain ; moril di tempat kerja, kelelahan (fatigue) operator, dan/atau masalah prosedur kerja. Latent failures yang berhubungan dengan organisasi atau sistem penerbangan terkait dengan kelemahan-kelemahan organisasional atau sering juga disebut kelemahan faktor sistemik. Dalam suatu kecelakaan atau kegagalan sistem, biasanya local factors akan menyebabkan operator (penerbang) bertindak tidak aman (unsafe act). Tindakan ini selanjutnya akan memberikan konsekuensi buruk yaitu kecelakaan bila tidak dapat diidentifikasi atau dikontrol oleh defences atau safety net (jaringan keselamatan). Local factors dan defences atau safety net yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh isu-isu sistemik yang lebih luas, seperti komunikasi antar sub-sistem yang buruk (tidak ada koordinasi) atau prosedur-prosedur yang tidak adekuat.

Dari model Reason ini, dapat dipelajari bahwa sebab-sebab kecelakaan dapat ditelusuri jauh sebelum kejadian, dan umumnya terjadi karena interaksi dari kelemahan-kelamahan sistem dan buruknya sistem deteksi serta kontrol. Sebenarnya, kelemahan-kelemahan tersebut masih dapat dikendalikan atau dihambat bila defences atu safety net berfungsi optimal, namun seringkali buruknya komunikasi antar sub-sistem (departemen dalam struktur organisasi) atau tidak adekuatnya prosedur membuat sub-sistem pelindung terakhir tidak mampu menghambat terjadinya kecelakaan.

Kesimpulan
Dari uraian di atas tentang psikologi penerbangan dalam perspektif human factors dalam mengupayakan keselamatan penerbangan, dapat disimpulkan beberapa pemikiran, yaitu ;

a. Dalam upaya mendukung keselamatan penerbangan termasuk memantau, mengendalikan, dan menyelidiki sebab-sebab terjadinya insiden dan kecelakaan, diperlukan pemahaman bahwa lingkungan operasional penerbangan harus dilihat sebagai suatu sistem.
b. Faktor manusia marupakan elemen atau sub-sistem yang fleksibel dan adaptable, tetapi juga sekaligus paling sensitif terhadap pengaruh dari sub-sistem lain terhadap kegagalan performance.
c. Human factors merupakan studi multidisiplin berbagai ilmu pengetahuan dimana teori-teori psikologi terutama psikologi penerbangan dimanfaatkan secara luas sejak dipelajarinya aspek-aspek proses informasi, pengambilan keputusan sampai dengan psikologi organisasi.
d. Pencegahan kecelakaan penerbangan harus terus menerus diupyakan karena sebelum suatu kecelakaan penerbangan terjadi, diasumsikan secara teoritis akan mengikuti siklus terjadinya hazards, incident dan kemudian accident. Sehingga sistem pemantauan, deteksi, dan dokumentasi merupakan kewajiban operator dan awak pesawat untuk melaporkannya.
e. Pada dasarnya terjadinya kecelakaan penerbangan dapat dideteksi jauh sebelum kejadian dengan memperhatikan berbagai kelemahan bersifat laten maupun aktif, bersifat organisasional dan lokal dalam kerangka sistemik.


Kepustakaan


Bond, N.A., Bryan, G.L., (1962). Aviation Psychology. L.A. : Aviation and Missile Safety Division.
Budiman Z., (1996). Aspek Human Factors Pada Kecelakan Pesawat. Bandung : Lembaga Psikologi TNI AU.

Cassie, A., Foklema, S.D., Parry, J.B., (Ed’s). (1964). Aviation Psychology : Studies on Accident Liability, Proficiency Criteria and Personnel Selection. Paris : Mouton & Co.

Dhenin, S.G., Sharp, G.R., dan Ernsting, J., (1978). Aviation Medicine, Physiology and Human Factors. London : Tri-Med Books Ltd.

ICAO, (1989). Human Factors Digest No 1 – Fundamental Human Factors Concepts. ICAO Circular 216-AN/131. Montreal : Secretary General of International Civil Aviation Organization.

Orasanu, J.M., (1994). Shared Problem Models and Flight Performance. Dalam, Johnston, N., McDonald, N., dan Fuller, R.,(Eds). Aviation Psychology in Practice. Aldershot : Avebury Technical Ashgate Publ. Ltd.

Peter G. Harle. 1994. Investigation of human factors: The link to accident prevention, in Neil Johnston, Nick McDonald and Ray Fuller (ed.), Aviation Psychology in Practice, Avebury Technical, England,

Sells, S.B., Berry, C.A., (1961). Human Factors in Jet and Space Travel. New York : The Roland Press Co.

Sukmo Gunardi. 2002. Konsepsi Pembuatan Sistem Pelaporan Insiden Sukarela Dalam Rangka Mendukung Program ”Zero Accident” Industri Penerbangan Nasional Pada 10 Tahun Mendatang, Kertas Karya Perorangan ”Sastrajaya” Sekolah Staf dan Komando TNI AU (SESKOAU) Angkatan XXXVIII, TP. 2001-2002, Lembang, Bandung.

Sukmo G., (2004). Psikologi Penerbangan Dalam Perspektif Human Factors. Makalah pada Semiloka Psikologi Penerbangan di Dinas Psikologi TNI AU, tanggal 24-26 Agustus 2004. Jakarta : Dispsiau.

Widura IM., (2005). Psikologi Dalam Mendukung Operasi Penerbangan. Makalah pada Seminar Psikologi Militer di Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Yani, Cimahi. Jakarta : Dispsiau.