Widura Imam Mustopo
Pendahuluan
Upaya
yang sungguh-sungguh dari semua pihak untuk mencapai keselamatan penerbangan secara
maksimal adalah hal yang esensial. Tindakan
untuk meningkatkan keselamatan penerbangan harus selalu dilakukan termasuk
memahami pentingnya budaya (culture)
khususnya dalam memberikan kontribusi pada keselamatan penerbangan. Diperlukan pemahaman secara komprehensif tentang
pengaruh budaya terhadap operasi penerbangan bila upaya keselamatan penerbangan
ingin berhasil (Helmreich, 1999).
Berkaitan
dengan pentingnya usaha memahami pengaruh budaya terhadap operasi penerbangan,
maka tulisan ini mengulas budaya dalam dunia penerbangan, khususnya budaya
keselamatan. Untuk itu perlu dimengerti
bagaimana pengaruh budaya keselamatan terhadap perilaku penerbang terutama
perilaku tidak aman (unsafe act/behavior). Tentunya perlu diketahui lebih dahulu
pengertian budaya keselamatan, terutama dari sudut pandang psikologi, termasuk kaitan
antara budaya keselamatan dan perilaku tidak aman, faktor-faktor psikologis apa
saja yang membangun budaya keselamatan, serta apa yang
dimaksud dengan perilaku tidak aman, bagaimana model hubungan antar
faktor-faktor psikologis budaya keselamatan dengan perilaku tidak aman.
Budaya Nasional dan Keselamatan Penerbangan
Helmreich
(1999) mengemukakan bahwa budaya dibangun oleh nilai-nilai (values), keyakinan (beliefs), dan perilaku anggota kelompok atau organisasi. Budaya akan mengikat anggota kelompok dalam organisasi
untuk bertingkah laku sesuai budaya yang berlaku. Ketika berpikir tentang budaya,
hal pertama yang ada di pikiran adalah budaya nasional, suatu atribut yang
membedakan orang-orang yang berasal dari suatu budaya tertentu dengan
orang-orang lainnya dari budaya yang berbeda.
Berkaitan dengan hubungan budaya dengan keselamatan penerbangan, masih
terbatas informasi yang menunjukan bahwa budaya merupakan faktor yang dapat memberikan
kontribusi bagi terjadinya kecelakaan.
Namun demikian, ide bahwa karakteristik budaya nasional juga berperan
dalam penerbangan bukanlah hal yang aneh (Helmreich & Merrit, dalam Soeters
dan Boer, 2000).
Studi
tentang budaya dalam organisasi yang fenomenal karena banyak digunakan untuk
memahami dimensi-dimensi budaya adalah Hofstede (1983). Hofstede (2001) melalui studi tentang budaya
nasional di lima puluh negara dari tiga benua, mendapatkan setidaknya lima
dimensi budaya yang secara stabil selalu muncul, yaitu; small
vs large power distance, individualism
vs collectivsm, masculinity vs
feminity, uncertainty avoidance, dan long
vs short term orientation. Pada 20 tahun terakhir, beberapa studi yang
menghubungkan antar budaya dan keselamatan penerbangan berkembang cukup pesat. Beberapa penelitian melaporkan adanya korelasi
antar kedua variabel tersebut yang cukup menarik.
Penelitian
Mjos (2002) yang dilakukan selama sepuluh tahun dari 1986 sampai dengan 1996 di
perusahaan penerbangan Norwegia menunjukan bahwa variabel budaya dari Hofstede
yang mencakup Power Distance dan Individuality, serta iklim sosial (social climate) dan komunikasi berkorelasi
secara signifikan dengan kinerja awak pesawat, terutama dalam penurunan
kegagalan operasional.
Penelitian
Weener (dalam Soeters dan Boer, 2000) juga menunjukan terdapat hubungan yang
signifikan antara jumlah kecelakaan dengan karakteristik budaya nasional dari Hofstede. Hasil penelitian yang hampir sama juga
dilaporkan oleh Infortunio (2006), bahwa variabel budaya berkorelasi secara
signifikan dengan tingkat kecelakaan fatal di 43 negara yang diteliti. Dari penelitian Infortunio terhadap dimensi
budaya Hofstede pada tujuh macam kelompok industri di 43 negara, ia mendapatkan
dimensi Power Distance, Uncertainty Avoidance, dan Individuality berkorelasi secara
signifikan dengan terjadinya kecelakaan fatal.
Dari berbagai
studi dan penelitian yang diulas di atas, terungkap bahwa perbedaan budaya di
berbagai negara berhubungan secara signifikan dengan tingkat kecelakaan fatal terutama
di lingkungan penerbangan. Memang budaya
tidak langsung mempengaruhi terjadinya kecelakaan yang fatal, namun
penelitian-penelitian yang telah dilakukan mengungkap adanya hubungan bahkan
mungkin pengaruh budaya terhadap faktor-faktor individual yang muncul dalam
perilaku tidak aman. Hal ini membuat
bahwa tidak dapat dipungkiri bahwa budaya memiliki pengaruh yang kuat terhadap
terbentuknya perilaku keselamatan dan/atau perilaku tidak aman dari
individu.
Budaya di dalam Organisasi Penerbangan
Seperti
telah dikemukan sebelumnya bahwa budaya akan mengikat anggota kelompok atau
organisasi dan berperan sebagai petunjuk bagaimana anggota kelompok bertingkah
laku. Bagi penerbang setidaknya
terdapat tiga budaya yang bekerja untuk membentuk sikap dan tindakan (Helmreich,
1999). Ke tiga budaya tersebut adalah, budaya
nasional, budaya profesional, dan terakhir budaya organisasi.
Budaya nasional
merupakan representasi dari kehidupan nasional di mana individu berada. Budaya nasional mencakup semua norma-norma,
sikap, dan nilai-nilai yang hidup di lingkungan tersebut. Pola perilaku yang diikat oleh budaya
nasional memberikan konsekuensi pada perbedaan perilaku seperti telah diulas
sebelum ini. Selain budaya nasional, penerbang akan melibatkan pola perilaku
yang mengikuti budaya profesinya.
Helmreich (1999) mengemukakan bahwa satu hal yang positif dari budaya
penerbang adalah kebanggaan yang besar pada profesinya. Dari penelitiannya, para penerbang sangat
mencintai pekerjaannya dan termotivasi untuk bekerja sebaik-baiknya. Hal ini tentunya positif bagi organisasi dan
dapat membantu efisiensi dan keselamatan operasi penerbangan. Tetapi budaya profesional penerbang juga
mempunyai efek negatif, yaitu ketidak pekaan terhadap hal-hal tertentu. Dari studinya, Helmreich menemukan bahwa sebagian
besar penerbang meyakini bahwa mereka mampu mengambil keputusan sama baiknya
dalam situasi normal maupun situasi darurat.
Para penerbang berpendapat bahwa performance
mereka tidak terpengaruh oleh masalah-masalah pribadi, dan mereka tidak mungkin
bertindak salah dalam situasi yang sangat menekan. Hal-hal ini dapat merugikan
karena bisa membuat penerbang tidak waspada dan menjadi kontraproduktif.
Terakhir
adalah budaya organisasi, yang menjadi ruang di mana budaya nasional dan budaya
profesional berinteraksi. Budaya
organisasi menjadi determinan yang kuat dalam mempengaruhi perilaku. Pengaruhnya cukup besar bahkan dapat
menciptakan dan memantapkan budaya keselamatan (safety culture) (Helmreich, 1999). Oleh karena itu, untuk mencapai budaya keselamatan yang positif diperlukan komitmen kuat para pemimpin organisasi dan komitmen tersebut terlihat dalam kebijakan yang menggariskan komunikasi terbuka serta tidak melakukan tindakan-tindakan menghindar sebagai reaksi bila ada masalah atau risiko.
Dari
ketiga macam budaya tersebut, budaya nasional lebih resisten terhadap perubahan
mengingat budaya nasional berpengaruh kuat terhadap individu karena sejak lahir
ia hidup bersamanya. Sedangkan budaya profesional dan budaya organisasi relatif dapat berubah
bila terdapat insentif yang kuat. Namun
demikian, ketiga budaya tersebut tetap dianggap penting di dalam cockpit karena pengaruhnya terhadap
perilaku penerbang ketika bekerja.
Budaya
organisasi penerbangan yang melibatkan teknologi tinggi dan menerapkan organisasi
kerja yang sangat terstruktur, sistemik, dan terkontrol merupakan kerangka di mana
di dalamnya budaya nasional dan budaya profesi (penerbang, teknisi, dll.)
saling berinteraksi. Kondisi ini
dipercaya dapat membangun budaya keselamatan (safety culture) dan selanjutnya
membentuk sikap dan perilaku terhadap keselamatan penerbangan (Heilmreich,
1999; Cooper, 2000).
Budaya Keselamatan dalam perspektif psikologis
Sesuai pengertian
yang dikemukakan oleh ACSNI (Advisory
Committee on the Safety of Nuclear Installations); budaya keselamatan
merupakan produk dari nilai-nilai, sikap-sikap, persepsi, kompetensi-kompetensi
dan pola-pola perilaku individu dan kelompok, yang menentukan komitmen
terhadap, dan gaya serta proficiency,
manajemen keselamatan suatu organisasi (Gadd & Collins, 2002). Organisasi dengan budaya keselamatan yang
positif dicirikan oleh komunikasi yang dilandasi hubungan saling percaya,
adanya diseminasi informasi tentang pentingnya keselamatan, dan upaya-upaya
pencegahan dalam mencapai tujuan keselamatan.
Sikap terhadap keselamatan dapat diasumsikan merupakan
salah satu indikator dari budaya keselamatan.
Namun demikian perlu dipertimbangkan pendapat Ajzen (dalam Fogarty
& Shaw, 2003), bahwa sikap seringkali gagal untuk menampilkan korelasi yang
kuat dengan perilaku karena banyaknya faktor yang secara potensial menghalangi
berubahnya sikap menjadi perilaku.
Untuk itu, Ajzen mengenalkan konsep intensi (intention) sebagai penghubung antara sikap dan perilaku. Disini, sikap dapat digunakan untuk memprediksi
intensi individu yang selanjutnya akan menampilkan perilaku aktual.
Melalui
kajian literatur tentang berbagai penelitian budaya keselamatan, Gadd dan
Collins (2002) mengindikasikan ada tiga komponen yang utama dalam budaya
keselamatan, yaitu; komponen psikologis, komponen situasional, dan komponen
perilaku. Komponen situasional menyangkut struktur organisasi, misalnya;
kebijakan, prosedur kerja, sistem manajemen, dsb. Komponen perilaku mencakup kinerja (performance), termasuk disini perilaku
keselamatan dan perilaku tidak aman.
Sedangkan komponen psikologis berhubungan dengan iklim keselamatan (safety
climate) yang menyangkut norma, nilai-nilai, persepsi dan sikap terhadap
keselamatan. Oleh karenanya, Cox dan Flin (dalam Gadd dan
Collins, 2002) mengemukakan bahwa untuk memahami budaya keselamatan secara
psikologis, iklim keselamatan dapat
dipandang sebagai salah satu indikator.
Perilaku Tidak Aman
Berkaitan
dengan komponen perilaku dari budaya keselamatan, maka perilaku tidak aman
dapat dikategorikan sebagai komponen perilaku. Untuk mengklasifikasi perilaku tidak aman, Shappell
dan Wiegman (2004) mengembangkan konsep HFACS atau Human Factors Analysis dan Classification System, yang merupakan
konsep aplikasi dari ”Swiss Cheese”
model human error dari Reason
(1990). Dalam model Reason ini,
dijelaskan empat tingkat kegagalan (failure)
manusia, di mana tingkat sebelumnya akan mempengaruhi tingkat di bawahnya,
yaitu; 1) pengaruh organisasi (organization influnces), 2) supervisi
tidak aman (unsafe supervision), 3)
prakondisi untuk tindakan tidak aman (precondition
for unsafe acts), dan 4) tindakan
tidak aman (unsafe acts).
Seperti
telah disinggung di atas, dalam HFACS, Shappell dan Wiegman mengungkapkan bahwa
perilaku pelanggaran (violation)
merupakan salah satu bentuk perilaku tidak aman. Perilaku tidak aman ini muncul dalam bentuk
tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur atau ketentuan-ketentuan yang sudah
ditetapkan oleh otoritas. Tindakan atau
perilaku pelanggaran ini dapat bersifat rutin, atau merupakan kebiasaan yang
dilakukan dan tidak menimbulkan dampak terhadap keselamatan. Tindakan pelanggaran juga dapat bersifat
pengecualian, karena situasi yang mendesak dan tidak ada prosedur yang jelas
sehingga penerbang melakukan tindakan pelenggaran.
Shappell dan
Wiegman (2004), mengembangkan HFACS atau Human Factors Analysis dan Classification System. HFACS merupakan konsep aplikasi ”Swiss
Cheese” model dari Reason (1990). Dalam
HFACS, Shappell dan Wiegman mengkasifikasikan tindakan atau perilaku tidak aman
menjadi dua bentuk perilaku, yaitu; error
(kesalahan) dan violation (pelanggaran).
Kesalahan atau error yang
berhubungan dengan perilaku tidak aman dapat terjadi dalam bentuk kesalahan
pengambilan keputusan (decisions error),
kesalahan dalam keterampilan dasar (skill-based
error), dan kesalahan pengamatan (perceptual
error). Sedangkan perilaku tidak
aman dalam bentuk violation berkaitan
dengan tindakan individu yang tidak sesuai prosedur atau ketentuan-ketentuan yang
sudah ditetapkan oleh otoritas. Violation dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu; pelanggaran rutin (routine violation), dan pelanggaran dengan pengecualian (violation by exceptional).
Iklim
Keselamatan dan Perilaku Tidak Aman dalam aplikasi Theory of Planned Behavior
Dalam studi iklim keselamatan, sejumlah peneliti berusaha
mengkatagorikan variabel-variabel iklim keselamatan untuk mengkonstruk model
dalam rangka menjelaskan interaksi diantara variabel tersebut. Pada umumnya pengkatagorian variabel-variabel
yang ada diorganisasikan mengikuti level atau tingkat di mana variabel tersebut berpengaruh. Jadi, variabel-variabel yang ada akan
diklasifikasikan apakah berada di level organisasi, kelompok, atau
individu. Sebagai contoh, Fogarty et.al. (2001) mengembangkan suatu model untuk menjelaskan penyebab
kesalahan (error) dalam pemeliharaan
pesawat udara. Penyelidikannya mengenai
pengaruh variabel organisasional, jabatan pekerjaan (job), dan individu terhadap terjadinya kesalahan menggunakan Structural Equation Model (SEM). Hasilnya menunjukan bahwa efek faktor-faktor
di level organisasional terhadap terjadinya kesalahan dimediasi oleh
faktor-faktor di level individual, seperti kondisi kesehatan dan stres. Studi yang sama dilakukan oleh Lawton (dalam Fogarty
and Shaw, 2003) yang meneliti penyebab terjadinya pelanggaran (violation) pada juru langsir kereta api
di Inggris. Walaupun variabel akibat
yang diteliti berbeda (kesalahan vs pelanggaran), namun kedua model
memperlihatkan kesamaan bahwa variabel di tingkat individual merupakan mediator
hubungan antara faktor-faktor organisasional dengan perilaku tidak aman. Fogarty dan Neal (2002) menggabungkan kedua
variabel dalam penelitiannya terhadap penyebab terjadinya kesalahan dan
pelanggaran di industri konstruksi.
Laporan penelitian mengungkap bahwa variabel iklim keselamatan dapat
memprediksi kesalahan, di mana variabel di tingkat individual memprediksi
kesalahan.
Terdapat kelemahan dari model pendekatan iklim keselamatan di atas tidak
menampilkan gambaran yang dapat menjelaskan bagaimana perubahan perilaku sesuai
alur utama (mainstream)
psikologi. Konstruk-konstruk psikologi yang saling berkaitan sebenarnya
dapat disusun dan dilakukan untuk menjelaskan model iklim keselamatan. Misalnya, sikap terhadap keselamatan dapat diasumsikan merupakan salah satu
indikator dari budaya keselamatan. Namun
demikian ternyata sikap terhadap suatu objek atau peristiwa/situasi tidak
sertamerta membentuk perilaku tertentu yang sesuai. Ajzen (dalam Fogarty and Shaw, 2003), mengungkapkan
bahwa sikap seringkali gagal menampilkan korelasi yang kuat dengan perilaku
karena banyaknya faktor yang secara potensial menghalangi berubahnya sikap
menjadi perilaku. Untuk itu, Ajzen melalui Theory of Planned Behavior (TPB) mengenalkan konsep intensi (intention) sebagai penghubung antara
sikap dan perilaku. Disini, sikap dapat
digunakan untuk memprediksi intensi individu yang selanjutnya akan menampilkan
perilaku aktual. Menggabungkan intensi sebagai variabel mediasi
akan memperkuat hubungan antara sikap dan perilaku dalam aplikasi TPB di
berbagai variasi seting situasi (Conner, Warren, Close, & Sparks, 1999 ;
Furnham & Lovett, 2001, dalam Fogarty and Shaw, 2003).
Norma subjektif seperti yang dikenalkan oleh Ajzen sebagai salah satu
variabel prediksi intensi merupakan konsep yang cukup kompleks. Norma subjektif berhubungan dengan keyakinan
(beliefs) dan perilaku orang yang
dapat mempengaruhi pandangan individu. Misalnya,
bila seorang pekerja tidak mempercayai bahwa manajemen atau rekan-rekan
kerjanya memperhatikan keselamatan kerja, maka mereka akan mempunyai anggapan
bahwa keselamatan itu tidak penting.
Selain konsep norma subjek, Ajzen juga mengenalkan variebal prediktor
ketiga yang ia sebut kontrol perilaku yang diamati (perceived behavioral control).
Variabel ini juga dapat langsung berhubungan dengan
perilaku tidak aman. Menurut Ajzen, perceived behavioral control memperkuat hubungan antara intensi
dengan perilaku.
Dalam
aplikasi yang lebih luas, TPB dapat dimanfaatkan untuk studi tentang iklim
keselamatan dengan meneliti variabel di level individual, kelompok, dan
organisasional. Sikap individu terhadap
keselamatan sering digunakan sebagai variabel iklim keselamatan (Fogarty and
Shaw, 2003). Studi tentang iklim keselamatan mengamati
pengaruh norma subjektif. Individu dalam
organisasi dilihat sebagai anggota suatu kelompok kerja. Norma yang dikembangkan oleh kelompok kerja
cenderung mempengaruhi perilaku pekerja yang merasa sebagai anggota atau bagian
dari kelompok. Dalam level kelompok,
beberapa penelitian dalam studi iklim keselamatan menunjukan cukup besarnya
peran norma kelompok dalam perilaku keselamatan. Dapatlah dikatakan bahwa perceived behavioral control merupakan tekanan di tempat kerja (workplace pressure) yang mencegah
pekerja melanggar dan untuk mengikuti prosedur.
Dari sudut pandang ini, perceived
behavioral control dapat diasosiasikan sebagai intensi untuk melanggar
prosedur, sehingga mengapa variabel ini dapat dijadikan prediktor perilaku
pelanggaran.
Gambar
1: Model
Teoritik Keselamatan, Sikap terhadap
Pelanggaran, Norma Kelompok tentang Keselamatan, Tekanan di Tempat Kerja,
Intensi untuk Melanggar, dengan Perilaku Pelanggaran
Dalam
studi iklim keselamatan terdapat satu variabel yang juga penting, yaitu; sikap
manajemen terhadap keselamatan. Menurut
Zohar (1980), melalui studi iklim keselamatan, dilaporkan bahwa persepsi
karyawan mengenai sikap manajernya terhadap keselamatan merupakan prediktor
yang sangat penting. Dalam studi iklim
keselamatan, sikap manajemen terhadap keselamatan mempunyai pengaruh tidak
langsung terhadap perilaku melanggar melalui sikap individu, norma subjektif, perceived control. Hubungan antar variabel dapat dilihat pada
gambar 1.
Manfaat
Kajian sebagai Kesimpulan
Terdapat beberapa manfaat yang dapat diperoleh
dengan dijelaskannya model hubungan budaya keselamatan dan perilaku tidak aman
penerbang. Pertama, diperoleh gambaran
yang utuh mengenai komponen-komponen yang membangun budaya keselamatan. Kedua, sejauhmana budaya keselamatan melalui
faktor-faktornya berpengaruh terhadap perilaku tidak aman penerbang. Ketiga, dengan dapat dijelaskannya mengenai
hubungan antar faktor-faktor di dalam budaya keselamatan dengan perilaku tidak
aman penerbang, maka dapat dikembangkan strategi intervensi yang efektif
terhadap faktor-faktor budaya keselamatan yang dapat mempengaruhi perilaku
keselamatan dan/atau mencegah timbulnya perilaku tidak aman.
KEPUSTAKAAN
Ajzen,
I., (1988). Attitudes, Personality, and Behaviour. Milton Keynes: Open University.
Cooper,
M.D., (2000). Towards a Model of Safety Culture.
Safety Science. Vol 36(2), Nov 2002, pp. 111-136.
Falconer,
B.T., (2006). Attitudes to Safety and
Organisational Culture In Australian Military Aviation. A Thesis Submitted
in Fulfilment of The Requirements for The Degree of Doctor of Philosophy. New
South Wales: University of New South Wales, Departement of Aviation.
Fogarty,
G.J., Saunders, R., and Coolyer, R., (2001).
The Role of Individual and
Organizational Factors in aviation maintenance. Paper presented at the Eleventh International
Symposium on Aviation Psychology, Colombus Ohio.
Fogarty,
G.J., and Neal, T., (2002). Explaining Safety violations and errors in
the Construction Industry. XXV
International Congress of Applied Psychology, Singapore, July 7-12.
Fogarty,
G.J., and Shaw, A., (2003). Safety Climate and the Theory of Planned
Behaviour: Towards the Prediction of Unsafe Behaviour. In 5th Australian Industrial and
Organizational Psychology Conference, 26-29 June 2003, Melbourne, Australia.
(Unpublished).
Gadd,
S., Collins, A.M., (2002). Safety Culture: A Review of The Literature. Broad Lane, Shefield: Health & Safety
Laboratory.
Grote,
G., (2007). Understanding and Assessing Safety Culture Through The Lens of
Organizational Management of Uncertainty. Safety Science. Vol 45(6), Jul
2007, pp.637-652.
Helmreich,
R.L., (1999). Building Safety in The Three
Cultures of Aviation. In The
Proceeding of The IATA Human Factors Seminar (pp. 39-43). Bangkok, Thailand.
Hofstede,
G., (1983). Dimensions of National
Cultures in Fifty Caountries and three Regions. In, Deregowski, J.B.,
Dziurawiec, S., and Annies, R.C. (Ed’s), Expiscations
in Cross-cultural Psychology. Lisse, Netherlands: Swets & Zeitlinger.
Hofstede, G., (2001). Culture’s
Consequences, 2’nd Edition: Comparing
Values, Behaviours, Institutions, and Organizations across Nations. Sage
Publications, England.
Hopkins,
A., (2006). Studying Organisational Culture and Their Effects on Safety.
National Research Centre for OHS Regulation ANU.
Hudson,
P., (2001). Aviation Safety Culture. Leiden University: Centre for Safety
Science.
Infortunio,
F.A., (2006). An Exploration of The Correlations Between Fatal Accident Rates Across
Nations and The Cultural Dimensions of Power Distance, Uncertainty,
Individuality, and Masculinity.
Dissertation Abstracts International Section A: Humanities and Social
Sciences Vol 67(5-A), pp. 1809.
Li, Wen-Chin, Harris, D., and Chen, A., (2007). Eastern Minds in
Western Cockpits: Meta-anlaysis of Human Factors in Mishaps From Three Nations. Aviation, Space, and Environmental Medicine,
Vol 78(4, Sect 1), Apr 2007, pp. 420-425.
Li,
Wen-Chin, Harris, D., and Yu, Chung-San, (2008). Routes
to Failure: Analysis of 41 Civil Aviation Accidents From The Republic of China
Using The Human Factors Analysis and Classification System. Accident Analysis and Prevention. Vol 40(2),
Mar 2008, pp. 426-434.
Mjos,
K., (2004). Basic Cultural Elements Affecting the Team Function On the Flight Deck. The International Journal of Aviation
Pasychology. Vol 14(2), April 2004, pp. 151-169.
Orasanu,
J.M., (1992). Shared Problem Models and Flight Crew Performance. Dalam, Johnston,
N., McDonald, N., dan, Fuller, R. (Eds). Aviation
Psychology in Practice. Vermont :
Ashgate Publishing Company.
Patankar,
M.S., (2003). Study of Safety Culture at an Aviation Organization. International Journal of Applied Studies. Vol
3(2), 2003, pp. 243-255.
Shappell,
S.A., and Wiegmann, D.A., (2004). Department of Defense Human Factors Analysis
and Classification System: A Mishap
Investigation and Data Analysis Tool (DoD
HFACS). Washington, DC.: DoD.
Soeters,
J.L., and Boer, P.C., (2000). Culture and Flight Safety in Military
Aviation. The International Journal of Aviation Psychology. Vol 10(2), pp.
111-133. Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Taylor,
J.C., Thomas, R.L., (2003). Toward Measuring Safety Culture in Aviation
Maintenance: The Structure of Trust and Professionalism. The International
Journal of Aviation Psychology, Vol 13(4), Oct. 2003, pp. 321-343.
Thaden,
T.L., Kessel, J., and Ruengvisesh, D., (2008).
Measuring Indicators of Safety
Culture in a Major European Airline’s Flight Operations Departement. The Proceeding of the 8th
International Symposium of the Australian Aviation Psychology Association.
Novotel Brighton Beach, Sydney, 8-11 April.
Wiegman,
D.A., Zhang, H., Thaden, T.L., Sharma, G., and Gibbons, A.M., (2004). Safety
Culture: An Integrative Review. The
International Journal of Aviation Psychology, 14(2), 117-134. Illinois:
Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Wiegman,
D.A., Zhang, H., Thaden, T.L., Sharma, G., and Mitchell, A.A., (2002). A Synthesis
of Safety Culture and Safety Climate Research. Tchnical Report ARL-02-3/FAA-02-2. Prepared for Federal Aviation Administration
Atlantic City International Airport, NJ.
Illinois: University of Illinois.
You,
X., Li, Y., Shi, X., and Jin., L., (2005).
A Factors Analysis of The
Evaluation Method of Safety Culture In Airline Flight. Psychological
Science (China), pp. 837-840.