Selasa, 05 Mei 2020

BUDAYA KESELAMATAN DAN PERILAKU TIDAK AMAN DI PENERBANGAN


Widura Imam Mustopo
Pendahuluan

Upaya yang sungguh-sungguh dari semua pihak untuk mencapai keselamatan penerbangan secara maksimal adalah hal yang esensial.  Tindakan untuk meningkatkan keselamatan penerbangan harus selalu dilakukan termasuk memahami pentingnya budaya (culture) khususnya dalam memberikan kontribusi pada keselamatan penerbangan.  Diperlukan pemahaman secara komprehensif tentang pengaruh budaya terhadap operasi penerbangan bila upaya keselamatan penerbangan ingin berhasil (Helmreich, 1999). 
Berkaitan dengan pentingnya usaha memahami pengaruh budaya terhadap operasi penerbangan, maka tulisan ini mengulas budaya dalam dunia penerbangan, khususnya budaya keselamatan.  Untuk itu perlu dimengerti bagaimana pengaruh budaya keselamatan terhadap perilaku penerbang terutama perilaku tidak aman (unsafe act/behavior).  Tentunya perlu diketahui lebih dahulu pengertian budaya keselamatan, terutama dari sudut pandang psikologi, termasuk kaitan antara budaya keselamatan dan perilaku tidak aman, faktor-faktor psikologis apa saja yang membangun budaya keselamatan, serta apa yang dimaksud dengan perilaku tidak aman, bagaimana model hubungan antar faktor-faktor psikologis budaya keselamatan dengan perilaku tidak aman.   

Budaya Nasional dan Keselamatan Penerbangan

Helmreich (1999) mengemukakan bahwa budaya dibangun oleh nilai-nilai (values), keyakinan (beliefs), dan perilaku anggota kelompok atau organisasi.   Budaya akan mengikat anggota kelompok dalam organisasi untuk bertingkah laku sesuai budaya yang berlaku.  Ketika berpikir tentang budaya, hal pertama yang ada di pikiran adalah budaya nasional, suatu atribut yang membedakan orang-orang yang berasal dari suatu budaya tertentu dengan orang-orang lainnya dari budaya yang berbeda.  Berkaitan dengan hubungan budaya dengan keselamatan penerbangan, masih terbatas informasi yang menunjukan bahwa budaya merupakan faktor yang dapat memberikan kontribusi bagi terjadinya kecelakaan.  Namun demikian, ide bahwa karakteristik budaya nasional juga berperan dalam penerbangan bukanlah hal yang aneh (Helmreich & Merrit, dalam Soeters dan Boer, 2000).
Studi tentang budaya dalam organisasi yang fenomenal karena banyak digunakan untuk memahami dimensi-dimensi budaya adalah Hofstede (1983).   Hofstede (2001) melalui studi tentang budaya nasional di lima puluh negara dari tiga benua, mendapatkan setidaknya lima dimensi budaya yang secara stabil selalu muncul, yaitu;  small vs large power distance, individualism vs collectivsm, masculinity vs feminity, uncertainty avoidance, dan long vs short term orientation. Pada 20 tahun terakhir, beberapa studi yang menghubungkan antar budaya dan keselamatan penerbangan berkembang cukup pesat.  Beberapa penelitian melaporkan adanya korelasi antar kedua variabel tersebut yang cukup menarik.  
Penelitian Mjos (2002) yang dilakukan selama sepuluh tahun dari 1986 sampai dengan 1996 di perusahaan penerbangan Norwegia menunjukan bahwa variabel budaya dari Hofstede yang mencakup Power Distance dan Individuality, serta iklim sosial (social climate) dan komunikasi berkorelasi secara signifikan dengan kinerja awak pesawat, terutama dalam penurunan kegagalan operasional. 
Penelitian Weener (dalam Soeters dan Boer, 2000) juga menunjukan terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah kecelakaan dengan karakteristik budaya nasional dari Hofstede.  Hasil penelitian yang hampir sama juga dilaporkan oleh Infortunio (2006), bahwa variabel budaya berkorelasi secara signifikan dengan tingkat kecelakaan fatal di 43 negara yang diteliti.  Dari penelitian Infortunio terhadap dimensi budaya Hofstede pada tujuh macam kelompok industri di 43 negara, ia mendapatkan dimensi Power Distance, Uncertainty Avoidance, dan Individuality berkorelasi secara signifikan dengan terjadinya kecelakaan fatal. 
Dari berbagai studi dan penelitian yang diulas di atas, terungkap bahwa perbedaan budaya di berbagai negara berhubungan secara signifikan dengan tingkat kecelakaan fatal terutama di lingkungan penerbangan.  Memang budaya tidak langsung mempengaruhi terjadinya kecelakaan yang fatal, namun penelitian-penelitian yang telah dilakukan mengungkap adanya hubungan bahkan mungkin pengaruh budaya terhadap faktor-faktor individual yang muncul dalam perilaku tidak aman.  Hal ini membuat bahwa tidak dapat dipungkiri bahwa budaya memiliki pengaruh yang kuat terhadap terbentuknya perilaku keselamatan dan/atau perilaku tidak aman dari individu. 

Budaya di dalam Organisasi Penerbangan

Seperti telah dikemukan sebelumnya bahwa budaya akan mengikat anggota kelompok atau organisasi dan berperan sebagai petunjuk bagaimana anggota kelompok bertingkah laku.   Bagi penerbang setidaknya terdapat tiga budaya yang bekerja untuk membentuk sikap dan tindakan (Helmreich, 1999).  Ke tiga budaya tersebut adalah, budaya nasional, budaya profesional, dan terakhir budaya organisasi.
Budaya nasional merupakan representasi dari kehidupan nasional di mana individu berada.  Budaya nasional mencakup semua norma-norma, sikap, dan nilai-nilai yang hidup di lingkungan tersebut.   Pola perilaku yang diikat oleh budaya nasional memberikan konsekuensi pada perbedaan perilaku seperti telah diulas sebelum ini. Selain budaya nasional, penerbang akan melibatkan pola perilaku yang mengikuti budaya profesinya.   Helmreich (1999) mengemukakan bahwa satu hal yang positif dari budaya penerbang adalah kebanggaan yang besar pada profesinya.  Dari penelitiannya, para penerbang sangat mencintai pekerjaannya dan termotivasi untuk bekerja sebaik-baiknya.  Hal ini tentunya positif bagi organisasi dan dapat membantu efisiensi dan keselamatan operasi penerbangan.  Tetapi budaya profesional penerbang juga mempunyai efek negatif, yaitu ketidak pekaan terhadap hal-hal tertentu.  Dari studinya, Helmreich menemukan bahwa sebagian besar penerbang meyakini bahwa mereka mampu mengambil keputusan sama baiknya dalam situasi normal maupun situasi darurat.  Para penerbang berpendapat bahwa performance mereka tidak terpengaruh oleh masalah-masalah pribadi, dan mereka tidak mungkin bertindak salah dalam situasi yang sangat menekan.   Hal-hal ini dapat merugikan karena bisa membuat penerbang tidak waspada dan menjadi kontraproduktif.  
Terakhir adalah budaya organisasi, yang menjadi ruang di mana budaya nasional dan budaya profesional berinteraksi.  Budaya organisasi menjadi determinan yang kuat dalam mempengaruhi perilaku.  Pengaruhnya cukup besar bahkan dapat menciptakan dan memantapkan budaya keselamatan (safety culture)  (Helmreich, 1999).   Oleh karena ituuntuk mencapai budaya keselamatan yang positif diperlukan komitmen kuat para pemimpin organisasi dan komitmen tersebut terlihat dalam kebijakan yang menggariskan komunikasi terbuka serta tidak melakukan tindakan-tindakan menghindar sebagai reaksi bila ada masalah atau risiko. 
Dari ketiga macam budaya tersebut, budaya nasional lebih resisten terhadap perubahan mengingat budaya nasional berpengaruh kuat terhadap individu karena sejak lahir ia hidup bersamanya.  Sedangkan budaya profesional dan budaya organisasi relatif dapat berubah bila terdapat insentif yang kuat.  Namun demikian, ketiga budaya tersebut tetap dianggap penting di dalam cockpit karena pengaruhnya terhadap perilaku penerbang ketika bekerja. 
Budaya organisasi penerbangan yang melibatkan teknologi tinggi dan menerapkan organisasi kerja yang sangat terstruktur, sistemik, dan terkontrol merupakan kerangka di mana di dalamnya budaya nasional dan budaya profesi (penerbang, teknisi, dll.) saling berinteraksi.  Kondisi ini dipercaya dapat membangun budaya keselamatan (safety culture) dan selanjutnya membentuk sikap dan perilaku terhadap keselamatan penerbangan (Heilmreich, 1999; Cooper, 2000). 

Budaya Keselamatan dalam perspektif psikologis

Sesuai pengertian yang dikemukakan oleh ACSNI (Advisory Committee on the Safety of Nuclear Installations); budaya keselamatan merupakan produk dari nilai-nilai, sikap-sikap, persepsi, kompetensi-kompetensi dan pola-pola perilaku individu dan kelompok, yang menentukan komitmen terhadap, dan gaya serta proficiency, manajemen keselamatan suatu organisasi (Gadd & Collins, 2002).  Organisasi dengan budaya keselamatan yang positif dicirikan oleh komunikasi yang dilandasi hubungan saling percaya, adanya diseminasi informasi tentang pentingnya keselamatan, dan upaya-upaya pencegahan dalam mencapai tujuan keselamatan. 
Sikap terhadap keselamatan dapat diasumsikan merupakan salah satu indikator dari budaya keselamatan.  Namun demikian perlu dipertimbangkan pendapat Ajzen (dalam Fogarty & Shaw, 2003), bahwa sikap seringkali gagal untuk menampilkan korelasi yang kuat dengan perilaku karena banyaknya faktor yang secara potensial menghalangi berubahnya sikap menjadi perilaku.   Untuk itu, Ajzen mengenalkan konsep intensi (intention) sebagai penghubung antara sikap dan perilaku.   Disini, sikap dapat digunakan untuk memprediksi intensi individu yang selanjutnya akan menampilkan perilaku aktual. 
Melalui kajian literatur tentang berbagai penelitian budaya keselamatan, Gadd dan Collins (2002) mengindikasikan ada tiga komponen yang utama dalam budaya keselamatan, yaitu; komponen psikologis, komponen situasional, dan komponen perilaku. Komponen situasional menyangkut struktur organisasi, misalnya; kebijakan, prosedur kerja, sistem manajemen, dsb.   Komponen perilaku mencakup kinerja (performance), termasuk disini perilaku keselamatan dan perilaku tidak aman.  Sedangkan komponen psikologis berhubungan dengan iklim keselamatan (safety climate) yang menyangkut norma, nilai-nilai, persepsi dan sikap terhadap keselamatan.   Oleh karenanya, Cox dan Flin (dalam Gadd dan Collins, 2002) mengemukakan bahwa untuk memahami budaya keselamatan secara psikologis, iklim keselamatan dapat dipandang sebagai salah satu indikator.

Perilaku Tidak Aman
           
            Berkaitan dengan komponen perilaku dari budaya keselamatan, maka perilaku tidak aman dapat dikategorikan sebagai komponen perilaku.   Untuk mengklasifikasi perilaku tidak aman, Shappell dan Wiegman (2004) mengembangkan konsep HFACS atau Human Factors Analysis dan Classification System, yang merupakan konsep aplikasi dari ”Swiss Cheese” model human error dari Reason (1990).   Dalam model Reason ini, dijelaskan empat tingkat kegagalan (failure) manusia, di mana tingkat sebelumnya akan mempengaruhi tingkat di bawahnya, yaitu;  1) pengaruh organisasi (organization influnces), 2) supervisi tidak aman (unsafe supervision), 3) prakondisi untuk tindakan tidak aman (precondition for unsafe acts), dan 4)  tindakan tidak aman (unsafe acts).   
Seperti telah disinggung di atas, dalam HFACS, Shappell dan Wiegman mengungkapkan bahwa perilaku pelanggaran (violation) merupakan salah satu bentuk perilaku tidak aman.   Perilaku tidak aman ini muncul dalam bentuk tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur atau ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan oleh otoritas.   Tindakan atau perilaku pelanggaran ini dapat bersifat rutin, atau merupakan kebiasaan yang dilakukan dan tidak menimbulkan dampak terhadap keselamatan.  Tindakan pelanggaran juga dapat bersifat pengecualian, karena situasi yang mendesak dan tidak ada prosedur yang jelas sehingga penerbang melakukan tindakan pelenggaran.
Shappell dan Wiegman (2004), mengembangkan HFACS atau Human Factors Analysis dan Classification System.  HFACS merupakan konsep aplikasi ”Swiss Cheese” model dari Reason (1990).  Dalam HFACS, Shappell dan Wiegman mengkasifikasikan tindakan atau perilaku tidak aman menjadi dua bentuk perilaku, yaitu; error (kesalahan) dan violation (pelanggaran).   Kesalahan atau error yang berhubungan dengan perilaku tidak aman dapat terjadi dalam bentuk kesalahan pengambilan keputusan (decisions error), kesalahan dalam keterampilan dasar (skill-based error), dan kesalahan pengamatan (perceptual error).  Sedangkan perilaku tidak aman dalam bentuk violation berkaitan dengan tindakan individu yang tidak sesuai prosedur atau ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan oleh otoritas.  Violation dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu; pelanggaran rutin (routine violation), dan pelanggaran dengan pengecualian (violation by exceptional).

Iklim Keselamatan dan Perilaku Tidak Aman dalam aplikasi Theory of Planned Behavior

Dalam studi iklim keselamatan, sejumlah peneliti berusaha mengkatagorikan variabel-variabel iklim keselamatan untuk mengkonstruk model dalam rangka menjelaskan interaksi diantara variabel tersebut.  Pada umumnya pengkatagorian variabel-variabel yang ada diorganisasikan mengikuti level atau tingkat di mana variabel tersebut berpengaruh.  Jadi, variabel-variabel yang ada akan diklasifikasikan apakah berada di level organisasi, kelompok, atau individu.   Sebagai contoh, Fogarty et.al. (2001) mengembangkan suatu model untuk menjelaskan penyebab kesalahan (error) dalam pemeliharaan pesawat udara.  Penyelidikannya mengenai pengaruh variabel organisasional, jabatan pekerjaan (job), dan individu terhadap terjadinya kesalahan menggunakan Structural Equation Model (SEM).  Hasilnya menunjukan bahwa efek faktor-faktor di level organisasional terhadap terjadinya kesalahan dimediasi oleh faktor-faktor di level individual, seperti kondisi kesehatan dan stres.  Studi yang sama dilakukan oleh Lawton (dalam Fogarty and Shaw, 2003) yang meneliti penyebab terjadinya pelanggaran (violation) pada juru langsir kereta api di Inggris.  Walaupun variabel akibat yang diteliti berbeda (kesalahan vs pelanggaran), namun kedua model memperlihatkan kesamaan bahwa variabel di tingkat individual merupakan mediator hubungan antara faktor-faktor organisasional dengan perilaku tidak aman.   Fogarty dan Neal (2002) menggabungkan kedua variabel dalam penelitiannya terhadap penyebab terjadinya kesalahan dan pelanggaran di industri konstruksi.  Laporan penelitian mengungkap bahwa variabel iklim keselamatan dapat memprediksi kesalahan, di mana variabel di tingkat individual memprediksi kesalahan. 
Terdapat kelemahan dari model pendekatan iklim keselamatan di atas tidak menampilkan gambaran yang dapat menjelaskan bagaimana perubahan perilaku sesuai alur utama (mainstream) psikologi.  Konstruk-konstruk  psikologi yang saling berkaitan sebenarnya dapat disusun dan dilakukan untuk menjelaskan model iklim keselamatan.  Misalnya, sikap terhadap keselamatan dapat diasumsikan merupakan salah satu indikator dari budaya keselamatan.  Namun demikian ternyata sikap terhadap suatu objek atau peristiwa/situasi tidak sertamerta membentuk perilaku tertentu yang sesuai.  Ajzen (dalam Fogarty and Shaw, 2003), mengungkapkan bahwa sikap seringkali gagal menampilkan korelasi yang kuat dengan perilaku karena banyaknya faktor yang secara potensial menghalangi berubahnya sikap menjadi perilaku.   Untuk itu, Ajzen melalui Theory of Planned Behavior (TPB) mengenalkan konsep intensi (intention) sebagai penghubung antara sikap dan perilaku.   Disini, sikap dapat digunakan untuk memprediksi intensi individu yang selanjutnya akan menampilkan perilaku aktual.   Menggabungkan intensi sebagai variabel mediasi akan memperkuat hubungan antara sikap dan perilaku dalam aplikasi TPB di berbagai variasi seting situasi (Conner, Warren, Close, & Sparks, 1999 ; Furnham & Lovett, 2001, dalam Fogarty and Shaw, 2003).  
Norma subjektif seperti yang dikenalkan oleh Ajzen sebagai salah satu variabel prediksi intensi merupakan konsep yang cukup kompleks.  Norma subjektif berhubungan dengan keyakinan (beliefs) dan perilaku orang yang dapat mempengaruhi pandangan individu.  Misalnya, bila seorang pekerja tidak mempercayai bahwa manajemen atau rekan-rekan kerjanya memperhatikan keselamatan kerja, maka mereka akan mempunyai anggapan bahwa keselamatan itu tidak penting.    Selain konsep norma subjek, Ajzen juga mengenalkan variebal prediktor ketiga yang ia sebut kontrol perilaku yang diamati (perceived behavioral control).  Variabel ini juga dapat langsung berhubungan dengan perilaku tidak aman.   Menurut Ajzen, perceived behavioral control memperkuat hubungan antara intensi dengan perilaku. 
Dalam aplikasi yang lebih luas, TPB dapat dimanfaatkan untuk studi tentang iklim keselamatan dengan meneliti variabel di level individual, kelompok, dan organisasional.   Sikap individu terhadap keselamatan sering digunakan sebagai variabel iklim keselamatan (Fogarty and Shaw, 2003).   Studi tentang iklim keselamatan mengamati pengaruh norma subjektif.  Individu dalam organisasi dilihat sebagai anggota suatu kelompok kerja.  Norma yang dikembangkan oleh kelompok kerja cenderung mempengaruhi perilaku pekerja yang merasa sebagai anggota atau bagian dari kelompok.  Dalam level kelompok, beberapa penelitian dalam studi iklim keselamatan menunjukan cukup besarnya peran norma kelompok dalam perilaku keselamatan.  Dapatlah dikatakan bahwa perceived behavioral control merupakan tekanan di tempat kerja (workplace pressure) yang mencegah pekerja melanggar dan untuk mengikuti prosedur.  Dari sudut pandang ini, perceived behavioral control dapat diasosiasikan sebagai intensi untuk melanggar prosedur, sehingga mengapa variabel ini dapat dijadikan prediktor perilaku pelanggaran. 

Gambar 1:         Model Teoritik Keselamatan, Sikap terhadap Pelanggaran, Norma Kelompok tentang Keselamatan, Tekanan di Tempat Kerja, Intensi untuk Melanggar, dengan Perilaku Pelanggaran

Dalam studi iklim keselamatan terdapat satu variabel yang juga penting, yaitu; sikap manajemen terhadap keselamatan.  Menurut Zohar (1980), melalui studi iklim keselamatan, dilaporkan bahwa persepsi karyawan mengenai sikap manajernya terhadap keselamatan merupakan prediktor yang sangat penting.  Dalam studi iklim keselamatan, sikap manajemen terhadap keselamatan mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap perilaku melanggar melalui sikap individu, norma subjektif, perceived control.   Hubungan antar variabel dapat dilihat pada gambar 1.

Manfaat Kajian sebagai Kesimpulan

Terdapat beberapa manfaat yang dapat diperoleh dengan dijelaskannya model hubungan budaya keselamatan dan perilaku tidak aman penerbang.  Pertama, diperoleh gambaran yang utuh mengenai komponen-komponen yang membangun budaya keselamatan.  Kedua, sejauhmana budaya keselamatan melalui faktor-faktornya berpengaruh terhadap perilaku tidak aman penerbang.  Ketiga, dengan dapat dijelaskannya mengenai hubungan antar faktor-faktor di dalam budaya keselamatan dengan perilaku tidak aman penerbang, maka dapat dikembangkan strategi intervensi yang efektif terhadap faktor-faktor budaya keselamatan yang dapat mempengaruhi perilaku keselamatan dan/atau mencegah timbulnya perilaku tidak aman.

KEPUSTAKAAN

Ajzen, I., (1988).  Attitudes, Personality, and Behaviour.  Milton Keynes:  Open University.

Cooper, M.D., (2000).  Towards a Model of Safety Culture.  Safety Science. Vol 36(2), Nov 2002, pp. 111-136.

Falconer, B.T., (2006). Attitudes to Safety and Organisational Culture In Australian Military Aviation. A Thesis Submitted in Fulfilment of The Requirements for The Degree of Doctor of Philosophy. New South Wales: University of New South Wales, Departement of Aviation.

Fogarty, G.J., Saunders, R., and Coolyer, R., (2001).  The Role of Individual and Organizational Factors in aviation maintenance.  Paper presented at the Eleventh International Symposium on Aviation Psychology, Colombus Ohio.

Fogarty, G.J., and Neal, T., (2002).  Explaining Safety violations and errors in the Construction Industry.  XXV International Congress of Applied Psychology, Singapore, July 7-12.

Fogarty, G.J., and Shaw, A., (2003).  Safety Climate and the Theory of Planned Behaviour: Towards the Prediction of Unsafe Behaviour.  In 5th Australian Industrial and Organizational Psychology Conference, 26-29 June 2003, Melbourne, Australia. (Unpublished).

Gadd, S., Collins, A.M., (2002).  Safety Culture: A Review of The Literature.  Broad Lane, Shefield: Health & Safety Laboratory.

Grote, G., (2007).  Understanding and Assessing Safety Culture Through The Lens of Organizational Management of Uncertainty. Safety Science. Vol 45(6), Jul 2007, pp.637-652.

Helmreich, R.L., (1999).  Building Safety in The Three Cultures of Aviation.  In The Proceeding of The IATA Human Factors Seminar (pp. 39-43). Bangkok, Thailand.

Hofstede, G., (1983). Dimensions of National Cultures in Fifty Caountries and three Regions. In, Deregowski, J.B., Dziurawiec, S., and Annies, R.C. (Ed’s), Expiscations in Cross-cultural Psychology. Lisse, Netherlands: Swets & Zeitlinger.

Hofstede, G., (2001). Culture’s Consequences, 2’nd Edition: Comparing Values, Behaviours, Institutions, and Organizations across Nations. Sage Publications, England.

Hopkins, A., (2006).  Studying Organisational Culture and Their Effects on Safety. National Research Centre for OHS Regulation ANU. 

Hudson, P., (2001).  Aviation Safety Culture. Leiden University: Centre for Safety Science.  

Infortunio, F.A., (2006).  An Exploration of The Correlations Between Fatal Accident Rates Across Nations and The Cultural Dimensions of Power Distance, Uncertainty, Individuality, and Masculinity.  Dissertation Abstracts International Section A: Humanities and Social Sciences Vol 67(5-A), pp. 1809.

Li, Wen-Chin, Harris, D., and Chen, A., (2007).  Eastern Minds in Western Cockpits: Meta-anlaysis of Human Factors in Mishaps From Three Nations.  Aviation, Space, and Environmental Medicine, Vol 78(4, Sect 1), Apr 2007, pp. 420-425.

Li, Wen-Chin, Harris, D., and Yu, Chung-San, (2008).  Routes to Failure: Analysis of 41 Civil Aviation Accidents From The Republic of China Using The Human Factors Analysis and Classification System.  Accident Analysis and Prevention. Vol 40(2), Mar 2008, pp. 426-434.
Mjos, K., (2004).  Basic Cultural Elements Affecting the Team Function On the Flight Deck.  The International Journal of Aviation Pasychology. Vol 14(2), April 2004, pp. 151-169.

Orasanu, J.M., (1992).  Shared Problem Models and Flight Crew Performance. Dalam, Johnston, N., McDonald, N., dan, Fuller, R. (Eds). Aviation Psychology in Practice.  Vermont : Ashgate Publishing Company.

Patankar, M.S., (2003).  Study of Safety Culture at an Aviation Organization.  International Journal of Applied Studies. Vol 3(2), 2003, pp. 243-255.

Shappell, S.A., and Wiegmann, D.A., (2004).   Department of Defense Human Factors Analysis and Classification System:  A Mishap Investigation and Data Analysis Tool (DoD HFACS).  Washington, DC.: DoD.

Soeters, J.L., and Boer, P.C., (2000).  Culture and Flight Safety in Military Aviation. The International Journal of Aviation Psychology. Vol 10(2), pp. 111-133. Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Taylor, J.C., Thomas, R.L., (2003).  Toward Measuring Safety Culture in Aviation Maintenance: The Structure of Trust and Professionalism. The International Journal of Aviation Psychology, Vol 13(4), Oct. 2003, pp. 321-343. 

Thaden, T.L., Kessel, J., and Ruengvisesh, D., (2008).  Measuring Indicators of Safety Culture in a Major European Airline’s Flight Operations Departement.  The Proceeding of the 8th International Symposium of the Australian Aviation Psychology Association. Novotel Brighton Beach, Sydney, 8-11 April.

Wiegman, D.A., Zhang, H., Thaden, T.L., Sharma, G., and Gibbons, A.M., (2004).  Safety Culture: An Integrative Review.  The International Journal of Aviation Psychology, 14(2), 117-134.  Illinois:  Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Wiegman, D.A., Zhang, H., Thaden, T.L., Sharma, G., and Mitchell, A.A., (2002).  A Synthesis of Safety Culture and Safety Climate Research.  Tchnical Report ARL-02-3/FAA-02-2.  Prepared for Federal Aviation Administration Atlantic City International Airport, NJ.  Illinois: University of Illinois.

You, X., Li, Y., Shi, X., and Jin., L., (2005).  A Factors Analysis of The Evaluation Method of Safety Culture In Airline Flight. Psychological Science (China), pp. 837-840.