Jumat, 09 Desember 2022

Isu Kesehatan Mental di Penerbangan

Widura Imam Mustopo

 Pendahuluan

Beberapa kasus kecelakaan penerbangan membangkitkan kembali perhatian pada isu-isu Kesehatan mental di lingkungan awak pesawat, terutama pilot. Besarnya masalah atau gangguan kesehatan jiwa dalam penerbangan tidak diketahui secara jelas. Namun secara teoritis, kesehatan mental dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik pribadi ataupun pekerjaan. Terkait dengan gangguan mental, publikasi ICAO menyebutkan mayoritas gangguan mencakup depresi, kecemasan (anxiety), dan ketergantungan obat & alkohol (Jordaan, 2016).  Sumber lain mengungkapkan masalah psikologis yang umum pada pilot, antara lain menyangkut gangguan penyesuaian, gangguan mood, kecemasan dan stres kerja, masalah relasi sosial, disfungsi seksual, dan masalah alkohol (Bor et al., 2017). 

Dalam tulisan berikut ini akan diulas mengenai kesehatan mental dan gangguan mental umum atau common mental disorders (CMD) di lingkungan awak pesawat. Akan diuraikan latar belakang munculnya perhatian lebih besar terhadap isu kesehatan mental di lingkungan penerbangan, bagaimana para pemangku kepentingan baik dari kalangan kesehatan dan psikologi penerbangan, asosiasi pilot, operator, dan regulator dalam merespon permasalahan kesehatan mental dan upaya menanganinya serta mendapatkan solusi. Tulisan juga menyinggung isu-isu apa saja yang muncul terkait permasalahan Kesehatan mental di penerbangan, dan apa saja Langkah pertimbangan ICAO (International Civil aviation Organization) dalam merespon masalah Kesehatan mental di lingkungan penerbangan.

 

Latar Belakang

Beberapa kasus kecelakaan penerbangan yang berhubungan dengan isu-isu kesehatan mental awak pesawat telah menarik perhatian dan menjadi latar belakang tulisan ini, antara lain;

 

JetBlue Flight 191. 27 Maret 2012, JetBlue Flight 191, terbang dari Bandara John F. Kennedy, New York menuju Las Vegas.  Saat itu penerbangan dialihkan ke Amarillo menyusul komentar dan ancaman yang mengganggu dilakukan oleh Captain pesawat. Menyadari perilaku aneh Captain, maka First officer mengunci cockpit dari dalam. Di dalam kabin, Captain diamankan oleh penumpang. Pilot JetBlue lainnya yang tidak bertugas, membantu First officer dalam mengalihkan pesawat ke Amarillo dengan lancar (Fernandez, 2012). Laporan awal dari maskapai menungkapkan bahwa pilot mengalami serangan panik (panic attack) (Donaldson, 2012).

 

Malaysia Flight 370. 8 Maret 2014, Malaysia Flight 370, dalam penerbangan dari Kuala Lumpur ke Beijing, menghilang di atas Samudera Hindia.  Pada kejadian ini 12 awak pesawat dan 227 penumpang menjadi korban (ATSB, dalam DeHoff & Cusick, 2018). Pencarian pesawat terhambat karena sistem pelaporan otomatis pesawat dinonaktifkan. Tidak ada informasi apapun yang terdengar dari pesawat dalam 38 menit sebelum kejadian. Penemuan sejumlah kecil puing pesawat, mengarahkan investigator mencurigai bahwa pesawat itu tidak dikonfigurasi untuk pendaratan di air atau ditching saat menyentuh laut (ATSB, 2017).  Selain itu, pesawat juga tidak dikonfigurasi untuk mendukung kelangsungan hidup awak dan penumpang.  Investigator menyimpulkan bahwa seseorang mengendalikan pesawat di akhir penerbangannya. Informasi yang diambil dari komputer pribadi Captain mengungkap bahwa beberapa waktu sebelumnya Captain telah membuat simulasi "penerbangan" di Boeing 777-200LR, termasuk mengemudikan pesawat ke daerah-daerah terpencil di Samudera Hindia. Pengungkapan konfigurasi pesawat dan simulasi penerbangan yang dibuat Captain di komputer pribadinya mengarahkan dugaan investigator bahwa kecelakaan itu sebagai kasus bunuh diri yang dilakukan oleh Captain pesawat. Walaupun, Biro Keselamatan Transportasi Australia pada akhirnya menyimpulkan bahwa penyebab kecelakaan tidak dapat ditentukan dengan pasti mengingat puing-puing utama belum ditemukan (ATSB, dalam DeHoff & Cusick, 2018).

 

Germanwings Flight 9525. 24 Maret 2015, Germanwings Flight 9525, terbang dari Barcelona ke Düsseldorf.  Tak lama setelah mencapai ketinggian jelajah Captain pilot keluar dari kokpit, dan First officer mengunci pintu kokpit dari dalam.  Sendirian di kokpit, First officer mengendalikan pesawat hingga pesawat menabrak lereng gunung dengan kecepatan 350 knot (BEA, 2016).  Kecelakaan terjadi di Pegunungan Alpen dan menewaskan seluruh 150 penumpang serta awak pesawat.  Investigasi mengungkapkan beberapa peristiwa sebelum kecelakaan itu terjadi.  Dari Riwayat kerja, First officer terbang untuk Germanwings kurang dari satu tahun sebelum kecelakaan.  Dilaporkan ia memiliki masalah kesehatan mental sejak 2009.  Sejak 2009, sertifikat medisnya, yang diperbarui setiap tahun, termasuk waiver untuk episode gejala depresi berat non-psikotik terjadi pada tahun tersebut.  Waiver tersebut menyatakan bahwa jika episode gejala depresi terulang kembali, maka sertifikat medis First officer tidak berlaku. Pada bulan Desember, kira-kira empat bulan sebelum kecelakaan itu, First officer mengalami kembali gejala depresi.  Ketika itu, dia berobat ke beberapa dokter dan diberi otorisasi dari dokter untuk mengambil cuti dari tugas penerbangannya. Namun otorisasi ini tidak diteruskan ke Germanwings, termasuk kepada pimpinan dan medical examiner bahwa ia mengalami depresi kembali (BEA, 2016). Dapat dikatakan bahwa kecelakaan ini mengejutkan dan mengaktifkan berbagai lembaga regulator penerbangan di dunia untuk lebih memahami implikasi kesehatan mental di penerbangan.

Telah banyak yang telah ditulis tentang insiden JetBlue, Malaysia, dan Germanwings. Dua kasus terakhir mendorong berbagai pemangku kepentingan termasuk badan regulator di seluruh dunia untuk mememperhatikan kembali kondisi kesehatan mental awak pesawat.

Gangguan Mental Umum (Common Mental Disorders) di Penerbangan

Besarnya masalah gangguan kesehatan mental dalam penerbangan tidak diketahui secara pasti, namun yang jelas kesehatan mental dipengaruhi oleh berbagai faktor pribadi dan pekerjaan. Problem kesehatan mental sebetulnya sudah mendapatkan perhatian sejak lama, permasalahan ini memang berbeda dengan isu Kesehatan Fisik.  Gangguan Mental Umum (Common Mental Disorders [CMD]) dapat terkait dengan depresi, kecemasan, dan ketergantungan obat dan alcohol (Jordaan, 2016).  Suatu penelitian untuk memperkirakan prevalensi kasus dugaan gangguan mental, utamanya CMD pada pilot penerbangan sipil Brasil telah dilakukan tahun 2009.  Secara khusus, penelitian ini ditujukan untuk menyelidiki hubungan antara CMD, demografi, dan variabel tenaga kerja.  

Penelitian ini menggunakan Job Content Questionnaire (JCQ) dan Self-Reporting Questionnaire (SRQ-20).  Studi cross-sectional kuantitatif dilakukan pada 807 pilot yang bekerja antara Oktober 2009 dan Oktober 2010.  Hasil penelitian tersebut melaporkan, prevalensi CMD secara keseluruhan adalah 6,7% kasus positif. 10,2% menunjukkan dugaan CMD muncul pada individu yang tidak berolahraga. 23,7% menunjukkan dugaan CMD di antara mereka yang bekerja dengan beban kerja yang berat. Kesimpulan hasil penelitian mengngkap hanya variabel yang berkaitan dengan beban kerja dan aktivitas (olahraga) fisik yang secara signifikan berkorelasi dengan estimasi CMD.

Dilaporkan bahwa olahraga secara teratur memberikan efek perlindungan terhadap kasus dugaan CMD, sementara prevalensi kasus dugaan CMD yang lebih tinggi terjadi di antara subjek dengan beban kerja yang berat. Hasil penelitian ini menunjukkan ada korelasi yang signifikan antara pekerjaan yang sangat menuntut (demanding) dan prevalensi CMD, dibandingkan dengan pilot dengan pekerjaan yang kurang menuntut. Prevalensi CMD yang diekspaktasi pada pilot dengan pekerjaan yang sangat menuntut, beban kerja berat, dan tidak berolahraga secara teratur adalah 39,7%, dibandingkan dengan subkelompok pilot dengan pekerjaan yang kurang menuntut, olah raga teratur, dan beban kerja ringan, yang menunjukkan prevalensi yang diekpaktasi sebesar 0,4%.

Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa kondisi kerja dapat dianggap sebagai faktor potensial yang berkontribusi terhadap CMD, dengan kemungkinan berdampak pada keselamatan penerbangan. Dimasukkannya topik kesehatan mental di antara target dan prioritas penerbangan sipil di Brasil sangat penting. Mengatasi masalah seperti olahraga rutin dan beban kerja dapat berkontribusi untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik antara keselamatan dan produktivitas penerbangan.

Penelitian lainnya berbentuk survei juga telah dilakukan pada tahun 2016 oleh para peneliti dari Harvard T. H. Chan School of Public Health.  Survei dilakukan terhadap 1837 pilot. Hasil penelitian mendukung bahwa masalah kesehatan mental di populasi pilot maskapai serupa dengan populasi AS pada umumnya. Wu dkk. (2016) menemukan bahwa lebih dari 12% pilot yang merespon survei memenuhi tingkat ambang batas depresi. Selain itu, lebih dari 13% dari responden yang melaporkan telah bekerja sebagai pilot dalam 30 hari sebelumnya memenuhi: kriteria yang sama. Lebih mengejutkan Wu dkk. juga menemukan lebih dari 4% peserta penelitian melaporkan memiliki pikiran untuk bunuh diri dalam dua minggu sebelumnya .

Sebuah review sistematis terhadap 20 studi yang meneliti depresi pada pilot maskapai penerbangan menemukan bahwa prevalensi gangguan depresi mayor yang dialami oleh pilot maskapai komersial berkisar antara 1,9% hingga 12,6% (Pasha & Stokes, 2018). Survei untuk mengidentifikasi tren serupa juga ditemukan di pekerjaan-pekerjaan dengan stres tinggi lainnya. Gejala yang terkait dengan gangguan depresi mayor dilaporkan menunjukan prevalensi 12% dan 13% pada personel militer AS yang dikerahkan untuk suatu operasi, 7% ditemukan pada teknisi medis darurat dan 17% pada petugas polisi (Wu dkk., 2016).

Penelitian Wu dkk. ini menyajikan kasus yang menarik bahwa tantangan kesehatan mental, khususnya depresi pada komunitas pilot selaras dengan populasi (di AS) pada umumnya. Ini mengungkap bahwa perhatian lebih besar perlu diarahkan pada diagnosis dan terapi yang efektif, sehingga tantangan kesehatan mental ini dapat ditangani dan tidak berpotensi membahayakan keselamatan penerbangan. Lebih lanjut Wu dkk. menyarankan agar pendekatan lebih diarahkan kepada upaya-upaya preventif terhadap kesehatan mental pilot daripada pada kebijakan seleksi, evaluasi, dan penyimpanan catatan.

Problem Kesehatan Mental dan Konsekuensinya

Ketika seseorang didiagnosa mengalami problem mental, umumnya muncul beberapa kemungkinan yang bisa terjadi, antara lain: Isu-isu terkait menurunnya kepercayaan diri dan menghargai diri sendiri (self-esteem), adanya keengganan mencari bantuan karena masalah kerahasiaan medis, berupaya mencari bantuan tetapi menolak ketika harus diterapi, memperoleh perawatan namun tidak mengungkapkan kondisi sebenarnya atau tidak menginformasikan pelaksanaan perawatannya kepada otoritas, rekan kerja ragu-ragu untuk melaporkan kekhawatiran mereka kepada atasan/manajemen/pihak otoritas, meningkatnya stres dan perasaan terisolasi, dan efek memburuk dari perkembangan gejala gangguan mental, serta meningkatnya risiko keselamatan penerbangan

Selain itu, ketika seorang pilot didiagnosa mengalami masalah mental, hal yang bisa terjadi, yaitu: yang bersangkutan mendapatkan stigma and diskriminasi dari lingkungan, ada biaya tambahan misalnya pemeriksaan dan perawatan untuk mendapatkan sertifikat medis, larangan terbang disebabkan status kesehatan mental, yang memberikan konsekuensi kehilangan pendapatan, dan takut kehilangan pekerjaan

Work-related Stress & Coping Strategies

Sejak kecelakaan Germanwings 9525 tahun 2015, masalah mengelola dan mendukung pilot dalam mengatasi problem kesehatan mental yang berkaitan dengan stres terkait pekerjaan (stres kerja) telah mendapatkan perhatian yang meningkat.  Banyak pihak pemangku kepentingan menganjurkan diterapkannya praktik perilaku sehat karena dipercaya dapat memperkuat daya tahan seseorang terhadap stres (Morimoto & Shimada, 2015).  Praktik-praktik tersebut antara lain strategi koping stres yang umum, olahraga secara rutin, menerapkan praktik teknik relaksasi, upaya mencari dukungan sosial dan/atau partisipasi sosial, manajemen tidur dan manajemen diet, tidak merokok dan alkohol.  Dan, satu hal lagi yang lebih bersifat psikologis adalah memperkuat efikasi diri.

Efikasi diri, adalah keyakinan seseorang bahwa ia mampu berhasil dalam menghadapi situasi tertentu. Menurut suatu penelitian, tingkat efikasi diri yang tinggi dapat membantu seseorang lebih efektif mengatasi stres kerja (Jordan et al., 2016). Memperkuat efikasi diri adalah kunci keberhasilan dalam intervensi yang dirancang untuk mengurangi gejala depresi (Blazer, 2002). 

 Tanggapan Terhadap Problem Kesehatan Mental di Penerbangan

Perhatian terhadap isu-isu kesehatan mental, terutama setelah kejadian Germanwing Flight 9525 juga menarik sejumlah organisasi dan regulator untuk memberikan tanggapan.  European Cockpit Association (ECA), European Association for Aviation Psychology (EAAP), dan European Society of Aerospace Medicine (ESAM), membuat pernyataan bersama untuk mempromosikan kesehatan mental dan membantu para pilot yang membutuhkan bantuan mengatasi masalah Kesehatan mental (ECA, 2015). Beberapa pernyataan mereka antara lain:

·    Kinerja pilot yang aman selama karir, sehat dan memuaskan harus menjadi tujuan bersama pilot profesional, spesialis aeromedis dan psikologi, manajemen maskapai penerbangan, dan pihak-pihak otoritas yang berwenang.

·     Kesehatan mental harus dilihat sebagai bagian integral dari kesehatan dan kesejahteraan para profesional secara keseluruhan.

·      Memberikan dukungan kuat untuk menyelenggarakan pilot Peer Support Programmes.

·  Melaksanakan evaluasi psikologis awal terhadap pilot pada tahap sebelum bekerja sesuai dengan standar yang diterima secara internasional.n standar yang diterima secara internasional.

      Pernyataan Bersama tersebut searah dengan rekomendasi The Aerospace Medical Association (AsMA) terkait Kesehatan mental di antara para pilot (EASA, 2015).  Rekomendasi tersebut antara lain:

·      Kesejahteraan mental dan tidak adanya gangguan mental sangat penting bagi kinerja dan tugas pilot yang aman serta keselamatan penerbangan.

·     Gangguan/penyakit mental yang serius seperti psikosis akut relatif sedikit, dan kemunculannya sulit diprediksi.

·    Perhatian harus lebih diberikan pada masalah dan kondisi kesehatan mental yang ringan dan lebih umum ketika pemeriksaan regular kondisi aeromedis pilot.

·   Harus digunakan metode yang tepat untuk membangun hubungan dan kepercayaan dengan pilot di lingkungan yang tidak mengancam.

 

  Secara umum, kalangan industri penerbangan dan komunitas pilot mengutamakan promosi pentingnya kesejahteraan positif (positive well being) dan praktik perilaku sehat bagi para profesional penerbangan.

ICAO CONSIDERATION-Mental Health Advocacy

Problem kesehatan mental pada kenyataannya memang membuat sementara pihak dilematis, karena di satu pihak merupakan permasalahan di mana yang mengalaminya kadang mendapatkan perlakuan tidak adil dan tidak jarang muncul dari persepsi yang subjektif, namun di pihak lain permasalahan kesehatan mental perlu diwaspadai dan diatasi agar tidak memberikan konsekuensi negative bagi kesejahteraan psikologis dan keselematan penerbangan.  Menghadapi kondisi ini, ICAO memberikan pertimbangan pentingnya advokasi atau perlindungan untuk mengantisipasi mereka yang potensial mengalami permasalahan kesehatan mental. Beberapa pertimbangan tersebut antara lain, mengembangkan advokasi untuk mempromosikan hak asasi orang dengan gangguan mental dan untuk mengurangi stigma serta diskriminasi, advokasi ini mencakup tindakan yang bertujuan untuk mengubah hambatan struktural dan sikap agar tercapai hasil kesehatan mental yang positif, dan menitik beratkan kebutuhan dan hak orang dengan gangguan jiwa ringan dan kebutuhan kesehatan jiwa secara umum.

Pertimbangan-pertimbangan ini diwujudkan dalam tindakan kongkrit dengan meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya praktik perilaku sehat dan memelihara kesejahteraan psikologis ;  memberikan informasi, edukasi and pelatihan tentang penyebab dan mengatasi problem Kesehatan mental ; mengembangkan jaringan dukungan sosial untuk pertukaran informasi; dukungan emosional dan instrumental (misal, memberikan fasilitas pertemuan dan kontak dengan kelompok lain) ; memberikan layanan Kesehatan mental (konseling dan dukungan profesional) bila diperlukan ; mempromosikan pembentukan aliansi pemangku kepentingan untuk advokasi kesehatan mental ; dan, melaksanakan evaluasi dan kajian mengenai pelaksanaan advokasi.

Penutup


Sebagai penutup tulisan ini, dapat dirangkum beberapa hal untuk menjadi perhatian, antara lain: Kesehatan mental dipengaruhi oleh berbagai faktor pribadi dan pekerjaan ; Industri dan kelompok pilot penting untuk mempromosikan kesejahteraan positif dan praktik perilaku sehat ; CMD di penerbangan lebih banyak dialami oleh para pilot yang menghadapi dengan beban berat dan menuntut serta kurang berolahraga ; Mendapatkan label memiliki problem kesehatan mental di penerbangan dapat menimbulkan konsekuensi negatif ; dan, Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut ICAO lebih mempertimbangkan pentingnya kebutuhan advokasi para pilot terhadap kemungkinan mengalami permasalahan kesehatan mental termasuk konsekuensinya.

 

DAFTAR KEPUSTAKAAN

 

Bureau d’Enquêtes et d’Analyse (BEA). (2016). Final Report Accident on 24 March 2015 at Prads-Haute-Bléone (Alpes-de-Haute-Provence, France) to the Airbus A320-211 registered D-AIPX operated by Germanwings

 

Cahill J., Cullen, P., Anwer, S., Wilson, S. & Gaynor, K. (2021): Pilot Work Related Stress (WRS), Effects on Wellbeing and Mental Health, and Coping Methods, The International Journal of Aerospace Psychology, DOI: 10.1080/24721840.2020.1858714.

 

Chong, C.H. (2016). DME Training – Mental Health in Civil Aviation. CAMB – CAAS. Atlantic City, 27 April 2016.

 

Collins, P.Y. (2020). What is global mental health? Department of Psychiatry and Behavioral Sciences and Department of Global Health, University of Washington : Seattle, WA, USA.

 

DeHoff, M. C., & Cusick, S. K. (2018). Mental Health in Commercial Aviation - Depression & Anxiety of Pilots. International Journal of Aviation, Aeronautics, and Aerospace, 5(5). Retrieved from https://commons.erau.edu/ijaaa/vol5/iss5/5.

 

ESAM, ECA, EAAP. (2015). Aeromedical, Aviation Psychological & Pilot Associations Join Forces to facilitate Pilot Medical Fitness 30/11/2015. www.esam.aero ; www.eurocockpit.be ; www.eaap.net

 

Feijó, D., Luiz, R.R., & Camara, V.M. (2012). Common mental disorders among civil aviation pilots. Aviat Space Environ Med. 2012 May ; 83(5):509-13. DOI: 10.3357/asem.3185.2012.

 

Jordaan, A. (2016). Strengthening mental health in Civil Aviation. Aviation Medicine Section, ICAO. Atlantic City: ICAO

 

Scarpa, P.J. (2016). AsMA Pilot Mental Health Working Group Recommendations –Revised 2015. Atlantic City: Aerospace Medical Association.

 

Wu, A. C., Donnelly-McLay, D., Weisskopf, M. G., McNeely, E., Betancourt, T. S., & Allen, J. G. (2016). Airline pilot mental health and suicidal thoughts: a cross-sectional description study via anonymous web-based survey. Environmental Health, 15:121. DOI: 10.1186/s12940-016-0200-6

 

 

 

 


Minggu, 17 April 2022