Minggu, 12 Juli 2020

Aspek Psikologi Dalam Pelatihan Penerbangan


Widura Imam Mustopo

            Pelatihan merupakan istilah yang pengertiannya cukup luas, namun secara sederhana pelatihan dapat diartikan sebagai proses sistematis untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang mengarah pada perilaku terampil.  Dalam proses pelatihan tercakup sejumlah kegiatan yang dapat dilakukan dalam berbagai kategori, termasuk juga dalam pelatihan penerbangan. Secara umum pelatihan dapat dikategorikan menurut waktu atau kapan pelatihan itu dilakukan, misalnya, pelatihan mula atau pelatihan dasar (primary atau basic training) yang diperlukan untuk menanamkan sejumlah keterampilan baru, berbeda dengan pelatihan penyegaran (refreshing atau recurrent training) yang diperlukan untuk mempertahankan keterampilan. Itu juga dapat dikategorikan menurut di mana pelatihan itu terjadi, misalnya, apakah itu terjadi di ruang kelas, di simulator, atau di dalam pesawat udara. Pelatihan juga dapat dikategorikan menurut kontennya, misalnya, apakah pelatihan itu berkaitan dengan masalah belajar dan berlatih keterampilan teknis penerbangan semata, atau berhubungan dengan masalah non-teknis, seperti koordinasi antar kru, pengambilan keputusan, kepemimpinan dan lainnya.
            Terlepas dari bagaimana mengkategorikan pelatihan, namun tujuan dari kegiatan pelatihan secara umum, adalah mengembangkan seperangkat pengetahuan dan keterampilan peserta pelatihan, ke tingkat kompetensi tertentu.  Keterampilan itu sendiri adalah suatu keahlian atau prestasi dalam bidang apa pun; khususnya, pola perilaku yang kompleks dan terorganisir yang diperoleh melalui pelatihan dan praktik, termasuk keterampilan kognitif, persepsi, motorik, dan sosial.
            Mengingat luas dan beragamnya kategori pelatihan penerbangan, maka tulisan ini difokuskan pada pelatihan mula ketika ab-initio menjadi pilot yang memiliki keterampilan dasar untuk menerbangkan pesawat udara dari lepas landas sampai mendaratkan kembali.  Terdapat beberapa aspek psikologi yang menjadi perhatian, yaitu; proses pembelajaran, tahap belajar keterampilan, dan isu-isu psikologi yang kerap penting untuk diulas karena cukup mempengaruhi kelancaran proses belajar seorang siswa pilot.  Isu-isu tersebut antara lain; masalah motivasi, kecemasan, sikap, dan relasi sosial termasuk relasi instruktur-siswa.

Proses Belajar dan Keterampilan Pilot
            Aspek psikologi dalam pelatihan tingkat mula bagi pilot, diawali sejak dari perencanaan pelatihan, aktivitas teknis dalam pelatihan pilot sampai dengan evaluasi hasil pelatihan termasuk proses pelatihannya.   Aplikasi ilmu psikologi dapat diamati melalui pemanfaatan konsep-konsep psikologi belajar, metode dan teknik instruksi, model simulasi termasuk teknik evaluasi dan re-evaluasi hasil belajar. Dan, tidak kalah pentingnya adalah pemantauan motivasi dan faktor psikologi lainnya yang berpengaruh terhadap keberhasilan seorang siswa pilot dalam memperoleh dan mengembangkan keterampilannya.
            Pola pelatihan calon pilot dapat dikatakan terstruktur secara ketat, sistematis dan berkelanjutan. Pola pelatihan tersebut diyakini dapat mengembangkan perilaku terampil para siswa pilot.  Proses dan metode yang digunakan untuk mencapai tujuan pelatihan dalam proses pembelajaran telah lama diteliti, setidaknya sejak akhir abad ke-19 oleh Ebbinghaus (dalam Tsang & Vidullich, 2003). Penelitian-penelitiannya banyak diarahkan untuk memahami kondisi yang mempengaruhi pembelajaran manusia.  Ebbinghaus menyelidiki dua isu utama yang diasosiasikan dengan pelatihan, yaitu; belajar dan lupa. Kurva pembelajaran (Gambar 1.1) menunjukkan seberapa banyak pelatihan ulang yang dibutuhkan untuk mencapai performance yang sempurna. Bila diamati,

 Gambar 1.1  Kurva Belajar

         Percobaan Belajar

ketika seseorang mulai mempelajari suatu materi belajar, sekitar 50% dari materi dipertahankan pada hari berikutnya.  Ketika mereka kembali menghafal untuk mengingat dengan sempurna keesokan harinya, sekitar 65% dari materi tersebut dapat diingat kembali, dan pada hari berikutnya 75% dapat disimpan. Peningkatan kurva yang paling tajam, yang mengindikasikan pembelajaran tercepat, terjadi setelah percobaan pertama dan kemudian secara bertahap berkurang, yang berarti bahwa lebih banyak informasi akan disimpan setelah setiap pengulangan belajar kembali. Kurva ini, seperti kurva lupa pada Gambar 1.2. Sementara kurva belajar menunjukkan seberapa cepat informasi diperoleh, kurva lupa menunjukkan seberapa cepat informasi hilang. Seperti dalam kurva pembelajaran, perubahan paling tajam (dalam hal ini, penurunan paling cepat) terjadi dalam beberapa menit pertama dan menurun secara signifikan setelah jam pertama, dan mendatar setelah sekitar 1 hari.

     Gambar 1.2  Kurva Lupa
                    Penurunan Ingatan saat Belajar

Kurva belajar dan lupa yang dijelaskan oleh Ebbinghaus dilakukan dengan cara menghafal materi verbal berupa suku kata yang tak berarti, yang dapat dianalogikan juga terjadi pada banyak aspek pelatihan penerbangan (misalnya, mempelajari nama-nama awan dalam meteorologi), mempelajari pola dari tugas motorik yang rumit. Untuk sebagian besar proses pembelajaran, kemajuan hasil belajar keterampilan biasanya mengikuti kurva berbentuk S. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.3, awalnya kemajuannya lambat, dan kemudian peserta didik mengalami kenaikan yang cepat pada grafik.

          Gambar 1.3  Kurva Belajar Keterampilan Motorik
 
Percobaan Pelatihan
                  Tahap Kognitif      Tahap Asosatif       Tahap Otonom


Untuk beberapa tugas yang sangat kompleks, kemajuan dapat dicirikan sebagai serangkaian perubahan kinerja berbentuk S ini. Fitts dan Posner (1967) menemukan bahwa peningkatan bertahap dengan latihan terjadi di hampir semua keterampilan motorik. Meskipun laju peningkatan bisa melambat, umumnya tidak pernah ada grafik mendatar yang tinggi secara tetap di mana tidak ada peningkatan performance. Bagi pilot, ini berarti bahwa meskipun mereka mungkin berpikir tidak ada kemajuan dalam belajar beberapa keterampilan baru (misalnya, approach landing dengan ILS), sebenarnya mereka tidak dapat menilai secara akurat bahwa keterampilan mereka sendiri sebenarnya mengalami peningkatan walau tidak besar. Pada awalnya pembelajaran berlangsung lambat karena orang belum menjadi terbiasa dengan komponen dasar dari suatu keterampilan, kemudian hasil belajar dengan cepat meningkat ketika komponen yang mendasar dari suatu keterampilan sudah menjadi otomatis (sudah terbiasa). Dalam contoh pelatihan ILS approach, selama tahap awal pembelajaran, siswa pilot harus secara aktif berpikir tentang cara mengontrol pesawat untuk menyelaraskan glide-slope dan indikator localizer. Kemudian pada saat aktivitas ini dilakukan berulangkali maka tindakan akan menjadi lebih otomatis, dan pilot dapat mencurahkan lebih banyak perhatian dan upaya untuk menyempurnakan approach dengan mengarahkan indikator untuk menghindari overshooting (mengejar jarum) selama approach.

Dalam proses pembelajaran keterampilan motorik tersebut, terlibat tiga tahap yang berbeda (Fitts dan Posner, 1967 ; Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978), yaitu: 1) tahap kognitif ; 2) tahap asosiatif ; dan 3) tahap otonom.

Tahap kognitif. Pembelajar pemula fokus untuk memperoleh pemahaman dan pemecahan masalah yang berorientasi pada aspek kognitif. Dalam tahap ini pilot belajar untuk memahami semua tugas yang harus dilakukan.  Ia tidak hanya belajar tentang materi yang berhubungan dengan aspek-aspek teori, tapi juga belajar mengenai semua tindakan motorik yang efisien, efektif, dan akurat.  

Tahap asosiatif.  Di sini calon pilot dituntut dapat mempraktekan tugas-tugas yang diperoleh melalui tahap kognitif secara runtut melalui latihan yang terkontrol agar mampu mengembangkan performance secara optimal. Calon pilot juga belajar mengaitkan isyarat dari lingkungan dengan tindakan sesuai prosedur standar, dan terus berlatih untuk memperbaiki performance agar lebih konsisten.

Tahap otonom atau otomatisasi. Calon pilot berlatih lebih intensif untuk mengalihkan kontrol kognitif ke gerakan otonom yang bersifat otomatis. Ia mampu mengaplikasikan keterampilannya secara efisien dan efektif. di mana performance keterampilan dilakukan secara otomatis.

Pada tahap pertama, ketika pilot mulai memperoleh keterampilan baru, seperti melakukan ILS approach, mereka dihadapkan dengan beberapa masalah yang mengarah pada aspek kognitif yang sangat spesifik. Seperti, apa tugas dasarnya? Bagaimana pilot tahu kapan harus memulai descent (turun)? Berapa rate of descent nya (dan mengatur power terkait) yang akan membuat pilot tetap dapat menyelaraskan dengan glide slope? Seberapa besar diperlukan koreksi ketika jarum localizer berada pada tiga titik di kedua sisi? Masing-masing dari pertanyaan ini menunjukkan tingkat pentingnya faktor kognitif dasar saat pilot beroperasi, Tahap ini ditandai dengan kemungkinan sejumlah besar kesalahan dalam performance. Sebagai contoh, pilot untuk melakukan koreksi mungkin berbelok ke arah yang salah (menjauh dari jarum localizer). Pilot mungkin tahu bahwa dia melakukan sesuatu yang salah, tetapi belum tahu secara tetap bagaimana hal itu harus dilakukan secara berbeda. Oleh karena itu, dibutuhkan umpan balik yang spesifik yang dapat membantu memperbaiki kesalahan.
Selama tahap kedua, tahap asosiatif merupakan perubahan pembelajaran keterampilan dari aktivitas kognitif di tahap pertama.  Di tahap asosiatif pembelajar telah memperoleh banyak pengetahuan dasar keterampilan sampai batas tertentu, dan tidak lagi harus mencurahkan banyak upaya kognitif untuk memahami persyaratan dasar pelaksanaan tugas. Mereka sekarang berkonsentrasi untuk memperbaiki keterampilan mereka dan mengembangkan kemampuan untuk mengenali beberapa kesalahan mereka sendiri. Sekarang mereka tahu apa salah, dan umumnya tahu apa yang seharusnya mereka lakukan. Sebagai contoh, mereka mungkin overshoot saat localizer, tetapi mereka tahu bahwa mereka melakukannya itu karena mereka terlalu terpaku untuk mengoreksi tingkat descent atau sambil melakukan panggilan radio. Mereka mulai menjadi lebih proaktif dan dapat mengantisipasi kebutuhan untuk bertindak, dan variabilitas performance mereka mulai berkurang. Kesalahan masih terjadi, tetapi lebih jarang terjadi dan tidak terlalu parah.
Pada tahap ketiga., setelah melaksanakan banyak latihan, pembelajar melanjutkan ke tahap akhir pembelajaran, yaitu tahap otonom. Pada tahap ini, keterampilan telah menjadi hampir otomatis, upaya kognitif menjadi lebih sedikit. Keterampilan motorik dasar telah dikuasai, dan pembelajar dapat mencurahkan upaya kognitif untuk membuat penyesuaian (misalnya, mungkin membagi perhatian untuk mempertimbangkan angin yang sangat kuat selama ILS approach), atau bekerja secara simultan untuk kegiatan lain (misalnya sambil menangani masalah mesin). Variasi kecil dalam performance masih mungkin terjadi namun secara keseluruhan umumnya sudah mendekati batas atas persyaratan atau tuntutan standar performance yang harus dicapai.
Berbeda dengan pengetahuan deklaratif seperti suku kata bermakna yang digunakan oleh Ebbinghaus, keterampilan motorik sangat lambat rusak atau hilangnya, biasanya akan diingat selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Schendel, Shields, dan Katz (1978) mempelajari retensi keterampilan motorik dan menemukan bahwa;
Satu-satunya penentu paling penting dari retensi adalah tingkat pembelajaran.  Tugas prosedural akan dilupakan dalam beberapa hari, minggu, atau bulan, sedangkan tugas kontrol biasanya diingat selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun.  Retensi keterampilan motorik tergantung pada rentang lamanya periode tanpa praktik/latihan, jenis tugas, dan kegiatan praktik lain yang mengganggu.  Retensi dapat ditingkatkan dengan overtraining — yaitu, pelatihan dengan target tingkat di atas tingkat kecakapan minimum yang disyaratkan.
Bentuk keseluruhan kurva yang menggambarkan retensi keterampilan motorik (lihat Gambar 1.4) mirip dengan kurva untuk pengetahuan deklaratif. Namun, untuk keterampilan motorik, sebagian besar hilangnya kemampuan terjadi segera setelah latihan berhenti, dan kemudian dengan cepat turun agar tetap stabil untuk periode yang cukup lama, tergantung pada faktor-faktor yang tercantum sebelumnya.

                           Gambar 1.4  Retensi Keterampilan Motorik
                                 
Waktu berjalan

.
Tentang aspek-aspek keterampilan itu sendiri, secara lebih spesifik dapat dikelompokan menjadi tiga kategori, yaitu:

1.         Perseptual motorik yang melibatkan beberapa keterampilan yang lebih spesifik, yakni:

Keterampilan fisik yaitu keterampilan yang berhubungan dengan kelenturan jasmani, kesiagaan fisik, dsb.  Pada keterampilan ini, dapat dikatakan faktor psikologis kecil pengaruhnya.  

Keterampilan manipulatif yang berkaitan dengan efisiensi dan efektivitas gerakan kontrol yang berguna untuk mengendalikan berbagai instrumen pengendali sistem.  Keterampilan ini cukup peka dipengaruhi faktor  psikologis pilot.

Keterampilan menangkap & memproses informasi.  Keterampilan ini berhubungan erat dengan kemampuan seseorang menangkap informasi penting, daya timbang (judgement) serta pengambilan keputusan (decision making).  Faktor psikologis cukup besar pengaruhnya pada pengembangan keterampilan ini. Kegagalan dalam mewujudkan aspek keterampilan ini dapat berakibat fatal.  Hasil analisis FAA (Federal Aviation Administration) menunjukan bahwa kesalahan pilot dalam membuat judgement dan keputusan menyumbang tak kurang dari 50% terjadinya kecelakaan pesawat udara yang fatal. 

2.         Keterampilan bahasa.  Keterampilan ini erat kaitannya dengan kemampuan verbal yang penting untuk berkomunikasi, berpikir dan memecahkan masalah (Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978).  Keterampilan bahasa menjadi perhatian penting, khususnya di negara-negara di mana bahasa Inggris bukan “bahasa ibu” para pilot, mengingat bahasa penerbangan yang  tertera di software maupun yang digunakan dalam kegiatan operasional penerbangan secara universal menggunakan bahasa Inggris.  Di dunia penerbangan, keterampilan bahasa menjadi penting karena kesalahan menyampaikan pesan maupun interpretasi dapat berakibat fatal.  Ada tiga fungsi bahasa di bidang ini, antara lain; membagi informasi, mengarahkan tindakan, dan merefleksikan pikiran.  Ketiga fungsi ini sangat penting terutama ketika keterampilan bahasa dibutuhkan untuk mendukung pemecahan masalah (Orasanu, 1994).

3.         Keterampilan sosial. Keterampilan ini berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk menjalin kerjasama dan koordinasi.   Suatu keterampilan yang relevan dengan aktivitas individu untuk membangun relasi antarpribadi, saling percaya, bertukar informasi dan sikap, dsb.  Tujuan utama dari interaksi sosial adalah koordinasi.  Penelitian menunjukan bahwa meningkatnya situasi abnormal atau emergency akan menambah pentingnya koordinasi di antara crew (Orasanu, 1994).   Koordinasi ini tidak hanya berlaku pada pesawat berawak lebih dari satu, melainkan juga bagi pesawat udara berawak tunggal seperti halnya di pesawat jet tempur.  
           
            Keterampilan-keterampilan yang telah diuraikan di atas tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri.  Dalam aplikasinya, keterampilan tersebut saling terkait erat dan saling mendukung bahkan juga dapat saling menghambat.  Oleh karenanya diperlukan pelatihan yang sistematik dan berkelanjutan serta pengalaman yang cukup untuk mewujudkan aspek-aspek keterampilan tersebut secara utuh, efisien dan efektif.  Tahap-tahap pelatihan tersebut penting untuk diikuti sebagai proses yang berkelanjutan dalam rangka membentuk perilaku terampil. Pada dasarnya proses belajar untuk mendapatkan perilaku terampil mengikuti prinsip keurutan (sequential) dan secara psikologis tidak ada perilaku terampil yang muncul sendiri-sendiri (Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978). 
Mempelajari suatu keterampilan merupakan rangkaian aktivitas yang berlangsung berurutan dan saling tergantung satu sama lain, demikian pula dengan proses pelatihannya. Menerbangkan pesawat udara menuntut penguasaan keterampilan tertentu, dan keterampilan tersebut bukan sesuatu yang dibawa sejak lahir, melainkan melalui belajar secara bertahap dan dikuasai melalui latihan yang tak jarang memerlukan waktu relatif lama. Seorang calon pilot tidak hanya dituntut untuk mempelajari berbagai aspek keterampilan pilot melainkan juga harus mampu menguasai prosedur untuk mendapatkan ketepatan tindakan layaknya manusia sebagai instrumen mesin/pesawat.

Isu-isu Psikologis dalam Pelatihan Penerbangan
Pelatihan pilot dapat merupakan suatu situasi yang unik, terutama bila dilihat bahwa posisi dari “belajar terbang” sebagai situasi peralihan. Peralihan dari kodrat manusia sebagai makhluk daratan menjadi makhluk yang berusaha hidup di lingkungan angkasa dengan berbagai sarana pendukungnya (pesawat udara).   Ciri khas dari suatu peralihan adalah proses adaptasi yang kadang bagi orang yang mengalaminya tak luput dari tekanan dan keadaan ketidak seimbangan (stres).   Kondisi umum yang berpengaruh pada masa peralihan, antara lain faktor kebiasaan dan sikap, melaksanakan suatu peralihan yang menuntut beberapa perubahan kebiasaan dan sikap. Para calon pilot tidak hanya harus belajar mengenai cara pandang, cara berpikir dan tingkah laku baru, tetapi juga harus meninggalkan cara pandang, cara berpikir dan cara bertingkah laku lama yang menghambat penguasaan keterampilan dan prosedur tertentu.  Hal ini seringkali tidak mudah untuk dilakukan.
Untuk memastikan efektivitas pelatihan, program pelatihan tidak hanya harus menyediakan praktik dan dukungan instrukasional yang tepat tetapi juga harus memastikan bahwa peserta pelatihan memiliki sikap positif terhadap belajar dan lingkungan penerbangan. Selain itu, peserta juga harus memiliki motivasi untuk belajar dan berhasil dalam pelatihan. Dapat dikatakan bahwa salah satu persyaratan yang mendasar untuk berhasil dalam penyesuaian diri dan sukses dalam belajar terbang adalah sikap yang positif terhadap penerbangan.  Sikap ini harus muncul dari motivasi yang sehat dan didasarkan atas kesadaran diri yang wajar.  Pada dasarnya motivasi dibangun melalui dorongan/keinginan (drive), tujuan (goal) dan aktivitas. Umumnya saat awal memasuki pendidikan siswa mempunyai motivasi besar untuk menjadi pilot, tapi tak jarang keinginan tersebut menurun selama proses pelatihan berlangsung.  Oleh karenanya sikap dan motivasi siswa penting untuk dipantau selama proses pelatihan.
            Penguasaan terhadap aspek-aspek keterampilan pilot menghendaki lebih daripada sekedar keinginan ”to fly around” yang bersifat romantis.  Motivasi tidak sehat biasanya didasarkan pada self regard (penolakan diri), misalnya keinginan menjadi pilot sebagai pelarian dari kehidupan suram, atau harapan menjadi pilot untuk meraih status sosial yang lebih tinggi, ataupun hanya karena tak mau kalah dengan teman-teman yang kebetulan melamar jadi pilot.  Alasan seperti itu biasanya merupakan dasar motivasi yang tidak cukup kuat untuk mendukung upaya seorang siswa pilot mengatasi kesulitan-kesulitan di pelatihan mula atau dasar. Hal yang lebih penting adalah enthusiasme yang wajar, sikap positif dan motivasi yang sehat.  Artinya, seseorang menjadi pilot karena karena keinginan untuk menguasai keterampilan yang dibutuhkan untuk menjadi pilot yang didukung oleh usaha yang kuat untuk berhasil. Siswa harus memiliki efikasi diri (self-effication) atau keyakinan diri bahwa ia mampu berprestasi dan berhasil menguasai keterampilan yang dipersyaratkan untuk menjadi pilot. Kondisi ini lebih menguntungkan untuk mengembangkan kemauan belajar yang sungguh-sungguh dalam menguasai aspek-aspek yang lebih sukar dalam mempelajari keterampilan penerbangan maupun untuk bertahan terhadap situasi stres selama proses pelatihan.
            Kondisi emosi yang negatif seperti cemas dan takut akan berkembang setelah siswa mengikuti pelatihan. Disamping kondisi ini merupakan dampak siswa yang tidak selalu berhasil dalam prestasi, hal ini juga tak lepas dari situasi pelatihan sebagai situasi peralihan yang penuh tekanan. Situasi pelatihan seperti ini cenderung mempengaruhi diri siswa yang selanjutnya dapat menyebabkan problem emosional di mana pada batas-batas tertentu dapat menghambat prestasi siswa.  Masalahnya, emosi atau rasa cemas ini biasanya tersembunyi, tak disadari dan tidak jarang sebab-sebabnya sangat mendalam, sehingga tidak selamanya dapat segera diketahui.  Oleh karenanya, pemantauan dan bila diperlukan intervensi kondisi psikologis siswa penting dilakukan guna dapat memelihara efisiensi dan efektivitas siswa dalam mencapai keberhasilan pelatihan.
           
Penutup
Dari ulasan di atas, dapat diamati bahwa pelatihan awal atau tingkat mula ditujukan untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dasar untuk menjadi pilot.  Dan, pelatihan ini harus diikuti melalui proses kegiatan belajar, praktik dan latihan yang sistematis.  Pelatihan awal untuk menjadi pilot tidak hanya menyangkut pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga pengembangan sikap dan motivasi yang mendkung. Ditinjau dari apek psikologi, setidaknya terdapat tiga hal yang dalam pelatihan di penerbangan, yaitu; kemampuan kognitif, penguasaan keterampilan dan pembentukan sikap, termasuk di dalamnya pengembangan motivasi, perubahan kebiasaan, dan pengembangan emosi yang stabil guna bertahan terhadap tekanan-tekanan yang dihadapinya dalam berkiprah di dunia penerbangan.


Kepustakaan
Dhenin, S.G., Sharp, G.R., dan Ernsting, J., (1978). Aviation Medicine, Physiology and Human Factors. London : Tri-Med Books Ltd.
Fitts, P.M., and Posner, M.I., (1967). Human Performance.  Michigan: Brooks/Cole Publishing Company
ICAO, (1989).  Human Factors Digest No 1 – Fundamental Human Factors Concepts. ICAO Circular 216-AN/131. Montreal: Secretary General of International Civil Aviation Organization.
ICAO, (1998). Human Factors Training Manual.1’st Ed. Doc 9683-AN/950. Montreal: Secretary General of International Civil Aviation Organization.
Martinussen, M., and Hunter, D.R., (2018). Aviation Psychology and Human Factors, 2nd Ed. New York: Taylor & Francis Group, LLC.
Mustopo, W.I., (1986). Psikologi  Dalam  Lingkungan Penerbangan. Dalam : Kumpulan Karya Tulis Alumni Fakultas Psikologi Unpad, Dalam Rangka Lustrum V & Hari Sarjana Fakultas Psikologi UnpadBandung :  Fakultas Psikologi Unpad.

Orasanu, J.M., (1994).  Shared Problem Models and Flight Performance. Dalam, Johnston, N., McDonald, N., dan Fuller, R.,(Eds).  Aviation Psychology in Practice.  Aldershot  : Avebury Technical Ashgate Publ. Ltd.
Tsang, P.S., and Vidullich, M.A., (2003). Principles and Practice of Aviation Psychology. New Jersey London: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.