Senin, 02 Januari 2023

Human Error di Penerbangan (1)

 [ Introduksi ]

Widura Imam Mustopo

Human error adalah topik yang sangat luas, sejajar dgn kinerja manusia itu sendiri. Di dunia penerbangan, salah satu aspek dari faktor manusia sebagai penyebab timbulnya kecelakaan adalah kesalahan pilot (pilot error).  Namun demikian, hanya mengungkapkan kesalahan pilot sebagai satu-satunya penyebab kecelakaan juga kurang bijak.  Setiap orang dapat membuat kesalahan dan kesalahan manusia adalah bagian dari pengalaman sehari-hari (Whittingham, 2004).  Pada kenyataannya, banyak kasus kecelakaan penerbangan tidak hanya disebabkan kesalahan individu (pilot) sebagai penyebab tunggal (Shappell & Wiegmann, 2000).  Hanya mengidentifikasi “penyebab utama" saja akan sulit untuk menemukan sebab-sebab suatu kecelakaan penerbangan yang pada umumnya bersifat kompleks.  Dapat dikatakan, kecelakaan penerbangan adalah hasil akhir dari sejumlah penyebab.  Tindakan tidak aman (unsafe act) pilot adalah tahap yang paling akhir dalam suatu rangkaian penyebab kecelakaan (Reason, 1990; Shappell & Wiegmann, 1997).

Untuk itu, memahami penyebab dan pengendaliannya yang mencakup teori, metode, dan teknik diperlukan untuk mencegah terjadinya human error.  Topik tentang human error akan diulas dalam beberapa seri tulisan di sini.  Dalam tulisan secara serial ulasan akan mengeksplorasi pilot error dalam lingkup yang cukup luas, termasuk mengidentifikasi hal tsb., mencari kemungkinan penyebab, dan bagaimana mengupayakan pengendalian dan pencegahannya. Dari keseluruhan seri tulisan ini, diharapkan pembaca dapat memperoleh pemahaman tentang konsep human error, penyebabnya, konsekuensi dan akibat dari error dan mengapa serta bagaimana error bisa terjadi, dan bagaimana strategi mengelola error dalam rangka mencegah terjadinya kecelakaan. 

Kilas Umum

Human error atau kesalahan manusia, meski tidak diharapkan, nyatanya kerap terjadi dan tidak jarang berdampak luas. Kesalahan manusia umumnya dilihat sebagai bagian tak terhindarkan dari kehidupan sehari-hari.  Error atau salah bukanlah hasil dari perilaku yang menyimpang, tetapi merupakan produk alami dari usaha manusia yang hidup dalam lingkungan yang kompleks.  Jika manusia sebagai operator dapat melakukan tugasnya dengan mudah, mungkin mereka tidak akan berbuat salah.  Pada waktu tertentu dapat saja ia melakukan kesalahan sebagai konsekuensi dari variasi tugas, lingkungan, dan factor dividedu.  Dapat dikatakan, kesalahan bisa dilakukan oleh seseorang yang kompeten dan bahkan dikenal sebagai individu yang sebelumnya tidak pernah melakukan kekeliruan dalam bertindak.

 Kesalahan manusia terjadi tidak acak, ia terjadi secara sistematis terkait dengan aspek manusia, peralatan, layanan, tugas, dan lingkungan operasi.  Kesalahan terjadi karena ada penyebabnya, dari masalah ketidakmampuan sampai dengan karena pengaruh stres atau kelelahan yang dialami seseorang.  Misalnya, ketika seseorang melakukan kegiatan rutin seperti membuat secangkir kopi susu di pagi hari, satu saat ia salah menuangkan susu ke dalam teko, yang seharusnya ke cangkir.  Seringkali kita kesulitan menjelaskan mengapa hal itu bisa terjadi, mungkin penjelasan yang mendekati bahwa pikirannya sedang berada di tempat lain atau ia sedang terganggu konsentrasinya.  Pertanyaannya, mengapa pikirannya berada di tempat lain sehingga mengganggu konsentrasinya?

Sebagian besar kesalahan, seperti tersesat di jalan ketika mengendarai mobil tidaklah acak, tetapi disebabkan oleh sistem, dalam hal ini tata letak jalan yang tidak tepat atau sebab lainnyaKesalahan terjadi pada dasarnya tidak acak, tetapi disebabkan oleh sistem yang disebut sebagaiinduksi sistem' atau ada kesalahan 'sistemik'.  Lebih-lebih di lingkungan organisasi terutama di industri penerbangan.   

Dunia penerbangan merupakan lingkungan kerja yang melibatkan teknologi tinggi dan menyangkut sistem yang kompleks termasuk pengaturan/prosedur kerja yang ketat (Reason, 1990).   Hal ini menuntut pemahaman tentang lingkungan atau sistem di mana kesalahan atau tindakan tidak aman tersebut terjadi.  Kesalahan manusia adalah gejala adanya masalah yang lebih dalam pada sistem. Mengapa seorang pilot melakukan kesalahan atau tindakan tidak aman sehingga terjadi kecelakaan perlu ditelusuri dan diselidiki lebih mendalam.  Jawaban dari mengapa seorang pilot melakukan tindakan tidak aman setidaknya dapat menjadi upaya untuk mencegah agar kecelakaan tidak terjadi secara berulang terutama oleh penyebab yang sama.

Dalam banyak kasus, akibat dari human error mungkin tidak berbahaya atau fatal dan dapat diperbaiki. Namun pada kasus lainnya termasuk di lingkungan penerbangan akibatnya dapat fatal, menimbulkan cedera dan bahkan kematian.  Oleh karena itu, usaha mengeliminir kesalahan (error) adalah keharusan.  Informasi yang terintegrasi tentang how-to-do-it merupakan hal yang penting.  

Para ahli human factors, berusaha mengeksplorasi dan menerapkan prinsip-prinsip umum yang dikenal efektif dalam upaya pencegahan terjadinya error di tingkat individu dan organisasi.  Mereka membahas error dan efeknya terhadap masyarakat penerbangan pada khususnya di mana teknologi yang digunakan makin kompleks. Seri tulisan tentang human error ini berupaya menjelaskan topik tersebut secara sistematis, komprehensif, dan terintegrasi.

Daftar Pustaka

Aerossurance. (2014). James Reason’s 12 Principle of Error Management. http://Aerossurance .com 

Reason, J. (1990). Human Error. Cambridge: Cambridge University Press.

Shappell, S.A. & Wiegmann, D.A. (1997) A Human Error Approach to Accident Investigation: The Taxonomy of Unsafe Operations, The International Journal of Aviation Psychology, 7:4, 269-291, DOI: 10.1207/s15327108ijap0704_2. Published online: 13 Nov 2009

Shappell, S.A. & Wiegmann, D.A. (2000). The Human Factors Analysis and Classification System–HFACS. Springfield, Virginia:  U.S. Department of Transportation Federal Aviation Administration.

Whittingham, R.B. (2004). The Blame Machine:Why Human Error Causes Accidents. Oxford: Elsevier Butterworth-Heinemann.

 


Jumat, 09 Desember 2022

Isu Kesehatan Mental di Penerbangan

Widura Imam Mustopo

 Pendahuluan

Beberapa kasus kecelakaan penerbangan membangkitkan kembali perhatian pada isu-isu Kesehatan mental di lingkungan awak pesawat, terutama pilot. Besarnya masalah atau gangguan kesehatan jiwa dalam penerbangan tidak diketahui secara jelas. Namun secara teoritis, kesehatan mental dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik pribadi ataupun pekerjaan. Terkait dengan gangguan mental, publikasi ICAO menyebutkan mayoritas gangguan mencakup depresi, kecemasan (anxiety), dan ketergantungan obat & alkohol (Jordaan, 2016).  Sumber lain mengungkapkan masalah psikologis yang umum pada pilot, antara lain menyangkut gangguan penyesuaian, gangguan mood, kecemasan dan stres kerja, masalah relasi sosial, disfungsi seksual, dan masalah alkohol (Bor et al., 2017). 

Dalam tulisan berikut ini akan diulas mengenai kesehatan mental dan gangguan mental umum atau common mental disorders (CMD) di lingkungan awak pesawat. Akan diuraikan latar belakang munculnya perhatian lebih besar terhadap isu kesehatan mental di lingkungan penerbangan, bagaimana para pemangku kepentingan baik dari kalangan kesehatan dan psikologi penerbangan, asosiasi pilot, operator, dan regulator dalam merespon permasalahan kesehatan mental dan upaya menanganinya serta mendapatkan solusi. Tulisan juga menyinggung isu-isu apa saja yang muncul terkait permasalahan Kesehatan mental di penerbangan, dan apa saja Langkah pertimbangan ICAO (International Civil aviation Organization) dalam merespon masalah Kesehatan mental di lingkungan penerbangan.

 

Latar Belakang

Beberapa kasus kecelakaan penerbangan yang berhubungan dengan isu-isu kesehatan mental awak pesawat telah menarik perhatian dan menjadi latar belakang tulisan ini, antara lain;

 

JetBlue Flight 191. 27 Maret 2012, JetBlue Flight 191, terbang dari Bandara John F. Kennedy, New York menuju Las Vegas.  Saat itu penerbangan dialihkan ke Amarillo menyusul komentar dan ancaman yang mengganggu dilakukan oleh Captain pesawat. Menyadari perilaku aneh Captain, maka First officer mengunci cockpit dari dalam. Di dalam kabin, Captain diamankan oleh penumpang. Pilot JetBlue lainnya yang tidak bertugas, membantu First officer dalam mengalihkan pesawat ke Amarillo dengan lancar (Fernandez, 2012). Laporan awal dari maskapai menungkapkan bahwa pilot mengalami serangan panik (panic attack) (Donaldson, 2012).

 

Malaysia Flight 370. 8 Maret 2014, Malaysia Flight 370, dalam penerbangan dari Kuala Lumpur ke Beijing, menghilang di atas Samudera Hindia.  Pada kejadian ini 12 awak pesawat dan 227 penumpang menjadi korban (ATSB, dalam DeHoff & Cusick, 2018). Pencarian pesawat terhambat karena sistem pelaporan otomatis pesawat dinonaktifkan. Tidak ada informasi apapun yang terdengar dari pesawat dalam 38 menit sebelum kejadian. Penemuan sejumlah kecil puing pesawat, mengarahkan investigator mencurigai bahwa pesawat itu tidak dikonfigurasi untuk pendaratan di air atau ditching saat menyentuh laut (ATSB, 2017).  Selain itu, pesawat juga tidak dikonfigurasi untuk mendukung kelangsungan hidup awak dan penumpang.  Investigator menyimpulkan bahwa seseorang mengendalikan pesawat di akhir penerbangannya. Informasi yang diambil dari komputer pribadi Captain mengungkap bahwa beberapa waktu sebelumnya Captain telah membuat simulasi "penerbangan" di Boeing 777-200LR, termasuk mengemudikan pesawat ke daerah-daerah terpencil di Samudera Hindia. Pengungkapan konfigurasi pesawat dan simulasi penerbangan yang dibuat Captain di komputer pribadinya mengarahkan dugaan investigator bahwa kecelakaan itu sebagai kasus bunuh diri yang dilakukan oleh Captain pesawat. Walaupun, Biro Keselamatan Transportasi Australia pada akhirnya menyimpulkan bahwa penyebab kecelakaan tidak dapat ditentukan dengan pasti mengingat puing-puing utama belum ditemukan (ATSB, dalam DeHoff & Cusick, 2018).

 

Germanwings Flight 9525. 24 Maret 2015, Germanwings Flight 9525, terbang dari Barcelona ke Düsseldorf.  Tak lama setelah mencapai ketinggian jelajah Captain pilot keluar dari kokpit, dan First officer mengunci pintu kokpit dari dalam.  Sendirian di kokpit, First officer mengendalikan pesawat hingga pesawat menabrak lereng gunung dengan kecepatan 350 knot (BEA, 2016).  Kecelakaan terjadi di Pegunungan Alpen dan menewaskan seluruh 150 penumpang serta awak pesawat.  Investigasi mengungkapkan beberapa peristiwa sebelum kecelakaan itu terjadi.  Dari Riwayat kerja, First officer terbang untuk Germanwings kurang dari satu tahun sebelum kecelakaan.  Dilaporkan ia memiliki masalah kesehatan mental sejak 2009.  Sejak 2009, sertifikat medisnya, yang diperbarui setiap tahun, termasuk waiver untuk episode gejala depresi berat non-psikotik terjadi pada tahun tersebut.  Waiver tersebut menyatakan bahwa jika episode gejala depresi terulang kembali, maka sertifikat medis First officer tidak berlaku. Pada bulan Desember, kira-kira empat bulan sebelum kecelakaan itu, First officer mengalami kembali gejala depresi.  Ketika itu, dia berobat ke beberapa dokter dan diberi otorisasi dari dokter untuk mengambil cuti dari tugas penerbangannya. Namun otorisasi ini tidak diteruskan ke Germanwings, termasuk kepada pimpinan dan medical examiner bahwa ia mengalami depresi kembali (BEA, 2016). Dapat dikatakan bahwa kecelakaan ini mengejutkan dan mengaktifkan berbagai lembaga regulator penerbangan di dunia untuk lebih memahami implikasi kesehatan mental di penerbangan.

Telah banyak yang telah ditulis tentang insiden JetBlue, Malaysia, dan Germanwings. Dua kasus terakhir mendorong berbagai pemangku kepentingan termasuk badan regulator di seluruh dunia untuk mememperhatikan kembali kondisi kesehatan mental awak pesawat.

Gangguan Mental Umum (Common Mental Disorders) di Penerbangan

Besarnya masalah gangguan kesehatan mental dalam penerbangan tidak diketahui secara pasti, namun yang jelas kesehatan mental dipengaruhi oleh berbagai faktor pribadi dan pekerjaan. Problem kesehatan mental sebetulnya sudah mendapatkan perhatian sejak lama, permasalahan ini memang berbeda dengan isu Kesehatan Fisik.  Gangguan Mental Umum (Common Mental Disorders [CMD]) dapat terkait dengan depresi, kecemasan, dan ketergantungan obat dan alcohol (Jordaan, 2016).  Suatu penelitian untuk memperkirakan prevalensi kasus dugaan gangguan mental, utamanya CMD pada pilot penerbangan sipil Brasil telah dilakukan tahun 2009.  Secara khusus, penelitian ini ditujukan untuk menyelidiki hubungan antara CMD, demografi, dan variabel tenaga kerja.  

Penelitian ini menggunakan Job Content Questionnaire (JCQ) dan Self-Reporting Questionnaire (SRQ-20).  Studi cross-sectional kuantitatif dilakukan pada 807 pilot yang bekerja antara Oktober 2009 dan Oktober 2010.  Hasil penelitian tersebut melaporkan, prevalensi CMD secara keseluruhan adalah 6,7% kasus positif. 10,2% menunjukkan dugaan CMD muncul pada individu yang tidak berolahraga. 23,7% menunjukkan dugaan CMD di antara mereka yang bekerja dengan beban kerja yang berat. Kesimpulan hasil penelitian mengngkap hanya variabel yang berkaitan dengan beban kerja dan aktivitas (olahraga) fisik yang secara signifikan berkorelasi dengan estimasi CMD.

Dilaporkan bahwa olahraga secara teratur memberikan efek perlindungan terhadap kasus dugaan CMD, sementara prevalensi kasus dugaan CMD yang lebih tinggi terjadi di antara subjek dengan beban kerja yang berat. Hasil penelitian ini menunjukkan ada korelasi yang signifikan antara pekerjaan yang sangat menuntut (demanding) dan prevalensi CMD, dibandingkan dengan pilot dengan pekerjaan yang kurang menuntut. Prevalensi CMD yang diekspaktasi pada pilot dengan pekerjaan yang sangat menuntut, beban kerja berat, dan tidak berolahraga secara teratur adalah 39,7%, dibandingkan dengan subkelompok pilot dengan pekerjaan yang kurang menuntut, olah raga teratur, dan beban kerja ringan, yang menunjukkan prevalensi yang diekpaktasi sebesar 0,4%.

Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa kondisi kerja dapat dianggap sebagai faktor potensial yang berkontribusi terhadap CMD, dengan kemungkinan berdampak pada keselamatan penerbangan. Dimasukkannya topik kesehatan mental di antara target dan prioritas penerbangan sipil di Brasil sangat penting. Mengatasi masalah seperti olahraga rutin dan beban kerja dapat berkontribusi untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik antara keselamatan dan produktivitas penerbangan.

Penelitian lainnya berbentuk survei juga telah dilakukan pada tahun 2016 oleh para peneliti dari Harvard T. H. Chan School of Public Health.  Survei dilakukan terhadap 1837 pilot. Hasil penelitian mendukung bahwa masalah kesehatan mental di populasi pilot maskapai serupa dengan populasi AS pada umumnya. Wu dkk. (2016) menemukan bahwa lebih dari 12% pilot yang merespon survei memenuhi tingkat ambang batas depresi. Selain itu, lebih dari 13% dari responden yang melaporkan telah bekerja sebagai pilot dalam 30 hari sebelumnya memenuhi: kriteria yang sama. Lebih mengejutkan Wu dkk. juga menemukan lebih dari 4% peserta penelitian melaporkan memiliki pikiran untuk bunuh diri dalam dua minggu sebelumnya .

Sebuah review sistematis terhadap 20 studi yang meneliti depresi pada pilot maskapai penerbangan menemukan bahwa prevalensi gangguan depresi mayor yang dialami oleh pilot maskapai komersial berkisar antara 1,9% hingga 12,6% (Pasha & Stokes, 2018). Survei untuk mengidentifikasi tren serupa juga ditemukan di pekerjaan-pekerjaan dengan stres tinggi lainnya. Gejala yang terkait dengan gangguan depresi mayor dilaporkan menunjukan prevalensi 12% dan 13% pada personel militer AS yang dikerahkan untuk suatu operasi, 7% ditemukan pada teknisi medis darurat dan 17% pada petugas polisi (Wu dkk., 2016).

Penelitian Wu dkk. ini menyajikan kasus yang menarik bahwa tantangan kesehatan mental, khususnya depresi pada komunitas pilot selaras dengan populasi (di AS) pada umumnya. Ini mengungkap bahwa perhatian lebih besar perlu diarahkan pada diagnosis dan terapi yang efektif, sehingga tantangan kesehatan mental ini dapat ditangani dan tidak berpotensi membahayakan keselamatan penerbangan. Lebih lanjut Wu dkk. menyarankan agar pendekatan lebih diarahkan kepada upaya-upaya preventif terhadap kesehatan mental pilot daripada pada kebijakan seleksi, evaluasi, dan penyimpanan catatan.

Problem Kesehatan Mental dan Konsekuensinya

Ketika seseorang didiagnosa mengalami problem mental, umumnya muncul beberapa kemungkinan yang bisa terjadi, antara lain: Isu-isu terkait menurunnya kepercayaan diri dan menghargai diri sendiri (self-esteem), adanya keengganan mencari bantuan karena masalah kerahasiaan medis, berupaya mencari bantuan tetapi menolak ketika harus diterapi, memperoleh perawatan namun tidak mengungkapkan kondisi sebenarnya atau tidak menginformasikan pelaksanaan perawatannya kepada otoritas, rekan kerja ragu-ragu untuk melaporkan kekhawatiran mereka kepada atasan/manajemen/pihak otoritas, meningkatnya stres dan perasaan terisolasi, dan efek memburuk dari perkembangan gejala gangguan mental, serta meningkatnya risiko keselamatan penerbangan

Selain itu, ketika seorang pilot didiagnosa mengalami masalah mental, hal yang bisa terjadi, yaitu: yang bersangkutan mendapatkan stigma and diskriminasi dari lingkungan, ada biaya tambahan misalnya pemeriksaan dan perawatan untuk mendapatkan sertifikat medis, larangan terbang disebabkan status kesehatan mental, yang memberikan konsekuensi kehilangan pendapatan, dan takut kehilangan pekerjaan

Work-related Stress & Coping Strategies

Sejak kecelakaan Germanwings 9525 tahun 2015, masalah mengelola dan mendukung pilot dalam mengatasi problem kesehatan mental yang berkaitan dengan stres terkait pekerjaan (stres kerja) telah mendapatkan perhatian yang meningkat.  Banyak pihak pemangku kepentingan menganjurkan diterapkannya praktik perilaku sehat karena dipercaya dapat memperkuat daya tahan seseorang terhadap stres (Morimoto & Shimada, 2015).  Praktik-praktik tersebut antara lain strategi koping stres yang umum, olahraga secara rutin, menerapkan praktik teknik relaksasi, upaya mencari dukungan sosial dan/atau partisipasi sosial, manajemen tidur dan manajemen diet, tidak merokok dan alkohol.  Dan, satu hal lagi yang lebih bersifat psikologis adalah memperkuat efikasi diri.

Efikasi diri, adalah keyakinan seseorang bahwa ia mampu berhasil dalam menghadapi situasi tertentu. Menurut suatu penelitian, tingkat efikasi diri yang tinggi dapat membantu seseorang lebih efektif mengatasi stres kerja (Jordan et al., 2016). Memperkuat efikasi diri adalah kunci keberhasilan dalam intervensi yang dirancang untuk mengurangi gejala depresi (Blazer, 2002). 

 Tanggapan Terhadap Problem Kesehatan Mental di Penerbangan

Perhatian terhadap isu-isu kesehatan mental, terutama setelah kejadian Germanwing Flight 9525 juga menarik sejumlah organisasi dan regulator untuk memberikan tanggapan.  European Cockpit Association (ECA), European Association for Aviation Psychology (EAAP), dan European Society of Aerospace Medicine (ESAM), membuat pernyataan bersama untuk mempromosikan kesehatan mental dan membantu para pilot yang membutuhkan bantuan mengatasi masalah Kesehatan mental (ECA, 2015). Beberapa pernyataan mereka antara lain:

·    Kinerja pilot yang aman selama karir, sehat dan memuaskan harus menjadi tujuan bersama pilot profesional, spesialis aeromedis dan psikologi, manajemen maskapai penerbangan, dan pihak-pihak otoritas yang berwenang.

·     Kesehatan mental harus dilihat sebagai bagian integral dari kesehatan dan kesejahteraan para profesional secara keseluruhan.

·      Memberikan dukungan kuat untuk menyelenggarakan pilot Peer Support Programmes.

·  Melaksanakan evaluasi psikologis awal terhadap pilot pada tahap sebelum bekerja sesuai dengan standar yang diterima secara internasional.n standar yang diterima secara internasional.

      Pernyataan Bersama tersebut searah dengan rekomendasi The Aerospace Medical Association (AsMA) terkait Kesehatan mental di antara para pilot (EASA, 2015).  Rekomendasi tersebut antara lain:

·      Kesejahteraan mental dan tidak adanya gangguan mental sangat penting bagi kinerja dan tugas pilot yang aman serta keselamatan penerbangan.

·     Gangguan/penyakit mental yang serius seperti psikosis akut relatif sedikit, dan kemunculannya sulit diprediksi.

·    Perhatian harus lebih diberikan pada masalah dan kondisi kesehatan mental yang ringan dan lebih umum ketika pemeriksaan regular kondisi aeromedis pilot.

·   Harus digunakan metode yang tepat untuk membangun hubungan dan kepercayaan dengan pilot di lingkungan yang tidak mengancam.

 

  Secara umum, kalangan industri penerbangan dan komunitas pilot mengutamakan promosi pentingnya kesejahteraan positif (positive well being) dan praktik perilaku sehat bagi para profesional penerbangan.

ICAO CONSIDERATION-Mental Health Advocacy

Problem kesehatan mental pada kenyataannya memang membuat sementara pihak dilematis, karena di satu pihak merupakan permasalahan di mana yang mengalaminya kadang mendapatkan perlakuan tidak adil dan tidak jarang muncul dari persepsi yang subjektif, namun di pihak lain permasalahan kesehatan mental perlu diwaspadai dan diatasi agar tidak memberikan konsekuensi negative bagi kesejahteraan psikologis dan keselematan penerbangan.  Menghadapi kondisi ini, ICAO memberikan pertimbangan pentingnya advokasi atau perlindungan untuk mengantisipasi mereka yang potensial mengalami permasalahan kesehatan mental. Beberapa pertimbangan tersebut antara lain, mengembangkan advokasi untuk mempromosikan hak asasi orang dengan gangguan mental dan untuk mengurangi stigma serta diskriminasi, advokasi ini mencakup tindakan yang bertujuan untuk mengubah hambatan struktural dan sikap agar tercapai hasil kesehatan mental yang positif, dan menitik beratkan kebutuhan dan hak orang dengan gangguan jiwa ringan dan kebutuhan kesehatan jiwa secara umum.

Pertimbangan-pertimbangan ini diwujudkan dalam tindakan kongkrit dengan meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya praktik perilaku sehat dan memelihara kesejahteraan psikologis ;  memberikan informasi, edukasi and pelatihan tentang penyebab dan mengatasi problem Kesehatan mental ; mengembangkan jaringan dukungan sosial untuk pertukaran informasi; dukungan emosional dan instrumental (misal, memberikan fasilitas pertemuan dan kontak dengan kelompok lain) ; memberikan layanan Kesehatan mental (konseling dan dukungan profesional) bila diperlukan ; mempromosikan pembentukan aliansi pemangku kepentingan untuk advokasi kesehatan mental ; dan, melaksanakan evaluasi dan kajian mengenai pelaksanaan advokasi.

Penutup


Sebagai penutup tulisan ini, dapat dirangkum beberapa hal untuk menjadi perhatian, antara lain: Kesehatan mental dipengaruhi oleh berbagai faktor pribadi dan pekerjaan ; Industri dan kelompok pilot penting untuk mempromosikan kesejahteraan positif dan praktik perilaku sehat ; CMD di penerbangan lebih banyak dialami oleh para pilot yang menghadapi dengan beban berat dan menuntut serta kurang berolahraga ; Mendapatkan label memiliki problem kesehatan mental di penerbangan dapat menimbulkan konsekuensi negatif ; dan, Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut ICAO lebih mempertimbangkan pentingnya kebutuhan advokasi para pilot terhadap kemungkinan mengalami permasalahan kesehatan mental termasuk konsekuensinya.

 

DAFTAR KEPUSTAKAAN

 

Bureau d’Enquêtes et d’Analyse (BEA). (2016). Final Report Accident on 24 March 2015 at Prads-Haute-Bléone (Alpes-de-Haute-Provence, France) to the Airbus A320-211 registered D-AIPX operated by Germanwings

 

Cahill J., Cullen, P., Anwer, S., Wilson, S. & Gaynor, K. (2021): Pilot Work Related Stress (WRS), Effects on Wellbeing and Mental Health, and Coping Methods, The International Journal of Aerospace Psychology, DOI: 10.1080/24721840.2020.1858714.

 

Chong, C.H. (2016). DME Training – Mental Health in Civil Aviation. CAMB – CAAS. Atlantic City, 27 April 2016.

 

Collins, P.Y. (2020). What is global mental health? Department of Psychiatry and Behavioral Sciences and Department of Global Health, University of Washington : Seattle, WA, USA.

 

DeHoff, M. C., & Cusick, S. K. (2018). Mental Health in Commercial Aviation - Depression & Anxiety of Pilots. International Journal of Aviation, Aeronautics, and Aerospace, 5(5). Retrieved from https://commons.erau.edu/ijaaa/vol5/iss5/5.

 

ESAM, ECA, EAAP. (2015). Aeromedical, Aviation Psychological & Pilot Associations Join Forces to facilitate Pilot Medical Fitness 30/11/2015. www.esam.aero ; www.eurocockpit.be ; www.eaap.net

 

Feijó, D., Luiz, R.R., & Camara, V.M. (2012). Common mental disorders among civil aviation pilots. Aviat Space Environ Med. 2012 May ; 83(5):509-13. DOI: 10.3357/asem.3185.2012.

 

Jordaan, A. (2016). Strengthening mental health in Civil Aviation. Aviation Medicine Section, ICAO. Atlantic City: ICAO

 

Scarpa, P.J. (2016). AsMA Pilot Mental Health Working Group Recommendations –Revised 2015. Atlantic City: Aerospace Medical Association.

 

Wu, A. C., Donnelly-McLay, D., Weisskopf, M. G., McNeely, E., Betancourt, T. S., & Allen, J. G. (2016). Airline pilot mental health and suicidal thoughts: a cross-sectional description study via anonymous web-based survey. Environmental Health, 15:121. DOI: 10.1186/s12940-016-0200-6

 

 

 

 


Minggu, 17 April 2022

Senin, 18 Oktober 2021

BUDAYA & IKLIM KESELAMATAN UNTUK MENGEMBANGKAN PERILAKU KESELAMATAN

 Widura Imam Mustopo

Kemajuan teknologi penerbangan yang semakin maju ditandai dengan meningkatnya kehandalan dan kinerja pesawat udara generasi baru hingga diaplikasikannya inovasi-inovasi berbagai peralatan operasional termasuk prosedur pengaturan lalu lintas udara, kedaruratan dalam pendaratan, dll.   Tak terkecuali kondisi ini memberikan dampak pada organisasi di dunia penerbangan.  Hal ini tidak hanya memberikan dampak pada operator, pilot dan awak pesawat lainnya namun juga segenap personil yang terlibat dalam dunia penerbangan.  Faktor manusia menjadi penting terutama pada tuntutan terhadap aspek-aspek psikologis tertentu, mengingat kemajuan teknologi memberikan dampak pada meningkatnya tuntutan terhadap kemampuan yang berhubungan dengan kompleksitas tugas.  Perhatian terhadap aspek keselamatan dari faktor manusia menjadi penting, karena kegagalan pada faktor manusia dapat menyebabkan kerugian baik secara ekonomi maupun jiwa manusia.

Tulisan ringkas ini bertujuan untuk mengungkap peran budaya dan iklim keselamatan dalam mendukung keselamatan dan bagaimana perilaku keselamatan dapat dikembangkan.  Dalam beberapa hal, perilaku yang dapat menjamin keselamatan seringkali harus dikontrol dan merupakan bagian dari tanggung jawab manajemen dan kepemimpinan untuk menjaga kepatuhan terhadap aturan demi tercapainya keselamatan terbang dan kerja. Namun seringkali kehandalan peran manajemen dan fungsi kepemimpinan juga tidak cukup, karena beberapa perilaku hanya dapat dipengaruhi melalui budaya dan/atau nilai-nilai yang berlangsung di organisasi.

 

Perilaku Keselamatan

Perilaku manusia, dapat dikatakan merupakan aspek yang kritis namun juga fleksibel dalam beradaptasi dengan tuntutan lingkungan kerja dan organisasi. Perilaku menjadi indikator utama ketika manusia berusaha untuk survive menghadapi berbagai tuntutan dan tekanan dalam kompleksitas sistem teknologi dengan segala konsekuensinya.  Dunia modern saat ini menempatkan prioritas utama pada keselamatan dengan berbagai regulasi yang fokusnya adalah terjaminnya lingkungan kerja yang aman. 

Perilaku keselamatan sendiri dapat diamati dari dua hal, yaitu safety compliance (kepatuhan demi keselamatan), dan safety participation (partisipasi dalam keselamatan).  Safety compliance merupakan perilaku yang ditujukan untuk mencegah terjadinya insiden/kecelakaan. Perilaku ini mengacu pada kegiatan inti yang dilakukan manusia dalam menjaga keselamatan di tempat kerja.  Perilaku ini ditunjukan dengan tindakan mematuhi peraturan, standar prosedur kerja dan mengenakan alat pelindung diri, dll.

Sedangkan safety participation merupakan perilaku yang tidak berkontribusi langsung pada keselamatan individu tetapi membantu mengembangkan lingkungan yang mendukung keselamatan.  Perilaku ini berasal dari budaya keselamatan yang muncul dalam bentuk norma dan nilai-nilai (values) yang terbentuk dari praktik-praktik keselamatan dalam keseharian pelaksanaan kerja.  Beberapa bentuk perilaku ini, antara lain; melaporkan adanya bahaya (hazard), memberikan laporan ketika mengalami insiden, menghadiri pertemuan tentang keselamatan (safety meeting) dsb.  Selain itu juga sikap sukarela untuk melapor bila melihat atau mengidentifikasi peluang untuk meningkatkan keselamatan, membimbing anggota/personil baru tentang pentingnya keselamatan, dll.  

 

Budaya Keselamatan, Iklim Keselamatan & Perilaku Keselamatan

Dalam mengulas budaya keselamatan yang membantu lingkungan untuk mendukung keselamatan terdapat tiga komponen utama, yaitu; komponen situasional, komponen psikologis, dan komponen perilaku.  Komponen situasional menyangkut struktur organisasi, misalnya; kebijakan, prosedur kerja, sistem manajemen, dsb.   Komponen perilaku mencakup kinerja (performance), termasuk di sini perilaku keselamatan (safety behavior) dan perilaku tidak aman (unsafe behavior).  Sedangkan komponen psikologis berhubungan dengan iklim keselamatan (safety climate) yang menyangkut persepsi dan sikap terhadap keselamatan. 

Sejumlah ahli mengemukakan bahwa iklim keselamatan dapat dilihat sebagai indikator dari budaya keselamatan suatu organisasi yang diamati oleh anggota/karyawan dalam suatu waktu tertentu.  Iklim keselamatan merepresentasikan persepsi, sikap, dan kepercayaan individu tentang risiko dan keselamatan. Iklim keselamatan juga mencakup persepsi individu terhadap kebijakan, prosedur, dan praktik yang berkaitan dengan keselamatan di tempat kerja.  Dapat dikatakan iklim keselamatan merupakan indikator penting untuk mengenali budaya keselamatan yang berlangsung atau hidup dalam suatu organisasi.

Untuk memahami sejauhmana budaya keselamatan dapat mempengaruhi terbentuknya perilaku keselamatan dapat diamati dari kondisi iklim keselamatan. Para pakar di bidang keselamatan, melaporkan hasil penelitiannya bahwa iklim keselamatan dapat mempengaruhi terbentuknya perilaku keselamatan melalui pengetahuan tentang keselamatan (safety knowledge) dan motivasi untuk keselamatan (safety motivation).  Iklim keselamatan yang positif akan mendorong anggota/personil mengembangkan pengetahuan dan motivasi tentang keselamatan.   Dan selanjutnya, kedua aspek tsb. akan mempengaruhi terbentuknya perilaku keselamatan yang muncul dalam bentuk kepatuhan dan partisipasi dalam mendukung terciptanya keselamatan dalam terbang dan kerja.

   

Iklim Keselamatan dan Perilaku Keselamatan



Penutup

        Dalam menerapkan keselamatan terbang dan kerja, hanya menekankan tanggung jawab pada individu saja tidaklah cukup.  Perilaku keselamatan perlu didukung dengan menjamin orang-orang untuk mematuhi aturan dan berpartisipasi dalam keselamatan.  Untuk upaya ini, sistem keselamatan memerlukan pemahaman tentang budaya keselamatan atau iklim keselamatan untuk mengantisipasi dan mengendalikan keselamatan. 


Kepustakaan

Cooper, D., (2001).  Improving Safety Culture: A Practical Guide. Hull: Applied Behavioural Science.

Gadd, S., Collins, A.M., (2002).  Safety Culture: A Review of The Literature.  Broad Lane, Shefield: Health & Safety Laboratory.

Helmreich, R.L., (1999).  Building Safety in The Three Cultures of Aviation.  In The Proceeding of The IATA Human Factors Seminar (pp. 39-43). Bangkok, Thailand.

Neal, A., and Griffin, M.A., (2002). Safety Climate and Safety Behavior.  Australian Journal of Management, 27, 67-75.

Neal, A., and Griffin, M.A., (2006). A Study of The Lagged Relationship Among Safety Climate, Safety Motivation, Safety Behavior, and Accidents at The Individual and Group Levels.  Journal of Applied Psychology, 91(4), 946-953.


Minggu, 12 Juli 2020

Aspek Psikologi Dalam Pelatihan Penerbangan


Widura Imam Mustopo

            Pelatihan merupakan istilah yang pengertiannya cukup luas, namun secara sederhana pelatihan dapat diartikan sebagai proses sistematis untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang mengarah pada perilaku terampil.  Dalam proses pelatihan tercakup sejumlah kegiatan yang dapat dilakukan dalam berbagai kategori, termasuk juga dalam pelatihan penerbangan. Secara umum pelatihan dapat dikategorikan menurut waktu atau kapan pelatihan itu dilakukan, misalnya, pelatihan mula atau pelatihan dasar (primary atau basic training) yang diperlukan untuk menanamkan sejumlah keterampilan baru, berbeda dengan pelatihan penyegaran (refreshing atau recurrent training) yang diperlukan untuk mempertahankan keterampilan. Itu juga dapat dikategorikan menurut di mana pelatihan itu terjadi, misalnya, apakah itu terjadi di ruang kelas, di simulator, atau di dalam pesawat udara. Pelatihan juga dapat dikategorikan menurut kontennya, misalnya, apakah pelatihan itu berkaitan dengan masalah belajar dan berlatih keterampilan teknis penerbangan semata, atau berhubungan dengan masalah non-teknis, seperti koordinasi antar kru, pengambilan keputusan, kepemimpinan dan lainnya.
            Terlepas dari bagaimana mengkategorikan pelatihan, namun tujuan dari kegiatan pelatihan secara umum, adalah mengembangkan seperangkat pengetahuan dan keterampilan peserta pelatihan, ke tingkat kompetensi tertentu.  Keterampilan itu sendiri adalah suatu keahlian atau prestasi dalam bidang apa pun; khususnya, pola perilaku yang kompleks dan terorganisir yang diperoleh melalui pelatihan dan praktik, termasuk keterampilan kognitif, persepsi, motorik, dan sosial.
            Mengingat luas dan beragamnya kategori pelatihan penerbangan, maka tulisan ini difokuskan pada pelatihan mula ketika ab-initio menjadi pilot yang memiliki keterampilan dasar untuk menerbangkan pesawat udara dari lepas landas sampai mendaratkan kembali.  Terdapat beberapa aspek psikologi yang menjadi perhatian, yaitu; proses pembelajaran, tahap belajar keterampilan, dan isu-isu psikologi yang kerap penting untuk diulas karena cukup mempengaruhi kelancaran proses belajar seorang siswa pilot.  Isu-isu tersebut antara lain; masalah motivasi, kecemasan, sikap, dan relasi sosial termasuk relasi instruktur-siswa.

Proses Belajar dan Keterampilan Pilot
            Aspek psikologi dalam pelatihan tingkat mula bagi pilot, diawali sejak dari perencanaan pelatihan, aktivitas teknis dalam pelatihan pilot sampai dengan evaluasi hasil pelatihan termasuk proses pelatihannya.   Aplikasi ilmu psikologi dapat diamati melalui pemanfaatan konsep-konsep psikologi belajar, metode dan teknik instruksi, model simulasi termasuk teknik evaluasi dan re-evaluasi hasil belajar. Dan, tidak kalah pentingnya adalah pemantauan motivasi dan faktor psikologi lainnya yang berpengaruh terhadap keberhasilan seorang siswa pilot dalam memperoleh dan mengembangkan keterampilannya.
            Pola pelatihan calon pilot dapat dikatakan terstruktur secara ketat, sistematis dan berkelanjutan. Pola pelatihan tersebut diyakini dapat mengembangkan perilaku terampil para siswa pilot.  Proses dan metode yang digunakan untuk mencapai tujuan pelatihan dalam proses pembelajaran telah lama diteliti, setidaknya sejak akhir abad ke-19 oleh Ebbinghaus (dalam Tsang & Vidullich, 2003). Penelitian-penelitiannya banyak diarahkan untuk memahami kondisi yang mempengaruhi pembelajaran manusia.  Ebbinghaus menyelidiki dua isu utama yang diasosiasikan dengan pelatihan, yaitu; belajar dan lupa. Kurva pembelajaran (Gambar 1.1) menunjukkan seberapa banyak pelatihan ulang yang dibutuhkan untuk mencapai performance yang sempurna. Bila diamati,

 Gambar 1.1  Kurva Belajar

         Percobaan Belajar

ketika seseorang mulai mempelajari suatu materi belajar, sekitar 50% dari materi dipertahankan pada hari berikutnya.  Ketika mereka kembali menghafal untuk mengingat dengan sempurna keesokan harinya, sekitar 65% dari materi tersebut dapat diingat kembali, dan pada hari berikutnya 75% dapat disimpan. Peningkatan kurva yang paling tajam, yang mengindikasikan pembelajaran tercepat, terjadi setelah percobaan pertama dan kemudian secara bertahap berkurang, yang berarti bahwa lebih banyak informasi akan disimpan setelah setiap pengulangan belajar kembali. Kurva ini, seperti kurva lupa pada Gambar 1.2. Sementara kurva belajar menunjukkan seberapa cepat informasi diperoleh, kurva lupa menunjukkan seberapa cepat informasi hilang. Seperti dalam kurva pembelajaran, perubahan paling tajam (dalam hal ini, penurunan paling cepat) terjadi dalam beberapa menit pertama dan menurun secara signifikan setelah jam pertama, dan mendatar setelah sekitar 1 hari.

     Gambar 1.2  Kurva Lupa
                    Penurunan Ingatan saat Belajar

Kurva belajar dan lupa yang dijelaskan oleh Ebbinghaus dilakukan dengan cara menghafal materi verbal berupa suku kata yang tak berarti, yang dapat dianalogikan juga terjadi pada banyak aspek pelatihan penerbangan (misalnya, mempelajari nama-nama awan dalam meteorologi), mempelajari pola dari tugas motorik yang rumit. Untuk sebagian besar proses pembelajaran, kemajuan hasil belajar keterampilan biasanya mengikuti kurva berbentuk S. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.3, awalnya kemajuannya lambat, dan kemudian peserta didik mengalami kenaikan yang cepat pada grafik.

          Gambar 1.3  Kurva Belajar Keterampilan Motorik
 
Percobaan Pelatihan
                  Tahap Kognitif      Tahap Asosatif       Tahap Otonom


Untuk beberapa tugas yang sangat kompleks, kemajuan dapat dicirikan sebagai serangkaian perubahan kinerja berbentuk S ini. Fitts dan Posner (1967) menemukan bahwa peningkatan bertahap dengan latihan terjadi di hampir semua keterampilan motorik. Meskipun laju peningkatan bisa melambat, umumnya tidak pernah ada grafik mendatar yang tinggi secara tetap di mana tidak ada peningkatan performance. Bagi pilot, ini berarti bahwa meskipun mereka mungkin berpikir tidak ada kemajuan dalam belajar beberapa keterampilan baru (misalnya, approach landing dengan ILS), sebenarnya mereka tidak dapat menilai secara akurat bahwa keterampilan mereka sendiri sebenarnya mengalami peningkatan walau tidak besar. Pada awalnya pembelajaran berlangsung lambat karena orang belum menjadi terbiasa dengan komponen dasar dari suatu keterampilan, kemudian hasil belajar dengan cepat meningkat ketika komponen yang mendasar dari suatu keterampilan sudah menjadi otomatis (sudah terbiasa). Dalam contoh pelatihan ILS approach, selama tahap awal pembelajaran, siswa pilot harus secara aktif berpikir tentang cara mengontrol pesawat untuk menyelaraskan glide-slope dan indikator localizer. Kemudian pada saat aktivitas ini dilakukan berulangkali maka tindakan akan menjadi lebih otomatis, dan pilot dapat mencurahkan lebih banyak perhatian dan upaya untuk menyempurnakan approach dengan mengarahkan indikator untuk menghindari overshooting (mengejar jarum) selama approach.

Dalam proses pembelajaran keterampilan motorik tersebut, terlibat tiga tahap yang berbeda (Fitts dan Posner, 1967 ; Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978), yaitu: 1) tahap kognitif ; 2) tahap asosiatif ; dan 3) tahap otonom.

Tahap kognitif. Pembelajar pemula fokus untuk memperoleh pemahaman dan pemecahan masalah yang berorientasi pada aspek kognitif. Dalam tahap ini pilot belajar untuk memahami semua tugas yang harus dilakukan.  Ia tidak hanya belajar tentang materi yang berhubungan dengan aspek-aspek teori, tapi juga belajar mengenai semua tindakan motorik yang efisien, efektif, dan akurat.  

Tahap asosiatif.  Di sini calon pilot dituntut dapat mempraktekan tugas-tugas yang diperoleh melalui tahap kognitif secara runtut melalui latihan yang terkontrol agar mampu mengembangkan performance secara optimal. Calon pilot juga belajar mengaitkan isyarat dari lingkungan dengan tindakan sesuai prosedur standar, dan terus berlatih untuk memperbaiki performance agar lebih konsisten.

Tahap otonom atau otomatisasi. Calon pilot berlatih lebih intensif untuk mengalihkan kontrol kognitif ke gerakan otonom yang bersifat otomatis. Ia mampu mengaplikasikan keterampilannya secara efisien dan efektif. di mana performance keterampilan dilakukan secara otomatis.

Pada tahap pertama, ketika pilot mulai memperoleh keterampilan baru, seperti melakukan ILS approach, mereka dihadapkan dengan beberapa masalah yang mengarah pada aspek kognitif yang sangat spesifik. Seperti, apa tugas dasarnya? Bagaimana pilot tahu kapan harus memulai descent (turun)? Berapa rate of descent nya (dan mengatur power terkait) yang akan membuat pilot tetap dapat menyelaraskan dengan glide slope? Seberapa besar diperlukan koreksi ketika jarum localizer berada pada tiga titik di kedua sisi? Masing-masing dari pertanyaan ini menunjukkan tingkat pentingnya faktor kognitif dasar saat pilot beroperasi, Tahap ini ditandai dengan kemungkinan sejumlah besar kesalahan dalam performance. Sebagai contoh, pilot untuk melakukan koreksi mungkin berbelok ke arah yang salah (menjauh dari jarum localizer). Pilot mungkin tahu bahwa dia melakukan sesuatu yang salah, tetapi belum tahu secara tetap bagaimana hal itu harus dilakukan secara berbeda. Oleh karena itu, dibutuhkan umpan balik yang spesifik yang dapat membantu memperbaiki kesalahan.
Selama tahap kedua, tahap asosiatif merupakan perubahan pembelajaran keterampilan dari aktivitas kognitif di tahap pertama.  Di tahap asosiatif pembelajar telah memperoleh banyak pengetahuan dasar keterampilan sampai batas tertentu, dan tidak lagi harus mencurahkan banyak upaya kognitif untuk memahami persyaratan dasar pelaksanaan tugas. Mereka sekarang berkonsentrasi untuk memperbaiki keterampilan mereka dan mengembangkan kemampuan untuk mengenali beberapa kesalahan mereka sendiri. Sekarang mereka tahu apa salah, dan umumnya tahu apa yang seharusnya mereka lakukan. Sebagai contoh, mereka mungkin overshoot saat localizer, tetapi mereka tahu bahwa mereka melakukannya itu karena mereka terlalu terpaku untuk mengoreksi tingkat descent atau sambil melakukan panggilan radio. Mereka mulai menjadi lebih proaktif dan dapat mengantisipasi kebutuhan untuk bertindak, dan variabilitas performance mereka mulai berkurang. Kesalahan masih terjadi, tetapi lebih jarang terjadi dan tidak terlalu parah.
Pada tahap ketiga., setelah melaksanakan banyak latihan, pembelajar melanjutkan ke tahap akhir pembelajaran, yaitu tahap otonom. Pada tahap ini, keterampilan telah menjadi hampir otomatis, upaya kognitif menjadi lebih sedikit. Keterampilan motorik dasar telah dikuasai, dan pembelajar dapat mencurahkan upaya kognitif untuk membuat penyesuaian (misalnya, mungkin membagi perhatian untuk mempertimbangkan angin yang sangat kuat selama ILS approach), atau bekerja secara simultan untuk kegiatan lain (misalnya sambil menangani masalah mesin). Variasi kecil dalam performance masih mungkin terjadi namun secara keseluruhan umumnya sudah mendekati batas atas persyaratan atau tuntutan standar performance yang harus dicapai.
Berbeda dengan pengetahuan deklaratif seperti suku kata bermakna yang digunakan oleh Ebbinghaus, keterampilan motorik sangat lambat rusak atau hilangnya, biasanya akan diingat selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Schendel, Shields, dan Katz (1978) mempelajari retensi keterampilan motorik dan menemukan bahwa;
Satu-satunya penentu paling penting dari retensi adalah tingkat pembelajaran.  Tugas prosedural akan dilupakan dalam beberapa hari, minggu, atau bulan, sedangkan tugas kontrol biasanya diingat selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun.  Retensi keterampilan motorik tergantung pada rentang lamanya periode tanpa praktik/latihan, jenis tugas, dan kegiatan praktik lain yang mengganggu.  Retensi dapat ditingkatkan dengan overtraining — yaitu, pelatihan dengan target tingkat di atas tingkat kecakapan minimum yang disyaratkan.
Bentuk keseluruhan kurva yang menggambarkan retensi keterampilan motorik (lihat Gambar 1.4) mirip dengan kurva untuk pengetahuan deklaratif. Namun, untuk keterampilan motorik, sebagian besar hilangnya kemampuan terjadi segera setelah latihan berhenti, dan kemudian dengan cepat turun agar tetap stabil untuk periode yang cukup lama, tergantung pada faktor-faktor yang tercantum sebelumnya.

                           Gambar 1.4  Retensi Keterampilan Motorik
                                 
Waktu berjalan

.
Tentang aspek-aspek keterampilan itu sendiri, secara lebih spesifik dapat dikelompokan menjadi tiga kategori, yaitu:

1.         Perseptual motorik yang melibatkan beberapa keterampilan yang lebih spesifik, yakni:

Keterampilan fisik yaitu keterampilan yang berhubungan dengan kelenturan jasmani, kesiagaan fisik, dsb.  Pada keterampilan ini, dapat dikatakan faktor psikologis kecil pengaruhnya.  

Keterampilan manipulatif yang berkaitan dengan efisiensi dan efektivitas gerakan kontrol yang berguna untuk mengendalikan berbagai instrumen pengendali sistem.  Keterampilan ini cukup peka dipengaruhi faktor  psikologis pilot.

Keterampilan menangkap & memproses informasi.  Keterampilan ini berhubungan erat dengan kemampuan seseorang menangkap informasi penting, daya timbang (judgement) serta pengambilan keputusan (decision making).  Faktor psikologis cukup besar pengaruhnya pada pengembangan keterampilan ini. Kegagalan dalam mewujudkan aspek keterampilan ini dapat berakibat fatal.  Hasil analisis FAA (Federal Aviation Administration) menunjukan bahwa kesalahan pilot dalam membuat judgement dan keputusan menyumbang tak kurang dari 50% terjadinya kecelakaan pesawat udara yang fatal. 

2.         Keterampilan bahasa.  Keterampilan ini erat kaitannya dengan kemampuan verbal yang penting untuk berkomunikasi, berpikir dan memecahkan masalah (Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978).  Keterampilan bahasa menjadi perhatian penting, khususnya di negara-negara di mana bahasa Inggris bukan “bahasa ibu” para pilot, mengingat bahasa penerbangan yang  tertera di software maupun yang digunakan dalam kegiatan operasional penerbangan secara universal menggunakan bahasa Inggris.  Di dunia penerbangan, keterampilan bahasa menjadi penting karena kesalahan menyampaikan pesan maupun interpretasi dapat berakibat fatal.  Ada tiga fungsi bahasa di bidang ini, antara lain; membagi informasi, mengarahkan tindakan, dan merefleksikan pikiran.  Ketiga fungsi ini sangat penting terutama ketika keterampilan bahasa dibutuhkan untuk mendukung pemecahan masalah (Orasanu, 1994).

3.         Keterampilan sosial. Keterampilan ini berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk menjalin kerjasama dan koordinasi.   Suatu keterampilan yang relevan dengan aktivitas individu untuk membangun relasi antarpribadi, saling percaya, bertukar informasi dan sikap, dsb.  Tujuan utama dari interaksi sosial adalah koordinasi.  Penelitian menunjukan bahwa meningkatnya situasi abnormal atau emergency akan menambah pentingnya koordinasi di antara crew (Orasanu, 1994).   Koordinasi ini tidak hanya berlaku pada pesawat berawak lebih dari satu, melainkan juga bagi pesawat udara berawak tunggal seperti halnya di pesawat jet tempur.  
           
            Keterampilan-keterampilan yang telah diuraikan di atas tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri.  Dalam aplikasinya, keterampilan tersebut saling terkait erat dan saling mendukung bahkan juga dapat saling menghambat.  Oleh karenanya diperlukan pelatihan yang sistematik dan berkelanjutan serta pengalaman yang cukup untuk mewujudkan aspek-aspek keterampilan tersebut secara utuh, efisien dan efektif.  Tahap-tahap pelatihan tersebut penting untuk diikuti sebagai proses yang berkelanjutan dalam rangka membentuk perilaku terampil. Pada dasarnya proses belajar untuk mendapatkan perilaku terampil mengikuti prinsip keurutan (sequential) dan secara psikologis tidak ada perilaku terampil yang muncul sendiri-sendiri (Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978). 
Mempelajari suatu keterampilan merupakan rangkaian aktivitas yang berlangsung berurutan dan saling tergantung satu sama lain, demikian pula dengan proses pelatihannya. Menerbangkan pesawat udara menuntut penguasaan keterampilan tertentu, dan keterampilan tersebut bukan sesuatu yang dibawa sejak lahir, melainkan melalui belajar secara bertahap dan dikuasai melalui latihan yang tak jarang memerlukan waktu relatif lama. Seorang calon pilot tidak hanya dituntut untuk mempelajari berbagai aspek keterampilan pilot melainkan juga harus mampu menguasai prosedur untuk mendapatkan ketepatan tindakan layaknya manusia sebagai instrumen mesin/pesawat.

Isu-isu Psikologis dalam Pelatihan Penerbangan
Pelatihan pilot dapat merupakan suatu situasi yang unik, terutama bila dilihat bahwa posisi dari “belajar terbang” sebagai situasi peralihan. Peralihan dari kodrat manusia sebagai makhluk daratan menjadi makhluk yang berusaha hidup di lingkungan angkasa dengan berbagai sarana pendukungnya (pesawat udara).   Ciri khas dari suatu peralihan adalah proses adaptasi yang kadang bagi orang yang mengalaminya tak luput dari tekanan dan keadaan ketidak seimbangan (stres).   Kondisi umum yang berpengaruh pada masa peralihan, antara lain faktor kebiasaan dan sikap, melaksanakan suatu peralihan yang menuntut beberapa perubahan kebiasaan dan sikap. Para calon pilot tidak hanya harus belajar mengenai cara pandang, cara berpikir dan tingkah laku baru, tetapi juga harus meninggalkan cara pandang, cara berpikir dan cara bertingkah laku lama yang menghambat penguasaan keterampilan dan prosedur tertentu.  Hal ini seringkali tidak mudah untuk dilakukan.
Untuk memastikan efektivitas pelatihan, program pelatihan tidak hanya harus menyediakan praktik dan dukungan instrukasional yang tepat tetapi juga harus memastikan bahwa peserta pelatihan memiliki sikap positif terhadap belajar dan lingkungan penerbangan. Selain itu, peserta juga harus memiliki motivasi untuk belajar dan berhasil dalam pelatihan. Dapat dikatakan bahwa salah satu persyaratan yang mendasar untuk berhasil dalam penyesuaian diri dan sukses dalam belajar terbang adalah sikap yang positif terhadap penerbangan.  Sikap ini harus muncul dari motivasi yang sehat dan didasarkan atas kesadaran diri yang wajar.  Pada dasarnya motivasi dibangun melalui dorongan/keinginan (drive), tujuan (goal) dan aktivitas. Umumnya saat awal memasuki pendidikan siswa mempunyai motivasi besar untuk menjadi pilot, tapi tak jarang keinginan tersebut menurun selama proses pelatihan berlangsung.  Oleh karenanya sikap dan motivasi siswa penting untuk dipantau selama proses pelatihan.
            Penguasaan terhadap aspek-aspek keterampilan pilot menghendaki lebih daripada sekedar keinginan ”to fly around” yang bersifat romantis.  Motivasi tidak sehat biasanya didasarkan pada self regard (penolakan diri), misalnya keinginan menjadi pilot sebagai pelarian dari kehidupan suram, atau harapan menjadi pilot untuk meraih status sosial yang lebih tinggi, ataupun hanya karena tak mau kalah dengan teman-teman yang kebetulan melamar jadi pilot.  Alasan seperti itu biasanya merupakan dasar motivasi yang tidak cukup kuat untuk mendukung upaya seorang siswa pilot mengatasi kesulitan-kesulitan di pelatihan mula atau dasar. Hal yang lebih penting adalah enthusiasme yang wajar, sikap positif dan motivasi yang sehat.  Artinya, seseorang menjadi pilot karena karena keinginan untuk menguasai keterampilan yang dibutuhkan untuk menjadi pilot yang didukung oleh usaha yang kuat untuk berhasil. Siswa harus memiliki efikasi diri (self-effication) atau keyakinan diri bahwa ia mampu berprestasi dan berhasil menguasai keterampilan yang dipersyaratkan untuk menjadi pilot. Kondisi ini lebih menguntungkan untuk mengembangkan kemauan belajar yang sungguh-sungguh dalam menguasai aspek-aspek yang lebih sukar dalam mempelajari keterampilan penerbangan maupun untuk bertahan terhadap situasi stres selama proses pelatihan.
            Kondisi emosi yang negatif seperti cemas dan takut akan berkembang setelah siswa mengikuti pelatihan. Disamping kondisi ini merupakan dampak siswa yang tidak selalu berhasil dalam prestasi, hal ini juga tak lepas dari situasi pelatihan sebagai situasi peralihan yang penuh tekanan. Situasi pelatihan seperti ini cenderung mempengaruhi diri siswa yang selanjutnya dapat menyebabkan problem emosional di mana pada batas-batas tertentu dapat menghambat prestasi siswa.  Masalahnya, emosi atau rasa cemas ini biasanya tersembunyi, tak disadari dan tidak jarang sebab-sebabnya sangat mendalam, sehingga tidak selamanya dapat segera diketahui.  Oleh karenanya, pemantauan dan bila diperlukan intervensi kondisi psikologis siswa penting dilakukan guna dapat memelihara efisiensi dan efektivitas siswa dalam mencapai keberhasilan pelatihan.
           
Penutup
Dari ulasan di atas, dapat diamati bahwa pelatihan awal atau tingkat mula ditujukan untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dasar untuk menjadi pilot.  Dan, pelatihan ini harus diikuti melalui proses kegiatan belajar, praktik dan latihan yang sistematis.  Pelatihan awal untuk menjadi pilot tidak hanya menyangkut pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga pengembangan sikap dan motivasi yang mendkung. Ditinjau dari apek psikologi, setidaknya terdapat tiga hal yang dalam pelatihan di penerbangan, yaitu; kemampuan kognitif, penguasaan keterampilan dan pembentukan sikap, termasuk di dalamnya pengembangan motivasi, perubahan kebiasaan, dan pengembangan emosi yang stabil guna bertahan terhadap tekanan-tekanan yang dihadapinya dalam berkiprah di dunia penerbangan.


Kepustakaan
Dhenin, S.G., Sharp, G.R., dan Ernsting, J., (1978). Aviation Medicine, Physiology and Human Factors. London : Tri-Med Books Ltd.
Fitts, P.M., and Posner, M.I., (1967). Human Performance.  Michigan: Brooks/Cole Publishing Company
ICAO, (1989).  Human Factors Digest No 1 – Fundamental Human Factors Concepts. ICAO Circular 216-AN/131. Montreal: Secretary General of International Civil Aviation Organization.
ICAO, (1998). Human Factors Training Manual.1’st Ed. Doc 9683-AN/950. Montreal: Secretary General of International Civil Aviation Organization.
Martinussen, M., and Hunter, D.R., (2018). Aviation Psychology and Human Factors, 2nd Ed. New York: Taylor & Francis Group, LLC.
Mustopo, W.I., (1986). Psikologi  Dalam  Lingkungan Penerbangan. Dalam : Kumpulan Karya Tulis Alumni Fakultas Psikologi Unpad, Dalam Rangka Lustrum V & Hari Sarjana Fakultas Psikologi UnpadBandung :  Fakultas Psikologi Unpad.

Orasanu, J.M., (1994).  Shared Problem Models and Flight Performance. Dalam, Johnston, N., McDonald, N., dan Fuller, R.,(Eds).  Aviation Psychology in Practice.  Aldershot  : Avebury Technical Ashgate Publ. Ltd.
Tsang, P.S., and Vidullich, M.A., (2003). Principles and Practice of Aviation Psychology. New Jersey London: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.