Minggu, 11 Agustus 2024

Human Error di Penerbangan (2)

 [ Pengertian dan Taksonomi ]

Widura Imam Mustopo

Pengertian

Reason (1990) mendefinisikan human error atau kesalahan manusia sebagai kegagalan dalam melaksanakan tindakan sesuai rencana untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Kegagalan tindakan mencapai tujuan tersebut dapat terjadi dalam dua cara berbeda, yaitu: kegagalan bertindak karena rencana tindakannya yang tidak memadai. Atau, rencananya baik dan benar, tetapi tindakan pelaksanaannya tidak tepat (Hollnagel, 2000).

Sebenarnya kesalahan adalah hal yang alami dalam kehidupan manusia. Meskipun tidak diharapkan, namun pada kenyataannya manusia berbuat salah merupakan hal umum terjadi dan luas cakupannya.  Kesalahan manusia terjadi merupakan konsekuensi perilaku hasil interaksi sistem manusia-tugas secara keseluruhan (Rasmussen, 1987). Suatu kesalahan tidak dapat dikatakan semata-mata tanggung jawab manusianya saja, tetapi merupakan hasil dari hubungan manusia dan sistem pekerjaannya.  Kesalahan dapat terjadi sebagai konsekuensi dari hubungan manusia dengan sistem pekerjaan yang makin kompleks.

Error bukan hasil dari suatu jenis perilaku yang menyimpang tetapi merupakan produk alami dari kegiatan manusia.  Jika manusia dapat melakukan tugasnya dengan mudah, mereka mungkin tidak akan salah dalam melakukan pekerjaannya. Namun pada waktu tertentu ia dapat berbuat salah sebagai konsekuensi dari pelaksanaan tugas yang bervariasi, lingkungan yang kompleks, dan faktor individual. Tidak jarang error dilakukan oleh personel yang normal, sehat, kompeten, berpengalaman, dan ketika bekerja ia dilengkapi alat perlengkapan keselamatan dengan baik, namun pada hari itu ia melakukan kesalahan. 

Penting untuk diketahui bahwa terjadinya error tidak acak.  Error terjadi tidak tiba-tiba.  Error merupakan konsekuensi dari beberapa faktor yang mendahului, bisa terkait dengan faktor fisiologis, atau psikologis individu ataupun faktor di luar individu seperti perawatan peralatan, misi dan tugas, serta lingkungan operasional.

 

Taksonomi Kesalahan Manusia

Dalam mengkategorikan error (kesalahan), terdapat beberapa variasi dari sejumlah ahli yang meninjaunya. Ada yang melihatnya dari penyebab kesalahan itu terjadi, ada yang memahaminya dari bentuk kegagalannya, dan ada ahli lainnya yang melihat dari model skill-rule-knowledge based error.

      Berdasarkan Penyebab

Dalam membedakan error berdasarkan penyebab, Whittingham (2004) menyebutkan dua jenis error, yaitu: kesalahan endogen, dan kesalahan eksogen.  Kesalahan endogen terkait dengan penyebab internal yang berhubungan dengan kegagalan dalam proses kognitif (atau berpikir dan penalaran).  Beberapa ahli tersebut mengkaitkan kesalahan endogen dengan sebab-sebab “mekanisme psikologis”. Untuk menjelaskan terjadinya kesalahan endogen, diperlukan pemahaman tentang pengetahuan psikologi, fisiologi atau neurosains.

Sedangkan kesalahan eksogen berhubungan dengan penyebab eksternal yang terkait dengan konteks di mana aktivitas manusia dilakukan. Kesalahan jenis ini berhubungan dengan lingkungan tugas yang potensial dapat menimbulkan kesalahan dalam bertindak.  Dalam kesalahan eksogen mungkin saja perlu pemahaman mengenai proses kognitif sebagai aspek internal yang terlibat, namun perbedaannya dalam kesalahan eksogen, beberapa faktor lingkungan eksternal berperan dalam menyebabkan terjadinya kesalahan. Misalnya dalam situasi di mana orang harus merespon stimulus yang menyajikan informasi yang membingungkan atau saling bertentangan.  Menghadapi situasi tersebut secara mental, menginterpretasi dan mengolah informasi akan menjadi sulit, sehingga dapat terjadi respon yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang direncanakan.

Sebaliknya bila kesalahan endogen yang terjadi, biasanya bukti penyebab eksternal sulit untuk menunjukkan hal ini dengan pasti. Meskipun penyebab kesalahan endogen dan eksogen tampak saling beririsan, namun perlu membedakannya untuk memahami konsep dasar dari kesalahan manusia.  Hal ini penting untuk dipahami karena frekuensi kesalahan eksogen secara teoritis dapat dikurangi melalui perubahan lingkungan eksternal, sementara kesalahan endogen relatif lebih sulit karena membutuhkan beberapa penjelasan lebih detil mengingat penyebabnya ada di dalam diri individu.

      Berdasarkan Bentuk Kegagalan Perilaku

Disamping dibedakan berdasarkan penyebab, sejumlah ahli lainnya membedakan error berdasarkan bentuk kegagalan yang dilakukan individu, antara lain; error of omission, error of commission, dan cognitive task errors (Gracia-Chico, 2006).

1. Error of ommision. Error atau kesalahan bentuk ini ditunjukan operator dengan tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan atau disyaratkan.  Kesalahan ini dapat terjadi karena lupa dan/atau abai melakukan tindakan yang seharusnya. 

2. Error of commision. Kesalahan bentuk ini ditunjukan seorang operator yang melakukan tindakan error.  Kesalahan ini dapat dibedakan dalam beberapa bentuk:

-    Slips, di mana operator memiliki motivasi atau niat yang benar, tapi eksekusinya  salah (tahapan atau urutan eksekusinya salah ; atau, timing saat eksekusi terlalu cepat ataupun terlambat).

-    Error berbasis ekspaktasi yang salah, suatu kesalahan yang terjadi karena salah mengantisipasi situasi, kesalahan bentuk ini umumnya berasal dari kegagalam stituational awareness.

-    Schema, yaitu struktur rangkaian sensorik-motorik yang disimpan dalam memori. Memori ini berguna untuk memandu perilaku secara efisien. Kesalahan akan terjadi umumnya terjadi karena schema di memori belum terbentuk secara utuh dan sempurna.      

    3. Cognitive task errors merupakan kesalahan di tingkat kognitif, antara lain: 

-    Diagnosis terhadap situasi yang tidak tepat. Hal ini bisa terjadi karena salah dalam memproses data, logika yang buruk, informasi yang diinterpretasikan secara tidak benar.

-    Pengambilan keputusan yang tidak didukung oleh informasi yang cukup sehingga terjadi “jumping conclusion” dan/atau ketergantungan pada keterampilan intuitif yang “buruk”.

 

      Berdasarkan Skill-Rule-Knowledge Based Error 

Selain membedakan error dari aspek penyebab dan kegagalan dalam tindakan individu, ahli lainnya yaitu Rasmussen (1982) membedakan kesalahan yang mengacu pada model SRK (Skill-Rule-Knowledge based error). 

1. Skill based error atau kesalahan berbasis keterampilan.  Kesalahan jenis ini umumnya terjadi pada individu yang sudah terampil dalam melaksanakan suatu tugas atau pekerjaan.  Ia mengerjakan tugasnya sudah rutin, sehingga tindakannya sudah otomatis seolah tanpa berpikir. Karena sudah sangat berpengalaman dalam bertindak umumnya mereka mengandalkan intuisinya.  Dalam skilled based error, terdapat dua bentuk kesalahan, slips dan laps.

-    Slips biasanya terjadi karena problem pada atensi, bisa terjadi karena informasi terlalu banyak, atau informasi yang terbatas, atau ada distraksi yang mengganggu atensi.

-    Sedangkan laps terjadi karena lupa yang dapat disebabkan problem psikologis seperti stres atau fatigue. 

      2. Rule-knowledge based error. Suatu kesalahan yang berbasis aturan (prosedur), namun bukan karena melanggar prosedur melainkan karena pengetahuan (tentang aturan) yang terbatas. Hal ini bisa terjadi karena individu belum berpengalaman atau karena individu belum menguasai prosedur yang dibutuhkan untuk mengoperasikan sistem.


Daftar Pustaka

Garcia-Chico, J.L. (2006). A human factors analysis of operational errors in ATC : the TCAS case study. Master's Theses. DOI: https://doi.org/10.31979/etd.zcv6-82bc. https:// scholarworks. sjsu.edu/etd_ theses/2999

Hollnagel, E. (2000). Looking for errors of omission and commission or The Hunting of the Snark revisited. Reliability Engineering & System Safety, Volume 68, Issue 2, May 2000, Pages 135-145. https://doi.org/10.1016/S0951-8320(00)00004-1

Rasmussen, J. (1982). Human errors. A taxonomy for describing human malfunction in industrial installations. Journal of Occupational Accidents. Vol. 4, Issues 2–4, September 1982, p. 311-333. https://doi.org/10.1016/0376-6349(82)90041-4

Rasmussen, J. (1987). The Definition of Human Error and a Taxonomy for Technical System Design In: Editors, J. Rasmussen, K. Duncan, J. Leplat. New Technology and Human Error, Ch. 3, pages 23-30. Chichester: Wiley Publisher.

Reason, J. (1990). Human Error. Cambridge, UK: Cambridge University Press, 1990

Whittingham, R.B. (2004). The Blame Machine:Why Human Error Causes Accidents. Oxford: Elsevier Butterworth-Heinemann.

Senin, 02 Januari 2023

Human Error di Penerbangan (1)

 [ Introduksi ]

Widura Imam Mustopo

Human error adalah topik yang sangat luas, sejajar dgn kinerja manusia itu sendiri. Di dunia penerbangan, salah satu aspek dari faktor manusia sebagai penyebab timbulnya kecelakaan adalah kesalahan pilot (pilot error).  Namun demikian, hanya mengungkapkan kesalahan pilot sebagai satu-satunya penyebab kecelakaan juga kurang bijak.  Setiap orang dapat membuat kesalahan dan kesalahan manusia adalah bagian dari pengalaman sehari-hari (Whittingham, 2004).  Pada kenyataannya, banyak kasus kecelakaan penerbangan tidak hanya disebabkan kesalahan individu (pilot) sebagai penyebab tunggal (Shappell & Wiegmann, 2000).  Hanya mengidentifikasi “penyebab utama" saja akan sulit untuk menemukan sebab-sebab suatu kecelakaan penerbangan yang pada umumnya bersifat kompleks.  Dapat dikatakan, kecelakaan penerbangan adalah hasil akhir dari sejumlah penyebab.  Tindakan tidak aman (unsafe act) pilot adalah tahap yang paling akhir dalam suatu rangkaian penyebab kecelakaan (Reason, 1990; Shappell & Wiegmann, 1997).

Untuk itu, memahami penyebab dan pengendaliannya yang mencakup teori, metode, dan teknik diperlukan untuk mencegah terjadinya human error.  Topik tentang human error akan diulas dalam beberapa seri tulisan di sini.  Dalam tulisan secara serial ulasan akan mengeksplorasi pilot error dalam lingkup yang cukup luas, termasuk mengidentifikasi hal tsb., mencari kemungkinan penyebab, dan bagaimana mengupayakan pengendalian dan pencegahannya. Dari keseluruhan seri tulisan ini, diharapkan pembaca dapat memperoleh pemahaman tentang konsep human error, penyebabnya, konsekuensi dan akibat dari error dan mengapa serta bagaimana error bisa terjadi, dan bagaimana strategi mengelola error dalam rangka mencegah terjadinya kecelakaan. 

Kilas Umum

Human error atau kesalahan manusia, meski tidak diharapkan, nyatanya kerap terjadi dan tidak jarang berdampak luas. Kesalahan manusia umumnya dilihat sebagai bagian tak terhindarkan dari kehidupan sehari-hari.  Error atau salah bukanlah hasil dari perilaku yang menyimpang, tetapi merupakan produk alami dari usaha manusia yang hidup dalam lingkungan yang kompleks.  Jika manusia sebagai operator dapat melakukan tugasnya dengan mudah, mungkin mereka tidak akan berbuat salah.  Pada waktu tertentu dapat saja ia melakukan kesalahan sebagai konsekuensi dari variasi tugas, lingkungan, dan factor dividedu.  Dapat dikatakan, kesalahan bisa dilakukan oleh seseorang yang kompeten dan bahkan dikenal sebagai individu yang sebelumnya tidak pernah melakukan kekeliruan dalam bertindak.

 Kesalahan manusia terjadi tidak acak, ia terjadi secara sistematis terkait dengan aspek manusia, peralatan, layanan, tugas, dan lingkungan operasi.  Kesalahan terjadi karena ada penyebabnya, dari masalah ketidakmampuan sampai dengan karena pengaruh stres atau kelelahan yang dialami seseorang.  Misalnya, ketika seseorang melakukan kegiatan rutin seperti membuat secangkir kopi susu di pagi hari, satu saat ia salah menuangkan susu ke dalam teko, yang seharusnya ke cangkir.  Seringkali kita kesulitan menjelaskan mengapa hal itu bisa terjadi, mungkin penjelasan yang mendekati bahwa pikirannya sedang berada di tempat lain atau ia sedang terganggu konsentrasinya.  Pertanyaannya, mengapa pikirannya berada di tempat lain sehingga mengganggu konsentrasinya?

Sebagian besar kesalahan, seperti tersesat di jalan ketika mengendarai mobil tidaklah acak, tetapi disebabkan oleh sistem, dalam hal ini tata letak jalan yang tidak tepat atau sebab lainnyaKesalahan terjadi pada dasarnya tidak acak, tetapi disebabkan oleh sistem yang disebut sebagaiinduksi sistem' atau ada kesalahan 'sistemik'.  Lebih-lebih di lingkungan organisasi terutama di industri penerbangan.   

Dunia penerbangan merupakan lingkungan kerja yang melibatkan teknologi tinggi dan menyangkut sistem yang kompleks termasuk pengaturan/prosedur kerja yang ketat (Reason, 1990).   Hal ini menuntut pemahaman tentang lingkungan atau sistem di mana kesalahan atau tindakan tidak aman tersebut terjadi.  Kesalahan manusia adalah gejala adanya masalah yang lebih dalam pada sistem. Mengapa seorang pilot melakukan kesalahan atau tindakan tidak aman sehingga terjadi kecelakaan perlu ditelusuri dan diselidiki lebih mendalam.  Jawaban dari mengapa seorang pilot melakukan tindakan tidak aman setidaknya dapat menjadi upaya untuk mencegah agar kecelakaan tidak terjadi secara berulang terutama oleh penyebab yang sama.

Dalam banyak kasus, akibat dari human error mungkin tidak berbahaya atau fatal dan dapat diperbaiki. Namun pada kasus lainnya termasuk di lingkungan penerbangan akibatnya dapat fatal, menimbulkan cedera dan bahkan kematian.  Oleh karena itu, usaha mengeliminir kesalahan (error) adalah keharusan.  Informasi yang terintegrasi tentang how-to-do-it merupakan hal yang penting.  

Para ahli human factors, berusaha mengeksplorasi dan menerapkan prinsip-prinsip umum yang dikenal efektif dalam upaya pencegahan terjadinya error di tingkat individu dan organisasi.  Mereka membahas error dan efeknya terhadap masyarakat penerbangan pada khususnya di mana teknologi yang digunakan makin kompleks. Seri tulisan tentang human error ini berupaya menjelaskan topik tersebut secara sistematis, komprehensif, dan terintegrasi.

Daftar Pustaka

Aerossurance. (2014). James Reason’s 12 Principle of Error Management. http://Aerossurance .com 

Reason, J. (1990). Human Error. Cambridge: Cambridge University Press.

Shappell, S.A. & Wiegmann, D.A. (1997) A Human Error Approach to Accident Investigation: The Taxonomy of Unsafe Operations, The International Journal of Aviation Psychology, 7:4, 269-291, DOI: 10.1207/s15327108ijap0704_2. Published online: 13 Nov 2009

Shappell, S.A. & Wiegmann, D.A. (2000). The Human Factors Analysis and Classification System–HFACS. Springfield, Virginia:  U.S. Department of Transportation Federal Aviation Administration.

Whittingham, R.B. (2004). The Blame Machine:Why Human Error Causes Accidents. Oxford: Elsevier Butterworth-Heinemann.

 


Jumat, 09 Desember 2022

Isu Kesehatan Mental di Penerbangan

Widura Imam Mustopo

 Pendahuluan

Beberapa kasus kecelakaan penerbangan membangkitkan kembali perhatian pada isu-isu Kesehatan mental di lingkungan awak pesawat, terutama pilot. Besarnya masalah atau gangguan kesehatan jiwa dalam penerbangan tidak diketahui secara jelas. Namun secara teoritis, kesehatan mental dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik pribadi ataupun pekerjaan. Terkait dengan gangguan mental, publikasi ICAO menyebutkan mayoritas gangguan mencakup depresi, kecemasan (anxiety), dan ketergantungan obat & alkohol (Jordaan, 2016).  Sumber lain mengungkapkan masalah psikologis yang umum pada pilot, antara lain menyangkut gangguan penyesuaian, gangguan mood, kecemasan dan stres kerja, masalah relasi sosial, disfungsi seksual, dan masalah alkohol (Bor et al., 2017). 

Dalam tulisan berikut ini akan diulas mengenai kesehatan mental dan gangguan mental umum atau common mental disorders (CMD) di lingkungan awak pesawat. Akan diuraikan latar belakang munculnya perhatian lebih besar terhadap isu kesehatan mental di lingkungan penerbangan, bagaimana para pemangku kepentingan baik dari kalangan kesehatan dan psikologi penerbangan, asosiasi pilot, operator, dan regulator dalam merespon permasalahan kesehatan mental dan upaya menanganinya serta mendapatkan solusi. Tulisan juga menyinggung isu-isu apa saja yang muncul terkait permasalahan Kesehatan mental di penerbangan, dan apa saja Langkah pertimbangan ICAO (International Civil aviation Organization) dalam merespon masalah Kesehatan mental di lingkungan penerbangan.

 

Latar Belakang

Beberapa kasus kecelakaan penerbangan yang berhubungan dengan isu-isu kesehatan mental awak pesawat telah menarik perhatian dan menjadi latar belakang tulisan ini, antara lain;

 

JetBlue Flight 191. 27 Maret 2012, JetBlue Flight 191, terbang dari Bandara John F. Kennedy, New York menuju Las Vegas.  Saat itu penerbangan dialihkan ke Amarillo menyusul komentar dan ancaman yang mengganggu dilakukan oleh Captain pesawat. Menyadari perilaku aneh Captain, maka First officer mengunci cockpit dari dalam. Di dalam kabin, Captain diamankan oleh penumpang. Pilot JetBlue lainnya yang tidak bertugas, membantu First officer dalam mengalihkan pesawat ke Amarillo dengan lancar (Fernandez, 2012). Laporan awal dari maskapai menungkapkan bahwa pilot mengalami serangan panik (panic attack) (Donaldson, 2012).

 

Malaysia Flight 370. 8 Maret 2014, Malaysia Flight 370, dalam penerbangan dari Kuala Lumpur ke Beijing, menghilang di atas Samudera Hindia.  Pada kejadian ini 12 awak pesawat dan 227 penumpang menjadi korban (ATSB, dalam DeHoff & Cusick, 2018). Pencarian pesawat terhambat karena sistem pelaporan otomatis pesawat dinonaktifkan. Tidak ada informasi apapun yang terdengar dari pesawat dalam 38 menit sebelum kejadian. Penemuan sejumlah kecil puing pesawat, mengarahkan investigator mencurigai bahwa pesawat itu tidak dikonfigurasi untuk pendaratan di air atau ditching saat menyentuh laut (ATSB, 2017).  Selain itu, pesawat juga tidak dikonfigurasi untuk mendukung kelangsungan hidup awak dan penumpang.  Investigator menyimpulkan bahwa seseorang mengendalikan pesawat di akhir penerbangannya. Informasi yang diambil dari komputer pribadi Captain mengungkap bahwa beberapa waktu sebelumnya Captain telah membuat simulasi "penerbangan" di Boeing 777-200LR, termasuk mengemudikan pesawat ke daerah-daerah terpencil di Samudera Hindia. Pengungkapan konfigurasi pesawat dan simulasi penerbangan yang dibuat Captain di komputer pribadinya mengarahkan dugaan investigator bahwa kecelakaan itu sebagai kasus bunuh diri yang dilakukan oleh Captain pesawat. Walaupun, Biro Keselamatan Transportasi Australia pada akhirnya menyimpulkan bahwa penyebab kecelakaan tidak dapat ditentukan dengan pasti mengingat puing-puing utama belum ditemukan (ATSB, dalam DeHoff & Cusick, 2018).

 

Germanwings Flight 9525. 24 Maret 2015, Germanwings Flight 9525, terbang dari Barcelona ke Düsseldorf.  Tak lama setelah mencapai ketinggian jelajah Captain pilot keluar dari kokpit, dan First officer mengunci pintu kokpit dari dalam.  Sendirian di kokpit, First officer mengendalikan pesawat hingga pesawat menabrak lereng gunung dengan kecepatan 350 knot (BEA, 2016).  Kecelakaan terjadi di Pegunungan Alpen dan menewaskan seluruh 150 penumpang serta awak pesawat.  Investigasi mengungkapkan beberapa peristiwa sebelum kecelakaan itu terjadi.  Dari Riwayat kerja, First officer terbang untuk Germanwings kurang dari satu tahun sebelum kecelakaan.  Dilaporkan ia memiliki masalah kesehatan mental sejak 2009.  Sejak 2009, sertifikat medisnya, yang diperbarui setiap tahun, termasuk waiver untuk episode gejala depresi berat non-psikotik terjadi pada tahun tersebut.  Waiver tersebut menyatakan bahwa jika episode gejala depresi terulang kembali, maka sertifikat medis First officer tidak berlaku. Pada bulan Desember, kira-kira empat bulan sebelum kecelakaan itu, First officer mengalami kembali gejala depresi.  Ketika itu, dia berobat ke beberapa dokter dan diberi otorisasi dari dokter untuk mengambil cuti dari tugas penerbangannya. Namun otorisasi ini tidak diteruskan ke Germanwings, termasuk kepada pimpinan dan medical examiner bahwa ia mengalami depresi kembali (BEA, 2016). Dapat dikatakan bahwa kecelakaan ini mengejutkan dan mengaktifkan berbagai lembaga regulator penerbangan di dunia untuk lebih memahami implikasi kesehatan mental di penerbangan.

Telah banyak yang telah ditulis tentang insiden JetBlue, Malaysia, dan Germanwings. Dua kasus terakhir mendorong berbagai pemangku kepentingan termasuk badan regulator di seluruh dunia untuk mememperhatikan kembali kondisi kesehatan mental awak pesawat.

Gangguan Mental Umum (Common Mental Disorders) di Penerbangan

Besarnya masalah gangguan kesehatan mental dalam penerbangan tidak diketahui secara pasti, namun yang jelas kesehatan mental dipengaruhi oleh berbagai faktor pribadi dan pekerjaan. Problem kesehatan mental sebetulnya sudah mendapatkan perhatian sejak lama, permasalahan ini memang berbeda dengan isu Kesehatan Fisik.  Gangguan Mental Umum (Common Mental Disorders [CMD]) dapat terkait dengan depresi, kecemasan, dan ketergantungan obat dan alcohol (Jordaan, 2016).  Suatu penelitian untuk memperkirakan prevalensi kasus dugaan gangguan mental, utamanya CMD pada pilot penerbangan sipil Brasil telah dilakukan tahun 2009.  Secara khusus, penelitian ini ditujukan untuk menyelidiki hubungan antara CMD, demografi, dan variabel tenaga kerja.  

Penelitian ini menggunakan Job Content Questionnaire (JCQ) dan Self-Reporting Questionnaire (SRQ-20).  Studi cross-sectional kuantitatif dilakukan pada 807 pilot yang bekerja antara Oktober 2009 dan Oktober 2010.  Hasil penelitian tersebut melaporkan, prevalensi CMD secara keseluruhan adalah 6,7% kasus positif. 10,2% menunjukkan dugaan CMD muncul pada individu yang tidak berolahraga. 23,7% menunjukkan dugaan CMD di antara mereka yang bekerja dengan beban kerja yang berat. Kesimpulan hasil penelitian mengngkap hanya variabel yang berkaitan dengan beban kerja dan aktivitas (olahraga) fisik yang secara signifikan berkorelasi dengan estimasi CMD.

Dilaporkan bahwa olahraga secara teratur memberikan efek perlindungan terhadap kasus dugaan CMD, sementara prevalensi kasus dugaan CMD yang lebih tinggi terjadi di antara subjek dengan beban kerja yang berat. Hasil penelitian ini menunjukkan ada korelasi yang signifikan antara pekerjaan yang sangat menuntut (demanding) dan prevalensi CMD, dibandingkan dengan pilot dengan pekerjaan yang kurang menuntut. Prevalensi CMD yang diekspaktasi pada pilot dengan pekerjaan yang sangat menuntut, beban kerja berat, dan tidak berolahraga secara teratur adalah 39,7%, dibandingkan dengan subkelompok pilot dengan pekerjaan yang kurang menuntut, olah raga teratur, dan beban kerja ringan, yang menunjukkan prevalensi yang diekpaktasi sebesar 0,4%.

Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa kondisi kerja dapat dianggap sebagai faktor potensial yang berkontribusi terhadap CMD, dengan kemungkinan berdampak pada keselamatan penerbangan. Dimasukkannya topik kesehatan mental di antara target dan prioritas penerbangan sipil di Brasil sangat penting. Mengatasi masalah seperti olahraga rutin dan beban kerja dapat berkontribusi untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik antara keselamatan dan produktivitas penerbangan.

Penelitian lainnya berbentuk survei juga telah dilakukan pada tahun 2016 oleh para peneliti dari Harvard T. H. Chan School of Public Health.  Survei dilakukan terhadap 1837 pilot. Hasil penelitian mendukung bahwa masalah kesehatan mental di populasi pilot maskapai serupa dengan populasi AS pada umumnya. Wu dkk. (2016) menemukan bahwa lebih dari 12% pilot yang merespon survei memenuhi tingkat ambang batas depresi. Selain itu, lebih dari 13% dari responden yang melaporkan telah bekerja sebagai pilot dalam 30 hari sebelumnya memenuhi: kriteria yang sama. Lebih mengejutkan Wu dkk. juga menemukan lebih dari 4% peserta penelitian melaporkan memiliki pikiran untuk bunuh diri dalam dua minggu sebelumnya .

Sebuah review sistematis terhadap 20 studi yang meneliti depresi pada pilot maskapai penerbangan menemukan bahwa prevalensi gangguan depresi mayor yang dialami oleh pilot maskapai komersial berkisar antara 1,9% hingga 12,6% (Pasha & Stokes, 2018). Survei untuk mengidentifikasi tren serupa juga ditemukan di pekerjaan-pekerjaan dengan stres tinggi lainnya. Gejala yang terkait dengan gangguan depresi mayor dilaporkan menunjukan prevalensi 12% dan 13% pada personel militer AS yang dikerahkan untuk suatu operasi, 7% ditemukan pada teknisi medis darurat dan 17% pada petugas polisi (Wu dkk., 2016).

Penelitian Wu dkk. ini menyajikan kasus yang menarik bahwa tantangan kesehatan mental, khususnya depresi pada komunitas pilot selaras dengan populasi (di AS) pada umumnya. Ini mengungkap bahwa perhatian lebih besar perlu diarahkan pada diagnosis dan terapi yang efektif, sehingga tantangan kesehatan mental ini dapat ditangani dan tidak berpotensi membahayakan keselamatan penerbangan. Lebih lanjut Wu dkk. menyarankan agar pendekatan lebih diarahkan kepada upaya-upaya preventif terhadap kesehatan mental pilot daripada pada kebijakan seleksi, evaluasi, dan penyimpanan catatan.

Problem Kesehatan Mental dan Konsekuensinya

Ketika seseorang didiagnosa mengalami problem mental, umumnya muncul beberapa kemungkinan yang bisa terjadi, antara lain: Isu-isu terkait menurunnya kepercayaan diri dan menghargai diri sendiri (self-esteem), adanya keengganan mencari bantuan karena masalah kerahasiaan medis, berupaya mencari bantuan tetapi menolak ketika harus diterapi, memperoleh perawatan namun tidak mengungkapkan kondisi sebenarnya atau tidak menginformasikan pelaksanaan perawatannya kepada otoritas, rekan kerja ragu-ragu untuk melaporkan kekhawatiran mereka kepada atasan/manajemen/pihak otoritas, meningkatnya stres dan perasaan terisolasi, dan efek memburuk dari perkembangan gejala gangguan mental, serta meningkatnya risiko keselamatan penerbangan

Selain itu, ketika seorang pilot didiagnosa mengalami masalah mental, hal yang bisa terjadi, yaitu: yang bersangkutan mendapatkan stigma and diskriminasi dari lingkungan, ada biaya tambahan misalnya pemeriksaan dan perawatan untuk mendapatkan sertifikat medis, larangan terbang disebabkan status kesehatan mental, yang memberikan konsekuensi kehilangan pendapatan, dan takut kehilangan pekerjaan

Work-related Stress & Coping Strategies

Sejak kecelakaan Germanwings 9525 tahun 2015, masalah mengelola dan mendukung pilot dalam mengatasi problem kesehatan mental yang berkaitan dengan stres terkait pekerjaan (stres kerja) telah mendapatkan perhatian yang meningkat.  Banyak pihak pemangku kepentingan menganjurkan diterapkannya praktik perilaku sehat karena dipercaya dapat memperkuat daya tahan seseorang terhadap stres (Morimoto & Shimada, 2015).  Praktik-praktik tersebut antara lain strategi koping stres yang umum, olahraga secara rutin, menerapkan praktik teknik relaksasi, upaya mencari dukungan sosial dan/atau partisipasi sosial, manajemen tidur dan manajemen diet, tidak merokok dan alkohol.  Dan, satu hal lagi yang lebih bersifat psikologis adalah memperkuat efikasi diri.

Efikasi diri, adalah keyakinan seseorang bahwa ia mampu berhasil dalam menghadapi situasi tertentu. Menurut suatu penelitian, tingkat efikasi diri yang tinggi dapat membantu seseorang lebih efektif mengatasi stres kerja (Jordan et al., 2016). Memperkuat efikasi diri adalah kunci keberhasilan dalam intervensi yang dirancang untuk mengurangi gejala depresi (Blazer, 2002). 

 Tanggapan Terhadap Problem Kesehatan Mental di Penerbangan

Perhatian terhadap isu-isu kesehatan mental, terutama setelah kejadian Germanwing Flight 9525 juga menarik sejumlah organisasi dan regulator untuk memberikan tanggapan.  European Cockpit Association (ECA), European Association for Aviation Psychology (EAAP), dan European Society of Aerospace Medicine (ESAM), membuat pernyataan bersama untuk mempromosikan kesehatan mental dan membantu para pilot yang membutuhkan bantuan mengatasi masalah Kesehatan mental (ECA, 2015). Beberapa pernyataan mereka antara lain:

·    Kinerja pilot yang aman selama karir, sehat dan memuaskan harus menjadi tujuan bersama pilot profesional, spesialis aeromedis dan psikologi, manajemen maskapai penerbangan, dan pihak-pihak otoritas yang berwenang.

·     Kesehatan mental harus dilihat sebagai bagian integral dari kesehatan dan kesejahteraan para profesional secara keseluruhan.

·      Memberikan dukungan kuat untuk menyelenggarakan pilot Peer Support Programmes.

·  Melaksanakan evaluasi psikologis awal terhadap pilot pada tahap sebelum bekerja sesuai dengan standar yang diterima secara internasional.n standar yang diterima secara internasional.

      Pernyataan Bersama tersebut searah dengan rekomendasi The Aerospace Medical Association (AsMA) terkait Kesehatan mental di antara para pilot (EASA, 2015).  Rekomendasi tersebut antara lain:

·      Kesejahteraan mental dan tidak adanya gangguan mental sangat penting bagi kinerja dan tugas pilot yang aman serta keselamatan penerbangan.

·     Gangguan/penyakit mental yang serius seperti psikosis akut relatif sedikit, dan kemunculannya sulit diprediksi.

·    Perhatian harus lebih diberikan pada masalah dan kondisi kesehatan mental yang ringan dan lebih umum ketika pemeriksaan regular kondisi aeromedis pilot.

·   Harus digunakan metode yang tepat untuk membangun hubungan dan kepercayaan dengan pilot di lingkungan yang tidak mengancam.

 

  Secara umum, kalangan industri penerbangan dan komunitas pilot mengutamakan promosi pentingnya kesejahteraan positif (positive well being) dan praktik perilaku sehat bagi para profesional penerbangan.

ICAO CONSIDERATION-Mental Health Advocacy

Problem kesehatan mental pada kenyataannya memang membuat sementara pihak dilematis, karena di satu pihak merupakan permasalahan di mana yang mengalaminya kadang mendapatkan perlakuan tidak adil dan tidak jarang muncul dari persepsi yang subjektif, namun di pihak lain permasalahan kesehatan mental perlu diwaspadai dan diatasi agar tidak memberikan konsekuensi negative bagi kesejahteraan psikologis dan keselematan penerbangan.  Menghadapi kondisi ini, ICAO memberikan pertimbangan pentingnya advokasi atau perlindungan untuk mengantisipasi mereka yang potensial mengalami permasalahan kesehatan mental. Beberapa pertimbangan tersebut antara lain, mengembangkan advokasi untuk mempromosikan hak asasi orang dengan gangguan mental dan untuk mengurangi stigma serta diskriminasi, advokasi ini mencakup tindakan yang bertujuan untuk mengubah hambatan struktural dan sikap agar tercapai hasil kesehatan mental yang positif, dan menitik beratkan kebutuhan dan hak orang dengan gangguan jiwa ringan dan kebutuhan kesehatan jiwa secara umum.

Pertimbangan-pertimbangan ini diwujudkan dalam tindakan kongkrit dengan meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya praktik perilaku sehat dan memelihara kesejahteraan psikologis ;  memberikan informasi, edukasi and pelatihan tentang penyebab dan mengatasi problem Kesehatan mental ; mengembangkan jaringan dukungan sosial untuk pertukaran informasi; dukungan emosional dan instrumental (misal, memberikan fasilitas pertemuan dan kontak dengan kelompok lain) ; memberikan layanan Kesehatan mental (konseling dan dukungan profesional) bila diperlukan ; mempromosikan pembentukan aliansi pemangku kepentingan untuk advokasi kesehatan mental ; dan, melaksanakan evaluasi dan kajian mengenai pelaksanaan advokasi.

Penutup


Sebagai penutup tulisan ini, dapat dirangkum beberapa hal untuk menjadi perhatian, antara lain: Kesehatan mental dipengaruhi oleh berbagai faktor pribadi dan pekerjaan ; Industri dan kelompok pilot penting untuk mempromosikan kesejahteraan positif dan praktik perilaku sehat ; CMD di penerbangan lebih banyak dialami oleh para pilot yang menghadapi dengan beban berat dan menuntut serta kurang berolahraga ; Mendapatkan label memiliki problem kesehatan mental di penerbangan dapat menimbulkan konsekuensi negatif ; dan, Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut ICAO lebih mempertimbangkan pentingnya kebutuhan advokasi para pilot terhadap kemungkinan mengalami permasalahan kesehatan mental termasuk konsekuensinya.

 

DAFTAR KEPUSTAKAAN

 

Bureau d’Enquêtes et d’Analyse (BEA). (2016). Final Report Accident on 24 March 2015 at Prads-Haute-Bléone (Alpes-de-Haute-Provence, France) to the Airbus A320-211 registered D-AIPX operated by Germanwings

 

Cahill J., Cullen, P., Anwer, S., Wilson, S. & Gaynor, K. (2021): Pilot Work Related Stress (WRS), Effects on Wellbeing and Mental Health, and Coping Methods, The International Journal of Aerospace Psychology, DOI: 10.1080/24721840.2020.1858714.

 

Chong, C.H. (2016). DME Training – Mental Health in Civil Aviation. CAMB – CAAS. Atlantic City, 27 April 2016.

 

Collins, P.Y. (2020). What is global mental health? Department of Psychiatry and Behavioral Sciences and Department of Global Health, University of Washington : Seattle, WA, USA.

 

DeHoff, M. C., & Cusick, S. K. (2018). Mental Health in Commercial Aviation - Depression & Anxiety of Pilots. International Journal of Aviation, Aeronautics, and Aerospace, 5(5). Retrieved from https://commons.erau.edu/ijaaa/vol5/iss5/5.

 

ESAM, ECA, EAAP. (2015). Aeromedical, Aviation Psychological & Pilot Associations Join Forces to facilitate Pilot Medical Fitness 30/11/2015. www.esam.aero ; www.eurocockpit.be ; www.eaap.net

 

Feijó, D., Luiz, R.R., & Camara, V.M. (2012). Common mental disorders among civil aviation pilots. Aviat Space Environ Med. 2012 May ; 83(5):509-13. DOI: 10.3357/asem.3185.2012.

 

Jordaan, A. (2016). Strengthening mental health in Civil Aviation. Aviation Medicine Section, ICAO. Atlantic City: ICAO

 

Scarpa, P.J. (2016). AsMA Pilot Mental Health Working Group Recommendations –Revised 2015. Atlantic City: Aerospace Medical Association.

 

Wu, A. C., Donnelly-McLay, D., Weisskopf, M. G., McNeely, E., Betancourt, T. S., & Allen, J. G. (2016). Airline pilot mental health and suicidal thoughts: a cross-sectional description study via anonymous web-based survey. Environmental Health, 15:121. DOI: 10.1186/s12940-016-0200-6

 

 

 

 


Minggu, 17 April 2022

Senin, 18 Oktober 2021

BUDAYA & IKLIM KESELAMATAN UNTUK MENGEMBANGKAN PERILAKU KESELAMATAN

 Widura Imam Mustopo

Kemajuan teknologi penerbangan yang semakin maju ditandai dengan meningkatnya kehandalan dan kinerja pesawat udara generasi baru hingga diaplikasikannya inovasi-inovasi berbagai peralatan operasional termasuk prosedur pengaturan lalu lintas udara, kedaruratan dalam pendaratan, dll.   Tak terkecuali kondisi ini memberikan dampak pada organisasi di dunia penerbangan.  Hal ini tidak hanya memberikan dampak pada operator, pilot dan awak pesawat lainnya namun juga segenap personil yang terlibat dalam dunia penerbangan.  Faktor manusia menjadi penting terutama pada tuntutan terhadap aspek-aspek psikologis tertentu, mengingat kemajuan teknologi memberikan dampak pada meningkatnya tuntutan terhadap kemampuan yang berhubungan dengan kompleksitas tugas.  Perhatian terhadap aspek keselamatan dari faktor manusia menjadi penting, karena kegagalan pada faktor manusia dapat menyebabkan kerugian baik secara ekonomi maupun jiwa manusia.

Tulisan ringkas ini bertujuan untuk mengungkap peran budaya dan iklim keselamatan dalam mendukung keselamatan dan bagaimana perilaku keselamatan dapat dikembangkan.  Dalam beberapa hal, perilaku yang dapat menjamin keselamatan seringkali harus dikontrol dan merupakan bagian dari tanggung jawab manajemen dan kepemimpinan untuk menjaga kepatuhan terhadap aturan demi tercapainya keselamatan terbang dan kerja. Namun seringkali kehandalan peran manajemen dan fungsi kepemimpinan juga tidak cukup, karena beberapa perilaku hanya dapat dipengaruhi melalui budaya dan/atau nilai-nilai yang berlangsung di organisasi.

 

Perilaku Keselamatan

Perilaku manusia, dapat dikatakan merupakan aspek yang kritis namun juga fleksibel dalam beradaptasi dengan tuntutan lingkungan kerja dan organisasi. Perilaku menjadi indikator utama ketika manusia berusaha untuk survive menghadapi berbagai tuntutan dan tekanan dalam kompleksitas sistem teknologi dengan segala konsekuensinya.  Dunia modern saat ini menempatkan prioritas utama pada keselamatan dengan berbagai regulasi yang fokusnya adalah terjaminnya lingkungan kerja yang aman. 

Perilaku keselamatan sendiri dapat diamati dari dua hal, yaitu safety compliance (kepatuhan demi keselamatan), dan safety participation (partisipasi dalam keselamatan).  Safety compliance merupakan perilaku yang ditujukan untuk mencegah terjadinya insiden/kecelakaan. Perilaku ini mengacu pada kegiatan inti yang dilakukan manusia dalam menjaga keselamatan di tempat kerja.  Perilaku ini ditunjukan dengan tindakan mematuhi peraturan, standar prosedur kerja dan mengenakan alat pelindung diri, dll.

Sedangkan safety participation merupakan perilaku yang tidak berkontribusi langsung pada keselamatan individu tetapi membantu mengembangkan lingkungan yang mendukung keselamatan.  Perilaku ini berasal dari budaya keselamatan yang muncul dalam bentuk norma dan nilai-nilai (values) yang terbentuk dari praktik-praktik keselamatan dalam keseharian pelaksanaan kerja.  Beberapa bentuk perilaku ini, antara lain; melaporkan adanya bahaya (hazard), memberikan laporan ketika mengalami insiden, menghadiri pertemuan tentang keselamatan (safety meeting) dsb.  Selain itu juga sikap sukarela untuk melapor bila melihat atau mengidentifikasi peluang untuk meningkatkan keselamatan, membimbing anggota/personil baru tentang pentingnya keselamatan, dll.  

 

Budaya Keselamatan, Iklim Keselamatan & Perilaku Keselamatan

Dalam mengulas budaya keselamatan yang membantu lingkungan untuk mendukung keselamatan terdapat tiga komponen utama, yaitu; komponen situasional, komponen psikologis, dan komponen perilaku.  Komponen situasional menyangkut struktur organisasi, misalnya; kebijakan, prosedur kerja, sistem manajemen, dsb.   Komponen perilaku mencakup kinerja (performance), termasuk di sini perilaku keselamatan (safety behavior) dan perilaku tidak aman (unsafe behavior).  Sedangkan komponen psikologis berhubungan dengan iklim keselamatan (safety climate) yang menyangkut persepsi dan sikap terhadap keselamatan. 

Sejumlah ahli mengemukakan bahwa iklim keselamatan dapat dilihat sebagai indikator dari budaya keselamatan suatu organisasi yang diamati oleh anggota/karyawan dalam suatu waktu tertentu.  Iklim keselamatan merepresentasikan persepsi, sikap, dan kepercayaan individu tentang risiko dan keselamatan. Iklim keselamatan juga mencakup persepsi individu terhadap kebijakan, prosedur, dan praktik yang berkaitan dengan keselamatan di tempat kerja.  Dapat dikatakan iklim keselamatan merupakan indikator penting untuk mengenali budaya keselamatan yang berlangsung atau hidup dalam suatu organisasi.

Untuk memahami sejauhmana budaya keselamatan dapat mempengaruhi terbentuknya perilaku keselamatan dapat diamati dari kondisi iklim keselamatan. Para pakar di bidang keselamatan, melaporkan hasil penelitiannya bahwa iklim keselamatan dapat mempengaruhi terbentuknya perilaku keselamatan melalui pengetahuan tentang keselamatan (safety knowledge) dan motivasi untuk keselamatan (safety motivation).  Iklim keselamatan yang positif akan mendorong anggota/personil mengembangkan pengetahuan dan motivasi tentang keselamatan.   Dan selanjutnya, kedua aspek tsb. akan mempengaruhi terbentuknya perilaku keselamatan yang muncul dalam bentuk kepatuhan dan partisipasi dalam mendukung terciptanya keselamatan dalam terbang dan kerja.

   

Iklim Keselamatan dan Perilaku Keselamatan



Penutup

        Dalam menerapkan keselamatan terbang dan kerja, hanya menekankan tanggung jawab pada individu saja tidaklah cukup.  Perilaku keselamatan perlu didukung dengan menjamin orang-orang untuk mematuhi aturan dan berpartisipasi dalam keselamatan.  Untuk upaya ini, sistem keselamatan memerlukan pemahaman tentang budaya keselamatan atau iklim keselamatan untuk mengantisipasi dan mengendalikan keselamatan. 


Kepustakaan

Cooper, D., (2001).  Improving Safety Culture: A Practical Guide. Hull: Applied Behavioural Science.

Gadd, S., Collins, A.M., (2002).  Safety Culture: A Review of The Literature.  Broad Lane, Shefield: Health & Safety Laboratory.

Helmreich, R.L., (1999).  Building Safety in The Three Cultures of Aviation.  In The Proceeding of The IATA Human Factors Seminar (pp. 39-43). Bangkok, Thailand.

Neal, A., and Griffin, M.A., (2002). Safety Climate and Safety Behavior.  Australian Journal of Management, 27, 67-75.

Neal, A., and Griffin, M.A., (2006). A Study of The Lagged Relationship Among Safety Climate, Safety Motivation, Safety Behavior, and Accidents at The Individual and Group Levels.  Journal of Applied Psychology, 91(4), 946-953.