Senin, 29 Desember 2008

Emosi dan Pengambilan Keputusan

Widura I.M.

Pendahuluan

Kemampuan penerbang dalam membuat pertimbangan dan mengambil keputusan sangat penting dalam keselamatan terbang. Dapat dikatakan bahwa pengambilan keputusan merupakan salah satu mata rantai yang esensial dalam tindakan penerbang, lebih-lebih dalam menghadapi situasi emergency. Hasil analisis FAA (Federal Aviation Administration) seperti dilaporkan Jensen dan Bennel (Orasanu, 1992) menunjukan bahwa kesalahan penerbang dalam membuat pertimbangan (judgement) menyumbang lebih dari 50% terjadinya kecelakaan fatal pada tahun 1970 – 1974. Sedangkan penelitian NTSB (National Transportation Safety Board) sebelumnya melaporkan bahwa tidak kurang dari 47% kecelakaan penerbangan antara tahun 1983 – 1987 disebabkan kesalahan penerbang dalam judgement dan pengambilan keputusan.
Kegagalan penerbang dalam bertindak tentunya tidak serta merta karena pertimbangan atau pengambilan keputusan yang keliru. Terdapat sejumlah aspek psikologis yang perlu diperhatikan sebagai faktor yang bertanggung jawab terhadap kegagalan tersebut. Dalam tulisan ini akan diulas faktor emosi sebagai aspek psikologis yang dapat menghambat proses pengambilan keputusan, dan bagaimana sebaiknya upaya pencegahannya.

Emosi dan Stres Psikologis
Setiap orang tentunya tidak asing dengan gejala emosi, seperti gugup, dada berdebar, telapak tangan berkeringat, dsb. Kondisi tersebut jelas adalah reaksi emosi dan umumnya merupakan ciri-ciri dari perasaan takut atau marah yang ekstrim. Namun bisa juga kondisi tersebut disebabkan emosi yang tak terlalu ekstrim seperti perasaan khawatir, bahkan mungkin saja reaksi emosi muncul karena pengalaman yang menyenangkan seperti luapan kegembiraan. Jadi pada hakekatnya, emosi dapat bernilai negatif (marah, takut, cemas, dsb.) atau positif seperti kegembiraan, rasa puas, dsb.
Dari sudut pandang psikologi, apapun bentuk gejala emosi – positif atau negatif - pada dasarnya perlu mendapatkan perhatian karena dampaknya dapat berakibat fatal khususnya dalam pengambilan keputusan. Dikatakan oleh Lazarus (1976), kondisi emosi yang diakibatkan oleh situasi stres dapat berdampak kumulatif (menumpuk) bila tidak segera mendapat penanganan yang tepat, dan konsekuensinya akan menghambat performance.
Situasi tugas yang dihadapi seorang penerbang sering cukup membebani, seperti saat lepas landas, mendarat, atau ketika menghadapi cuaca buruk maupun kondisi emerbency lainnya. Situasi tersebut sering dirasakan sebagai pengalaman yang stressful dan bila melibatkan emosi dapat berdampak kuat pada performance penerbang.
Kondisi stres yang melibatkan emosi, misalnya terjadi pada seorang penerbang saat menghadapi situasi emergency dimana ia harus bertindak cepat untuk mengatasinya, namun di sisi lain pilihan tindakan yang harus diambil melibatkan sejumlah alternatif tindakan yang saling bertentangan (konflik). Atau, situasi yang dihadapi berkaitan dengan kekhawatiran pada hal-hal yang tidak diketahuinya bila ia keliru dalam mengambil keputusan. Atau, kekeliruan dalam mengambil keputusan akan membuatnya kehilangan muka (malu) ataupun menurunkan harga diri. Situasi stres emosi seperti tersebut di atas seringkali mempunyai dampak yang cukup mendalam.
Dampak yang umum terjadi adalah orang menjadi waspada secara berlebihan (hypervigilance) dan hal ini sering dikaitkan dengan kesalahan pengambilan keputusan (Janis, 1982). Suatu kondisi yang dapat menghambat berfungsinya kemampuan berfikir seseorang dan tentunya memberikan akibat pada kekeliruan dalam pengambilan keputusan.

Stres Emosi, Persepsi dan Perhatian
Stres emosi kuat yang menyebabkan hypervigilance umumnya ditandai oleh kesiagaan berlebihan dan selanjutnya dapat mengakibatkan perhatian yang menyebar dan tidak terfokus (diffused attention). Kondisi ini merupakan salah satu sumber inefisiensi dalam berfikir yang menyebabkan judgement yang buruk, keputusan impulsif dan tidak sesuai dengan situasi nyata.
Janis (1982) mengemukakan beberapa bentuk inefisiensi berfikir yang berhubungan dengan diffused attention, antara lain :
â Gagal memperoleh informasi yang dapat dipercaya (reliable).
â Gagal mengingat tindakan yang harus dilakukan ketika situasi ancaman yang dihadapi sama seperti waktu sebelumnya.
â Terlalu berlebihan dalam memperhatikan ancaman.
â Obsesif terhadap segala hal yang dapat berakibat buruk.
â Cepat berpindah perhatian pada bentuk-bentuk ancaman yang kadang tidak realistik atau tidak penting.
â Tidak efisien dalam membagi perhatian sehingga banyak menghabiskan waktu dalam melakukan tindakan yang efektif untuk menyelamatkan diri.

Disamping mengakibatkan diffused attention, stres emosi juga dapat menimbulkan hambatan dalam mengamati situasi lingkungan dalam upaya memperoleh informasi penting. Gejala ini dapat diidentifikasi ketika penerbang mengalami penyempitan penglihatan (tunnel vision) yang muncul dalam bentuk terbatasnya rentang penglihatan yang menyebabkan kegagalan dalam mengamati informasi kritis (Orasanu, 1994).
Konsekuensi dari kondisi-kondisi di atas sangat berpengaruh pada perolehan data informasi penerbang sebagai dasar pertimbangan (judgement) atau penilaian situasi sebelum keputusan diambil.

Stres Emosi dan Judgement
Faktor lainnya yang cukup kuat dipengaruhi oleh pengalaman stres emosi adalah kemampuan berfikir, khususnya fleksibilitas berfikir. Hambatan pada faktor ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam mempertimbangkan alternatif tindakan yang paling efektif untuk mengatasi situasi ancaman.
Bila direntangkan suatu garis maka judgement berada di antara “berfikir” dengan “emosi”, dengan judgement berada lebih dekat ke arah “emosi”, sehingga secara teoritis, judgement lebih rentan terhadap gangguan emosi (Lihat Gambar).

Gambar : Emosi dan Judgement

Kognisi/Berfikir Emosi


Kecerdasan, Kemampuan, Pengetahuan Judgment Stres, Emotional fatigue


Bilamana stres emosi mulai menyempitkan perhatian dan mengganggu fleksibilitas berfikir, biasanya penerbang akan mengambil beberapa alternatif tindakan, antara lain :
â Berusaha mengatasi situasi dengan terpaku pada satu set prosedur yang biasanya termudah.
â Mempertimbangkan untuk melakukan tindakan yang menurutnya benar tanpa didasarkan pemikiran yang logis dan realistik.
â Terpaku dalam mengandalkan cara atau alternatif tindakan yang lebih sulit karena menurut pengalamannya bila tidak dilakukan dengan cara tersebut akan berakibat fatal.
â Membuat pilihan tindakan yang prematur.

Stres Emosi dan Kepribadian
Pertanyaan kemudian adalah apakah stres emosi selalu menimbulkan gejala seperti telah diuraikan di atas ? Umumnya memang demikian, terutama bila stres emosi yang timbul cukup kuat. Namun bila stres emosi tak terlalu kuat tetapi sudah menimbulkan gejala seperti telah diuraikan sebelumnya, maka patut dipertimbangkan kondisi kepribadian (personality) individu.
Dalam mengamati gangguan emosi yang berdampak negatif pada pengambilan keputusan tetap perlu dilihat kondisi kepribadian individu. Karena sejauh mana stres emosi dapat berpengaruh pada pengambilan keputusan tergantung pada daya tahan stres (ego strength), kepercayaan diri, kemampuan pemecahan masalah, dan predisposisi kecemasan yang bersifat kronis (Janis, 1982). Sehingga dalam mengevaluasi proses kegagalan pengambilan keputusan penerbang dalam suatu kejadian kecelakaan penerbangan tetap perlu memperhitungkan kepribadian (personality) sebagai variabel yang cukup penting.

Kiat Mengatasi Hambatan Emosi
Sebelum menguraikan bagaimana kiat mengatasi permasalahan dampak emosi terhadap pengambilan keputusan, perlu diingat lebih dahulu beberapa asumsi tentang kondisi emosi seperti telah diuraikan sebelumnya.
Pertama, stres emosi umumnya bersifat kumulatif atau menumpuk, dan kalau sudah menumpuk mendekati batas toleransi biasanya orang menjadi bingung dengan cara dan hendak memulai dari mana mengatasinya. Untuk mengatasi stres emosi agar tidak menumpuk adalah mencari saluran untuk mengeluarkannya dengan cara membicarakan permasalahan emosi yang dialami kepada sahabat yang dipercaya, atau para ahli.

Kesimpulan
Sebagai penutup tulisan ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam mengamati gangguan emosi ternyata perlu diperhatikan sejumlah faktor psikologis yang dapat memberikan kontribusi terhadap kegagalan pengambilan keputusan. Pertama, harus disadari bahwa gangguan emosi dapat muncul dari reaksi emosi yang ringan bahkan positif, sampai pada reaksi emosi negatif yang menekan kuat. Apapun bentuk gejala dan reaksi emosi pada dasarnya perlu mendapatkan perhatian karena dampaknya kumulatif dan dapat berakibat fatal bagi penerbang khususnya dalam proses pengambilan keputusan.
Kedua, gangguan emosi dalam bentuk stres emosi dapat menghambat kemampuan berfikir dalam bentuk meningkatnya kesiagaan secara berlebihan yang dapat memberikan konsekuensi pada, hambatan perhatian, dan menyempitnya pengamatan seseorang. Dan terakhir, kondisi stres emosi juga mempengaruhi fleksibilitas berfikir penerbang dalam melakukan penilaian situasi sebagai dasar pertimbangannya untuk bertindak secara efisien dan efektif.

Jakarta,
Desember, 2008

Kepustakaan :

1. Beaty, D., (1979). The Human Factors in Aircraft Accidents. London : Secker & Warbung, Camelot Press Ltd.
2. Janis, I.L., (1982). Decision Making Under Stress. Dalam, Goldberger, L. & Breznitz, S. Handbook of Stress, Theoretical and Clinical Aspects. New York : Macmillan Publishing Co., Inc.
3. Kaempf, G.L., & Klein, G., (1992). Aeronautical Decision Making : The Next Generation. Dalam, Johnston, N., McDonald, N., & Fuller, R., Aviation Psychology in Practice. Vermont : Ashgate Publishing Company.
4. Lazarus, R.S., (1976). Patterns of Adjustment, 3’rd ed. Tokyo : Mc Graw Hill Kogakusha Ltd.

Tidak ada komentar: