Widura Imam Mustopo
Pelatihan merupakan istilah yang
pengertiannya cukup luas, namun secara sederhana pelatihan dapat diartikan
sebagai proses sistematis untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan
sikap yang mengarah pada perilaku terampil.
Dalam proses pelatihan tercakup sejumlah kegiatan yang dapat dilakukan
dalam berbagai kategori, termasuk juga dalam pelatihan penerbangan. Secara umum
pelatihan dapat dikategorikan menurut waktu atau kapan pelatihan itu dilakukan,
misalnya, pelatihan mula atau pelatihan dasar (primary atau basic training)
yang diperlukan untuk menanamkan sejumlah keterampilan baru, berbeda dengan pelatihan
penyegaran (refreshing atau recurrent training) yang diperlukan untuk
mempertahankan keterampilan. Itu juga dapat dikategorikan menurut di mana pelatihan
itu terjadi, misalnya, apakah itu terjadi di ruang kelas, di simulator, atau di
dalam pesawat udara. Pelatihan juga dapat dikategorikan menurut kontennya,
misalnya, apakah pelatihan itu berkaitan dengan masalah belajar dan berlatih keterampilan
teknis penerbangan semata, atau berhubungan dengan masalah non-teknis, seperti
koordinasi antar kru, pengambilan keputusan, kepemimpinan dan lainnya.
Terlepas dari bagaimana
mengkategorikan pelatihan, namun tujuan dari kegiatan pelatihan secara umum,
adalah mengembangkan seperangkat pengetahuan dan keterampilan peserta
pelatihan, ke tingkat kompetensi tertentu. Keterampilan itu sendiri adalah suatu keahlian
atau prestasi dalam bidang apa pun; khususnya, pola perilaku yang kompleks dan terorganisir
yang diperoleh melalui pelatihan dan praktik, termasuk keterampilan kognitif,
persepsi, motorik, dan sosial.
Mengingat
luas dan beragamnya kategori pelatihan penerbangan, maka tulisan ini difokuskan
pada pelatihan mula ketika ab-initio
menjadi pilot yang memiliki keterampilan dasar untuk menerbangkan pesawat udara
dari lepas landas sampai mendaratkan kembali. Terdapat beberapa aspek psikologi yang menjadi
perhatian, yaitu; proses pembelajaran, tahap belajar keterampilan, dan isu-isu
psikologi yang kerap penting untuk diulas karena cukup mempengaruhi kelancaran
proses belajar seorang siswa pilot.
Isu-isu tersebut antara lain; masalah motivasi, kecemasan, sikap, dan
relasi sosial termasuk relasi instruktur-siswa.
Proses Belajar dan Keterampilan Pilot
Aspek psikologi dalam pelatihan tingkat mula bagi pilot, diawali sejak dari
perencanaan pelatihan, aktivitas teknis dalam pelatihan pilot sampai
dengan evaluasi hasil pelatihan termasuk proses pelatihannya. Aplikasi ilmu psikologi dapat
diamati melalui pemanfaatan konsep-konsep psikologi belajar, metode dan teknik
instruksi, model simulasi termasuk teknik evaluasi dan re-evaluasi hasil belajar.
Dan, tidak
kalah pentingnya adalah pemantauan motivasi dan faktor
psikologi lainnya yang berpengaruh terhadap keberhasilan seorang siswa pilot dalam
memperoleh dan mengembangkan keterampilannya.
Pola pelatihan calon pilot dapat dikatakan terstruktur secara
ketat, sistematis dan berkelanjutan. Pola
pelatihan tersebut diyakini dapat mengembangkan perilaku
terampil para siswa pilot. Proses dan
metode yang digunakan untuk mencapai tujuan pelatihan dalam proses pembelajaran telah lama diteliti,
setidaknya sejak akhir abad ke-19 oleh Ebbinghaus (dalam Tsang & Vidullich, 2003). Penelitian-penelitiannya banyak
diarahkan untuk memahami kondisi yang mempengaruhi pembelajaran manusia. Ebbinghaus
menyelidiki dua isu utama yang diasosiasikan dengan pelatihan, yaitu; belajar dan lupa. Kurva pembelajaran
(Gambar 1.1) menunjukkan seberapa banyak
pelatihan ulang yang dibutuhkan untuk mencapai performance yang sempurna. Bila diamati,
Percobaan
Belajar
ketika seseorang mulai mempelajari suatu materi belajar, sekitar 50% dari materi dipertahankan pada hari berikutnya. Ketika mereka kembali menghafal untuk mengingat dengan
sempurna keesokan harinya, sekitar 65% dari materi tersebut dapat diingat kembali, dan pada hari berikutnya 75% dapat disimpan. Peningkatan kurva yang
paling tajam, yang mengindikasikan pembelajaran tercepat, terjadi setelah
percobaan pertama dan kemudian secara bertahap berkurang, yang berarti bahwa
lebih banyak informasi akan disimpan
setelah setiap pengulangan belajar kembali. Kurva ini, seperti kurva lupa pada
Gambar 1.2. Sementara kurva belajar
menunjukkan seberapa cepat informasi diperoleh, kurva lupa menunjukkan seberapa
cepat informasi hilang. Seperti dalam kurva pembelajaran, perubahan paling
tajam (dalam hal ini, penurunan paling cepat) terjadi dalam beberapa menit
pertama dan menurun secara signifikan setelah jam pertama, dan mendatar
setelah sekitar 1 hari.
Penurunan Ingatan saat Belajar
Kurva belajar dan lupa yang
dijelaskan oleh Ebbinghaus dilakukan dengan cara menghafal materi verbal berupa suku kata yang tak berarti, yang dapat dianalogikan juga
terjadi pada banyak
aspek pelatihan penerbangan (misalnya, mempelajari nama-nama awan dalam
meteorologi), mempelajari pola dari tugas motorik yang rumit. Untuk sebagian
besar proses
pembelajaran, kemajuan hasil belajar keterampilan biasanya
mengikuti kurva berbentuk S. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.3, awalnya kemajuannya lambat, dan kemudian peserta didik
mengalami kenaikan yang cepat pada grafik.
Percobaan Pelatihan
Tahap Kognitif Tahap Asosatif Tahap Otonom
Untuk beberapa tugas yang sangat kompleks,
kemajuan dapat dicirikan sebagai serangkaian perubahan kinerja berbentuk S ini. Fitts dan Posner (1967) menemukan bahwa peningkatan bertahap
dengan latihan terjadi di hampir semua keterampilan motorik. Meskipun laju
peningkatan bisa melambat, umumnya tidak
pernah ada
grafik mendatar yang tinggi secara tetap di mana tidak ada peningkatan performance. Bagi pilot, ini berarti bahwa meskipun mereka mungkin berpikir tidak ada kemajuan dalam belajar beberapa keterampilan baru
(misalnya, approach landing dengan ILS), sebenarnya mereka tidak dapat menilai secara akurat bahwa keterampilan mereka sendiri sebenarnya mengalami peningkatan walau tidak besar. Pada awalnya pembelajaran berlangsung lambat
karena orang belum menjadi
terbiasa dengan komponen dasar dari suatu keterampilan, kemudian hasil belajar dengan cepat meningkat ketika
komponen yang mendasar dari suatu keterampilan sudah menjadi otomatis (sudah terbiasa). Dalam contoh pelatihan ILS
approach, selama
tahap awal pembelajaran, siswa pilot harus
secara aktif berpikir tentang cara mengontrol pesawat untuk menyelaraskan glide-slope dan indikator localizer. Kemudian pada saat aktivitas ini dilakukan berulangkali maka tindakan akan menjadi lebih otomatis, dan pilot
dapat mencurahkan lebih banyak perhatian dan upaya untuk menyempurnakan approach dengan mengarahkan
indikator untuk
menghindari overshooting (mengejar
jarum) selama approach.
Dalam proses pembelajaran keterampilan
motorik tersebut,
terlibat tiga tahap
yang berbeda
(Fitts dan Posner, 1967 ; Dhenin, Sharp, dan
Ernsting, 1978), yaitu: 1) tahap kognitif ; 2) tahap asosiatif ; dan 3) tahap otonom.
Tahap kognitif. Pembelajar pemula fokus untuk memperoleh pemahaman dan pemecahan masalah yang berorientasi pada aspek kognitif. Dalam tahap ini pilot belajar untuk memahami semua tugas yang harus dilakukan. Ia tidak hanya belajar tentang materi yang berhubungan dengan
aspek-aspek teori, tapi juga belajar mengenai semua tindakan motorik yang
efisien, efektif, dan akurat.
Tahap
asosiatif.
Di sini calon pilot dituntut dapat mempraktekan tugas-tugas yang diperoleh melalui tahap kognitif secara runtut melalui latihan yang terkontrol agar mampu
mengembangkan performance secara
optimal. Calon pilot juga belajar mengaitkan isyarat dari
lingkungan dengan tindakan sesuai prosedur standar, dan terus
berlatih untuk
memperbaiki performance agar lebih konsisten.
Tahap otonom atau otomatisasi. Calon pilot berlatih lebih
intensif untuk mengalihkan kontrol kognitif ke gerakan otonom yang bersifat
otomatis. Ia mampu mengaplikasikan
keterampilannya secara efisien dan efektif. di mana performance keterampilan dilakukan secara otomatis.
Pada tahap pertama, ketika
pilot mulai memperoleh keterampilan baru, seperti melakukan ILS approach, mereka dihadapkan dengan beberapa masalah yang mengarah pada aspek kognitif
yang sangat spesifik. Seperti, apa tugas dasarnya? Bagaimana pilot tahu kapan harus
memulai descent (turun)? Berapa rate of
descent nya (dan mengatur power terkait) yang akan membuat pilot tetap dapat menyelaraskan dengan glide
slope? Seberapa besar diperlukan koreksi ketika jarum localizer berada pada tiga titik di kedua sisi? Masing-masing
dari pertanyaan ini menunjukkan tingkat pentingnya faktor kognitif dasar saat pilot beroperasi, Tahap ini ditandai dengan kemungkinan sejumlah besar
kesalahan dalam performance. Sebagai
contoh, pilot untuk melakukan koreksi mungkin berbelok ke arah yang salah
(menjauh dari jarum localizer). Pilot
mungkin tahu bahwa dia melakukan sesuatu yang salah, tetapi belum tahu secara tetap bagaimana hal
itu harus dilakukan secara berbeda. Oleh
karena itu, dibutuhkan umpan balik yang spesifik yang dapat membantu memperbaiki
kesalahan.
Selama tahap kedua, tahap asosiatif merupakan perubahan pembelajaran keterampilan dari aktivitas kognitif di tahap pertama. Di tahap asosiatif pembelajar telah memperoleh banyak pengetahuan dasar keterampilan sampai batas
tertentu, dan tidak lagi harus mencurahkan banyak upaya kognitif untuk memahami
persyaratan dasar pelaksanaan tugas.
Mereka sekarang berkonsentrasi untuk memperbaiki keterampilan mereka dan
mengembangkan kemampuan untuk mengenali beberapa kesalahan mereka sendiri.
Sekarang mereka tahu apa salah, dan umumnya
tahu apa yang seharusnya mereka lakukan. Sebagai contoh, mereka mungkin overshoot saat localizer, tetapi mereka tahu bahwa mereka
melakukannya itu karena mereka
terlalu terpaku untuk mengoreksi
tingkat descent atau sambil
melakukan panggilan
radio. Mereka mulai menjadi lebih proaktif dan dapat mengantisipasi kebutuhan
untuk bertindak, dan variabilitas performance mereka mulai berkurang. Kesalahan masih
terjadi, tetapi lebih jarang terjadi dan tidak terlalu parah.
Pada tahap ketiga., setelah
melaksanakan banyak
latihan, pembelajar melanjutkan ke tahap akhir pembelajaran, yaitu tahap otonom. Pada
tahap ini,
keterampilan telah menjadi hampir otomatis, upaya kognitif menjadi lebih sedikit.
Keterampilan motorik dasar telah dikuasai, dan pembelajar dapat mencurahkan upaya kognitif untuk
membuat penyesuaian (misalnya, mungkin
membagi perhatian untuk mempertimbangkan angin yang sangat kuat selama ILS
approach), atau bekerja secara simultan untuk kegiatan lain (misalnya sambil menangani masalah mesin). Variasi kecil dalam performance masih mungkin terjadi namun secara keseluruhan umumnya sudah mendekati batas atas persyaratan atau tuntutan standar performance yang harus dicapai.
Berbeda dengan pengetahuan
deklaratif seperti suku kata bermakna yang digunakan oleh Ebbinghaus, keterampilan motorik sangat lambat rusak atau hilangnya, biasanya akan diingat selama berbulan-bulan atau
bertahun-tahun. Schendel, Shields, dan Katz (1978) mempelajari retensi keterampilan motorik dan
menemukan bahwa;
Satu-satunya penentu paling penting dari retensi adalah tingkat
pembelajaran. Tugas prosedural akan dilupakan
dalam beberapa hari, minggu, atau bulan, sedangkan tugas kontrol biasanya
diingat selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Retensi keterampilan motorik tergantung pada rentang lamanya periode
tanpa praktik/latihan, jenis tugas, dan kegiatan praktik lain yang mengganggu. Retensi dapat ditingkatkan dengan overtraining — yaitu, pelatihan dengan target tingkat di atas tingkat
kecakapan minimum yang disyaratkan.
Bentuk keseluruhan kurva yang menggambarkan retensi keterampilan
motorik (lihat Gambar 1.4) mirip dengan kurva untuk
pengetahuan deklaratif. Namun, untuk keterampilan motorik, sebagian besar
hilangnya
kemampuan terjadi segera setelah latihan berhenti, dan kemudian
dengan cepat turun agar tetap stabil untuk periode yang cukup lama, tergantung
pada faktor-faktor yang tercantum sebelumnya.
Waktu berjalan
.
Tentang
aspek-aspek keterampilan itu sendiri, secara lebih spesifik dapat dikelompokan
menjadi tiga
kategori, yaitu:
1. Perseptual motorik yang
melibatkan beberapa keterampilan yang lebih spesifik, yakni:
Keterampilan fisik yaitu keterampilan yang berhubungan
dengan kelenturan jasmani, kesiagaan fisik, dsb. Pada keterampilan ini, dapat dikatakan faktor
psikologis kecil pengaruhnya.
Keterampilan manipulatif yang berkaitan dengan efisiensi dan
efektivitas gerakan kontrol yang berguna untuk mengendalikan berbagai instrumen
pengendali sistem. Keterampilan ini
cukup peka dipengaruhi faktor psikologis pilot.
Keterampilan menangkap & memproses
informasi. Keterampilan ini
berhubungan erat dengan kemampuan seseorang menangkap informasi penting, daya
timbang (judgement) serta pengambilan
keputusan (decision making). Faktor psikologis cukup besar pengaruhnya
pada pengembangan keterampilan ini. Kegagalan dalam mewujudkan aspek
keterampilan ini dapat berakibat fatal. Hasil analisis FAA (Federal Aviation Administration) menunjukan bahwa kesalahan pilot dalam membuat judgement dan
keputusan menyumbang tak kurang dari 50% terjadinya kecelakaan pesawat udara yang fatal.
2. Keterampilan bahasa. Keterampilan ini erat kaitannya dengan
kemampuan verbal yang penting untuk berkomunikasi, berpikir dan memecahkan
masalah (Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978).
Keterampilan bahasa menjadi perhatian penting, khususnya di
negara-negara di mana bahasa Inggris bukan “bahasa ibu” para
pilot, mengingat bahasa penerbangan yang tertera di software maupun yang digunakan dalam kegiatan operasional
penerbangan secara universal menggunakan bahasa Inggris. Di dunia penerbangan, keterampilan bahasa
menjadi penting karena kesalahan menyampaikan pesan maupun interpretasi dapat
berakibat fatal. Ada tiga fungsi bahasa di bidang ini, antara lain; membagi informasi,
mengarahkan tindakan, dan merefleksikan pikiran. Ketiga fungsi ini sangat penting terutama ketika keterampilan bahasa dibutuhkan untuk mendukung pemecahan masalah (Orasanu,
1994).
3. Keterampilan sosial. Keterampilan ini berhubungan dengan
kemampuan seseorang untuk menjalin kerjasama dan koordinasi. Suatu keterampilan yang relevan dengan
aktivitas individu untuk membangun relasi antarpribadi, saling percaya, bertukar
informasi dan sikap, dsb. Tujuan utama
dari interaksi sosial adalah koordinasi.
Penelitian menunjukan bahwa meningkatnya situasi abnormal atau emergency akan menambah pentingnya
koordinasi di antara crew (Orasanu,
1994). Koordinasi ini tidak hanya
berlaku pada pesawat berawak lebih dari satu, melainkan juga bagi pesawat udara berawak tunggal seperti halnya di pesawat jet tempur.
Keterampilan-keterampilan
yang telah diuraikan di atas tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri. Dalam aplikasinya, keterampilan tersebut
saling terkait erat dan saling mendukung bahkan juga dapat saling
menghambat. Oleh karenanya diperlukan
pelatihan yang sistematik dan berkelanjutan serta pengalaman yang cukup untuk
mewujudkan aspek-aspek keterampilan tersebut secara utuh, efisien dan
efektif. Tahap-tahap pelatihan tersebut
penting untuk diikuti sebagai proses yang berkelanjutan dalam rangka membentuk
perilaku terampil. Pada dasarnya proses belajar untuk mendapatkan perilaku
terampil mengikuti prinsip keurutan (sequential)
dan secara psikologis tidak ada perilaku terampil yang muncul sendiri-sendiri
(Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978).
Mempelajari suatu keterampilan merupakan rangkaian
aktivitas yang berlangsung berurutan dan saling tergantung satu sama lain,
demikian pula dengan proses pelatihannya. Menerbangkan pesawat udara menuntut penguasaan keterampilan
tertentu, dan keterampilan
tersebut bukan sesuatu yang dibawa sejak lahir, melainkan melalui belajar
secara bertahap dan dikuasai melalui latihan yang tak jarang memerlukan waktu
relatif lama. Seorang calon pilot tidak hanya
dituntut untuk mempelajari berbagai aspek keterampilan pilot
melainkan juga harus mampu menguasai prosedur untuk mendapatkan ketepatan
tindakan layaknya
manusia sebagai instrumen mesin/pesawat.
Isu-isu Psikologis dalam Pelatihan
Penerbangan
Pelatihan pilot dapat merupakan
suatu situasi yang unik, terutama bila dilihat bahwa posisi dari “belajar
terbang” sebagai situasi peralihan. Peralihan dari kodrat manusia sebagai makhluk daratan menjadi makhluk yang berusaha hidup di lingkungan angkasa dengan berbagai sarana
pendukungnya (pesawat udara).
Ciri khas dari suatu peralihan adalah proses adaptasi yang kadang bagi orang yang mengalaminya tak luput dari tekanan dan keadaan
ketidak seimbangan (stres). Kondisi
umum yang berpengaruh pada masa peralihan, antara lain faktor kebiasaan dan
sikap, melaksanakan suatu peralihan yang menuntut beberapa perubahan kebiasaan
dan sikap. Para calon pilot tidak hanya harus belajar mengenai cara pandang, cara berpikir dan tingkah laku baru, tetapi juga harus
meninggalkan cara pandang, cara berpikir dan cara bertingkah
laku lama yang menghambat penguasaan keterampilan dan prosedur tertentu. Hal ini seringkali tidak mudah untuk dilakukan.
Untuk memastikan efektivitas pelatihan, program pelatihan tidak hanya harus menyediakan praktik dan dukungan instrukasional yang tepat tetapi juga harus memastikan bahwa peserta pelatihan memiliki sikap positif terhadap belajar dan lingkungan penerbangan. Selain itu, peserta juga harus memiliki motivasi untuk belajar dan berhasil dalam pelatihan. Dapat dikatakan bahwa salah satu persyaratan yang mendasar untuk berhasil dalam penyesuaian diri dan sukses dalam belajar terbang adalah sikap yang positif terhadap penerbangan. Sikap ini harus muncul dari motivasi yang sehat dan didasarkan atas kesadaran diri yang wajar. Pada dasarnya motivasi dibangun melalui dorongan/keinginan (drive), tujuan (goal) dan aktivitas. Umumnya saat awal memasuki pendidikan siswa mempunyai motivasi besar untuk menjadi pilot, tapi tak jarang keinginan tersebut menurun selama proses pelatihan berlangsung. Oleh karenanya sikap dan motivasi siswa penting untuk dipantau selama proses pelatihan.
Penguasaan
terhadap aspek-aspek keterampilan pilot menghendaki lebih daripada sekedar keinginan ”to fly around” yang bersifat romantis. Motivasi tidak sehat biasanya didasarkan pada self regard (penolakan diri), misalnya keinginan menjadi pilot sebagai
pelarian dari kehidupan suram, atau harapan menjadi pilot untuk meraih status sosial yang lebih
tinggi, ataupun hanya karena tak mau kalah dengan teman-teman yang kebetulan
melamar jadi pilot. Alasan seperti itu biasanya
merupakan dasar motivasi yang tidak cukup kuat untuk mendukung upaya seorang siswa pilot mengatasi
kesulitan-kesulitan di pelatihan mula
atau dasar. Hal yang lebih penting adalah enthusiasme yang wajar, sikap positif
dan motivasi yang sehat. Artinya, seseorang menjadi pilot karena
karena keinginan untuk menguasai keterampilan yang dibutuhkan untuk menjadi
pilot yang didukung oleh usaha yang kuat untuk berhasil.
Siswa harus memiliki efikasi diri (self-effication) atau keyakinan diri
bahwa ia mampu berprestasi dan berhasil menguasai keterampilan yang
dipersyaratkan untuk menjadi pilot. Kondisi ini lebih
menguntungkan untuk mengembangkan kemauan belajar yang sungguh-sungguh dalam
menguasai aspek-aspek yang lebih sukar dalam mempelajari keterampilan
penerbangan maupun untuk bertahan terhadap situasi stres selama proses pelatihan.
Kondisi emosi yang negatif seperti
cemas dan takut akan berkembang setelah siswa mengikuti pelatihan. Disamping kondisi ini merupakan dampak siswa yang tidak
selalu berhasil dalam prestasi, hal ini juga tak lepas dari situasi pelatihan sebagai situasi peralihan yang penuh tekanan. Situasi pelatihan seperti ini cenderung
mempengaruhi diri siswa yang selanjutnya dapat menyebabkan problem emosional di mana pada batas-batas tertentu
dapat menghambat prestasi siswa. Masalahnya, emosi atau rasa cemas ini biasanya tersembunyi, tak disadari dan tidak
jarang sebab-sebabnya sangat mendalam, sehingga tidak selamanya dapat segera
diketahui. Oleh karenanya, pemantauan dan bila diperlukan intervensi kondisi psikologis siswa
penting dilakukan guna dapat
memelihara efisiensi dan efektivitas siswa dalam mencapai
keberhasilan pelatihan.
Penutup
Dari ulasan di atas, dapat diamati bahwa pelatihan awal atau tingkat mula ditujukan untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dasar untuk menjadi pilot. Dan, pelatihan ini harus diikuti melalui proses kegiatan belajar, praktik dan latihan yang sistematis. Pelatihan awal untuk menjadi pilot tidak hanya menyangkut pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga pengembangan sikap dan motivasi yang mendkung. Ditinjau dari apek psikologi, setidaknya terdapat tiga hal yang dalam pelatihan di penerbangan,
yaitu; kemampuan kognitif, penguasaan keterampilan dan pembentukan sikap, termasuk di dalamnya
pengembangan motivasi, perubahan kebiasaan, dan pengembangan emosi yang stabil
guna bertahan terhadap tekanan-tekanan yang dihadapinya dalam berkiprah di
dunia penerbangan.
Kepustakaan
Dhenin, S.G., Sharp, G.R., dan Ernsting,
J., (1978). Aviation Medicine, Physiology
and Human Factors. London : Tri-Med
Books Ltd.
Fitts, P.M., and Posner, M.I., (1967). Human Performance. Michigan: Brooks/Cole Publishing Company
ICAO, (1989). Human
Factors Digest No 1 – Fundamental Human Factors Concepts. ICAO Circular
216-AN/131. Montreal: Secretary General
of International Civil Aviation Organization.
ICAO, (1998). Human Factors Training Manual.1’st Ed. Doc 9683-AN/950. Montreal: Secretary General of International Civil
Aviation Organization.
Martinussen, M., and Hunter, D.R., (2018). Aviation
Psychology and Human Factors, 2nd Ed.
New York: Taylor & Francis Group,
LLC.
Mustopo, W.I., (1986). Psikologi Dalam
Lingkungan Penerbangan. Dalam
: Kumpulan Karya Tulis Alumni Fakultas Psikologi Unpad, Dalam Rangka Lustrum V
& Hari Sarjana Fakultas Psikologi Unpad. Bandung :
Fakultas Psikologi Unpad.
Orasanu, J.M., (1994). Shared
Problem Models and Flight Performance. Dalam, Johnston, N., McDonald, N.,
dan Fuller, R.,(Eds). Aviation Psychology in Practice. Aldershot
: Avebury Technical Ashgate Publ. Ltd.
Tsang, P.S., and Vidullich, M.A., (2003). Principles and Practice of Aviation
Psychology. New Jersey London: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar