Tampilkan postingan dengan label Terampil.. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Terampil.. Tampilkan semua postingan

Kamis, 14 Juli 2011

TINJAUAN PSIKOLOGI TERHADAP PERILAKU TERAMPIL PROFESI PENERBANG

Drs WIDURA I.M., MSi

Pendahuluan

Setiap bidang pekerjaan umumnya memiliki spesifikasi keterampilan yang bervariasi sesuai dengan tuntutan masing-masing profesi. Demikian pula halnya dengan profesi penerbang. Profesi penerbang membutuhkan keterampilan yang tinggi dari individu untuk menjalankannya. Untuk memperolehnya, dituntut motivasi yang kuat dan sehat serta “aptitude” yang sesuai. Selain itu, kegiatan profesi ini melibatkan suatu lingkungan yang spesifik. Individu sering dihadapkan pada tuntutan psikofisiologis yang berat dengan berbagai risikonya. Lebih lanjut yang tak kalah pentingnya adalah lingkungan sosial yang khas dunia penerbangan yang tak jarang menuntut keterampilan sosial tertentu untuk beradaptasi.

Keterampilan-keterampilan tersebut tentunya diperoleh melalui proses seleksi, pendidikan dan pelatihan serta pengalaman yang panjang. Sebenarnya proses ini melekat pada semua profesi bila individu hendak mendapatkan keterampilan yang paripurna di bidangnya. Melalui proses seleksi diprediksi bahwa calon penerbang memiliki dasar kemampuan (capability maupun aptitude) yang sesuai dengan tuntutan tugas/profesi. Pelatihan yang terstruktur, sistematik dan berkelanjutan akan memunculkan perilaku terampil dari para penerbang, dan melalui pengalaman tugas mereka diharapkan dapat mengembangkan keterampilannya untuk menghadapi berbagai situasi tugas dan dapat meminimalkan kemungkinan terjadinya kegagalan.

Namun demikian, kenyataan menunjukan proses tersebut belum sepenuhnya diterapkan karena berbagai alasan. Kondisi ini memberikan konsekuensi kegagalan operasional penerbangan yang masih bertumpu pada tingkat operator (penerbang). Berbagai publikasi hasil penyelidikan kecelakaan penerbangan menunjukan bahwa, faktor manusia masih merupakan penyebab utama sejumlah kecelakaan penerbangan. Dengan latar belakang tersebut, menjadi manarik untuk mengulas mengapa hal ini bisa terjadi. Pada kesempatan ini, akan ditinjau perilaku terampil atau “skill behavior” dengan aspek-aspek psikologis yang mempengaruhinya.

Perilaku Terampil

Dari pengertiannya yang umum, keterampilan merupakan suatu pola yang terorganisasi dan terkoordinasi dari aktivitas fisik, psikomotor, sosial, linguistik dan intelektual. Pengertian ini menunjukan esensinya pola yang terorganisasi dan terkoordinasi dari aspek-aspek keterampilan tertentu. Artinya, seseorang dikatakan terampil di bidang profesinya tidak hanya karena ia cerdas dan mampu secara fisik maupun motorik, tapi juga luwes dalam hubungan sosial yang muncul dalam bentuk keterampilan berkomunikasi dan efektivitas dalam bekerja sama.

Tentang aspek-aspek keterampilan itu sendiri, secara lebih spesifik Dhenin, Sharp, dan Ernsting (1978) mengelompokannya menjadi 3 kategori, yaitu ; perseptual motorik, bahasa, dan sosial.

Kategori keterampilan pertama adalah perseptual motorik yang melibatkan beberapa keterampilan yang lebih spesifik, antara lain ; keterampilan jasmaniah yaitu keterampilan yang berhubungan dengan kelenturan jasmani, kesiagaan fisik, dsb. Dapat dikatakan faktor psikologis kecil pengaruhnya pada keterampilan ini. Segi perseptual motorik lainnya adalah keterampilan manipulatif yang berkaitan dengan efisiensi dan efektivitas gerakan kontrol yang berguna untuk mengendalikan berbagai instrumen pengendali sistem. Keterampilan ini cukup peka terhadap pengaruh psikologis yang dialami individu penerbang. Dilaporkan oleh Panitia Penyelidik Kecelakaan Pesawat Terbang TNI AU bahwa setidaknya terdapat 2 kasus dari 9 kecelakaan pada tahun 1976 s/d 1999 yang berhubungan dengan penyebab psikologis terhadap aspek keterampilan ini. Satu kasus karena reaksi motorik terlambat, dan kasus lainnya karena reaksi membeku atau freezing. (Widura, 1999)

Keterampilan lainnya yang berkaitan dengan perseptual motorik adalah keterampilan menangkap & memproses informasi. Keterampilan ini berhubungan erat dengan kemampuan seseorang menangkap informasi penting, daya timbang (judgement) serta pengambilan keputusan (decision making). Kegagalan dalam mewujudkan aspek keterampilan ini dapat berakibat fatal. Hasil analisis FAA (Federal Aviation Administration) sebagaimana dilaporkan Jensen dan Bennel (1977) menunjukan bahwa kesalahan penerbang dalam membuat judgement dan keputusan menyumbang tak kurang dari 50% terjadinya kecelakaan pesawat terbang yang fatal selama tahun 1970-1974. Di TNI AU walau bukan sebagai penyebab utama, diperkirakan dari 19 kecelakaan (accident) dalam 5 tahun terakhir setidaknya 4 kecelakaan disebabkan masalah ini.

Kategori keterampilan kedua adalah keterampilan bahasa. Keterampilan ini erat kaitannya dengan kemampuan verbal yang penting untuk berkomunikasi, berfikir dan memecahkan masalah. (Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978) Mungkin di Indonesia, TNI AU pada khususnya, keterampilan bahasa perlu mendapatkan perhatian mengingat bahasa penerbangan yang tertera di software maupun yang digunakan dalam kegiatan operasional umumnya menggunakan bahasa asing (baca : Inggris) yang bukan merupakan bahasa ibu dari para penerbang.

Di dunia penerbangan, keterampilan bahasa menjadi penting karena kesalahan menyampaikan pesan maupun interpretasi dapat berakibat fatal. Ada 3 fungsi bahasa di bidang ini, antara lain ; membagi informasi, mengarahkan tindakan, dan merefleksikan pikiran. Ke tiga fungsi ini sangat penting terutama bila keterampilan bahasa dibutuhkan untuk mendukung pemecahan masalah. (Orasanu, 1994)

Kategori keterampilan yang terakhir adalah keterampilan sosial atau lazim diistilahkan dengan keterampilan psikososial. Keterampilan ini berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk menjalin kerjasama dan koordinasi. Suatu keterampilan yang relevan dengan aktivitas individu untuk membangun relasi antarpribadi, saling percaya, pertukaran informasi dan sikap, dsb. Tujuan utama dari interaksi sosial adalah koordinasi. Penelitian menunjukan bahwa meningkatnya situasi abnormal atau emergency dan beban akan menambah pentingnya koordinasi di antara crew. (Orasanu, 1994) Dan koordinasi ini ternyata tidak hanya berlaku pada pesawat berawak lebih dari satu, melainkan juga bagi pesawat terbang berawak tunggal. Setidaknya ada satu kejadian kecelakaan pesawat berawak tunggal di lingkungan TNI AU pada dua tahun terakhir menunjukan adanya kelemahan yang signifikan dalam keterampilan sosial yang berdampak pada efektivitas komunikasi dan koordinasi.

Keterampilan-keterampilan tersebut pada kenyataannya tidak berdiri sendiri-sendiri. Dalam aplikasinya keterampilan tersebut saling terkait erat dan saling mendukung bahkan juga dapat saling menghambat. Oleh karenanya diperlukan pelatihan yang sistematik dan berkelanjutan serta pengalaman yang cukup untuk mewujudkan aspek-aspek keterampilan tersebut secara utuh, efisien dan efektif.

Prinsip Pelatihan dan Perilaku Terampil

Untuk mewujudkan perilaku terampil dibutuhkan kemampuan (ability), ditambah kesempatan dan motivasi untuk belajar dan berlatih. Ada 3 fase yang harus dilalui seorang penerbang bila ia ingin memperoleh keterampilan yang utuh, yaitu ; fase kognitif, fase asosiatif, dan fase otomatisasi. (Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978)

Fase kognitif merupakan tahap dimana penerbang belajar untuk memahami semua tugas yang dibutuhkan. Hal ini tidak hanya belajar tentang materi yang berhubungan dengan aspek-aspek teori, tapi juga belajar mengenai semua tindakan motorik yang efisien, efektif, dan akurat. Setelah semua tugas dapat difahami, berikutnya adalah fase asosiatif. Disini penerbang mempraktekan tugas-tugas tersebut secara runtut melalui latihan yang terkontrol untuk menekan kemungkinan terjadinya kekeliruan dalam rangka mengembangkan performance secara optimal. Dan terakhir adalah fase otomatisasi. Pada fase ini penerbang berlatih lebih intensif untuk mengalihkan kontrol kognitif ke gerakan otonom yang bersifat otomatis dalam mengaplikasikan keterampilannya secara efisien dan efektif.

Tercapainya fase otomatisasi tidak menjamin bahwa perilaku terampil dapat seterusnya berlangsung. Suatu keterampilan pada dasarnya harus dipelihara. Sears (dalam Orasanu, 1994) berpendapat “……. error not due to lack of basic abilities – but – error arise from temporary breakdowns in skilled performance”. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak berlatih dan memelihara keterampilan melalui proficiency.

Fase-fase pelatihan tersebut di atas penting untuk diikuti sebagai proses yang berkelanjutan dalam rangka membentuk perilaku terampil. Adalah suatu hal yang berbahaya bila fase-fase ini dilaksanakan secara tidak runtut atau ada pemaksaan pada satu fase karena adanya keinginan mewujudkan perilaku terampil secara instant. Sudah cukup banyak kejadian karena masalah ini. Pada dasarnya perilaku terampil mengikuti prinsip keurutan (sequential) dan tidak ada perilaku terampil yang muncul sendiri-sendiri. (Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978) Perilaku terampil merupakan rangkaian aktivitas yang berlangsung berurutan dan saling tergantung satu sama lain, demikian pula dengan proses pelatihannya.

Penutup

Uraian menunjukan bahwa tuntutan tugas profesi penerbang berhubungan erat dengan bentuk perilaku terampil yang spesifik, serta bagaimana proses keterampilan tersebut diperoleh. Terdapat 3 kategori perilaku, yaitu perseptual motorik, bahasa, dan sosial. Masing-masing perilaku tersebut cukup peka terhadap dampak psikologis yang dialami individu penerbang. Beberapa kejadian kecelakaan telah membuktikannya. Pada pelaksanaannya ke tiga perilaku ini saling terkait dalam mewujudkan perilaku terampil. Untuk memperolehnya dibutuhkan pemahaman terhadap proses pelatihannya yang mengikuti fase kognitif, asosiatif, dan otomatisasi, dan ini semua harus diikuti secara sistematik dan berkelanjutan. Keinginan untuk mewujudkan perilaku terampil yang bersifat instant akan memberikan dampak berbahaya bagi keselamatan penerbangan.

Kepustakaan :

1. Dhenin, S.G., Sharp, G.R., dan Ernsting, J., (1978). Aviation Medicine, Physiology and Human Factors. London : Tri-Med Books Ltd.

2. Fuller, R. (1994). Behaviour Analysis and Aviation Safety. Dalam, Johnston, N., McDonald, N., dan Fuller, R.,(eds). Aviation Psychology in Practice. Aldershot : Avebury Technical Ashgate Publ. Ltd.

3. ICAO, (1998). Human Factors Training Manual.1’st Ed. Doc 9683-AN/950.

4. Orasanu, J.M., (1994). Shared Problem Models and Flight Performance. Dalam, Johnston, N., McDonald, N., dan Fuller, R.,(eds). Aviation Psychology in Practice. Aldershot : Avebury Technical Ashgate Publ. Ltd.

5. Widura IM., (1999). Psikologi & Keselamatan Penerbangan. Tinjauan Psikologi Terhadap Sebab-sebab Kecelakaan Penerbangan Dalam Rangka Peningkatan Keselamatan Penerbangan. Makalah Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan. Jakarta : Lakespra Dr Saryanto.