Tampilkan postingan dengan label fear of flying. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fear of flying. Tampilkan semua postingan

Jumat, 23 September 2011

"Fear of Flying"

Widura IM

Pendahuluan

Studi dalam bentuk penelitian tentang takut terbang atau fear of flying termasuk jarang dilakukan. Salah satu penelitian yang paling penting tentang takut terbang dilakukan pada tahun 1980 ketika dua peneliti dari perusahaan industri penerbangan Boeing menemukan bahwa ternyata 18,1% orang dewasa di AS takut untuk terbang, dan 12,6% orang dewasa lainnya mengalami kecemasan ketika mereka terbang. Hal ini mengungkapkan adanya fakta bahwa sekitar satu dari tiga orang dewasa di Amerika takut untuk terbang. Penelitian ini juga menarik karena memberikan informasi tentang alasan mengapa mereka menghindari terbang. Sekitar setengah dari jumlah responden yang diteliti melaporkan bahwa meraka takut terbang tanpa ada alasan yang jelas, hanya sekitar enam persen yang berpendapat bahwa mereka takut terbang karena ketidak amanan penerbangan. Sebuah jajak pendapat lainnya yang dilakukan oleh Majalah Newsweek pada tahun 1999 menemukan bahwa 50% dari orang dewasa pengguna penerbangan komersial yang disurvei menunjukan ada gejala takut setidaknya kadang-kadang. Penelitian sejenis belum pernah dilakukan di Indonesia, padahal bila kita amati jumlah pengguna pesawat komersial cukup meningkat dan belum diketahui apakah sebenarnya mereka memanfaatkan jasa transportasi udara dengan menyenangkan atau sebenarnya karena terpaksa dan dengan ketakutan.

Dalam tulisan ini, penulis berusaha menguraikan pengertian, proses timbulnya fear of flying, apa saja simptomnya dan bagaimana mengatasinya. Diharapkan tulisan ini dapat menjadi bahan informasi untuk pembaca yang berminat untuk mengetahuinya dan lebih menarik lagi bila ada rekan-rekan pembaca yang berminat menelitinya lebih dalam.

Reaksi Takut

Setiap orang memberikan respon takut terbang yang bervariasi. Reaksi yang umum adalah bahwa mereka berusaha kuat menghindari terbang dengan pesawat udara. Ada cukup banyak orang yang lebih senang memanfaatkan jasa transportasi darat ketika harus melakukan perjalanan bisnisnya atau perjalanan berlibur, mereka menghindari menggunakan pesawat udara. Tapi ada juga karena tuntutan dan sarana, terpaksa tidak bisa menghindar untuk memanfaatkan jasa transportasi udara. Bagi mereka yang takut, gejala yang dapat muncul ditunjukan melalui reaksi fisik, seperti berkeringat, detak jantung dan/atau bernafas bertambah cepat, atau mual. Bentuk reaksi lainnya untuk sementara orang adalah menggunakan obat-obatan penenang, dll.

Sebenarnya bila ditelusuri secara statistik, pesawat udara merupakan sarana transportasi yang lebih aman dibandingkan transportasi darat seperti kendaraan roda empat atau dua, sehingga penumpang atau calon penumpang pesawat udara tidak perlu takut. Bagi sebagian besar orang yang memiliki kecemasan yang berhubungan dengan menggunakan pesawat udara, statistik ini mepunyai makna bahwa dalam banyak kasus, rasa takut tidak secara langsung berhubungan dengan risiko kecelakaan pada transportasi pesawat udara. Dengan kata lain, risiko dan takut adalah dua hal yang berbeda, dan kita tidak dapat menggunakan statistik kecilnya risiko pesawat udara untuk meyakinkan seseorang bahwa terbang adalah aman.

Pengertian

Fear of flying secara sederhana dapat diartikan sebagai takut terbang, dan sebagai gejala takut, hal ini dapat terjadi pada penerbang dan awak pesawat lainnya maupun orang awam (baca: penumpang pesawat udara). Namun demikian, fear of flying sebagai gejala psikologis perlu difahami dengan benar agar tidak terjadi salah pengertian.

Beberapa ahli mengatakan, “fear of flying” dapat diklasifikasikan sebagai takut (atau “fear”) yang alamiah dan biasa terjadi terhadap kondisi objektif dan nyata. Misalnya, seseorang yang takut terbang karena ia pernah mengalami kecelakaan terbang atau dia melihat kondisi pesawat tidak sempurna sehingga dapat mencelakakannya. Dalam pengertian takut (fear), fear or flying” dapat diartikan takut untuk terbang reaksi rasa takut yang bersifat objektif, dan temporer. Dasar dari rasa takut disini bukan “anxiety” tetapi takut (“fear”). Sedangkan pengertian lainnya, “fear of flyingdiasosiasikan dengan ketakutan yang dikaitkan dengan kecemasan (anxiety) dan biasanya mempunyai sebab yang lebih dalam, seperti phobia, atau mansifestasi tak langsung dari satu atau beberapa gejala phobia seperti claustrophobia (takut terhadap ruangan tertutup) atau acrophobia (takut pada ketinggian).

Suatu kenyataan bahwa fear of flying muncul bukan semata-mata karena takut terbang saja namun disebabkan gabungan beberapa perasaan takut. Takut terhadap ruang sempit (claustrophobia), misalnya ketakutan ketika berada di kabin pesawat yang dirasakan sempit. Atau, takut terhadap ketinggian (acrophobia), atau takut yang berlebihan karena kemungkinan mendapatkan serangan yang mendadak misalnya karena pembajakan atau serangan terorisme dimana ia sulit untuk menghindar (agoraphobia). Atau, takut terhadap guncangan pesawat (turbulence), atau takut terbang karena pasawat melintasi perairan/laut yang luas atau terbang di malam hari, atau takut akan terjadi kecelakaan yang menyebabkan cidera atau kematian, atau perasaan aneh dan sensasi (naik pesawat udara) yang terjadi di sekitarnya. Atau, ketakutan yang disebabkan perasaan sangat tergantung pada keputusan penerbang yang tidak dikenal (being dependent on an unknown pilot’s judgment).

Proses terbentuknya fear of flying

Dari kondisi yang mendasarinya, secara teoritik fear of flying dapat terbentuk karena rasa takut (fear) dan cemas (anxiety). Dan dalam prosesnya, fear of flying dapat muncul tanpa sebab yang jelas (disebabkan mekanisme pertahanan diri yang terjadi secara tak sadar) atau karena ada penyebab faktual sebelumnya (sesudah mengalami kecelakaan atau atau nyaris celaka/nearmis atau karena melihat kecelakaan). Dilihat dari mekanisme terbentuknya fear of flying tentunya akan memberikan konsekuensi pada taktik intervensinya, karena seringkali khususnya pada penerbang (lebih-lebih di lingkungan militer) mereka akan lebih mudah mengatakan bahwa “saya sakit” daripada “saya takut”.

Apapun kondisi psikologis yang mendasarinya maupun mekanisme terbentuknya, perlu sama-sama difahami bahwa fear of flying perlu diwaspadai mengingat beberapa simptom yang menyertainya dapat menghambat performance seseorang. Kondisi ini menjadi sangat serius bila penerbang yang mengalaminya. Pesawat udara itu sendiri secara umum merupakan sarana transportasi paling aman yang ada. Menurut data statistik dari Departemen Transportasi Amerika, transportasi udara lebih aman dibandingkan dengan transportasi darat. Permasalahan yang terjadi adalah Departemen Transportasi kurang dapat membantu seseorang untuk menghentikan rasa takut untuk terbang.

Setiap orang yang terbang, bahkan seseorang yang tidak memiliki rasa takut untuk terbang, memahami bahwa memang ada risiko kecelakaan. Dalam menghadapi kecelakaan pesawat udara, pilot secara spesifik telah dilatih untuk tetap bersikap tenang dan berpikir jernih pada saat keadaan darurat, dan mereka diyakini mampu mengendalikan pesawat dalam keadaan darurat. Tanpa latihan khusus seperti yang dilakukan para pilot, maka banyak penumpang akan merasa khawatir terhadap bahaya yang akan terjadi saat pesawat mengudara.

Dari informasi yang ada, kita bisa menyadari bahwa sebagai manusia, kita merupakan sosok yang lemah, kita harus memiliki kontrol terhadap rasa takut tersebut, bukan hanya dalam perjalanan di udara tetapi juga di darat. Walaupun kadang diri kita tidak berada dalam posisi mengkontrol keadaan, namun kita masih bisa belajar secara psikologis untuk memiliki kamampuan dalam mengendalikan pikiran kita sendiri.

Secara teknis, beberapa buku mengkatagorikan takut terbang (fear of flying) sebagai fobia yang spesifik, merupakan salah satu bagian dari gangguan kecemasan (anxiety). Sebagai suatu kecemasan, “fear of flying” lebih disebabkan oleh sesuatu yang mungkin akan terjadi (atau suatu ketakutan bersifat subjektif) daripada terhadap sesuatu yang secara nyata atau faktual dapat terjadi.

Contohnya, ketika seseorang berada di dalam pesawat udara lalu ada asap yang keluar dari mesin pesawat ketika pilot mencoba untuk melakukan pendaratan darurat, maka jelas akan terjadi suatu bahaya, dan setiap orang pasti akan merasa takut. Tetapi ketika seseorang berada di dalam pesawat dengan semua sistem berfungsi secara normal dan aman, tetapi orang tersebut merasa takut seakan-akan terjadi sesuatu hal yang berbahaya, itu yang dinamakan kecemasan (anxiety).

Symptoms

Secara umum, seseorang yang memiliki pengalaman takut terbang memberikan informasi tentang dua gejala dasar, yaitu reaksi fisiologis, dan gejala psikologis.

- Reaksi fisiologis

  • ketegangan otot; tremors
  • sulit bernafas
  • lemah jantung; sakit pada dada
  • ketidaknyamanan pada organ abdominal dan intestinal
  • berkeringat, pusing, prickly sensations, mulut kering, wajah memucat

- Gejala Psikologis

  • daya ingat melemah
  • penyempitan persepsi
  • pertimbangan yang buruk (poor or clouded judgment)
  • ekpektasi negatif
  • berpikir perseverasi

Penyebab dasar fear of flying:

Dari pengalaman seorang psikolog yang kebetulan bertugas di lingkungan sekolah penerbang terdapat beberapa kejadian yang muncul dari para siswa sekolah penerbang yang menunjukan gejala fear of flying.

(a) Fear of flying dapat timbul karena minimnya informasi tentang prosedur dasar penerbangan, tentunya hal ini terjadi khususnya bagi para siswa sekolah penerbang yang menunjukan gejala fear of flying.

(b) Beberapa trauma psikologis yang berasal dari pengalaman atau mengamati kecelakaan penerbangan pesawat udara, dan

(c) Transference bersifat simbolik dari konflik interpersonal terhadap pengalaman terbang.

Bisa juga disamping empat alasan takut terbang di atas, terdapat alasan lainnya yang ditemukan pada siswa penerbang yang berkaitan dengan isu-isu latihan terbang yang menghasilkan buruknya kepercayaan diri.

Classification

  • Reaksi naluriah (instinct reaction)
  • Kecemasan dan ketakutan (anxiety & fear)
  • Mekanisme pertahan diri dan sindrom dekompensasi (defence mechanism & decompensation syndrome)
Dekompensasi diartikan sebagai kegagalan kompensasi defence mechanism yang berlanjut menjadi fear of flying.

- Sindrom Dekompensasi Primer – didasarkan oleh kecemasan dan berlanjut menjadi fobi.

- Sindrom Dekompensasi Sekunder – didasarkan karena pernah mengalami kecelakaan dan atau melihat terjadi kecelakaan pesawat udara.

Treatment, pemulihan mendasar untuk ganguan takut terbang:

a) Intervensi Terapi Quasi (Quasi-Therapeutic Intervention)

- Pemulihan dengan suport dan informasi

- Konseling & Critical Incident Stress DebriefingRata Penuh b) Behavioral therapy

- Relaksasi otot atau dengan latihan autogenik (Autogenic Exercise)

- Systematic Desensitization

c) Behavioral therapy “in-vivo” , Behavior therapy “in-vivo”, klien/pasien atau penerbang yang mengalaminya secara bertahap diajak terbang kembali.


Kepustakaan

Colebunders, R., (2011). Cured of Fear of Flying, Travel Medicine and Infectious Disease, Vol. 9, Issue 2, March 2011, p.82 . Institute of Tropical Medicine, University of Antwerp, Antwerp, Belgium

Freiberger JJ, Denoble PJ, Pieper CF, Uguccioni DM, Pollock NW, Vann RD. (2002). The Relative Risk of Decompression Sickness During and After Air Travel Following Diving. Aviation, Space, and Environmental Medicine 2002; 73:980–984.

Jones, DR. (1986). Flying and Danger, Joy and Fear. Aviation, Space, and Environmental Medicine 1986; 57:131–136.

Kraaij V, Garnefski N, and van Gerwen, L. (2003). Cognitive Coping and Anxiety Symptoms Among People Who Seek Help for Fear of Flying. Aviation, Space, and Environmental Medicine 2003; 74:273–277.

Oakesa, M., and Robert Borb R. (2010). The Psychology of Fear of Flying (Part I): A Critical Evaluation of Current Perspectives On The Nature, Prevalence and Etiology of Fear of Flying, Travel Medicine and Infectious Disease, Vol. 8, Issue 6, November 2010, p. 327-338

Strongin TS. (1987). A Historical Review of The Fear of Flying Among Aircrewmen. Aviation, Space, and Environmental Medicine 1987; 58:263–267.

Voge VM. (1989).
Failing Aviator Syndrome: A Case History. Aviation, Space, and Environmental Medicine 1989; 60(7, Suppl.):A89–91.

Picano JJ. (1990). An Empirical Assessment of Stress-Coping Styles in Military Pilots. Aviation, Space, and Environmental Medicine 1990; 61:356–360.