Minggu, 03 Juli 2011

DUKUNGAN PSIKOLOGI DALAM LINGKUNGAN PENERBANGAN

Drs. WIDURA IM., M.Si

Pendahuluan

Di lingkungan manapun manusia berada, disitu ia harus dapat menyesuaikan diri, dan berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini akan menyangkut perilaku manusia, baik sebagai upaya penyesuaian diri, interaksi dengan lingkungan maupun sebagai konsekuensi dari upaya penyesuaian diri dan interaksinya dengan lingkungan. Oleh karenanya, hampir di setiap kehidupan manusia dapat ditemui masalah psikologi mengingat titik perhatian psikologi adalah perilaku manusia.

Demikian pula halnya dengan kehidupan manusia di lingkungan penerbangan. Secara kodrati manusia merupakan makhluk daratan, sehingga bila ia berada di luar lingkungan daratan – angkasa atau udara - maka ia dituntut untuk dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan tersebut dengan segala konsekuensinya. Untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya maka diciptakanlah sistem (pesawat terbang) yang memungkinkan manusia dapat bertahan hidup. Konsekuensinya, untuk dapat memanfaatkan sistem tersebut manusia harus mempelajari sistem, melatih diri dalam menggunakan sistem, dsb. termasuk upaya bertahan hidup bila menghadapi kegagalan sistem. Konsekuensi akan meningkat menjadi risiko bagi manusia bila sistem tersebut ingin dimanfaatkan untuk tujuan militer, karena disamping ia harus menyesuaikan dirinya dengan lingkungan, ia juga dituntut untuk dapat bertahan hidup menghadapi berbagi ancaman dan risiko sesuai tugas-tugas kemiliteran. Kesemua ini mempunyai implikasi terhadap perilaku manusia, dan psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia cukup besar keterkaitannya.

Banyak aspek psikologi yang dapat menjadi fokus studi di lingkungan penerbangan, namun mengingat keterbatasan ruang maka tema penulisan merupakan kapita selekta studi dan kegiatan psikologi yang diulas berdasarkan keterkaitan erat dalam mendukung kegiatan operasional penerbangan. Walaupun tidak secara luas dan mendalam, setidaknya dapat memberikan informasi dan membuka wawasan bagi peminat studi di bidang psikologi penerbangan. Topik-topik pilihan yang akan diulas menyangkut batasan dan pengertian serta berbagai kegiatan psikologi dalam upaya mendukung usaha penyesuaian manusia agar tetap efisien dan efektif dalam kegiatan operasional penerbangan.

Pengertian Psikologi Penerbangan

Psikologi penerbangan merupakan sub-disiplin ilmu psikologi yang menyangkut fakta-fakta, informasi-informasi, atau prinsip-prinsip dan konsep-konsep psikologi tentang perilaku manusia serta interaksi dengan lingkungannya yang dimanfaatkan di dunia penerbangan. Per-definisi, psikologi penerbangan adalah ilmu pengetahuan terapan yang mempelajari perilaku manusia dalam usaha menyesuaikan dirinya dengan lingkungan penerbangan (Bond, et.al., 1962). Sebagai ilmu terapan, prinsip-prinsip dan konsep-konsep teori psikologi dimanfaatkan untuk mendukung efisiensi dan efektivitas manusia dalam melaksanakan tugas-tugasnya di lingkungan penerbangan.

Perhatian utama dari studi psikologi penerbangan adalah perilaku manusia dalam lingkungan penerbangan, baik perilaku tertutup maupun terbuka. Artinya, perilaku tertutup akan mencakup semua perilaku manusia yang tidak kasat mata. Misalnya ; daya ingat, sikap, motivasi, emosi, perasaan, dsb. Sedangkan arti dari perilaku terbuka adalah perilaku manusia yang dapat langsung diamati secara kasat mata, antara lain ; efisiensi dan efektivitas perilaku kerja, perilaku terampil, tanda-tanda ketegangan dari stres, dsb.

Dari ulasan tentang pengertian dan batasan di atas, dapat dirangkum bahwa pada dasarnya psikologi penerbangan merupakan ilmu pengetahuan bersifat terapan yang mengemukakan fakta, prinsip dan konsep tentang perilaku manusia baik tertutup maupun terbuka dalam konteks interaksinya (dalam rangka penyesuaian dirinya) dengan lingkungan (penerbangan).

Manusia Dalam Lingkungan Penerbangan

Untuk memahami interaksi manusia dengan lingkungan penerbangan, perlu diketahui berbagai hal tentang manusia dalam lingkungan penerbangan serta permasalahannya. Dalam uraian berikut akan diulas fokus psikologi dalam memahami perilaku manusia di lingkungan penerbangan, dan konsekuensi tuntutan profesi serta permasalahan psikologi bagi individu yang bekerja di lingkungan penerbangan.

Mengamati perilaku manusia khususnya penerbang dalam kegiatan operasional penerbangan, penerbang dapat dipandang sebagai suatu sistem di dalam sistem (Sells & Berry, 1961). Sebagai penerbang, ia merupakan mata rantai atau komponen yang penting dalam sistem kontrol pesawat terbang, tetapi sebagai manusia ia juga dapat dilihat sebagai sistem yang independen. Dengan kata lain, seorang penerbang dapat dilihat sebagai salah satu komponen instrumen dalam sistem kegiatan operasional penerbangan dan sebagai manusia atau organisme dengan sistem psikofisiknya.

1. Penerbang Sebagai Komponen Instrumen.

Organisasi kerja awak pesawat, terutama penerbang sangat erat kaitannya dengan sistem kerja mesin, sehingga mereka dalam menjalankan tugasnya sering dianalogikan sebagai suatu mata rantai sistem operasional mesin yang “identik” dengan sub-sistem mesin. Sebagai sub-sistem mereka harus dapat bekerja layaknya mesin yang efisien, efektif, dan terpelihara kualifikasinya. Kondisi ini tentunya memberikan konsekuensi pada keseluruhan sistem organisasi kerja yang dipersyaratkan bagi penerbang. Penerbang dituntut ability atau kemampuannya untuk menangani tugas-tugasnya. Ada kualifikasi profesi yang dipersyaratkan bagi individu yang melaksanakan tugas penerbangan. Dan kualifikasi ini hanya dapat diperoleh melalui seleksi yang ketat dan latihan terpogram yang membutuhkan waktu relatif lama. Oleh karena itu, profesi sebagai awak pesawat pada umumnya dan khususnya penerbang dibutuhkan seleksi yang ketat, proses pendidikan dan pelatihan yang intensif, pengalaman tugas yang kadang membutuhkan waktu cukup panjang selama masa penerapan profesinya.

Salah satu tuntutan atau persyaratan disamping tuntutan kemampuan dan keterampilan, sangat ditekankan penguasaan prosedur kerja baku atau SOP (Standard Operation Procedure) yang terinci sesuai dengan jenis pesawat yang diawakinya. Untuk itu dalam melaksanakan tugasnya, walaupun mereka diyakini sudah menguasai prosedur yang harus dijalankannya, namun mereka tetap dilengkapi checklist prosedur tindakan yang harus diikuti dengan penuh disiplin. Bahkan penguasaan terhadap prosedur ini harus diuji secara periodik oleh pihak otoritas agar tetap memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan. Tidak dapat dielakan bahwa untuk mengoperasikan pesawat terbang dengan segala peralatan dan sistem pendukungnya, dibutuhkan individu yang memiliki keterampilan tinggi disamping kemampuannya dalam mematuhi prosedur kerja dengan penuh disiplin.

2. Penerbang Sebagai Organisme Manusia

Sebagai organisme manusia, seorang penerbang dituntut kesediaannya (availability) untuk menjalankan tugas-tugasnya (Sells & Berry, 1961) . Availability ini tidak terlepas dari masalah motivasi serta mekanisme psikologis maupun fisiologis. Sebagai hasil dari motivasi dan mekanisme psikofisiologis, tentunya penerbang tak terhindarkan dari problem-problem manusia pada umumnya. Ia terbuka terhadap pengaruh dan tekanan (stress) dari lingkungannya, baik yang langsung berhubungan dengan tugasnya sebagai penerbang, seperti risiko bahaya, prosedur yang harus diikuti secara ketat, beban kerja, relasi antar rekan kerja, dsb. Ataupun, pengaruh dari lingkungan di luar pekerjaannya, seperti masalah keluarga, ekonomi, relasi sosial di masyarakat, dsb.

Tuntutan Psikologis Tugas Penerbang dan Permasalahannya

Bila dikaji tentang profesi penerbang seperti telah diuraikan di atas, maka umumnya tuntutan psikologis tugas penerbang (Cassie, Foklema, dan Parry, 1962) akan mencakup :

· Suatu profesi yang membutuhkan aptitude yang sesuai dan keterampilan yang tinggi sehubungan dengan jenis pekerjaannya

· Motivasi yang kuat dan sehat khususnya untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dalam menguasai keterampilan yang umumnya membutuhkan waktu lama.

· Kegiatan profesi yang spesifik, dimana penerbang sebagai organisme dihadapkan pada tuntutan psikofisiologis yang menekan (stressfull) dengan segala risikonya.

· Lingkungan sosial yang khas dalam lingkungan kegiatan penerbangan.

Sesuai tuntutan profesinya, seorang penerbang harus mampu menyesuaikan dirinya, atau tepatnya mengintegrasikan dirinya dengan lingkungan, baik yang bersifat langsung dengan lingkungan pesawatnya, ataupun dengan lingkungan pekerjaan di dunia penerbangan secara luas. Pada saat yang sama, ia juga tidak terlepas dari permasalahan di luar pekerjaan yang bersifat manusiawi. Dalam penyesuaian diri ini kerap muncul problem-problem psikologis, baik yang menyangkut kualifikasi profesi maupun yang berkaitan dengan permasalahan psikofisiologis.

Permasalahan psikologis yang khas di dunia penerbangan dapat bersumber dari :

· Masalah inteligensi dan aptitude serta faktor-faktor psikologis lainnya yang berpengaruh pada pendidikan dan pelatihan penerbang.

· Kondisi-kondisi psikofisiologis yang dihadapi pada missi-missi penerbangan tertentu khususnya di lingkungan penerbangan militer, seperti ; terbang tinggi, terbang rendah, aerobatik, dll.

· Tekanan (stress) fisik maupun sosial-psikologis dalam menjalankan tugas.

· Intensitas frekuensi dari faktor operasional penerbangan yang membahayakan.

· Kondisi lingkungan sosial yang spesifik di dunia penerbangan dan efeknya pada moril penerbang, pola kepemimpinan, komunikasi dsb.

· Masalah yang berkaitan dengan aspek psikopatologis dari kepribadian penerbang.

Dari uraian tentang manusia dalam lingkungan penerbangan dan permasalahannya ini tidak seluruh aspek psikologi dapat diungkap secara lengkap. Namun sebagai informasi awal dapatlah ditangkap bahwa terdapat suatu kekhasan dari lingkungan kerja penerbangan yang memberikan dampak psikologis yang spesifik pula bagi manusia atau individu yang bertugas di lingkungan tsb. Selanjutnya, bagaimana upaya individu dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungan tersebut menjadi fokus kegiatan psikologi khususnya untuk mendukung keberhasilan operasi penerbangan.

Bidang Studi dan Kegiatan Psikologi Penerbangan

Berdasarkan tuntutan tugas dan permasalahan psikologi yang terlibat di lingkungan operasi penerbangan, fokus psikologi mencakup bidang studi dan kegiatan ; Seleksi dan klasifikasi, Pendidikan dan latihan, Aspek psikologi dalam Human Factors atau Ergonomi, Aspek psikologi sosial dan psikologi organisasi, Penelitian-penelitian psikologi, Intervensi dan treatment psikologis yang erat kaitannya dengan bidang psikologi klinis, serta Aplikasi psikologi untuk memaksimalkan dampak kekuatan udara.

1. Kegiatan Seleksi dan Klasifikasi

Profesi penerbang tidak terelakan mempersyaratkan potensi-potensi tertentu dari seorang calon penerbang, seperti ; taraf inteligensi yang memenuhi syarat, aptitude yang sesuai, dan temperamen tertentu. Oleh karenanya, diperlukan suatu proses penyaringan yang sistematik dan terprogram untuk memilih orang-orang yang memenuhi kriteria dari sejumlah calon yang biasanya melebihi kebutuhan.

Pada umumnya baterai tes psikologi di lingkungan penerbangan militer mencakup ;

· Data biografik untuk mendapatkan informasi tentang riwayat hidup, latar belakang keluarga, pendidikan, status sosial ekonomi, penyakit dan riwayat kecelakaan, dsb.

· Paper and Pencils Tests dan/atau Computer Base Assessment, yang bertujuan untuk mendapatkan data yang berhubungan dengan aptitudes dan abilities.

· Tes-tes Psikomotor untuk menilai kemampuan-kemampuan reaksi dan koordinasi psikomotorik.

· Tes dan/atau Inventori serta Wawancara Psikologi untuk mendapatkan data aspek kepribadian atau temperamen dan pola emosi untuk mendapatkan prognosis yang berkaitan dengan tipe-tipe kepribadian tertentu sesuai karakteristik tugas penerbang maupun sumberdaya pribadi yang diperlukan untuk menghadapi masalah di lingkungan tugas pekerjaannya.

Di beberapa negara umumnya mengembangkan sistem, prosedur dan metode-metode seleksinya sendiri, tetapi pada prinsipnya tujuannya tetap sama. Yaitu, memilih dari sejumlah pelamar calon penerbang yang diprediksi tidak mengalami kegagalan dalam pendidikan, dapat mengembangkan kontribusi pada keselamatan penerbangan, dan mempunyai potensi untuk memperoleh kepuasan selama mengikuti pendidikan maupun dalam pekerjaannya di kemudian hari secara konsisten dengan segala risiko dan konsekuensinya (Byrdorf, 1998).

Umumnya tes psikologi yang digunakan disamping memperoleh data tentang kapasitas kecerdasan dan aptitude, seperti ; pemahaman mekanik dan pengetahuan teknik, kemampuan numerik, daya ingat, kecepatan persepsi, orientasi ruang, waktu reaksi, koordinasi motorik dsb., juga untuk mengevaluasi dan mendeskripsikan sejumlah aspek kepribadian, seperti ; motivasi, stabilitas emosi, disiplin diri, potensi kepemimpinan, daya tahan stres, kerjasama, kemampuan mengambil keputusan, dsb.

Studi yang berkaitan dengan permasalahan seleksi psikologi di bidang penerbangan merupakan area yang menarik untuk diulas. Setidaknya alat seleksi psikologi melibatkan berbagai tantangan untuk selalu dikembangkan, baik yang berhubungan dengan kriteria, alat ukur maupun baterai tes. Dalam dua tahun belakangan ini Dinas Psikologi TNI AU melaksanakan pengembangan alat ukur dengan program mentransfer beberapa versi paper & pencils tests, khususnya yang berkaitan dengan tes inteligensi, aptitude dan kepribadian ke versi komputer (On Screen Test). Program ini masih berjalan dengan fokus pada riset validity dan releability tes, penyesuaian prosedur dan administrasi serta penyusunan norma, mengingat perubahan versi paper & pencils tests ke On Screen Test menuntut penyesuaian prosedur dan administrasi tes.

Bersamaan dengan berlngsungnya program ini, dimulai pada tahun 2004 Dinas Psikologi TNI AU bekerjasama dengan Departemen Psikologi Pusat Penerbangan dan Ruang Angkasa Jerman (DLR) mengembangkan sistem seleksi psikologi berbasis komputer (Computer Base Assessment) atau Computer Aided/Assisted Test (CAT). Bila On Screen Tests yang dikembangkan Dispsiau lebih diarahkan pada jenis alat ukur untuk non penerbangan, maka CAT terdiri dari tes-tes psikologi untuk tujuan pengukuran potensi-potensi calon penerbang dan awak pesawat serta ATC (Air traffic controller). Dalam CAT, pengolahan data dilaksanakan secara terintegrasi dalam sistem komputer termasuk penilaian dan interpretasi.

CAT mengukur variasi potensi yang cukup luas mengenai pengetahuan dan aptitude, kemampuan intelektual dan kepribadian, serta respon-respon psikomotor. Dari uji coba yang telah dilaksanakan, banyak pelajaran yang diperoleh. Tidak dapat disangkal bahwa penggunaan bantuan teknologi dalam sistem seleksi psikologi memberikan sejumlah keuntungan, antara lain ; efisiensi pemeriksaan psikologi, meredusir bahkan menghilangkan kemungkinan kesalahan scoring dan pengolahan data, serta proteksi terhadap kerahasiaan data disamping keuntungan-keuntungan lainnya.

Disamping keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh dari manfaat teknologi dalam aplikasi tes psikologi, penggunaan komputer juga memunculkan permasalahan yang membutuhkan pengkajian dan penelitian lebih lanjut (Huelmann & Oubaid, 2004) . Kualitas yang buruk dan penggunaan tes yang tidak tepat dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Oleh karena itu, sejumlah prosedur dan administrasi tes psikologi berbasis komputer menjadi perioritas untuk ditegakan demi mendapatkan hasil tes yang akurat. Kajian dan penelitian tentang dampak penggunaan teknologi komputer terhadap validitas dan reliabilitas tes menjadi salah satu bidang kerjasama Dispsiau dan DLR.

Sejajar dengan tugas dan misi penerbang militer yang kompleks, aktivitas psikologi di lingkungan penerbangan militer dituntut untuk memfasilitasi pemahaman dan interpretasi terhadap situasi lingkungan kerja penerbang secara adekuat. Kegiatan psikologi penerbangan harus dapat menilai calon penerbang secara tepat, mereduksi kemungkinan kegagalan, dan dapat memberikan kontribusi yang besar bagi keselamatan penerbangan. Berkaitan dengan hal tersebut, prosedur seleksi psikologi penerbang militer umumnya didasarkan pada model statistik/klinis yang memberikan konsekuensi bagi psikolog untuk berperan sebagai “instrumen seleksi” (Byrdorf, 1998). Oleh karena itu, seorang psikolog yang bekerja dalam seleksi penerbang tidak hanya dituntut mengenal dan memahami dunia penerbangan, tetapi juga terlatih dan profesional sebagai psikolog yang berkecimpung di dunia penerbangan.

Pengkajian mengenai prosedur dan administrasi, serta alat ukur dan kriteria termasuk validitas dan reliabilitas pengukuran tak dapat dikesampingkan begitu saja, karena perkembangan yang cepat dari teknologi pesawat terbang dan bertambah majemuknya misi operasional penerbangan. Kondisi ini memberikan konsekuensi tugas penerbang yang semakin kompleks dan pada gilirannya menuntut penyesuaian metode, prosedur dan kriteria dalam seleksi penerbang. Hal ini jelas membutuhkan pengkajian yang luas dan mendalam melalui penelitian-penelitian yang terus menerus dan berkelanjutan.

2. Bidang Pendidikan dan Latihan

Fokus kegiatan psikologi di bidang pendidikan dan latihan, bergerak dari perencanaan pendidikan sampai dengan kegiatan teknis pendidikan dan latihan penerbang. Hal ini dapat diamati melalui pemanfaatan konsep-konsep psikologi belajar dalam pendidikan dan latihan penerbang, teknik instruksi, teknik penggunaan alat peraga, model simulasi dan juga teknik evaluasi dan reevaluasi hasil belajar, serta pemantauan motivasi dan faktor psikologi lainnya yang berpengaruh terhadap keberhasilan seorang siswa penerbang.

Pendidikan dan pola pelatihan penerbang yang terstruktur secara ketat, sistematik dan berkelanjutan diyakini akan memunculkan perilaku terampil para penerbang. Untuk mewujudkan perilaku terampil tersebut dibutuhkan kemampuan (ability), ditambah kesempatan dan motivasi untuk belajar dan berlatih. Dari tahapan belajar saja, setidaknya ada 3 fase yang umumnya harus dilalui seorang siswa penerbang bila ia ingin memperoleh keterampilan yang utuh, yaitu ; fase kognitif, fase asosiatif, dan fase otomatisasi (Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978).

Fase kognitif merupakan tahap dimana penerbang belajar untuk memahami semua tugas yang harus dilakukan. Seorang calon penerbang tidak hanya belajar tentang materi yang berhubungan dengan aspek-aspek teori, tapi juga belajar mengenai semua tindakan motorik yang efisien, efektif, dan akurat. Setelah semua tugas dapat difahami, berikutnya adalah fase asosiatif. Disini calon penerbang dituntut dapat mempraktekan tugas-tugas tersebut secara runtut melalui latihan yang terkontrol agar mampu mengembangkan performance secara optimal. Dan terakhir adalah fase otomatisasi, calon penerbang berlatih lebih intensif untuk mengalihkan kontrol kognitif ke gerakan otonom yang bersifat otomatis dalam mengaplikasikan keterampilannya secara efisien dan efektif.

Tentang aspek-aspek keterampilan itu sendiri, secara lebih spesifik dapat dikelompokan menjadi 3 kategori, yaitu ; perseptual motorik, bahasa, dan sosial. Keterampilan pertama adalah perseptual motorik yang melibatkan beberapa keterampilan yang lebih khusus, yakni ; keterampilan fisik yaitu keterampilan yang berhubungan dengan kelenturan jasmani, kesiagaan fisik, dsb. Pada keterampilan ini, dapat dikatakan faktor psikologis kecil pengaruhnya. Segi perseptual motorik lainnya adalah keterampilan manipulatif yang berkaitan dengan efisiensi dan efektivitas gerakan kontrol yang berguna untuk mengendalikan berbagai instrumen pengendali sistem. Keterampilan ini cukup peka dari pengaruh psikologis yang dialami individu penerbang.

Keterampilan lainnya yang berkaitan dengan perseptual motorik adalah keterampilan menangkap & memproses informasi. Keterampilan ini berhubungan erat dengan kemampuan seseorang menangkap informasi penting, daya timbang (judgement) serta pengambilan keputusan (decision making). Faktor psikologis cukup besar pengaruhnya pada pengembangan keterampilan ini. Kegagalan dalam mewujudkan aspek keterampilan ini dapat berakibat fatal. Hasil analisis FAA (Federal Aviation Administration) sebagaimana dilaporkan Jensen dan Bennel (1977) menunjukan bahwa kesalahan penerbang dalam membuat judgement dan keputusan menyumbang tak kurang dari 50% terjadinya kecelakaan pesawat terbang yang fatal.

Kategori keterampilan kedua adalah keterampilan bahasa. Keterampilan ini erat kaitannya dengan kemampuan verbal yang penting untuk berkomunikasi, berfikir dan memecahkan masalah (Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978). Keterampilan bahasa menjadi perhatian penting, khususnya di negara-negara dimana bahasa Inggris bukan “bahasa ibu” dari para penerbang, mengingat bahasa penerbangan yang tertera di software maupun yang digunakan dalam kegiatan operasional penerbangan secara universal menggunakan bahasa Inggris. Di dunia penerbangan, keterampilan bahasa menjadi penting karena kesalahan menyampaikan pesan maupun interpretasi dapat berakibat fatal. Ada 3 fungsi bahasa di bidang ini, antara lain ; membagi informasi, mengarahkan tindakan, dan merefleksikan pikiran. Ke tiga fungsi ini sangat penting terutama bila keterampilan bahasa dibutuhkan untuk mendukung pemecahan masalah (Orasanu, 1994).

Kategori keterampilan yang ketiga atau terakhir adalah keterampilan sosial yang lazim diistilahkan dengan keterampilan psikososial. Keterampilan ini berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk menjalin kerjasama dan koordinasi. Suatu keterampilan yang relevan dengan aktivitas individu untuk membangun relasi antarpribadi, saling percaya, bertukar informasi dan sikap, dsb. Tujuan utama dari interaksi sosial adalah koordinasi. Penelitian menunjukan bahwa meningkatnya situasi abnormal atau emergency akan menambah pentingnya koordinasi di antara crew (Orasanu, 1994). Koordinasi ini tidak hanya berlaku pada pesawat berawak lebih dari satu, melainkan juga bagi pesawat terbang berawak tunggal seperti halnya di pesawat jet tempur.

Keterampilan-keterampilan yang telah diuraikan di atas tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri. Dalam aplikasinya, keterampilan tersebut saling terkait erat dan saling mendukung bahkan juga dapat saling menghambat. Oleh karenanya diperlukan pelatihan yang sistematik dan berkelanjutan serta pengalaman yang cukup untuk mewujudkan aspek-aspek keterampilan tersebut secara utuh, efisien dan efektif. Tahap-tahap pelatihan tersebut penting untuk diikuti sebagai proses yang berkelanjutan dalam rangka membentuk perilaku terampil. Pada dasarnya proses belajar untuk mendapatkan perilaku terampil mengikuti prinsip keurutan (sequential) dan secara psikologis tidak ada perilaku terampil yang muncul sendiri-sendiri (Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978). Mempelajari suatu keterampilan merupakan rangkaian aktivitas yang berlangsung berurutan dan saling tergantung satu sama lain, demikian pula dengan proses pelatihannya. Menerbangkan pesawat menuntut penguasaan skill atau keterampilan tertentu, dan keterampilan tersebut bukan sesuatu yang dibawa sejak lahir, melainkan melalui belajar secara bertahap dan dikuasai melalui latihan yang tak jarang memerlukan waktu relatif lama.

Seorang calon penerbang tidak hanya dituntut untuk mempelajari berbagai aspek keterampilan penerbang dan tapi juga harus mampu menguasai prosedur untuk mendapatkan ketepatan tindakan layaknya manusia sebagai instrumen mesin pesawat. Pendidikan penerbangan dapat merupakan suatu situasi yang unik, terutama bila dilihat bahwa posisi dari “belajar terbang” sebagai situasi peralihan. Peralihan dari hakekat manusia sebagai makhluk daratan menjadi makhluk yang dengan berbagai sarana pendukungnya (pesawat terbang) berusaha hidup di lingkungan angkasa. Ciri khas dari suatu peralihan adalah situasi kritis, artinya orang yang mengalaminya tak luput dari keadaan ketidak seimbangan (stres). Kondisi – kondisi umum yang berpengaruh pada masa peralihan, antara lain ; Faktor Kebiasaan dan Sikap, suatu peralihan yang menuntut beberapa perubahan kebiasaan dan sikap. Ia tidak hanya harus belajar pandangan, cara berpikir dan tingkah laku baru, tetapi juga harus meninggalkan pandangan, cara berpikir dan cara bertingkah laku lama yang menghambat penguasaan keterampilan dan prosedur tertentu.

Salah satu persyaratan yang mendasar untuk sukses dalam belajar terbang adalah sikap yang positif terhadap penerbangan. Sikap ini harus muncul dari motivasi yang sehat dan didasarkan atas kesadaran diri yang wajar. Pada dasarnya motivasi dibangun melalui dorongan/keinginan (drive), tujuan (goal) dan aktivitas. Umumnya saat awal memasuki pendidikan siswa mempunyai keinginan besar untuk menjadi penerbang, tapi tak jarang keinginan tersebut menurun selama proses pendidikan. Oleh karenanya motivasi yang sehat dan sikap positif siswa terhadap penerbangan harus tetap dipantau serta dikembangkan selama proses pendidikan berlangsung.

Biasanya kondisi emosi yang negatif seperti cemas dan takut akan berkembang setelah siswa mengikuti pendidikan. Ini tak lepas dari situasi pendidikan sebagai situasi peralihan yang penuh tekanan. Situasi pendidikan seperti ini cenderung mempengaruhi diri siswa yang selanjutnya dapat menyebabkan problem emosional dimana pada batas-batas tertentu dapat menghambat prestasi siswa. Masalahnya, umumnya emosi atau rasa cemas ini tersembunyi, tak disadari dan tak jarang sebab-sebabnya lebih dalam, sehingga tidak selamanya dapat segera diketahui. Oleh karenanya, pemantauan kondisi psikologis siswa perlu dilakukan guna dapat memelihara efisiensi siswa dalam mencapai keberhasilan pendidikan.

Penguasaan terhadap aspek-aspek keterampilan penerbang menghendaki lebih daripada keinginan ”to fly around” yang bersifat romantis. Motivasi tidak sehat yang didasarkan penolakan diri (self regard), misalnya sebagai pelarian dari kehidupan suram, atau harapan sekedar untuk meraih status sosial yang lebih tinggi, ataupun hanya karena tak mau kalah dengan teman-teman yang kebetulan melamar jadi penerbang biasanya tidak cukup kuat untuk mendukung upaya seorang siswa penerbang mengatasi kesulitan-kesulitan di pendidikan. Hal yang lebih penting adalah enthusiasme yang wajar, sikap positif dan motivasi yang sehat. Kondisi ini lebih menguntungkan untuk mengembangkan kemauan belajar yang sungguh-sungguh dalam menguasai aspek-aspek yang lebih sukar dalam mempelajari keterampilan penerbangan maupun untuk bertahan terhadap situasi stres selama proses pendidikan.

Dari ulasan di atas, ditinjau dari aspek psikologi setidaknya terdapat 3 hal yang hendak dicapai dalam bidang pendidikan dan latihan di bidang penerbangan, yaitu ; penguasaan keterampilan (skill) dan pembentukan sikap (attitude), termasuk di dalamnya pengembangan motivasi, perubahan kebiasaan, dan pengembgan emosi yang stabil guna bertahan terhadap tekanan-tekanan yang dihadapinya dalam berkiprah di dunia penerbangan.

3. Bidang Psikologi Sosial & Organisasi

Faktor-faktor perilaku kelompok termasuk fokus penting untuk studi psikologi dalam kerangka mengembangkan dan memelihara efektivitas dan efisiensi kerja penerbang serta awak pesawat lainnya. Aspek intrinsik dari perilaku manusia dalam penerbangan adalah tingkah laku individu sebagai anggota suatu kelompok yang sangat terorganisir. Terdapat saling ketergantungan antar masing-masing anggota kelompok (awak pesawat) dalam satuan kerja. Bila diamati kegiatan penerbangan secara keseluruhan, jaringan koordinasi dapat dikatakan cukup luas dengan keterlibatan awak pendukung di darat (ground crew), teknisi mekanik, petugas pengatur lalu lintas udara (air traffic controller), dan sebagainya.

Manusia dalam interaksinya dengan lingkungan akan menampilkan perilaku yang bervariasi antara individu satu dan lainnya tergantung pada sikap, karakteristik dan kecenderungan-kecenderungan individu dalam menghadapi pengaruh dari lingkungan. Faktor-faktor tersebut sering luput dari perhatian mengingat orang sering beranggapan bahwa hal tersebut dapat terbentuk dengan sendirinya. Pengalaman menunjukan keterampilan non-teknis yang berhubungan dengan faktor manusia seperti ; kepemimpinan, komunikasi, kemampuan koordinasi, dan aspek-aspek perilaku non teknis lainnya merupakan aspek yang harus dilatih karena tidak muncul secara otomatis disamping mempunyai andil yang penting dalam upaya mengoptimalisasikan efektivitas dan efisiensi operasi penerbangan. Sehubungan dengan hal tersebut, psikologi dalam konteks human factors telah mengembangkan suatu program pelatihan yang dikenal dengan CRM atau Cockpit/Crew Resource Management.

Program CRM didasarkan atas data statistik tentang sebab-sebab kecelakaan yang menggambarkan pentingnya koordinasi antar awak pesawat (crew coordination). Partisipasi dalam program CRM diharapkan dapat mengubah pemahaman awak pesawat, terutama dalam menerapkan peran mereka dalam kokpit dan operasi penerbangan secara umum (Taggart, 1994). Dinas Psikologi TNI AU dalam tujuh tahun belakangan ini secara kontinyu telah menerapkan program CRM bagi penerbang dan awak pesawat lainnya. Program pelatihan ini pada dasarnya merupakan upaya memperbaiki pemahaman dan meningkatkan keterampilan aspek non teknis penerbangan yang ditujukan untuk mengembangkan teamwork, memperbaiki komunikasi antar awak pesawat, mempelajari penyesuaian antara posisi dan peran, mempelajari proses pengambilan keputusan dalam tim, mempelajari kepemimpinan dan aspek-aspek spesifik dari tim kecil (small organized group), mempelajari kritik (menyampaikan dan menerima kritik), mempelajari cara efektif menghadapi dan mengendalikan konflik, dsb.

Tim dapat diartikan sebagai sekelompok orang bekerja sama untuk mencapai satu tujuan. Agar tim mampu melaksanakan tugas secara efektif, maka mereka harus dapat bekerja sama dalam satu kesatuan yang terkoordinasi dan sinergis. Setidaknya ada dua alasan mengapa teamwork perlu dilatihkan. Pertama, keterampilan sebagai tim (team skill) tidak muncul sejak lahir, oleh karena itu harus dipelajari dan dikembangkan melalui latihan. Kedua, adalah hal yang penting bahwa sebagai tim mereka harus diberikan pengalaman, karena fakta menunjukan bahwa awak pesawat yang sering bekerja sama menunjukan efektivitas yang lebih baik sebagai tim. Suatu tim seperti halnya awak pesawat dalam kokpit, secara individual jelas memiliki kualifikasi teknis yang tidak disangsikan. Namun demikian kemampuan mereka sebagai suatu tim masih harus diuji, dan biasanya hal tersebut baru teruji pada saat menghadapi situasi-situasi emergency. Kegagalan tim dalam uji kemampuan dalam situasi nyata ini justru sering mengakibatkan kecelakaan fatal.

Dalam penerbangan militer, studi tentang perilaku kelompok juga difokuskan pada aktivitas psikologi yang berupaya mendukung dan meningkatkan performance penerbang (dan awak pesawat lainnya) sebagai tim dalam operasi pertempuran. Studi di bidang ini berkaitan dengan upaya optimalisasi kemampuan bertempur suatu satuan udara sebagai tim disamping studi yang berhubungan dengan upaya minimalisasi dampak tekanan pertempuran terhadap kondisi psikologis penerbang dan awak pesawat lainnya. Studi di bidang ini mencakup semua kajian yang berkaitan dengan berbagai permasalahan perilaku manusia dalam kelompok, seperti ; kepemimpinan, kohesivitas kelompok, esprit de’corps, maupun moril kelompok.

Organisasi satuan tugas penerbangan militer menganut sistem mekanistik sebagaimana lazimnya satuan-satuan militer lainnya yang ketat dalam struktur, hirarki dan komando, namun di pihak lain juga harus fleksibel mengingat hakekat misi operasionalnya yang dinamis dan sangat dipengaruhi variabel yang relatif sulit dikontrol seperti cuaca. Kondisi-kondisi tersebut dipercaya memberikan dampak pada lingkungan psikososial yang khas dunia penerbangan dan efeknya yang spesifik pada moril penerbang, pola kepemimpinan, komunikasi, koordinasi, dsb.

Penerapan prinsip-prinsip psikologi tentang perilaku kelompok terletak pada pengertian atas faktor-faktor formal organisasi dan relasi antar anggota yang dimanfaatkan untuk meningkatkan efektivitas suatu kelompok kerja. Dari titik pandang ini, aktivitas psikologi diperlukan untuk memperhatikan (a) karakteristik-karakteristik individual yang berpengaruh terhadap aktivitas kelompok dalam operasional penerbangan, (b) aspek-aspek struktural dari kelompok atau satuan kerja awak pesawat serta tujuan dan misi dari penerbangan. Kesemuanya ini diyakini memiliki kontribusi terhadap efektivitas kerja awak pesawat.

4. Bidang Psikologi Klinis, Konsultasi dan Intervensi Psikologi

Penerapan psikologi klinis dalam penerbangan militer pada umumnya dikembangkan pada beberapa bidang (Roth, 1998), antara lain ;

· Diagnosa dan konsultasi

· Pencegahan stres

· After-action stress debriefing

· Pencegahan dan terapi terhadap gangguan-gangguan psikologis sebagai dampak dari operasi penerbangan

Kegiatan psikologi dalam diagnosa dan konsultasi banyak berhubungan dengan penerbang atau awak pesawat lainnya yang datang ke klinik untuk konsultasi dan/atau subyek yang dikirim oleh dokter penerbangan (flight surgeon). Kegiatan-kegiatan tersebut melibatkan peran bidang psikologi klinis dengan asumsi bahwa simptom atau keluhan yang muncul dan dialami penerbang tidak harus selalu dipandang sebagai bentuk psikopatologis dan gangguan kepribadian tetap (Dhenin dkk., 1978). Sehubungan dengan kegiatan diagnosa dan konsultasi, secara umum keluhan-keluhan klinis dapat dikelompokan dalam ;

* Kelompok keluhan yang berkaitan dengan psikoneurosa dan emotional state yang dialami penerbang, seperti ; takut terbang, kecemasan, dan keluhan-keluhan psikologis lainnya.

* Kelompok keluhan yang berhubungan dengan gangguan fungsional psikosomatis dan keluhan fisik yang spesifik dan timbul berulang-ulang pada diri penerbang bila ia berada dalam situasi-situasi tertentu.

* Kelompok keluhan yang berhubungan dengan kesulitan-kesulitan penerbang dalam melaksanakan tugas profesinya, seperti ; mabuk udara (airsickness), lamban dalam menerima instruksi, dan tanda-tanda kecemasan ringan dalam penerbangan, dsb.

Dalam kehidupan di lingkungan penerbang militer pada khususnya sering ditemui bahwa penerbang yang mendapatkan permasalahan psikologis tidak dapat mengekspresikan keluhannya. Sehingga seringkali keluhan ditangkap oleh dokter atau pejabat yang berwenang secara samar-samar. Sebagai contoh, mereka lebih mudah untuk berkata ; “Saya sakit” daripada “Saya cemas”, dsb. Disamping itu, tidak jarang penerbang kurang menyadari mengenai simptom-simptom yang muncul. Atau, keluhan yang sebenarnya tidak signifikan dinilai sebagai keluhan yang serius baik oleh penerbang yang bersangkutan ataupun oleh pejabat di kesatuan. Menghadapi situasi seperti ini, pejabat yang berwenang atau dokter penerbangan kerapkali memerlukan bantuan psikolog.

Misi-misi operasi penerbangan militer mempunyai implikasi tuntutan tugas yang berat dan pengalaman stres yang kuat bagi penerbang dan awak pesawatnya. Namun demikian, sejauh penerbang memiliki kemampuan teknis penerbangan serta daya tahan stres yang adekuat, tidak ada permasalahan psikologis yang perlu dikhawatirkan. Permasalahan menjadi serius bila terjadi kondisi ketidak seimbangan antara kemampun teknis yang tidak cukup untuk menghadapi situasi operasi dengan daya tahan stres atau kemampuan mengatasi (coping) stres karena berbagai sebab. Untuk mengupayakan penerbang dapat mengatasi situasi dan sekaligus mampu mengantisipasi kondisi demikian, diperlukan pelatihan yang tepat sebagai upaya pencegahan stres beserta dampak-dampak yang merugikan. Untuk kepentingan tersebut, peran psikologi klinis penting untuk memfokuskan kegiatannya dalam memberikan informasi mengenai ;

* Stres dan sumber-sumber stres (stresor).

* Hubungan antara beban kerja dan stres.

* Apa yang menjadi ekpaktasi dari misi yang dilaksanakan.

* Kiat dan strategi yang adekuat dan tak adekuat dalam mengatasi stres.

* Pentingnya psycho-phisical fittnes.

* Manajemen stres termasuk latihan relaksasi.

* After action stress debriefing

Post accident treatment dan after-action stress debriefing terhadap penerbang dan awak pesawat yang baru mengalami kecelakaan atau kembali dari misi penerbangan yang berisiko sangat tinggi merupakan kegiatan yang cukup penting. Di beberapa negara kegiatan ini sudah menjadi prosedur tetap yang diberlakukan kepada penerbang dan awak pesawat. Tidak dapat disangkal bahwa aktivitas penerbangan militer, seperti pada latihan, lebih-lebih dalam misi pertempuran pada kenyataannya menampilkan situasi ancaman yang secara obyektif memang membahayakan dan dapat menyebabkan stres psikologis bagi para awak pesawat dan bila tidak ditangani secara sistematik dapat berdampak pada gangguan stres lebih serius atau post trauma stress dissorders.

Pada prinsipnya, aktivitas psikologi klinis dituntut untuk membantu para penerbang dan awak pesawat untuk mampu menampilkan perilaku kerja (performance) tetap optimum serta dapat mengembalikan mereka ke kondisi psikologis semula setelah menghadapi situasi-situasi yang stressfull.

5. Aktivitas Psikologi dan Human Factors

Secara akademis, human factors sering dipadankan dengan ergonomics, suatu bidang yang bertujun menggambarkan kapabilitas dan limitasi manusia, seperti ; antropometri, penglihatan, pendengaran, daya ingat/memori dan sejumlah keterbatasan fisik lainnya. Sejumlah buku referensi tentang ergonomics memuat penjelasan-penjelasan yang sistematik tentang cara terbaik dalam rancang displays, penggunaan warna, mengatur tempat kerja dsb. Lingkungan industri penerbangan telah tertarik dan berusaha mengintegrasikan pengetahuan-pengetahuan semacam ini dalam kokpit pesawat sejak tahun 1940-an.

Pada pertengahan tahun 1980-an, sejumlah ahli NASA mengintrodusir CRM (Cockpit/Crew Resources Management) yang kemudian dikembangkan secara luas di industri jasa penerbangan untuk melatih dan memecahkan permasalahan penerbangan di bidang soft skill, dimana sebagian besar aspek dan materinya sangat berhubungan erat dengan keterampilan psikososial, seperti ; kerjasama tim, pengambilan keputusan dalam tim, dinamika kelompok kecil, dsb. Pada era ini, pelatihan penerbang tidak hanya ditekankan pada aspek-aspek teknis penerbangan tetapi secara seimbang diperhitungkan pula aspek-aspek psikologi dan perilaku sosial dalam mengembangkan keterampilan penerbang. Kegiatan psikologi dalam studi human factors menjadi sangat diperhitungkan di era akhir 1980-an melalui pemikiran Jim Reason tentang human error dimana faktor psikologis dianggap penting pengaruhnya dalam paradigma sentral pendekatan sistem terhadap keselamatan penerbangan. Pada perkembangannya kemudian, yaitu awal tahun 1990-an, cognitive ergonomics masuk dalam industri penerbangan dan menjadi perhatian utama studi human factors di lingkungan penerbangan. Sebenarnya konsep ini sudah dikembangkan jauh sebelumnya, namun baru mendapatkan perhatian ketika sikap resisten terhadap otomatisasi mereda. Cognitive ergonomics merupakan bidang yang menarik untuk studi lapangan, analisis tugas dan pendekatan ekologis terhadap kinerja manusia, tidak seperti studi di laboratorium dan/atau metode tradisionl dalam psikologi eksperimen.

Bila hendak diklasifiksikan, studi tentang human factors dapat dikelompokan sesuai dengan tujuannya, antara lain ;

· Studi dengan tujuan utamanya adalah mendesain physical interfaces agar ada kesesuaian (compatible) dengan karakteristik dasar manusia yang berhubungan aspek fisiologis dan psikologis, serta keterbatasan-keterbatasannya (ambang pengamatan, durasi waktu kerja, keletihan, dsb). Oleh karenanya, permasalahan seleksi pada studi ini menjadi titik perhatian utama.

· Studi dengan tujuan selain mendesain interfaces, juga mengorganisir sistem dan melatih operator dalam rangka mereduksi sejumlah kesalahan (errors) pengendali atau mereduksi konsekuensi yang tidak perlu dari sejumlah kesalahan tadi. Hasil studi menjadi penting untuk mengembangkan metode pembelajaran dan pelatihan penerbang.

· Studi dengan tujuan mendesain cognitive interfaces agar memungkinkan operator memiliki situastional awareness terbaik. Dalam studi disini, mengupayakan operator mampu memahami dan menyaring setiap aspek yang muncul dari suatu situasi, yang memungkinkan ia untuk bertindak secara tepat dan mengedepankan keselamatan. Kondisi kritis dalm pengendalian demikian adalah saat mengelola kompromi-kompromi kognitif antar dimensi-dimensi yang saling bertentangan. Misalnya, antar pemahaman mendalam terhdap deteil vs pemantaun secara keseluruhan ; maximum performance vs optimum safety ; short term cognitive resource investment vs long term fatigue management, dsb.

· Studi filosofis berkaitan dengan pertanyaan : “Peran apa yang sebaiknya diberikan kepad manusia dalam tugas penerbang di kokpit di masa mendatang”.

Human factors merupakan konstruk dari beragam konsep multidisiplin, mulai dari psikologi eksperimen, sosiologi, teknik mesin, sampai dengan sosiologi bahkan cognitive sciences. Merupakan bidang studi yang cukup menantang bagi psikologi untuk dapat mengembangkan konsep-konsep yang dapat diterima dan dapat diaplikasikan di dunia penerbangan. Studi dan kajian psikologi dalam human factors sering mempunyai manfaat praktis untuk melakukan perubahan-perubahan dalam organisasi kerja, modifikasi peralatan penerbang, dsb.

Penutup

Dalam pelaksanaannya, berbagai kegiatan psikologi seperti telah diuraikan di atas mungkin saja terjadi tumpang tindih, baik dalam tiap-tiap sub kegitan ataupun dengan sub disiplin ilmu pengetahuan lainnya, seperti ; sosiologi, psikiatri, dll. Namun demikian, secara keseluruhan kegiatan-kegiatan tersebut tujuan akhirnya adalah mendukung efisiensi dan efektivitas dari kegiatn penerbangan.

Kepustakaan

Bond, N.A., Bryan, G.L., (1962). Aviation Psychology”. L.A. : Aviation and Missile Safety Division.

Byrdorf, P., (1998). Military Pilot Selection”. Dalam, Goeters, K.M.(Ed), Aviation Psychology : A Science and a Profession. Vermont : Ashgate Publishing Co.

Cassie, A., Foklema, S.D., Parry, J.B., (Ed’s). (1964). Aviation Psychology : Studies on Accident Liability, Proficiency Criteria and Personnel Selection”. Paris : Mouton & Co.

Dhenin, S.G., Sharp, G.R., dan Ernsting, J., (1978). Aviation Medicine, Physiology and Human Factors. London : Tri-Med Books Ltd.

Foushee, H.C. & Helmreich, R.L., (1988). Group Interaction and Flight Crew Performance”. Dalam, Wiener, E.L. & Nagel, D.C.(Eds), Human Factors in Aviation. San Diego : Harcourt Brace Jovanovich, Publishers.

Huelmann, G., & Oubaid, V., 2004. “Computer Assisted Testing (CAT) in Aviation Psychology”. Dalam, Goeters, K.M. (Ed), Aviation Psychology : A Practice and Reasearch. Vermont : Ashgate Publishing Co.

ICAO, (1998). “Human Factors Training Manual”.1’st Ed. Doc 9683-AN/950. Montreal : Secretary General of International Civil Aviation Organization.

ICAO, (1989). Human Factors Digest No 1 - Fundamental Human Factors Concepts”. ICAO Circular 216-AN/131. Montreal : Secretary General of International Civil Aviation Organization.

Orasanu, J.M., (1994). Shared Problem Models and Flight Performance. Dalam, Johnston, N., McDonald, N., dan Fuller, R.,(Eds). Aviation Psychology in Practice. Aldershot : Avebury Technical Ashgate Publ. Ltd.

Roth, W., (2004). Prevention and Treatment of Post-Traumatic Stress Effects”. Dalam, Goeters, K.M. (Ed), Aviation Psychology : A Practice and Reasearch. Vermont : Ashgate Publishing Co.

Roth, W., (1998). Clinical Psychology Appliction in Military Aviation”. Dalam, Goeters, K.M.(Ed), Aviation Psychology : A Science and a Profession. Vermont : Ashgate Publishing Co.

Sells, S.B., Berry, C.A., (1961). Human Factors in Jet and Space Travel”. New York : The Roland Press Co.

Sukmo G., (2004). Psikologi Penerbangan Dalam Perspektif Human Factors”. Makalah pada Semiloka Psikologi Penerbangan di Dinas Psikologi TNI AU, tanggal 24-26 Agustus 2004. Jakarta : Dispsiau.

Taggart, W.R., (1994). Crew Resource Management : Achieving Enhanced Flight Operations”. Dalam, Johnston, N., McDonald, N., & Fuller, R. (Eds). Aviation Psychology in Practice. Vermont : Ashgate Publishing Company.

Widura IM., (1986). Psikologi Dalam Lingkungan Penerbangan. Dalam : Kumpulan Karya Tulis Alumni Fakultas Psikologi Unpad, Dalam Rangka Lustrum V & Hari Sarjana Fakultas Psikologi Unpad. Bandung : Fakultas Psikologi Unpad.

Kamis, 30 Juni 2011

FAKTOR-FAKTOR PSIKOLOGI YANG MEMPENGARUHI PERILAKU TIDAK AMAN PENERBANG

Widura Imam Mustopo


Pendahuluan

Kemajuan industri penerbangan yang pesat dalam beberapa tahun terakhir ditandai dengan meningkatnya kehandalan dan kinerja pesawat udara generasi baru hingga diaplikasikannya inovasi-inovasi berbagai peralatan operasional termasuk prosedur pengaturan lalu lintas udara, kedaruratan dalam pendaratan, dll. Hal ini tidak dapat dipungkiri memberikan dampak pada operator, penerbang pada khususnya, untuk lebih memperhatikan berbagai persyaratan kemampuan dan keterampilan yang harus dipenuhi. Faktor manusia menjadi penting terutama pada tuntutan terhadap aspek-aspek psikologis tertentu, mengingat kemajuan teknologi memberikan dampak pada meningkatnya tuntutan terhadap kemampuan yang berhubungan dengan kompleksitas kognitif. Perhatian terhadap aspek psikologi faktor manusia menjadi penting, kegagalan padanya dapat menyebabkan kecelakaan. Oleh karena itu, selama beberapa dekade belakangan ini berbagai upaya terus dilakukan untuk mencegah berulangnya kecelakaan pesawat udara. Namun pada kenyataannya berbagai upaya tersebut tidak menurunkan angka kecelakaan penerbangan yang disebabkan kesalahan manusia (human error).

Dari berbagai laporan resmi penyelidikan tentang sebab-sebab kecelakaan dapat digambarkan bahwa angka kecelakaan penerbangan yang disebabkan kesalahan manusia relatif tetap besar. Hasil analisis FAA (Federal Aviation Administration) seperti dilaporkan Jensen dan Bennel (dalam, Orasanu, 1992), menunjukan hampir 75% dari keseluruhan kecelakaan (accidents) maupun insiden (incidents) penerbangan disebabkan karena kegagalan manusia dalam mengoperasikan sistem penerbangan itu sendiri. Sebenarnya dengan berbagai kemajuan teknologi sarana peralatan, prosedur dan inovasi manajemen keselamatan penerbangan yang terus berkembang maka seyogyanya sebab-sebab kecelakaan karena faktor manusia dapat ditekan.

Hal yang sama tampaknya terjadi pula di penerbangan nasional, baik di lingkungan penerbangan sipil maupun militer. Dicurigai bahwa tingginya frekuensi insiden dan kecelakaan pesawat udara berhubungan dengan sebab-sebab pada faktor manusia. Menurut data yang dihimpun oleh KNKT (Komite Nasional Kecelakaan Transportasi) Departemen Perhubungan RI (Dephub), selama kurun waktu 1988-2003 telah terjadi 497 kali insiden dan kecelakaan penerbangan sipil/komersial di tanah air. Di antaranya terjadi 192 kecelakaan, atau ± 12 kali terjadi kecelakaan per tahun (www.dephub.go.id/knkt/ntsc-aviation/aaic.htm). Dari sumber data yang sama ditemukan bahwa faktor penyebab kecelakaan dari aspek manusia kurang lebih sebesar 35%; faktor gabungan manusia-teknis sebesar 21%; teknis (technical) sebesar 20% sisanya merupakan penyebab dari aspek cuaca (weather), lingkungan (environment) dan hal-hal yang belum teridentifikasi secara jelas (unidentified). Dari laporan Departemen Perhubungan, sejak tahun 2004 sampai dengan 2008 terjadi kenaikan kecelakaan penerbangan nasional sebesar 15,38% pertahun (Departemen Perhubungan, 2008), suatu kenaikan kecelakaan di penerbangan yang cukup besar untuk dijadikan perhatian.

Tidak jauh berbeda dari penerbangan sipil/komersial di tanah air, di lingkungan penerbangan militer khususnya di TNI AU, statistik insiden dan kecelakaan pesawatpun memberikan gambaran yang hampir sama. Statistik kecelakaan penerbangan di TNI AU selama lima tahun sejak 1998 sampai dengan 2003 menunjukan tetap tingginya faktor manusia sebagai penyebab yang terbesar. Dari 20 kecelakaan pesawat udara sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2003, 17 kecelakaan (57%) disebabkan oleh faktor manusia dan 13 kecelakaan (43%) karena faktor material (Dinas Keselamatan Terbang dan Kerja TNI AU, 2007).

Berikut ini akan diulas pendekatan faktor manusia dalam memahami perilaku tidak aman (safety behavior) khususnya di lingkungan penerbang.


Faktor Manusia, Human Error dan Kecelakaan Penerbangan

Secara tradisional, penyebab terjadinya kecelakaan pesawat udara sering diarahkan semata-mata karena kesalahan penerbang (pilot error). Bila membatasi tanggung jawab hanya pada penerbang saja berarti membebaskan orang lain atau faktor lain yang mungkin terlibat (Roscoe, 1980). Disadari atau tidak penggunaan istilah ”pilot error” cenderung akan membuat fakta-fakta pendukung terjadinya kecelakaan tetap tersembunyi yang sebenarnya bila dikenali lebih awal dapat mencegah terjadinya kecelakaan. Seperti diketahui lingkungan kerja penerbangan melibatkan teknologi yang tinggi dan menyangkut sistem yang kompleks termasuk pengaturan/prosedur kerja yang ketat. Hal ini membawa konsekuensi bahwa penyebab kecelakaan pesawat udara tidak mungkin menjadi tanggung jawa penerbang saja. Hampir tidak ada penyebab tunggal terhadap terjadinya kecelakaan pesawat udara. Mengapa seorang penerbang melakukan tindakan tidak aman sehingga terjadi kecelakaan perlu ditelusuri dan diselidiki lebih mendalam, terhadap kemungkinan-kemungkinan faktor-faktor lain sebagai penyebab, baik yang berasal dari orang lain di luar penerbang (pengawas, pemimpin, dan/atau rekan kerja) atau faktor lingkungan fisik tempat kerja, dan manajemen/organisasi.

Pada tahun-tahun belakangan ini, model tindakan tidak aman (unsafe act) yang dikemukakan oleh Reason (1990) yaitu generic cognitive error models telah banyak dimanfaatkan. Reason (1990), disini mengartikan skill-based adalah tindakan yang tak disengaja (unintended), terdiri antara lain slips dan laps, sedangkan tindakan tidak aman yang disengaja (intended) adalah kekeliruan (mistake) terdiri dari rule-based mistake atau knowledge-based mistake dan pelanggaran. Kekuatan model Reason adalah bahwa segmen kesalahan konsisten dengan kategori yang berlaku pada model pemrosesan informasi manusia/human information processing (Hobbs & Williamson, 2003).

Lebih jelasnya, perilaku tidak aman dapat diklasifikasikan ke dalam dua macam perilaku, yaitu ; salah (error) dan pelanggaran (violation). Kesalahan dibagi menjadi tiga macam kesalahan, yaitu; kesalahan keputusan (rule-based error), kesalahan pada keterampilan (skill-based error), dan kesalahan pengamatan (perceptual error). Sedangkan, pelanggaran muncul dalam bentuk tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur, aturan atau ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan oleh otoritas (Reason, 1990 ; Shappell dan Wiegman, 2001, 2004). .

Baik kesalahan maupun pelanggaran, keduanya merupakan bentuk perilaku tidak aman yang bertumpu pada proses individual. Secara historis, sejumlah penelitian tentang keselamatan kerja berfokus pada individu (McKeon, 2004). Psikolog seperti Hollnagel (1993) dan Reason (1990) telah banyak meneliti proses kognitif dalam kaitannya dengan kesalahan manusia. Kesalahan faktor manusia sering diarahkan pada keterbatasan kognisi manusia, seperti terbatasnya daya ingat, dan kapasitas proses informasi/information processing capacity (Reason, 1997). Dalam pendekatan individu, perilaku tidak aman cenderung bersifat atributif seperti individunya pelupa, tidak memperhatikan, atau tidak mampu bahkan lalai. Di lingkungan penerbangan nasional, pendekatan ini masih cukup populer sehingga konsekuensinya kesalahan faktor manusia selalu di letakan pada individu, dalam hal ini penerbang. Bagaimana penanganan kasus kecelakaan pesawat Garuda GA 200 tanggal 7 Maret 2007 di Yogyakarta merupakan contoh nyata bagaimana pendekatan individu masih cukup kental di Indonesia (Kompas, 8 Maret 2008). Individu penerbang dianggap bertanggung jawab atas perilaku tidak aman yang mengakibatkan kecelakaan, oleh karena itu penerbang harus dihukum. Pendekatan ini kurang bermanfaat untuk melakukan intervensi perbaikan manajemen keselamatan disamping itu juga tidak efektif untuk memahami kesalahan sebagai hal yang tak terhindarkan sebagai bagian dari kondisi manusia. Walaupun benar bahwa tindakan tidak aman seseorang berhubungan dengan kemungkinan adanya kelalaian, namun mayoritas orang tidaklah demikian. Sebagian besar orang yang melakukan kesalahan serius adalah mereka para profesional yang umumnya sudah bekerja secara berhati-hati dan berdedikasi untuk melaksanakan pekerjaannya dengan baik (McKeon, 2004). Hal ini menunjukan bahwa pendekatan individual mengisolasi manusia dan perilaku tidak aman dari konteks sistem dia berada (Reason, 1997).

Pendekatan sistem melihat perilaku tidak aman dari sudut yang berbeda. Dalam pendekatan ini, penyebab terbesar timbulnya kesalahan dalam organisasi adalah karena adanya kesalahan sistem atau rancangan dibandingkan karena individu. Pendekatan sistem berkonsentrasi pada kondisi dimana individu bekerja dan berusaha membangun pertahanan-pertahanan untuk mencegah timbulnya perilaku tidak aman dan kesalahan-kesalahan atau mengurangi dampaknya. Kesalahan dilihat sebagai suatu konsekuensi dibandingkan sebagai penyebab. Bila terjadi kesalahan, asumsinya adalah lebih sulit merubah kondisi manusia, tapi lebih mudah merubah kondisi dimana manusia itu bekerja (McKeon, 2004).

Pendekatan sistem berusaha lebih holistik dalam memahami perilaku tidak aman. Pendekatan sistem melihat penyebab munculnya perilaku tidak aman dari berbagai area seperti individunya, tim, tugas, tempat kerja dan lembaga organisasi sebagai keseluruhan (Reason, 2000). Reason (1997) berpendapat bahwa banyak kesalahan merupakan hasil dari berbagai penyebab seperti faktor fisik, kognitif, sosial, dan organisasional. Pendekatan sistem memusatkan perhatiannya pada komponen manusia dalam sistem yang kompleks, kurang menekankan pada individu dan lebih mengedepankan faktor organisasional yang memunculkan kondisi dimana perilaku tidak aman itu terjasi (Reason, 1997). Faktor yang memberikan kontribusi terletak pada beberapa faktor yang saling berhubungan, seperti masalah komunikasi dan supervisi, beban kerja berlebihan, dan/atau kelemahan dalam pelatihan. Bagaimanapun, kegagalan dalam suatu industri yang kompleks membutuhkan pemahaman terhadap beberapa kejadian yang saling berhubungan dalam suatu perangkat yang kompleks menyangkut peran kognitif, sosial, dan organisasional (McKeon, 2004).

Faktor-faktor individual seperti stres, fatigue, dan motivasi yang buruk sering penyebabnya berasal dari lingkungan kerjanya itu sendiri. Faktor-faktor yang memberikan kontribusi terhadap kegagalan bisa karena perhatian yang terganggu, ingatan dipenuhi terlalu banyak fakta, atau penerbangnya stres. Fatigue, stres, dan interupsi merupakan faktor kontribusi yang vital terhadap kegagalan-kegagalan kognitif. Hal-hal tersebut dapat dirangsang oleh faktor-faktor organisasional seperti perencanaan beban kerja yang buruk, bekerja dalam jam kerja yang panjang atau beban kerja berlebihan, hal-hal tersebut membebani secara kuat pada individu, dan selanjutnya kesemuanya ini menuntut konsentrasi yang kuat. Faktor-faktor lingkungan seperti kejadian yang tidak biasa, beban kerja berlebihan, dan situasi stressful akan menekan individu dan meningkatkan kemungkinan terjadinya kesalahan (McKeon, 2004). Selain itu, stres waktu secara khusus juga merupakan penyebab yang kuat untuk terjadinya kekeliruan (mistakes) pada level rule-based dimana orang-orang biasanya tetap menggunakan ingatannya atau menggunakan aturan/prosedur yang ia tahu walaupun sebenarnya mereka salah (Reason, 1990).

Sebagai tambahan, kegagalan di tingkat sosial dan organisasi dapat terjadi bilamana manajemen atau organisasi tidak menciptakan budaya keselamatan (Reason, 1997). Contohnya, prosedur-prosedur operasional yang normal mungkin saja telah dirancang dan didokumentasikan dengan baik, tetapi tidak pernah di enforced terhadap kelemahan budaya. Dinamika kelompok dan budaya organisasi memainkan peran dalam menentukan bagaimana keselamatan secara efektif dikelola (Neal & Grifin, 2002). Cox dan Flin (dalam Gadd dan Collins, 2002) menyebutkan bahwa iklim keselamatan dapat dilihat sebagai indikator psikologis dari budaya keselamatan dalam suatu waktu tertentu. Dan iklim keselamatan ini dapat diindikasikan dari norma, nilai-nilai, sikap dan persepsi terhadap keselamatan. Jadi, sikap terhadap keselamatan dapat diasumsikan merupakan salah satu indikator dari iklim keselamatan.


Tindakan Tidak Aman Model Reason

Pada tahun-tahun belakangan ini model tindakan tidak aman yang dikemukakan oleh Reason (1990) yang dikenal dengan generic cognitive error models banyak digunakan. Model ini merupakan pengembangan dari model Reason tahun 1987 sebelumnya yang disebut generic error modeling system (GEMS), konsep Rasmussen tahun 1983 tentang skill-rule-knowledge (SRK), dikotomi slip/mistake dari Norman (1981), dan juga termasuk pelanggaran (violations) aturan sebagai hal yang berbeda dengan tindakan tidak aman. Walau Reason (1990) mengatakan bahwa pelanggaran tidak selalu dapat dimasukan. Mengikuti pendapat Reason (1990), skill-based, atau tak disengaja (unintended), tindakan tidak aman mengambil bentuk slips dan laps, sedangkan tindakan tidak aman yang termasuk disengaja (intended) terdiri dari rule-based atau knowledge-based mistakes dan pelanggaran. Kekuatan model Reason adalah bahwa segmen kesalahan konsisten dengan katagori model pemrosesan informasi manusia/human information processing (Hobbs & Williamson, 2003).

Walaupun pakar teori kesalahan seperti Rasmussen (1983) dan Reason (1990) tidak bertujuan untuk menjelaskan konsep perkembangan keterampilan, namun taksonomi tersebut secara jelas mengungkap perbedaan penting antara level-level kendali kognitif individu dengan situasi yang secara secara intensif telah dikenal dan dapat diprediksi (Hobbs & Williamson, 2003). Taksonomi Reason (1990) telah digunakan secara luas untuk menganalisis kasus kecelakaan maupun dikembangan khususnya dalam menjembatani antara model Reason yang teoritik dengan aplikasi di lapangan dalam rangka penyelidikan kecelakaan maupun manajemen keselamatan (Shappell dan Wiegman, 2001).

Dalam satu penelitian terhadap beberapa penyelidikan kecelakaan pesawat udara, Shappell dan Wiegman (2001) melalaui model Reason yang ia kembangkan, ditemukan bahwa kesalahan keterampilan (skill-based errors) merupakan yang terbanyak, diikuti kekeliruan keputusan (mistaken decision) baik rule-based maupun knowledge-based (Hobbs & Williamson, 2003).

Pendekatan Kognitif pada Kesalahan Manusia

Psikolog seperti Hollnagel (1993) dan Reason (1990) telah meneliti tentang proses kognitif dalam kesalahan manusia. Bila ditelusuri, kesalahan yang dilakukan individu pada dasarnya berakar pada keterbatasan kognisi manusia, seperti terbatasnya daya ingat, dan kapasitas proses informasi/information processing capacity (Reason, 1997).

Sejumlah pengertian yang menyangkut kesalahan manusia sudah banyak dipublikasikan terutama yang dikenal dengan istilah kesalahan kognitif (cognitive errors) oleh Reason (1990), dan Rasmussen (1982). Walaupun arah psikologis dari pengertian tersebut tidak serta merta dapat digunakan untuk menentukan sebab terjadinya kecelakaan, namun pengertian tersebut cukup membantu untuk memahami mekanisme kognitif yang mendasari terjadinya kesalahan manusia (Shappell dan Wiegman, 2001, 2004 ; McKeon, 2004).

1. Level Kinerja (Performance) Manusia

Memahami perbedaan level kinerja yang terjadi pada fungsi kognitif dapat membantu menjelaskan ”mengapa” kesalahan bisa terjadi. Untuk itu perlu sebelumnya dipahami bagaimana seseorang dapat menguasai suatu keterampilan dan selanjutnya diimplementasikan untuk mencapai kinerja yang optimal.

Umumnya, untuk mencapai kinerja yang dibutuhkan dalam menguasai tugas tertentu, orang akan melalui tiga tahap pembelajaran sejak ia mulai mempelajari suatu tugas sampai dengan tahap ia menjadi ahli atau terampil, yaitu level kognitif, level asosiatif, dan level otonom (Rasmussen, 1982 ; Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978). Level kognitif disebut juga level pengetahuan (knowledge-based level), mempersyaratkan pentingnya daya ingat, penalaran atau berfikir. Setelah semua tugas dapat difahami, berikutnya adalah tahap asosiatif. Pada tahap ini, declarative knowledge pada level pengetahuan diganti dengan procedural knowledge atau disebut juga level aturan (rule-based level). Dan terakhir, adalah level otomatisasi yang disebut level terampil (skill-based level). Ke tiga level kinerja ini untuk meningkatkan familirisasi dengan lingkungan dan tugas (Reason, 1990).

Level pengetahuan merupakan tahap dimana penerbang belajar memahami semua tugas yang dibutuhkan. Pengetahuan (knowledge) diperlukan karena orang belum tahu tentang materi atau situasi atau tugas yang harus dilakukan, belum ada latihan atau prosedur yang dihafalkan (Reason, 1990). Pada pelaksanaannya, di level ini orang tidak hanya menerapkan hasil belajar tentang materi atau tugas secara teoritis, tapi juga bagaimana melaksanakan tindakan motorik secara efisien, efektif, dan akurat (Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978). Dalam mempelajarinya dan melaksanakannya, semua tindakan melalui proses analisis yang dilakukan secara sadar termasuk pengetahuan yang disimpan atau diingat. Pada kondisi kesadaran ini dipersyaratkan adanya usaha, dan juga kapasitas tertentu, sehingga cenderung untuk terjadi kesalahan (Reason, 1977).

Kinerja pada level aturan digunakan ketika prosedur yang telah diingat akan digunakan untuk memecahkan masalah yang sudak dikenal, namun bukan bersifat rutin, contohnya, ”bila” situasi ini terjadi, ”maka” lakukan tindakan ini (Reason, 1997). Situasi tersebut biasanya sudah pernah ditemui sebelumnya, atau pernah dilatihkan, atau ada prosedur yang harus dilakukan (McKeon, 2004). Dari sudut pembelajaran, pada level ini seperti telah disinggung sebelumnya, declarative knowledge pada level kognitif diganti dengan procedural knowledge atau dikenal dengan level aturan (Reason, 1990). Tugas-tugas atau materi yang ia terima dan disimpan pada level kognitif dipraktekan secara runtut melalui latihan yang terkontrol untuk menekan kemungkinan terjadinya kesalahan dalam mengembangkan kinerja optimal (Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978). .

Terakhir adalah level otonom yang disebut level terampil. Pada level ini, latihan yang lebih intensif diperlukan untuk mengalihkan kontrol kognitif ke gerakan otonom yang bersifat otomatis dalam mengaplikasikan keterampilannya secara efisien dan efektif (Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978). Level terampil pada kinerja diaplikasikan melalui aktivitas rutin dan terpola (Reason, 1990). Pada penerapannya pada level kinerja ini, tindakan dilakukan secara otomatis, cepat, dan membutuhkan usaha kesadaran yang tidak besar.

Memahami ketiga level kinerja seperti diuraikan di atas dapat membantu mengklasifikasikan variasi mengapa orang melakukan kesalahan.

2. Kesalahan (error)

Kesalahan didefinisikan sebagai kegagalan (failure) bertindak sesuai rencana dalam mencapai hasil yang diinginkan (Reason, 1990, 1997). Kesalahan dapat terjadi dalam bentuk slip, lapses, dan keliru (mistake). Slips terjadi bila intensi dieksekusi dalam suatu tindakan yang tidak tepat, dan lapses adalah kegagalan bertindak sesuai ketentuan (Reason, 1990). Slips secara potensial dapat diamati (observable) dan sering disebabkan oleh faktor-faktor seperti ”grasa-grusu” atau terburu-buru, dan perhatian yang terbagi (Hudson, 2000). Lapses, di pihak lain, berhubungan dengan hal yang tak terlihat secara kasat mata seperti kegagalan mengingat dan sering hanya individu yang bersangkutan yang tahu. Baik slips dan lapses terjadi pada level terampil (Rasmusen, 1982). Kesalahan pada level terampil ini termasuk kegagalan yang disebabkan individu tidak memperhatikan (lack of attention) dan keliru memperhatikan (misallocation of attention). Beberapa penyebab eksternal antara lain; interupsi, gangguan selingan (distraction), dan kejadian yang munculnya tak terduga (McKeon, 2004). Pada umumnya slips tidak mengakibatkan kefatalan karena seringkali dapat dideteksi dengan cepat oleh individu. Sebaliknya lapses yang dapat mengakibatkan kegagalan bertindak, lebih sulit dideteksi. Sehingga dengan alasan ini lapses dapat dikatakan lebih berbahaya dibandingkan slips.

Kekeliruan (mistakes) perdefinisi diartikan sebagai kesalahan dalam membentuk intensi atau dalam memilih suatu strategi untuk mencapai tujuan (Reason, 1990). Kekeliruan ini melibatkan kelemahan dalam daya timbang (judgement) dan/atau adanya kelemahan dalam proses mengambil kesimpulan ketika memilih sasaran. Rasmussen (1982) menyebutkan, kekeliruan dapat terjadi pada level aturan (rule-base level) ataupun pada level pengetahuan (knowledge-base level). Pada level aturan, kekeliruan dapat terjadi karena penerapan yang salah dari suatu aturan yang baik, menerapkan suatu aturan secara tidak tepat, atau gagal untuk menerapkan suatu aturan yang baik. Aturan yang baik namun salah dalam menerapkannya dapat disebabkan oleh masalah rekognisi, contohnya bila terjadi informasi yang berlebihan (overloading) akan menghambat rekognisi. Dan hal ini dapat terjadi karena adanya variasi baru dari masalah yang sudah dikenal dan/atau pelatihan yang buruk (McKeon, 2004).

Pada level pengetahuan, tidak terdapat aturan dalam pemecahan masalah dan individu dipaksa untuk berfikir dengan sumberdaya yang terbatas karena situasinya baru. Hal ini membuat situasi sangat peka untuk terjadinya kesalahan (Reason, 1997). Kekeliruan pada level pengetahuan dapat terjadi karena orang menghadapi situasi baru, kemungkinan situasi kedaruratan yang menuntut proses analisis secara sadar dan adanya pengetahuan (McKeon, 2004).

Sebagian besar kesalahan terjadi pada level terampil, selanjutnya diikuti oleh level aturan, dan kemudian level pengetahuan (Lawton & Parker, 1998). Hal ini dapat dijelaskan karena hampir semua tindakan orang dewasa memiliki komponen keterampilan, sehingga apa yang dilakukan sebagian besar berada pada level otomatis. Kesalahan pada level terampil lebih mudah dideteksi oleh individu, sedangkan kekeliruan pada level aturan dan pengetahuan lebih sulit dideteksi (Reason, 1990). Kekeliruan diwaspadai lebih berbahaya dibandingkan slips dan lapses karena individu yang melakukan kekeliruan berfikir bahwa dia melakukan tindakan yang benar. Bukti yang menunjukan bahwa tindakannya keliru sering diabaikan karena yang bersangkutan yakin bahwa tindakannya benar (Hudson, 2000).

3. Pelanggaran dan Kontribusi Sosial/Psikologis Terhadap Kesalahan

Pelanggaran didefinisikan sebagai perilaku yang sengaja menyimpang dari aturan yang dibuat untuk keselamatan atau metode yang disepakati dalam mengerjakan suatu tugas atau pekerjaan (Reason, 1990). Perilaku pelanggaran ini biasanya berhubungan langsung dengan bagaimana orang beradaptasi terhadap situasi dimana ia berada dan menjadi anggota sosial dimana perilaku tersebut diatur oleh prosedur, cara bertindak (codes of practices), dan aturan-aturan (Hudson, 2000).

Secara konseptual, batas antara kesalahan dan pelanggaran tidak selalu jelas sebagaimana terlihat pada kedua tindakan tersebut yang sebenarnya sama-sama menyimpang dari standar kinerja yang ditentukan (Reason, 1997 ; Shappell dan Wiegman, 1997). Reason mengidentifikasikan pelanggaran sebagai bentuk kekeliruan aturan (rule-based mistake) berupa kegagalan dalam menerapkan aturan yang baik. Dia berpendapat bahwa aturan dapat dilanggar dengan berbagai macam alasan dan sesuai intensitasnya dapat diklasifikasikan dan dibedakan pada beberapa macam perilaku. Sebagai contoh, bila sebelumnya tidak ada niat secara khusus untuk melakukan pelanggaran maka perilaku tersebut dapat diklsifikasikan sebagai kesalahan. Tapi bila pelanggaran itu disengaja dan ada niat untuk membuat kerusakan pada sistem, perilaku ini diklasifikasikan sobatase. Bila tidak terdapat niat untuk merusak, maka perilaku tersebut adalah pelanggaran (Reason, 1990).

Hudson (2000) berpendapat bahwa pelanggaran lebih berbahaya dibandingkan kesalahan (slips, lapses, dan keliru/mistake) karena dalam pelanggaran terdapat niat dan kesengajaan untuk tidak mematuhi prosedur keselamatan atau prosedur lainnya. Hudson sependapat dengan Reason dan ahli-ahli lainnya yang mempercayai bahwa pertanyaan tentang bagaimana niat suatu perilaku dapat membedakan antara kesalahan dan pelanggaran (McKeon, 2004).

Dalam suatu ulasan berbagai penelitian yang menyelidiki pengaruh faktor-faktor kepribadian, faktor-faktor kognitif, dan faktor-faktor sosial terhadap kecelakaan, Lawton dan Parker (1998) mengemukakan bahwa terdapat dua kemungkinan arah untuk meneliti kecelakaan, bisa dari kesalahan dan/atau pelangaran. Mereka berpendapat, kesalahan terutama berhubungan dengan faktor-faktor kognitif, dan palanggaran berkaitan dengan faktor-faktor sosial/psikologis. Seperti dikatakan oleh Reason (1990) bahwa pelanggaran dapat dijelaskan melalui faktor-faktor sosial dan motivasional. Misalnya, orang melanggar karena ingin bekerja lebih efisien atau karena semua orang juga melakukannya. Berbeda dengan kesalahan, yang melibatkan ciri-ciri pemrosesan informasi individu yang menyangkut kegagalan pada kemampuan kognitif, seperti gagal memberikan perhatian secara efektif sebagai hasil pelatihan yang tidak adekuat, kebiasaan yang buruk, atau distraksi. Adanya perbedaan pada hal-hal tersebut akan memberikan konsekuensi strategi perbaikan yang diperlukan berbeda, yaitu perbaikan di aspek kognitif atau motivasi. Latihan keterampilan akan bermanfaat untuk mengurangi kesalahan, tentunya tidak terlalu bermakna bila sasarannya mengurangi perilaku melanggar. Mengurangi perilaku pelanggaran lebih cocok bila penyelidikan diarahkan pada faktor motivasional dan sikap individu sebelum terjadi kecelakaan (McKeon, 2004).


Budaya Keselamatan dan Iklim Keselamatan

Menurut Helmreich (1999), bagi penerbang setidaknya terdapat tiga budaya yang bekerja untuk membentuk sikap dan tindakannya, yaitu; budaya nasional, budaya profesional, dan budaya organisasi. Ketiga macam budaya tersebut erat pengaruhnya terhadap aktivitas penerbang sehari-hari sebagai anggota suatu organisasi. Oleh karenanya, ketiga budaya tersebut penting di dalam cockpit mengingat pengaruhnya terhadap perilaku penerbang ketika bekerja. Budaya organisasi penerbangan yang melibatkan teknologi tinggi dan menerapkan organisasi kerja yang sangat terstruktur, sistemik, dan terkontrol merupakan kerangka dimana di dalamnya budaya nasional dan budaya profesi (penerbang, teknisi, dll.) saling berinteraksi. Kondisi ini dipercaya membangun budaya keselamatan (safety culture) dan selanjutnya membentuk sikap dan perilaku terhadap keselamatan penerbangan (Heilmreich, 1999; Cooper, 2000).

Terdapat tiga komponen utama dalam budaya keselamatan, yaitu; komponen psikologis, komponen situasional, dan komponen perilaku (Gadd & Collins, 2002). Komponen situasional menyangkut struktur organisasi, misalnya; kebijakan, prosedur kerja, sistem manajemen, dsb. Komponen perilaku mencakup kinerja (performance), termasuk disini perilaku keselamatan dan perilaku tidak aman. Sedangkan komponen psikologis berhubungan dengan iklim keselamatan (safety climate) yang menyangkut norma, nilai-nilai, persepsi dan sikap terhadap keselamatan. Sejumlah ahli mengemukakan bahwa iklim keselamatan dapat dilihat sebagai indikator dari budaya keselamatan suatu organisasi yang diamati oleh anggota/karyawan dalam suatu waktu tertentu (Cox & Flin, dalam Gadd & Collins, 2002)

1. Iklim Keselamatan dan Perilaku Tidak Aman

Dalam studi iklim keselamatan, sejumlah peneliti berusaha mengkatagorikan variabel-variabel iklim keselamatan untuk mengkonstruk model dalam rangka menjelaskan interaksi antar variabel tersebut. Pada umumnya pengkatagorian variabel-variabel yang ada diorganisasikan mengikuti level atau tingkat dimana variabel tersebut berpengaruh. Jadi, variabel-variabel yang ada diklasifikasikan apakah berada di level organisasi, kelompok, atau individu. Sebagai contoh, Fogarty et al. (2001) mengembangkan suatu model untuk menjelaskan penyebab kesalahan (error) dalam pemeliharaan pesawat udara. Dengan menggunakan structural equation model (SEM), penyelidikan dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel organisasional, jabatan pekerjaan (job), dan individu terhadap terjadinya kesalahan. Hasilnya menunjukan bahwa efek dari faktor-faktor di level organisasional terhadap terjadinya kesalahan (error) dimediasi oleh faktor-faktor di level individual, seperti kondisi kesehatan dan stres. Studi lainnya dilakukan untuk meneliti penyebab terjadinya pelanggaran (violation) pada juru langsir kereta api di Inggris (Lawton, dalam Fogarty & Shaw, 2003). Walaupun variabel akibat yang diteliti berbeda (kesalahan vs pelanggaran), namun kedua model memperlihatkan kesamaan bahwa variabel di tingkat individual merupakan mediator hubungan antara faktor-faktor organisasional dengan perilaku tidak aman. Fogarty dan Neal (2002) menggabungkan kedua variabel dalam penelitiannya terhadap penyebab terjadinya kesalahan dan pelanggaran di industri konstruksi. Laporan penelitiannya mengungkapkan bahwa variabel iklim keselamatan dapat memprediksi kesalahan, dimana variabel di tingkat individual memprediksi kesalahan. Konstruk-konstruk psikologi yang saling berkaitan sebenarnya dapat disusun dan dilakukan untuk menjelaskan model iklim keselamatan (Fogarty & Shaw, 2003). Misalnya, sikap terhadap keselamatan dapat diasumsikan merupakan salah satu indikator dari budaya atau iklim keselamatan.

Dalam studi iklim keselamatan terdapat satu variabel yang juga penting, yaitu; sikap manajemen terhadap keselamatan. Dalam suatu studi tentang iklim keselamatan, dilaporkan bahwa persepsi karyawan mengenai sikap manajer terhadap keselamatan merupakan prediktor yang sangat penting (Zohar, 1980). Dalam studi iklim keselamatan, sikap manajemen terhadap keselamatan mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap perilaku melanggar. Sikap manajemen dapat mempengaruhi perilaku pelanggaran melalui sikap individu terhadap pelanggaran, norma subjektif atau norma kelompok tentang keselamatan, perceived control atau kontrol yang dipersepsikan individu sebagai tekanan di tempat kerja untuk tidak melakukan pelangaran.


Penutup

Demikianlah telah diulas secara selintas, mengenai pemahaman dasar perilaku tidak aman penerbang dalam konteks faktor manusia dan human error. Sebagaimana telah disinggung, hal yang terpenting studi keselamatan penerbangan adalah memahami human error dalam konteks manusia dimana faktor-faktor psikolo terlibat di dalamnya termasuk budaya yang berlaku di organisasi maupun budaya profesi penerbang itu sendiri.


Kepustakaan

Ajzen, I., (1988). Attitudes, Personality, and Behaviour. Milton Keynes: Open University.

Alper, S.J., and Kars, B.T., (2009). A Systematic Review of Safety Violations in Industry. Accident Analysis and Prevention, 41, 739-754.

Anfield, J., (2007). People and Error: Human Factors Principle in Safety Critical Industries. Organization Development Journal, 25(4), 39-47.

Baker, S.P., Qiang, Y., Rebok, G.W., and Li, G., (2008). Pilot Error in Air Carrier Mishaps: Longitudinal Trends Among 558 Reports, 1983-2002. Aviation, Space, and Evironmental Medicin, 79(1), 2-6.

Cooper, D., (2001). Improving Safety Culture: A Practical Guide. Hull: Applied Behavioural Science.

Cooper, M.D., (2000). Towards a Model of Safety Culture. Safety Science. 36(2), 111-136.

Dhenin, S.G., Sharp, G.R., dan Ernsting, J., (1978). Aviation Medicine, Physiology and Human Factors. London: Tri-Med Books Ltd.

Departemen Perhubungan R.I., (2008). Statistik Perhubungan, Buku I. Jakarta: Departemen Perhubungan Republik Indonesia.

Dinas Keselamatan Terbang dan Kerja, (2007). Laporan Insiden dan Kecelakaan Penerbangan TNI Angkatan Udara. Jakarta: Markas Besar Angkatan Udara.

Falconer, B.T., (2006). Attitudes to Safety and Organisational Culture In Australian Military Aviation. A Thesis Submitted in Fulfilment of The Requirements for The Degree of Doctor of Philosophy. New South Wales: University of New South Wales, Departement of Aviation.

Fogarty, G.J., Saunders, R., and Coolyer, R., (2001). The Role of Individual and Organizational Factors in Aviation Maintenance. Paper presented at the Eleventh International Symposium on Aviation Psychology, Colombus Ohio.

Fogarty, G.J., and Neal, T., (2002). Explaining Safety Violations and Errors in the Construction Industry. XXV International Congress of Applied Psychology, Singapore, July 7-12.

Fogarty, G.J., and Shaw, A., (2003). Safety Climate and the Theory of Planned Behaviour: Towards the Prediction of Unsafe Behaviour. In 5th Australian Industrial and Organizational Psychology Conference, 26-29 June 2003, Melbourne, Australia. (Unpublished).

Gadd, S., Collins, A.M., (2002). Safety Culture: A Review of The Literature. Broad Lane, Shefield: Health & Safety Laboratory.

Helmreich, R.L., (1999). Building Safety in The Three Cultures of Aviation. In The Proceeding of The IATA Human Factors Seminar (pp. 39-43). Bangkok, Thailand.

Hobbs, A., and Williamson, A., (2002). Unsafe Acts and Unsafe Outcomes in Aircraft Manitenance. Ergonomics, 45(12), 866-882.

Hobbs, A., and Williamson, A., (2003). Associations between Errors and Contributing Factors in Aircraft Maintenance. Human Factors, 45(2), 186-201.

Hopkins, A., (2006). Studying Organisational Culture and Their Effects on Safety. National Research Centre for OHS Regulation ANU.

Hudson, P.T.W., (2000). Safety Culture and Human Error in The Aviation Industry: In Search of Perfection. In, B.J. Hayward & A.R. Lowe (Eds). Aviation Resource Management (Vol. 1, pp. 19-31). Burlington, Vermont: Ashgate.

Hudson, P., (2001). Aviation Safety Culture. Leiden: Centre for Safety Science.

Kusnendi, (2005). Konsep dan Aplikasi Model Persamaan Struktur (SEM) dengan Program Lisrel 8. Bandung: Badan Penerbit Jurusan Pendidikan (JPE) FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia.

Lawton, R., & Parker, D., (1998). Individual Differences in Accident Liability: A Review and integrative Approach. Human Factors, 40(4), 655-671.

Lenne, M.G., Ashby, K., and Fitzharris, M., (2008). Analysis of General Aviation Crashes in Australia Using the Human Factors Analysis and Classification

McKeon, C.M., (2004). Psychological Factors Influencing Unsafe Behavior During Medication Administration. Dissertation for the Award of Doctor of Philosophy. University of Southern Queensland.

Neal, A., and Griffin, M.A., (2002). Safety Climate and Safety Behavior. Australian Journal of Management, 27, 67-75.

Neal, A., and Griffin, M.A., (2006). A Study of The Lagged Relationship Among Safety Climate, Safety Motivation, Safety Behavior, and Accidents at The Individual and Group Levels. Journal of Applied Psychology, 91(4), 946-953.

O’Connor, P., O’Dea, A., and Melton, J., (2007). A Methodology fo Identifying Human Error in U.S. Navy Diving Accidents. Human Factors, 49(2), 214-226.

O’Hare, D., (2006). Cognitive Functions and Performance Shaping Factors in Aviation Accidents and Incidents. The International Journal of Aviation Psychology, 16(2), 145-156.

Orasanu, J.M., (1992). Shared Problem Models and Flight Crew Performance. Dalam, Johnston, N., McDonald, N., dan, Fuller, R. (Eds). Aviation Psychology in Practice. Vermont: Ashgate Publishing Company.

Patankar, M.S., (2003). Study of Safety Culture at an Aviation Organization. International Journal of Applied Studies. 3(2), 243-255.

Rasmussen, J., (1982). Human Errors: A Taxonomy For Describing Human Malfunction In Industrial Installations. Journal of Occupational Accidents, 4, 311-335.

Reason, J., (1990). Human Error. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Reason, J., (2000). Managing The Risks of Organizational Accidents. Aldershot, UK: Ashgate Publishing.

Reason, J., (1997). Human Error: Models and Management. British Medical Journal, 320, 768-770.

Roscoe, S.N., (1980). Concept and Definition. Dalam Stanley N. Roscoe (ed.), Aviation Psychology. Ames: The Iowa State University Press.

Shappell, S.A., and Wiegmann, D.A., (1997). A Human Error Approach to Accident Investigation: The Taxonomy of Unsafe Operations. The International Journal of Aviation Psychology, 7(4), 269-291.

Shappell, S.A., and Wiegmann, D.A., (2001). Applying Reason : The Human Factors Analysis and Classification System (HFACS). Human Factors and Aoerospace Safety, 1 (1), 59-86.

Shappell, S.A., and Wiegmann, D.A., (2004). Department of Defense Human Factors Analysis and Classification System: A Mishap Investigation and Data Analysis Tool (DoD HFACS). Washington, DC.: DoD.

Shappell, S.A., Detwiler, C., Holcomb, K., Hackworth, C., Boquet, A., and Wiegmann, D.A., (2007). Human Error and Commercial Aviation Accidents: An Analysis Using the Human Factors Analysis and Classification System. Human Factors, 49(2), 227-242.

Soeters, J.L., and Boer, P.C., (2000). Culture and Flight Safety in Military Aviation. The International Journal of Aviation Psychology. 10(2), 111-133.

Wiegmann, D.A., and Shappell, S.A., (2009). Human Error Perspectives in Aviation. The International Journal of Aviation Psychology, 11(4), 341-357.

Wiegman, D.A., Zhang, H., Thaden, T.L., Sharma, G., and Gibbons, A.M., (2004). Safety Culture: An Integrative Review. The International Journal of Aviation Psychology, 14(2), 117-134. Illinois: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Wiegman, D.A., Zhang, H., Thaden, T.L., Sharma, G., and Mitchell, A.A., (2002). A Synthesis of Safety Culture and Safety Climate Research. Tchnical Report ARL-02-3/FAA-02-2. Prepared for Federal Aviation Administration Atlantic City International Airport, NJ. Illinois: University of Illinois.