Kamis, 14 September 2017

SEJARAH AWAL PERKEMBANGAN PSIKOLOGI PENERBANGAN

Oleh: Widura Imam Mustopo

Sejak Wright bersaudara berhasil menerbangkan pesawat udara rancangannya untuk pertama kalinya pada tanggal 17 Desember 1903, saat ini pesawat udara telah menjadi salah satu moda transportasi yang paling popular.  Salah satu keunggulan pesawat udara adalah kemampuannya mengangkut barang atau orang dalam rentang jarak yang jauh dengan waktu tempuh relatif singkat.  Jika dibandingkan dengan alat transportasi lainnya, boleh jafdi pesawat udaralah yang paling efektif soal waktu.  Perkembangan teknologi pesawat udara dari masa ke masa memang sangat menarik untuk dikaji.  Dalam kurun waktu 1909 sampai 1914, pesawat udara umumnya hanya digunakan untuk tujuan hobi dan olahraga atau pertandingan.  Namun tak terelakan perkembangan teknologi penerbangan berkembang pesat terutama terkait dengan kebutuhan militer dalam konflik peperangan.       

Perkembangan tuntutan fungsi pesawat udara membuat teknologi penerbangan berkembang sesuai dengan kebutuhan saat itu, yaitu untuk memenuhi kebutuhan perang.  Awal perkembangan teknologi pesawat udara kebetulan bersamaan dengan masa-masa menjelang Perang Dnia I.  Sesuai kebutuhan perang, pesawat udara dituntut kecepatan, ketinggian, sistem kendali yang lebih kompleks, termasuk kendali sistem senjata.  Sebagai konsekuensinya, penerbang atau pilot sebagai operator dituntut kemampuannya untuk dapat bertahan terhadap dampak lingkungan penerbangan (seperti ketinggian) dan tuntutan untuk dapat beradaptasi secara cepat dengan lingkungan.  Sebagai pengendali pesawat, penerbang juga harus memiliki kemampuan untuk menguasai keterampilan tertentu untuk mendukung kinerjanya dalam mengamati display instrument dan melaksanakan sistem kendali yang lebih kompleks.     

Sejalan dengan perkembangan teknologi penerbangan, perhatian para ahli psikologi penerbangan pada awalnya lebih banyak diarahkan pada hal-hal yang berhubungan dengan kemampuan manusia sebagai operator dan dampak lingkungan penerbangan terhadap operator.  Di awal perkembangannya, permasalahan dunia penerbangan sebagian besar memang berhubungan dengan aspek-aspek psikofisiologis, melibatkan bagaimana memperoleh keterampilan sebagai penerbang, dan tuntutan-tuntutan tentang persepsi yang unik, serta tekanan atau stres fisik yang dihadapi oleh tubuh manusia.  Pada saat itu, para ahli yang mempelajari hal ikhwal permasalahan psikologi di dunia penerbangan belum dapat disebut psikolog penerbangan.  Namun, umumnya mereka adalah orang-orang terpelajar dan terlatih di bidang kedokteran, psikologi, dan/atau fisiologi, yang memiliki ketertarikan untuk mempelajari bagaimana cara mendapatkan orang yang tepat untuk bertugas sebagai penerbang, termasuk peduli pada efek dari tugas tersebut terhadap manusia.  

Tidak dapat dipungkiri bahwa studi tentang psikologi penerbangan berkembang sejajar dengan situasi dan kebutuhan militer.  Berawalnya perkembangan psikologi penerbangan dimulai dengan kebutuhan-kebutuhsn militer dalam menghadapi peperangan.

MASA PERANG DUNIA I     

Selama Perang Dunia I, penerbangan menjadi bagian aktif dari konflik perang sejajar dengan industri penerbangan yang berusaha untuk menyempurnakan teknologi mesin pesawat udara.  Pada waktu bersamaan, industri penerbangan juga berupaya mengembangkan sistem dan metode untuk memilih dan melatih penerbang untuk mengoperasikannya.  Dalam kepentingan tersebut, pada tahun 1915 Angkatan Bersenjata Jerman mendirikan Psychological Testing Center atau Pusat Tes Psikologi Tugas lembaga ini pada mulanya adalah melakukan seleksi pengemudi kendaraan bermotor.  Dalam perkembangannya selama Perang Dunia I, Angkatan Bersenjata Jerman memanfaatkan lembaga ini untuk melaksanakan seleksi pilot, operator pendeteksi suara, dan penembak meriam anti pesawat udara.

Fokus studi psikologi penerbangan pada mulanya lebih pada seleksi dan pelatihan para penerbang untuk melaksanakan tugas penerbangan.  Di kemudian hari, perhatian psikologi penerbangan berkembang pada hal-hal yang terkait dengan pengembangan pesawat itu sendiri dan efeknya terhadap manusia sebagai penerbang.  Secara khusus perhatian psikologi juga tertuju pada kontrol dan display serta efek ketinggian, gaya-G, kebisingan, suhu, dan tekanan lingkungan lainnya terhadap penerbang.  

Di Amerika Serikat (AS), pada saat gencatan senjata Perang Dunia I (1918), kekuatan utama Amerika mencapai tidak kurang dari 740 pesawat tempur dan hampir 1.400 pilot.  Saat itu pelaksanaan tes psikologi ditujukan untuk "memilih orang-orang yang memiliki pendidikan baik dan karakter kuat, serta orang-orang yang memenuhi syarat dan cocok untuk menjadi perwira Angkatan Darat AS yang bertugas sebagai penerbang.  Saat itu Angkatan Udara AS masih tergabung dalam Angkatan Darat AS di mana kesatuannya masih menggunakan nama Korps Udara Angkatan Darat AS (US Army Air Corps). 

Memenuhi kebutuhan penerbang dalam jumlah banyak dengan cepat memang telah diprediksi sebelumnya, dan selama tahap awal Perang Dunia I, suatu Dewan dari American Psychological Association atau Asosiasi Psikologi Amerika (APA) membentuk sebuah Komite untuk menangani masalah psikologi penerbangan.  Pada bulan November 1918, Komite tersebut menjadi Sub-komite dari National Research Council.  Dua anggota psikologi di awal berdirinya Sub-komite tersebut adalah W.R. Miles (Presiden ke-40 APA) dan T. Troland. 

Bila ditelusuri, akan terlihat banyak presiden APA yang terlibat di dalam aktivitas studi, penelitian maupun aplikasi psikologi penerbangan di awal perkembangannya.  Sub-komite dari National Research Council ini mengerjakan pengembangan tes mental dan fisiologis untuk menentukan aptitude atau bakat terbang.    Tes tersebut, terdiri dari 23 tes yang dievaluasi mulai bulan Juni 1917, dengan memberikan tes tersebut kepada Kadet Penerbang Angkatan Darat yang ada di ground school Massachusetts Institute of Technology.

Kemudian pada musim panas 1917, Komite tersebut diperluas dengan memasukkan Edward L. Thorndike (Presiden ke-21 APA, yang terkenal dengan karya utamanya di bidang psikologi komparatif dan proses belajar yang membuahkan teori koneksionisme serta meletakan dasar-dasar ilmiah psikologi pendidikan modern).   Sebagai sekretaris eksekutif komite adalah Mayor John B. Watson (psikolog yang dikenal sebagai tokoh penting aliran Behavioristik, yang sempat menjadi Presiden ke-25 APA). Sedangkan ketua komite adalah George M. Stratton (Presiden ke-17 APA) yang sebelum bergabung dalam komite telah mengembangkan tes psikologi untuk para penerbang di Pangkalan Rockwell, San Diego AS.   

Di komite tersebut, Thorndike mengerjakan analisis komparatif baterai tes yang dilakukan terhadap calon penerbang yang berhasil dan calon yang tidak berhasil dalam sekolah penerbangan.  Kapten George M. Stratton dan V.A.C. Henmon melakukan uji coba di Pangkalan Rockwell dan Pangkalan Kelly, dan kemudian berhasil dipilih baterai tes psikologi terdiri dari 10 tes.  Penelitian terhadap tes-tes tersebut menunjukkan korelasi terbesar antara prestasi selama pelatihan terbang dengan stabilitas emosi, persepsi kemiringan (perception of tilt), dan kewaspadaan mental (mental alertness).  Dalam analisis lebih lanjut, stabilitas emosi ternyata tidak memiliki makna seperti yang dikehendaki.  Saat itu, tes yang digunakan untuk mengukur stabilitas emosi baik di AS maupun di luar AS adalah tes yang mengukur respon individu terhadap eksitasi mendadak, biasanya dari suara keras seperti tembakan pistol.  Dalam hal atrisi, 50% sampai 60% pelamar dieliminasi oleh pemeriksa, 15% lainnya "dikeluarkan (washed out)" saat di ground school, dan tidak kurang dari 6% lagi yang dieliminasi saat mengikuti pelatihan terbang karena dinilai tidak berbakat.

Pada masa-masa tersebut, Departemen Perang AS juga memberi wewenang kepada Dewan Riset Medis (Medical Research Board) pada bulan Oktober 1917, untuk menyelidiki dampak fase penerbangan terhadap aspek medis dan fisik penerbang. Penelitian ini dilaksanakan oleh Mayor Knight Dunlap (Presiden ke-31 APA) di Seksi Psikologi Laboratorium Penelitian Medis (Psychology Section of The Medical Research Laboratory) di Pangkalan Hazelhurst, Long Island, AS.  Para psikolog di sini mengembangkan serangkaian tes psikologi untuk memprediksi kemampuan kandidat penerbang dalam mengatasi masalah ketinggian terbang.  Tes ini menggunakan Henderson Breathing Apparatus untuk mensimulasikan efek ketinggian dan mengadministrasikan baterai tes yang terdiri dari tes-tes sensori, performa motorik, memori, dan atensi. Hasilnya adalah tes yang telah terstandar yang kemudian digunakan di beberapa pangkalan sekolah penerbangan untuk diadministrasikan kepada tes Kadet Penerbang.

Banyak proyek penelitian lainnya yang berhubungan dengan seleksi kandidat untuk mengikuti pelatihan penerbang dan efek dari stresor terhadap penerbang yang dilakukan di Amerika Serikat selama Perang Dunia I.  Misalnya, pada tahun 1917 Mayor John B. Watson mengorganisir suatu metode pemeriksaan psikologi untuk seleksi personil.  Dalam upaya ini, Watson mengumpulkan sekelompok psikolog yang bekerja sama dengan perwira medis dan ahli fisiologi untuk mempelajari masalah penerbangan di Bureau of Mines di Washington.  Psikolog lain yang juga terlibat dalam pengembangan tes untuk seleksi kandidat penerbang adalah Robert Yerkes, Presiden ke-26 APA.  Disamping sumbangan Yerkes tentang teori intelligence test, ia juga dikenal sebagai pionir dalam studi perbandingan perilaku manusia dengan primate, khsususnya gorilla dan simpanse.

Perkembangan studi psikologi penerbangan selama masa Perang Dunia I selain di Amerika Serikat juga terjadi di Italia, Prancis, dan Inggris.

Di Italia para ahli psikologi mengembangkan program penelitian yang cukup luas dalam seleksi kandidat untuk mengikuti pelatihan penerbang.  Upaya besar dilaksanakan di laboratorium di Turin, Naples, dan Roma, di bawah kendali Gieuseppe Gradenigo.  Pekerjaan awal mereka adalah membandingkan kinerja penerbang yang berhasil, biasa-biasa saja (mediocre), dan yang tidak berhasil di sekolah penerbang.   Mereka menyimpulkan bahwa para pilot pesawat udara yang berhasil adalah mereka yang memiliki kemampuan yang baik dalam distribusi atensi/perhatian, konstan, presisi, dan memiliki kemampuan koordinasi psiko-motorik yang baik, serta memiliki kemampuan yang baik dalam menahan reaksi emosi sehingga tidak mengganggu fungsi-fungsi di atas.

Selain meneliti fungsi fisiologis dan medis, penelitian mereka juga dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang waktu reaksi (reaction time), atensi, stabilitas emosi, sensasi muscular, dan ekulibrium.  Sebuah temuan menarik dari Saffiotti (tokoh psikologi Italia yang terkemuka di bidang psikologi terapan dan psikologi eksperimen), dalam mempelajari kondisi penerbang yang mengalami kelelahan ketika bertugas di garis depan adalah bahwa waktu reaksi visual mereka lebih lama dari yang lain, namun waktu reaksi aural lebih cepat dan menunjukan variabilitas yang lebih besar dibandingkan penerbang lainnya.

Dalam studi tentang reaksi emosi, tim peneliti Italia menggunakan tembakan pistol, klakson mobil, atau ledakan petasan sebagai stimulus.  Respon yang diamati adalah perubahan sirkulasi darah, laju pernapasan, dan tremor di tangan.  Mereka mencatat bahwa ada peningkatan waktu reaksi pada saat terpapar rangsangan emotif.  Peningkatan waktu rekasi 10% atau kurang, dinilai “baik”, sedangkan peningkatan lebih dari 25% dinilai buruk dan didiskualifikasi.  Para ahli psikologi di Italia tidak terlalu menekankan kinerja kandidat pada tes keseimbangan.  Mereka lebih menyukai menggunakan tes kursi putar Barany (Barany Chair) yang juga sering digunakan oleh para peneliti di Amerika Serikat.  Tes keseimbangan lainnya yang digunakan adalah Tes Vertigo Rotary dan Tes Kemiringan (Tilt Test) di mana seseorang harus mampu berdiri dengan benar, setelah mengalami vertigo.     

Dalam seleksi penerbang, para ahli psikologi di Italia tidak mendiskualifikasi kandidat berdasarkan satu tes saja, mereka cenderung mengembangkan penilaian terhadap profil kandidat secara keseluruhan.  Dalam studi ini, mereka melaporkan bahwa pilot yang baik harus memiliki kemampuan yang baik dalam mempersepsi posisi tubuh mereka sendiri, waktu reaksi visual, waktu reaksi aural, dan lebih pendek rata-rata penurunan deviasi waktu reaksi.  Pilot tidak boleh reaktif terhadap rangsangan emotif namun juga tidak lamban dalam bereaksi. 

Di Prancis para ahli psikologi cenderung lebih menekankan perhatian mereka pada waktu reaksi dan stabilitas emosi.  Stabilitas emosi mereka nilai berdasarkan tes yang sangat mirip dengan yang digunakan oleh para ahli di Italia. Namun perbedaannya, para ahli di Perancis menggunakan tes waktu reaksi dan tes stabilitas emosi secara bersama dan hasilnya dibagi ke dalam lima klasifikasi kandidat.  Dua klasifikasi terbawah tidak dapat diterima mengikuti pelatihan penerbang, yaitu mereka yang memiliki waktu reaksi dengan penyimpangan besar dan respon emosional yang sangat berlebihan, serta mereka yang memiliki waktu reaksi sangat tidak biasa walaupun tidak menunjukkan respon emosi yang berlebihan.

Di Inggris, para peneliti dalam studi psikologi penerbangan kurang begitu memperhatikan waktu reaksi dan respon terhadap rangsangan emosional.  Mereka lebih menekankan pada efek uji terbang di ketinggian tertentu dan tes koordinasi motorik sederhana.   Sebagian besar eksperimen mereka dirancang untuk mengumpulkan data fisiologis seperti denyut nadi, tekanan darah, untuk itu mereka menggunakan manometer yang dirancang untuk tujuan tersebut.  Tes koordinasi motoric sederhana terdiri dari hal-hal seperti berjalan mengikuti garis titian (heel-to-toe) dan berbalik dengan satu kaki, berdiri dengan satu kaki selama 15 detik dengan mata terbuka atau tertutup, dan sebuah tes untuk getaran tangan dan lidah. Adanya getaran dalam tingkat tertentu ditemukan sangat berkorelasi dengan kemampuan yang buruk untuk terbang.

Menjelang akhir Perang Dunia I dan setelah gencatan senjata, para peneliti di Laboratorium Penelitian Medis yang tergabung dalam Pasukan Ekspedisi Amerika di Eropa mengkadministrasi beberapa tes psikologi kepada penerbang untuk mengidentifikasi karakteristik penerbang-penerbang yang berhasil.  Selain itu, beberapa riset dilakukan sebagai upaya memvalidasi berbagai tes untuk seleksi penerbang yang telah dikembangkan di Amerika Serikat.  Disamping itu, peneliti di Laboratorium tersebut juga menyelidiki bagaimana hasil beberapa tes yang dikembangkan oleh sekutu AS dibandingkan dengan yang berasal dari AS sendiri. Salah satu program penelitian melibatkan Kapten Dockeray, salah satu peneliti laboratorium tersebut yang berusaha mendapatkan informasi tentang kepribadian penerbang dengan mengikuti sendiri pelatihan penerbang dan melaksanakan tugas penerbangan.  Mengenai kepribadian para penerbang, Dockeray melaporkan bahwa tidak ada rumusan umum yang dapat disimpulkan, namun ia menemukan bahwa "yang tampaknya paling dibutuhkan oleh penerbang adalah kecerdasan, yaitu, kemampuan penyesuaian diri yang cepat terhadap situasi baru dan daya timbang (judgement) yang baik".

Psikologi penerbangan juga berkembang di Jerman di mana setelah Perang Dunia I.  Jerman mulai membangun kembali kekuatan militernya, dan pada 1920 Kementerian Peperangan Jerman mengeluarkan perintah untuk mengembangkan psikologi di Angkatan Darat.  Menjelang akhir 1920, prosedur tes dan seleksi psikologi di Jerman telah mapan.   Pada tahun 1927 semua perwira calon intruktur terbang diberlakukan pemeriksaan psikologis.  Paul Metz, direktur dari suatu tim psikolog mengembangkan program tes psikologi yang baru untuk Angkatan Udara (Luftwaffe) pada tahun 1939, dan terus bekerja sampai tahun 1942.  Program ini didasarkan pada beberapa tes yang sebelumnya telah digunakan oleh Angkatan Darat Jerman.  Ansbacher pada tahun 1941 memberikan ulasan tentang program psikologi militer Jerman dari tahun 1926 sampai 1940.  Selain itu Fitts (l947) memberikan laporan tentang perkembangan dan penerapan psikologi di Jerman selama periode ini dan kemudian dalam Perang Dunia II. Pada akhir tahun 1942, program seleksi perwira Angkatan Udara Jerman pada dasarnya sama seperti yang dilakukan untuk perwira Angkatan Darat pada tahun 1927. Namun ada beberapa tes khusus untuk anggota awak pesawat di luar tes-tes psikologi yang digunakan untuk anggota militer yang bertugas di darat.  Mereka menggunakan beberapa tes paper and pencils bersamaan dengan tes jasmani, dengan penekanan utama pada wawancara dan kemampuan kandidat yang mencakup keterampilan, kepribadian, intelektual, dan karakter umum mereka.

Amerika Serikat.  Setelah Perang Dunia I di lingkungan penerbangan khususnya para tokoh psikologi penerbangan melaksanakan brainstorming terkait dengan temuan dan pengembangan lebih lanjut tentang psikologi penerbangan.  Seperti halnya para psikolog di Italia yang memanfaatkan Tes Kursi Putar Barany dalam seleksi penerbang, di AS tes ini dikembangan oleh Herbert Woodrow (Kepala Departemen Psikologi Universitas Illinois, dan Presiden ke-19 APA).   Beberapa catatan dan artikel telah diterbitkan termasuk oleh Ross McFarland (presiden ke-14 The Human Factors Society) tentang temuan-temuannya mengenai faktor manusia di ketinggian dalam Journal of Comparative Psychology tahun 1937.  


PERANG DUNIA II

Perang Dunia II merupakan ajang seminal dalam kemunculan psikologi penerbang di lapangan. Ini tidak mengherankan, mengingat bahwa selama Perang Dunia II pesaat udara berkembang menjadi platform senjata yang dapat beroperasi dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan mampu mengirimkan bom dengan presisi dari ketinggian yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sistem kendali mesin-mesin canggih ini, mengarahkan navigasi secara akurat, dan menggunakan secara efektif semua peralatan yang dibutuhkan telah dikembangkan dan dirancang dengan baik. Sebagai konsekuensinya, fakta bahwa kebutuhan ribuan anggota awak pesawat untuk menerbangkan dan mengoperasikan pesawat udara ini selama perang mendorong berbagai inovasi penelitian tentang seleksi dan pelatihan penerbang.

Perkembangan Psikologi Penerbangan berkembang sangat pesat menjelang dan ketika Perang Dunia II.  Dua artikel komprehensif yang mengulas peran psikologi penerbangan sebelum Perang Dunia II dilakukan oleh Pratt (1941) dan Komite Seleksi dan Pelatihan Penerbang (1942). Pada tahun 1939, Dewan Riset Nasional untuk Psikologi Penerbangan (National Research Council Committee on Aviation Psychology) didirikan.  Dewan Riset ini, pertama kali diketuai oleh Jack Jenkins dari Universitas Maryland dan kemudian dilanjutkan oleh Morris Viteles dari Universitas Pennsylvania, mereka bertugas mendukung dan merangsang berbagai penelitian psikologi penerbangan.  Alexander C. Williams, Jr., memulai penelitian penerbangan di Universitas Maryland pada tahun 1939 (dan pada tanggal 8 Desember 1941 dia mengajukan diri sebagai relawan penerbang angkatan laut).   Pada tahun 1940, John C. Flanagan direkrut untuk membuat program psikologi penerbangan pada Korps Udara Angkatan Darat AS (US Army Air Corps), yang dimulai tahun berikutnya bersama Arthur Melton, Frank Geldard, dan Paul Horst sebagai kelompok inti dalam tim penelitian.  

Program Psikologi Penerbangan Perang Dunia II

Selama masa Perang Dunia II, John C. Flanagan ditugaskan untuk melaksanakan Program Psikologi Penerbangan Korps Udara Angkatan Darat A.S.  Ia bergabung di Korps Udara sejak tahun 1941, dan dalam pelaksanaan program ini ia didukung oleh 150 psikolog dan 1.400 asisten peneliti.  Program ini bertujuan mengembangkan tes-tes psikologi untuk membantu mengidentifikasi pilot yang tepat untuk mengoperasikan pesawat udara sekaligus melaksanakan misi-misi pertempuran.  Flanagan mengembangkan dua langkah prosedur dalam seleksi pilot; 1) menyearing calon kadet penerbang yang potensial dengan menggunakan tes kualifikasi umum (general qualifying test), dan 2) calon kadet yang memenuhi syarat kualifikasi umum melaksanakan tes lanjutan dengan menggunakan 20 macam tes yang mengukur aptitude, proficiency, dan temperamen.  Berdasarkan analisis regresi berganda (multiple regression) kandidat diklasifikasikan dalam sembilan kategori (dengan stanine scores).  Clon kadet yang memenuhi syarat norma stanine scores, diterima dan melanjutkan pendidikan ke sekolah penerbang.

Tahun 1947, Flanagan mendokumentasikan keseluruhan pelaksanaan kegiatan Program Psikologi Penerbangan Korps Udara Angkatan Darat AS selama Perang Dunia II dalam satu serial buku terdiri dari 19 jilid.  Buku tersebut dikenal dengan nama “Buku Biru” (The Blue Books).  Setelah Perang Dunia II selesai, beberapa psikolog yang bekerja dalam program ini melanjutkan studi di bidang psikologi penerbangan, sementara banyak yang menjadi akademisi dan mendapatkan ketenaran di bidang kekhususan psikologi lainnya.  Buku Biru volume 1 ditulis oleh John C. Flanagan (1947), berisi gambaran umum tentang program psikologi penerbangan secara keseluruhan.  Volume-volume lainnya diedit oleh tokoh-tokoh psikologi terkemuka seperti Sidney Bijou, Phillip DuBois, Paul Fitts, Robert Gagne, Frank Geldard, J.P. Guilford (yang terakhir adalah Presiden ke-58 APA, tokoh psikologi Amerika yang terkenal dengan studi psikometri tentang kecerdasan manusia, termasuk perbedaan berpikir konvergen dan divergen serta teorinya yaitu Guilford’s Structure of Intelect Theory).                   

John C. Flanagan mengakhiri dinasnya di Korps Udara Angkatan Darat AS setelah berakhirnya Perang Dunia II dengan pangkat terakhir Kolonel.  Buku Biru Volume 1 ditulis oleh John C. Flanagan (1947), berisi gambaran umum tentang program psikologi penerbangan secara keseluruhan.  Volume-volume lainnya diedit oleh tokoh-tokoh psikologi terkemuka seperti Sidney W. Bijou, Philip DuBois, Paul M. Fitts, Robert M. Gagne, Frank A. Geldard, J.P. Guilford (yang terakhir adalah tokoh psikologi Amerika yang terkenal dengan studi psikometri tentang kecerdasan manusia, termasuk perbedaan berpikir konvergen dan divergen serta Guilford’s Structure of Intelect (SI) TheoOLUME 8, ry, ia juga Presiden ke-58 APA), Arthur Melton, Neal E. Miller (bersama John Dollard dikenal sebagai tokoh psikologi yang bersusaha mengintegrasikan konsep behavioristic dengan psikanalisa, Presiden ke-69 APA), dan R. L. Thorndike.  Volume-volume dari buku tersebut yang menarik adalah Volume 4, Tes Aparatus, diedit oleh Arthur Melton (1947); Volume 8, Penelitian Psikologi tentang Pelatihan Pilot, diedit oleh Neal Miller (1947); dan Volume 19, Penelitian Psikologi tentang Desain Peralatan, diedit oleh Paul M. Fitts (1947).  Laporan Fitts merupakan publikasi besar pertama mengenai human factors engineering, dan ia juga dikenal sebagai tokoh perintis di bidang keselamatan penerbangan (aviation safety).  Dua tahun kemudian, Donald B. Lindzey seorang tokoh psikologi fisiologi yang dikenal sebagai pelopor di bidang studi fungsi otak (1949) mengedit buku lainnya berjudul “Humah Factors in Undersea Warfare”, yang banyak dikutip oleh Walter S. Hunter (Ketua Panel Psikologi Terapan pada Komite Penelitian Pertahanan Naional AS 1943-1945, ia juga Presiden ke-39 APA).         

Perkembangan Pesat Tes-tes Psikologi
Berbagai studi psikologi penerbangan selama Perang Dunia II umumnya fokus pada masalah seleksi dan pelatihan penerbangan, baik pada pilot, navigator, maupun pembom selain juga menyelidiki efek dari interaksi manusia dengan peralatan baru yang sedang dikembangkan.  Dalam jumlah yang tidak terlalu besar, penelitian juga dilakukan terhadap masalah kelelahan, kewaspadaan (vigilance), deteksi target, gaya G di ketinggian (high G-force), pakaian pelindung, peralatan khusus pada ketinggian dan suhu ekstrim.  Satu penelitian yang menarik dan cukup penting dalam rangka pengembangan tes psikologi adalah studi tentang kejelasan berkomunikasi di ketinggian oleh J.C.R. Licklider (penemu peak clipping, seorang psikolog dan ilmuan komputer yang dianggap sebagai salah satu tokoh penting dalam perkembangan ilmu komputer dan sejarah komputasi), George A. Miller, dan Karl D. Kryter.  George A. Miller (Presiden ke-77 APA), dikenal sebagai salah seorang perintis psikologi kognitif dan juga berkontribusi terhadap lahirnya psikolinguistik.  Miller menulis beberapa dan mengarahkan pengembangan WordNet, database link online yang digunakan dalam program computer di Harvard University.

Perlu dicatat bahwa penelitian psikologi penerbangan tidah hanya dilakukan oleh Korps Udara Angkatan Darat AS yang kemudian dilanjutkan oleh Angkatan Udara AS US Air Force, USAF),  tetapi penelitian sejenis juga dilaksanakan oleh Angkatan Laut AS.  Laporan hasil berbagai penelitian selama era ini telah dipublikasikan di banyak jurnal psikologi.  Morris Viteles merupakan anggota Departemen Psikologi Kedokteran Penerbangan (Departement of Psychology of the School of Aviation Medicine, 1944), menerbitkan hasil program penelitian tentang tes psikomotor, dan telah me-review lima tahun penelitian mengenai pilot pesawat udara Angkatan Laut AS.  Dalam tinjauannya, Viteles memberikan rincian hasil tes Army Alpha dan tes Psikomotor yang telah digunakan selama waktu itu.  Kajian lain tntang psikologi penerbangan selama Perang Dunia II dipresentasikan dalam bukunya Boring dan Lindzey (1967) “Sejarah Psikologi dalam Autobiografi, Volume 5“.  Edwin G. Boring dan Gardner Lindzey masing-masing adalah presiden ke-37 dan ke-75 APA.

Di Inggris, Sir Frederick Bartlett dari Universitas Cambridge adalah tokoh psikologi yang mengilhami penelitian tentang faktor manusia di penerbangan dalam upaya mendukung perang.  Bartlett memimpin berbagai kegiatan penelitian di Unit Psikologi Terapan Universitas Cambridge.  Bartlett juga dikenal sebagai salah satu pelopor psikologi kognitif dan menganggap sebagian besar karyanya tentang psikologi kognitif dapat diterapkan dalam studi psikologi sosial.  Eksperimen “War of The Ghosts” dari Remembering (1932) adalah studi Bartlett yang paling terkenal.  Di bukunya ini Bartlett menunjukan sifat memori yang konstruktif, dan bagaimana hal tersebut dapat dipengaruhi oleh skema subjek itu sendiri.  Sebuah ingatan bersifat konstruktif ketika seseorang memberikan pendapatnya tentang apa yang telah terjadi dalam ingatan, bersama dengan pengaruh tambahan seperti pengalaman, pengetahuan, dan harapan mereka.  Bartlett menjadi Direktur Laboratorium dan Dosen Psikologi Eksperimental di Cambridge sampai dengan wafatnya pada tahun 1969 di usia 82 tahun.

Dua peneliti psikologi terkemuka yang membantu Bartlett di Unit Psikologi Terapan Universitas Cambridge adalah Norman H. Mackworth dan Kenneth James William Craik. Penelitian tentang kewaspadaan manusia oleh Norman H. Mackworth dan kompatibilitas antara kontrol dan display oleh Kenneth Craik adalah karya berharga yang dihasilkan oleh kelompok peneliti ini.

Norman H. Mackworth  (1917-2005) adalah seorang ilmuwan psikologi kognitif Inggris yang dikenal dengan kerja perintisnya dalam mempelajari kebosanan (boredom), atensi, dan kewaspadaan.  Mackworth Clock Test merupakan perangkat tes yang dikembangkannya dan digunakan sejak sejak tahun 140an dalam studi kewaspadaan.  Pada awalnya perangkat ini dibuat Norman Mackworth sebagai simulasi ekperimental untuk memantau operator radar di Angkatan Udara Inggris (Royal Air Force, RAF) pada Perang Dunia II.  Mackworth Clock Test digunakan untuk penelitian di mana salah satu hasilnya adalah salah satu temuan mendasar dalam kewaspadaan dan atensi.  Studi ini mempelajari efisiensi operator radar di mana ditemukan adanya penurunan kewaspadaan dengan berkurangnya akurasi dalam mendeteksi sinyal terutama setelah 30 menit bertugas.  Dilaporkan, setelah 30 menit bertugas, operator radar kehilangan sekita 10 sampai 15% efisiensi mereka.   Tes ini terus berkembang dan digunakan sampai saat ini untuk meneliti berbagai bentuk kewaspadaan, termasuk dikembangkan dalam versi computer.  Temuan tersebut membuat lamanya operator radar dalam shift tugas dikurang untuk menjaga efisiensi mereka.  Pada tahun 1951, Mackworth menjadi kepala Unit Penelitian Psikologi di Universitas Cambridge sampai tahun 1958.    

Bila Norman H. Mackworth terkenal dengan Mackworth Clock Test, Kenneth James William Craik dikenal dengan Cambridge Cockpit-nya.  Ia bekerja di St John’s College, Cambridge pada tahun 1941, dan diangkat sebagai direktur Unit Psikologi Terapan Cambridge Research Council pada tahun 1944.  Studinya diawali dari keprihatinannya terhadap banyaknya korban jiwa penerbang selama Perang Dunia II yang disebabkan karena kelelahan (fatigue) dibandingkan akibat pertempuran.  Dari keprihatinannya ini ia merancang “alat pendeteksi kelelahan” yang kemudian dikenal sebagai Cambridge Cockpit.  Bersama Gordon Butler Iles, ia membuat kemajuan besar pada rancangan simulator penerbangan untuk RAF dan melakukan studi besar mengenai efek kelelahan pada pilot.  Informasi dari hasil penelitian Craik dan reken-rekannya telah memberikan kontribusi menurunnya kecelakaan penerbangaan akibat kelelahan pilot.

Pada tahun 1943, Craik menulis The Nature of Explanation di mana dalam buku ini ia pertamakali meletakan fondasi konsep mental model, bahwa pikiran akan membentuk model realitas dan memanfaatkannya untuk memperediksi kejadian di masa depan.  Kenneth James William Craik dapat disebut sebagai salah satu praktisi cognitive science paling awal.

ERA BARU PSIKOLOGI PENERBANGAN SESUDAH PERANG DUNIA II

Setelah Perang Dunia II, psikologi penerbangan tetap berkembang sebagaimana dibuktikan dengan bertambahnya buku dan artikel tentang subjek ini termasuk berbagai kegiatan penelitian di pusat-pusat studi dan laboratorium psikologi penerbangan.  Kolonel Paul Fitts tetap aktif sebagai Kepala Cabang Laboratorium Psikologi Aero Medis sampai tahun 1949. Sedangkan, Arthur W. Melton dan Charles W. Bray membangun Pusat Penelitian Personil dan Pelatihan Angkatan Udara (disebut dengan "Afpatrick") ke dalam organisasi penelitian psikologi militer terbesar sampai saat itu.  Penelitian dan aplikasi Human Engineering di Angkatan Laut berpusat di Naval Electronics Laboratory di Pangkalan Bolling dekat Washington, D.C. yang dipimpin oleh Franklin V. Taylor dan Henry P. Birmingham.  Sama dengan pola setelah Perang Dunia I, dengan selesainya Perang Dunia II, beberapa profesional yang bekerja di Angkatan Bersenjata AS ada yang tetap berdinas aktif sebagai anggota militer atau sebagai personil sipil di lingkungan Angkatan Bersenjata.  Sementara banyak lainnya keluar dan melanjutkan sekolah atau pendidikan lanjutan. Beberapa dari mereka, yang telah menyelesaikan pendidikan sebelum perang, mengaplikasikan pengetahuan dan pengalaman mereka sebagai pengajar atau peneliti di fakultas berbagai Universitas di Amerika Serikat.  Pengalaman mereka di penerbangan militer tidak hanya dibawa ke kampus universitas tapi banyak yang kemudian dimanfaatkan di lingkungan industri.

Psikologi Penerbangan di Perguruan Tinggi
Setelah Perang Dunia II, laboratorium penelitian beberapa universitas dikembangkan dan umumnya di bawah kontrak dengan pemerintah AS untuk mempelajari berbagai masalah terkait dengan penerbangan. Stanley N. Roscoe, seorang tokoh psikologi penerbangan, mantan pilot Korps Udara Angkatan Darat AS dan penulis sejumlah buku tentang psikologi penerbangan dan human factors bersama Alexander C. Williams, Jr., tokoh psikologi penerbangan mantan penerbang Angkatan Laut AS dalam Perang Dunia II, mendirikan Laboratorium Psikologi Penerbangan di University of Illinois pada bulan Januari 1946.  Penelitian mereka difokuskan pada transfer pelatihan penerbang dari simulator ke pesawat udara dan meletakan fondasi konseptual untuk analisis misi dan performa penerbang serta desain kontrol.  

Dalam penelitian mandiri, Alexander C. Williams melakukan penelitian yang berharga mengenai dekomposisi tugas, pelatihan pilot, dan desain display dan desain kontrol.  Williams memimpin laboratorium tersebut untuk dekade pertama setelah pendiriannya pada tahun 1946 dan tetap bekerja sampai tahun 1955, saat kemudian ia bergabung kembali dengan Roscoe di Hughes Aircraft Company.  Tugasnya dilanjutkan oleh Robert C. Houston selama dua tahun dan kemudian oleh Jack A. Adams sampai 1965.  Kemudian Stanley N. Roscoe kembali memimpin laboratorium tersebut selama masa produktif pada tahun 1970an, sebelum kemudian Christopher Wickens menjutkan kepemimpinan Laboratorium tersebut.  Laboratorium Psikologi Penerbangan di University of Illinois dikenal menjadi yang terdepan dalam penelitian psikologi penerbangan.

Selain laboratorium Psikologi Penerbangan di University of Illinois, berdiri pula Pusat Studi Psikologi Penerbangan di Ohio State University yang dimulai pada bulan Januari 1945. Pusat studi ini didirikan bersamaan dengan Institut Psikologi Penerbangan Midwest di bawah Sekolah Penerbangan yang merupakan hibah dari Komite Dewan Peneliti Nasional untuk Seleksi dan Pelatihan Penerbang.  Institut ini dipimpin oleh Morris S. Viteles, dan melaksanakan program interdisipliner berbagai penelitian di sejumlah bidang ilmu termasuk psikologi, fisiologi, fisika dan optik terapan, kedokteran, teknik, meteorologi dan pertanian.

Laboratorium Psikologi Penerbangan di Ohio State University dibuka pada tahun 1949 di bawah kendali Paul Fitts setelah ia meninggalkan program psikologi kerekayasaan Angkatan Udara ketika ditangani oleh WaIter F. Grether.  Selain itu, penelitian psikologi penerbangan juga dilakukan di Universitas Pennsylvania dan di Universitas Purdue.  Kemewahan dunia penerbangan, dukungan kontrak penelitian, dan pengetahuan baru yang berkembang pesat membuat antusiasme para peneliti di laboratorium ini cukup besar dan membuat studi psikologi penerbangan tetap berlangsung.  Laboratorium penelitian psikologi penerbangan di Illinois dan Ohio State mengalami pasang surut, namun sampai saat ini mereka masih sangat aktif.

Program akademik lainnya dalam bidang psikologi penerbangan yang perlu dicatat juga dilakukan di Heidelberg College di Tiffin, Ohio.  Program ini tidak setua yang lain, karena baru dimulai pada akhir 1960-an, namun diyakini merupakan satu-satunya program sarjana dalam psikologi penerbangan di Amerika Serikat.  Program ini menawarkan kepada para mahasiswanya pengalaman unik untuk melakukan uji lapangan sebelum "komitmen menjadi karir".

Psikologi Penerbang di Maskapai Penerbangan (Airlines)
Di lingkungan industri penerbangan atau transportasi udara, studi tentang psikologi penerbangan juga berkembang pesat.  Thomas Gordon (1949) melaporkan hasil studinya tentang metode yang digunakan oleh perusahaan penerbangan dalam seleksi dan evaluasi pilot serta upaya dalam menentukan persyaratan kritis profesi pilot di maskapai penerbangan.  Dalam studinya, Gordon membandingkan hasil tes seleksi kandidat pilot yang dikeluarkan karena kekurang mampuannya dalam pelatihan terbang dengan skor kandidat pilot yang berhasil.  Hasilnya menunjukkan bahwa ada tujuh variabel yang membedakan mereka yang gagal dalam seleksi pilot yang sukses dan yang tidak berhasil.  Dia merekomendasikan agar diterapkan prosedur seleksi yang baru dan mengembangkan cara yang lebih obyektif dalam menilai kecakapan penerbang.

Pilot maskapai penerbangan, dan sebagian besar sistem pendukungnya, menjadi perhatian utama dalam buku McFarland, Faktor Manusia dalam Transportasi Udara (Human Factors in Air Transportation, 1953). Buku ini merupakan ringkasan dari pengetahuan terbaru (saat itu) tentang psikologi penerbangan dan faktor manusia dalam transportasi udara.  Dalam buku ini ia juga memasukan materi kedokteran, fisiologi, dan desain kerekayasaan (engineering).

Psikologi Penerbangan di Civil Aeronautics Administration (CAA)
Selama tahun 1940an sampai tahun 1950an, Administrasi Sipil Aeronautika atau Civil Aeronautics Administration (CAA) suatu badan pemerintahan yang mengurusi penerbangan sipil AS mensponsori penelitian tentang faktor manusia dalam penerbangan, di mana aspek ilmiah dari penelitiannya di bawah supervisi Komite Riset Dewan Nasional tentang Psikologi Penerbangan.  Sebagian besar penelitian dilakukan oleh universitas, dan produk penelitiannya merupakan hasil dari rangkaian studi yang didokumentasikan dalam “The Gray Cover Reports. No 92, 1950”.  Laporan penelitian tersebut ditulis oleh S.N. Roscoe, J.F. Smith, B.E. Johnson (Beatrice Johnson Matheny), P.E. Dittman, dan A.C. Williams, Jr.  Isinya mencakup laporan hasil evaluasi komparatif simulator eksperimental pertama dari tampilan navigasi VOR/DME (VHF Omnidirectional Range/Distance Measuring Equipment) dengan peta menggunakan CRT di kokpit.

Di bagian lain dari program ini, Beatrice Johnson Matheny di University of Illinois mengembangkan simulator Air Traffic Control (ATC) yang pertama.  Simulator ini berupa trek 16 link trainer yang berjalan mengelilingi peta di satu ruangan besar, dan dipasangi telepon ke display CRT di "menara kontrol" (Johnson, Williams, dan Roscoe, 1951). Kemudian, seluruh fasilitas ini dipindahkan ke Pusat Pengembangan dan Evaluasi Teknis CAA di Indianapolis.  Itu adalah awal dari fasilitas simulator ATC raksasa terkomputerisasi yang berada di Technical Center FAA di Atlantic City.  Pada periode yang sama Paul Fitts, dan kemudian George E. Briggs, juga mulai mempelajari ATC di Ohio State.  Bersama-sama dengan Conrad I. Kraft, melakukan studi pencahayaan ruang kontrol "blue broadband".  Pada tahun 1951, Fitts memimpin sebuah komite yang terdiri dari A.Chapanis, F.C. Frick, W.R. Garner, J.W. Gebhard, W.F. Grether, R.H. Henneman, W.E. Kappauf, E.B. Newman, dan A.C. Williams, Jr. (Fitts, 1951). Produk mereka adalah laporan Human Engineering for the Effective Air-Navigation and Traffic-Control System, yang diterbitkan oleh NRC Komite Psikologi Penerbangan. Segera setelah itu, George Miller (1956) membuat banyak kontribusi bagi psikologi penerbangan (dan psikologi secara umum) dalam bukunya "The Magical Number Seven, Plus atau Minus Two: Some Limits on Our Capacity for Processing Information".

Psikologi Penerbangan dan Organisasi Asosiasi serta Jurnal
Pada tahun 1956, suatu kelompok kerja terdiri sembilan psikolog penerbangan di Eropa mendirikan apa yang sekarang dikenal sebagai Asosiasi Psikologi Penerbangan Eropa Barat atau West Europe Association for Aviation Psychology (WEAAP), sekarang Europe Association for Aviation Psychology (EAAP). Organisasi ini mengadakan konferensi setiap dua tahun sekali dan saat ini berkembang pesat dalam jumlah anggota.  Psikolog penerbangan dari EAAP awalnya lebih memperhatikan faktor klinis dalam seleksi kandidat pelatihan penerbangan dan perilaku umum pilot dibandingkan yang dilakukan di Amerika Serikat, namun sekarang mereka juga meluaskan perhatiannya pada topic-topik faktor manusia (human factors).

Di Amerika Serikat, pada tahun 1964 sekelompok psikolog berkumpul pada pertemuan tahunan American Psychological Association (APA).  Kelompok psikolog ini menggunakan pertemuan tahunan tersebut untuk melakukan pertukaran informasi yang lebih formal mengenai kepentingan profesional mereka dalam dunia penerbangan dan kemudian membentuk Asosiasi Psikolog Penerbangan atau Association for Aviation Psychology (AAP).  AAP ini merupakan organisasi terbuka di mana anggotanya adalah berbagai kalangan yang berminat terhadap psikologi penerbangan dan tidak harus psikolog, namun demikian sebagian besar psikolog anggota AAP adalah juga anggota APA Divisi 21 Human Factors and Engineering Psychology.  Pertemuan AAP sekarang diadakan bersamaan dengan pertemuan tahunan Human Factors Society setiap bulan Oktober. Tujuan dari asosiasi ini adalah untuk mempromosikan psikologi penerbangan dan disiplin ilmu kedirgantaraan, dengan cara (1) merangsang diseminasi pengetahuan, (2) melaksanakan pertemuan, kontak profesional, diskusi, dan publikasi, (3) meningkatkan pendidikan dan kepentingan penelitian psikologi sehubungan dengan kebutuhan dan masalah penerbangan, dan (4) menerapkan prinsip-prinsip psikologis dan melakukan penelitian untuk mempromosikan keselamatan penerbangan dan kesejahteraan.

Artikel-artikel yang membahas psikologi penerbangan umumnya telah dipublikasikan di jurnal seperti Human Factors; Aviation, Space, and Environmental Medicine; Ergonomics; Applied Ergonomics; Systems, Man, and Cybernetics; dan beberapa jurnal American Psychological Association.  Pada tahun 1971, Stan Roscoe, yang telah kembali ke Universitas Illinois sejak tahun 1969 mengembangkan Laboratorium Penelitian Penerbangan yang baru, dan mulai menerbitkan Aviation Research Monographs. Seri ini dihentikan satu tahun kemudian, namun buku Roscoe (1980), Aviation Psychology, merangkum isi monografi dan juga penelitian lainnya yang dilakukan di University of Illinois Airport dan Hughes Aircraft Company antara tahun 1946 sampai dengan 1977.

SEJARAH AWAL PSIKOLOGI PENERBANGAN DI INDONESIA

Sejarah psikologi penerbangan di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari sejarah militer Belanda di Indonesia.  Pengalaman AS yang diperoleh dalam PD II selanjutnya diikuti Angkatan Udara Belanda dan KNIL (Koninklije Nederlands Indische Luchmacht) membentuk Lembaga Kesehatan Penerbangan (Vliegmedische Dienst) yang berkedudukan di Bandung.  Setelah penyerahan kedaulatan, masalah kesehatan penerbangan diteruskan pembinaannya di lingkungan Angkatan Udara Republik Indonesia yang dipelopori oleh Mayor Udara dr. Saryanto. Sedangkan permasalahan yang terkait dengan psikologi dikerjakan di Seksi Psikologi Angkatan Udara Depot Kesehatan Penerbangan 001 yang dibentuk pada tanggal 1 Agustus 1951 dan berkedudukan di Bandung.  Sebelumnya seksi psikologi Angkatan Udara masih bergabung di bagian Psikologi Angkatan Udara Lembaga Psikoteknik Tentara (sekarang Dinas Psikologi Angkatan Darat/Dispsiad). Untuk mengawaki Seksi Psikologi Angkatan Udara Depot Kesehatan Penerbangan 001, diangkat LMU II Wiryawan, Serma Soewarno, dan Serda Subita yang sebelumnya adalah tentara pelajar (TRIP) yang bertugas di Lembaga Psikoteknik Tentara.

Personil yang bekerja pada awal keterlibatan psikologi di Angkatan Udara masih terbatas, demikian pula dengan sarana dan prasarana termasuk tes-tes psikologi untuk mendukung sistem pemeriksaan psikologi. Saat itu masalah seleksi dan klasifikasi psikologis khususnya para calon penerbang masih didukung oleh Lembaga Psikoteknik Tentara (LPT). Dalam aktivitas seleksi psikologi, bila ditelusuri bahwa tahun 1950 TNI AU mengirimkan 60 orang calon penerbang ke California, Amerika Serikat, mengikuti pendidkan penerbang pada Trans Ocean Airline Oakland (TALOA), patut diduga (mengingat catatan dokumentasi tidak ditemukan) sarana psikologi yang digunakan untuk seleksi calon penerbang memanfaatkan sarana yang ada di LPT.

Terkait dengan persiapan Operasi Trikora, TNI AU ketika itu mendapatkan sejumlah pesawat tempur berbagai tipe dari Uni Sovyet dan Eropa Timur seperti MiG 17, MiG 19, MiG 21, dan pemburu La-11. 

Dengan dimilikinya berbagai jenis pesawat udara militer dalam jumlah besar maka kebutuhannya tidak hanya menyangkut siapa yang memenuhi syarat untuk menerbangkannya tapi juga awak pesawat lainnya seperti navigator, ahli pembom, sampai dengan kebutuhan ground crew dan personil pendukung lainnya. Sesuai dengan kebutuhan tersebut, saat itu dirintis berbagai macam pendidikan kejuruan, antara lain; sekolah penerbang, sekolah navigator, pendidikan pasukan, sekolah teknik udara, sekolah radio telegrafis, dsb. Untuk itu diperlukan penyaringan bersifat menyeluruh terhadap calon-calon siswa baik di tingkat tamtama, bintara, dan perwira, tidak hanya memilih calon yang tepat sesuai persyaratan namun juga memisahkan dan menempatkan mereka sesuai potensinya.  Dalam fungsi ini, penerapan prinsip-prinsip, konsep dan teori psikologi banyak berperan dalam seleksi dan klasifikasi calon dan anggota Angkatan Udara dari berbagai korps dan kejuruan.

Dalam perkembangan selanjutnya fungsi psikologi semakin meluas tidak terbatas pada penerapan tes-tes psikologi untuk seleksi tetapi juga menyangkut pembinaan mental psikologis para awak pesawat dan pasukan dalam bentuk supervisi, pendampingan, dan konsultasi.  Keterlibatan psikologi dalam beberapa kegiatan yang berhubungan dengan itu antara lain kunjungan psikolog secara rutin ke flight line.  Saat ini fungsi tersebut dilaksanakan dengan menempatkan perwira psikologi di sejumlah pangkalan udara yang memiliki skadron-skadron  udara.  Selain kunjungan ke flight line, fungsi psikologi juga mendukung proses belajar di lembaga-lembaga pendidikan dan menyiapkan anggota untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri. 

Pada awal keterlibatan psikologi penerbangan di Angkatan Udara, aktivitasnya lebih banyak pada aplikasi praktis dari psikologi.  Tidak tercatat adanya aktivitas dan publikasi hasil penelitian yang terkait dengan pengembangan alat tes psikologi.  Pengembangan alat tes psikologi lebih banyak berhubungan dengan adaptasi tes khususnya paper & pencil test dan pembuatan norma-norma tes sesuai populasi daerah-daerah tertentu di Indonesia.  Mengenai alat tes psikologi yang terkait dengan pengukuran potensi spesifik atau aptitude sebagai penerbang, selain jenis paper & pencil test, Dinas Psikologi Angkatan Udara (Dispsiau) juga menggunakan tes jenis simulasi sensori motorik.  Tahun 1954, untuk pertama kali Dispsiau mulai menggunakan Reaction Time Test/ASTO.   Kemudian tahun 1961, Dispsiau menggunakan Sensory Motor Apparatus Test (SMA Test) yang dimanfaatkan sampai awal tahun 2000an sebelum menggunakan tes simulasi berbasis komputer seperti Computer Assissted Test 4 (CAT-4) dari Jerman.          

PROSPEK PSIKOLOGI PENERBANGAN

Sejajar dengan awal perkembangan teknologi pesawat udara dan sistem operasi penerbangan, sebagian besar penelitian di bidang psikologi penerbangan difokuskan pada kontrol dan displays di kokpit, serta seleksi dan pelatihan anggota awak pesawat.  Namun perubahan terbaru dalam perilaku sosial dan politik internasional telah menyebabkan cakupan studi psikolog penerbangan berkembang lebih luas.  Misalnya, studi psikolog penerbangan telah berkembang dengan berbagai penelitian dan identifikasi orang-orang yang terlibat dalam kegiatan teroris.  Selain itu banyak dari psikolog penerbangan yang memberikan layanan sebagai saksi ahli dalam proses pengadilan kecelakaan pesawat udara.  

Psikologi penerbangan memunculkan potensi mempelajari permasalahan yang lebih besar daripada sekedar "knop dan tombol" di kokpit.  Psikologi penerbangan juga mengembangkan studi mengenai masalah komunikasi, atau hambatan komunikasi di lingkungan penerbangan.  Dari beberapa tulisan terpilih yang diedit oleh Billings dan Cheaney (1981), dibahas beberapa masalah psikologis dalam transfer informasi, seperti: briefing pengendali (ATC) di darat, komunikasi antara ATC dengan pesawat udara yang sedang dikendalikan dan/atau komunikasi antara awak pesawat itu sendiri, serta komunikasi darurat dari udara-ke-darat.  Selain itu, isu-isu seperti CRM (Cockpit/Crew Resources Management), budaya keselamatan (safety culture) juga menarik perhatian para psikolog penerbangan untuk dipelajari dan diteliti. Ulasan ringkas tentang kecelakaan penerbangan dari Jackson (1983) mengindikasikan bahwa area ini sangat penting dalam operasi penerbangan dan sistem penerbangan yang aman. Studi lebih lanjut akan menjadi kebutuhan yang sangat kuat di masa depan.  

Lebih jauh lagi, area yang sebelumnya sedikit mendapat perhatian dalam beberapa tahun terakhir walaupun masalahnya bertambah setiap hari adalah terminal bandara secara menyeluruh; mulai dari penumpang, bagasi, dan pemrosesan kargo hingga perawatan pesawat udara, penanganan bahan bakar, dan system dukungan lainnya. Terlepas dari banyaknya masalah di bidang ini, bidang psikologi penerbangan tampaknya dituntut untuk memperhatikan berbagai masalah yang cukup jauh dari kokpit atau menara kontrol.

Dalam perkembangan lebih lanjut, pengendali lalu lintas udara atau ATC telah menjadi perhatian psikolog penerbangan terutama yang terkait dengan stresor kerja dan dampaknya terhadap manajemen penerbangan yang efisien dan aman. Tidak hanya pengendali ATC itu sendiri yang menarik, namun pengaruh kemajuan teknologi terhadap pola kerja dan lingkungan ATC dengan sejumlah jenis display baru dan penggunaan komputer untuk membantu pembagian beban kerja.

Selain itu, masalah seleksi dan pelatihan personil penerbangan terus menyertai.  Orang mungkin bertanya-tanya mengapa, 60 tahun lebih setelah berdirinya program psikologi penerbangan, penelitian tentang seleksi dan pelatihan pilot masih terus berlangsung. Tak terelakan perubahan dramatis yang telah terjadi di industri pesawat udara, angkatan udara dan maskapai penerbangan di dunia, belum lagi program ruang angkasa.  Dapat dilihat bahwa tetap ada tantangan dalam seleksi penerbang dan awak pesaat lainnya, serta pelatihan yang dihadapi oleh psikolog penerbangan sampai hari ini.  Kemajuan teknologi yang pesat telah mempengaruhi lingkungan kokpit dengan display yang dengan teknologi baru yang diproyeksikan di kaca depan atau panel pengaman helm operator, panel instrumen "kaca" dengan display elektronik multifungsi, keyboard tempat pilot memasukkan data ke komputer on board mereka, sistem interaktif suara yang memungkinkan pilot untuk mendengarkan dan berbicara dengan komputer mereka, sistem kontrol fly-by-wire, dan kemampuan komputer untuk berbagi beban kerja operator. Tampaknya masa depan menjanjikan peluang tak terbatas bagi studi psikolog penerbangan.


Kepustakaan

Broadbent, D.F. (1970). "Frederic Bartlett 1886-1969", Biographical Memoirs of Fellow of The Royal Society. 16: 1-3.

Dinas Psikologi TNI AU (2003).  Pelangi di Langit Biru. Lintasan Sejarah Dinas Psikologi TNI AU, 1951-2003.  Jakarta: Dinas Psikologi TNI AU.

Flanagan, J.C. (1954). “The Critical Incident Technique”.  Psychological Bulletin, Vol. 54, No 4 (July 1954).

Hoffman, M.A., and  Ritchie, R.A. (1987).  Ross A. McFarland Collection in Aerospace Medicine and Human Factors Engineering. Daytona, Ohio: Fordham Library Publication No. 3, Fordham Health Sciences Library, Wright State University School of Medicine.

Jefferson M. Koonce, J.M.  (1984). A Brief History of Aviation Psychology. Human Factors, 1984,26(5),499-508.

Karen, F. (1996). “John Flanagan, 90, Psychologist Who Devised Pilot Aptitude Test”. The New York Times, Aril 28, 1996.


Tsang, P.S., and Vidullch, M.A. (2003). Principles and Practice of Aviation Psychology. Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers.

Kamis, 19 Juli 2012


PERAN ASPEK PSIKOLOGI USIA PENERBANG 60 - 65 tahun
Drs. Widura IM., M.Si.


Pendahuluan

Seperti telah diketahui, tanggal 23 Nopember 2006 ICAO telah menerbitkannya Amandemen ke 167 terhadap Annex 1 yang memperpanjang batas usia pilot dari 60 tahun menjadi 65 tahun pada hari ulang tahunnya.   Berbagai studi melaporkan kondisi aktual cukup mendukung diberlakukannya amandemen ini, namun kajian-kajian ilmiah, khususnya aspek psikologi yang terkait dengan usia kronologis dan performance pilot tetap perlu dicermati.
Dalam tulisan ini, penulis berupaya mengungkap beberapa pokok bahasan psikologi yang perlu menjadi perhatian terkait dengan diberlakukannya batas usia pilot di atas 60 tahun.  Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan teknologi penerbangan menempatkan porsi perhatian aspek kognitif menjadi lebih besar, mengingat tuntutan tugas kompleks terhadap kemampuan information processing, seperti kemampuan analisis, dan pengambilan keputusan.   Hal ini bukan berarti aspek yang berkaitan dengan perseptual-motorik tidak perlu diperhatikan, terutama dalam fase take-off dan landing dan/atau di lingkungan penerbangan militer. 

Teori Cognitive Aging

Penurunan aspek inteligensi.  Beberapa penelitian tentang inteligensi yang membedakan antara fluid intelligence (berhubungan dengan proses informasi baru, dan working-memory) dan crystallized intelligence (berhubungan dengan pengetahuan, long term-memory, dan informasi-informasi yang diperoleh melalui pembelajaran dan pengalaman yang lama) menunjukan bahwa pilot berusia lebih tua mengalami penurunan fluid intelligence tapi tidak dengan crystallized intelligence. (Hardy and Parasuraman, 1997)
Penurunan fungsi selektif terhadap informasi yang relevan (decline in inhibition).   Penelitian Hashes & Zacks, 1988 menunjukan bahwa pilot yang usianya lebih tua  terjadi penurunan proses kognitif yang berfungsi menyeleksi informasi yang relevan dengan situasi yang dihadapi oleh pilot.  Dalam kondisi ini, pilot seolah kebanjiran informasi yang tak semuanya penting untuk saat itu.
Penurunan sumberdaya information processing. Pada usia pilot yang lebih tua terjadi penurunan kecepatan prosesing, kapasitas working-memory, atau kapasitas perhatian.
Perlambatan dalam berpikir.  Perlambatan dalam berpikir ditemukan pada indikasi menurunnya reaction-time. (Binen, 1970; Cerella, 1994; Bashore, 1990; Hartley, 1992; dalam Hardy and Parasuraman, 1997)
Disuse.   Dengan asumsi bahwa berpikir adalah juga keterampilan, maka akan terjadi penurunan performance inteligensi bila tidak sering digunakan.  Pelatihan regular keterampilan berpikir mencegah terjadinya penurunan kognitif.

Studi tentang Cognitive Processing(Proses Kognitif).

Studi yang berkaitan dengan proses kognitif menyangkut empat aspek;  keterampilan perseptual-motorik, daya ingat, perhatian (attention), dan pemecahan masalah-pengambilan keputusan (problem solving-decision making). 
Walaupun otomasi kokpit pesawat modern mengalami perkembangan yang lebih menuntut pilot memaksimalkan fungsi berpikir dan melaksanakan tugas-tugas lebih strategis, namun keterampilan perseptual-motorik tetap penting.  Terutama keterampilan yang berkaitan dengan manuver dasar seperti take-off dan climb, mempertahankan flight path, final approach, dan landing.  Dan berbagai penelitian untuk semua jenis pesawat menunjukan bahwa pilot yang usianya lebih muda perseptual-motoriknya lebih baik dibandingkan pilot yang usianya lebih tua. 
Penelitian yang berhubungan dengan kokpit pesawat modern menuntut pilot untuk memaksimalkan fungsi berpikir dan melaksanakan tugas-tugas lebih strategis menyangkut pemecahan masalah-pengambilan keputusan, menunjukan hasil yang bervariasi disamping sedikit sekali penelitian yang terkait pada aspek ini. (Hardy and Parasuraman, 1997) 

Faktor-faktor Psikologis lainnya

   Pilot merupakan kelompok individu yang sangat terlatih.  Pelatihan sistematis dan pengalaman pilot yang signifikan meningkatkan keahlian (expertise) seorang pilot.  Sebagai seorang yang terlatih dan expert di bidangnya dicirikan oleh kemampuan dan otomatisasi keterampilannya. Tentunya sejauhmana peran “keahlian“ ini berpengaruh perlu dipertimbangkan sebagai hal yang mendukung (maupun yang merugikan), sehubungan diperpanjangnya batas usia pilot pensiun.
            Faktor psikologi lainnya yang perlu mendapatkan perhatian dengan diperpanjangnya batas usia pilot pensiun;  beban kerja dan manajemen beban kerja (yang terkait dengan stressor pilot), mental models (mindset), dan situation awareness, disamping keterampilan sosial, serta fatigue.  Interaksi antara keterampilan dasar kognitif yang telah diulas dengan faktor-faktor psikologi lainnya tersebut patut dicermati.   Faktor-faktor psikologi tersebut dan hasil interaksi daripadanya mungkin bukan menjadi kriteria prasyarat psikologi yang dipersyaratkan sehubungan dengan diperpanjangnya batas usia pilot, namun penting diperhatikan yang perlu dikomunikasikan dalam bentuk briefing - debriefing, atau pelatihan & indoktrinasi

Referensi :

American Medical Association, (2004).  The Age 60 Rule, Position Paper.

Broach, D., Joseph, K.M., dan Schroeder, D.J., (2003).  Pilot Age an Accident Rates Report 3 : An Analysis of Professional Air Transport Pilot Accident Rates by Age.  Oklahoma City : Civil Aeromedical Institute-Human Resources Research Division FAA.

Hardy, D.J., dan Parasuraman, R., (1997). Cognition and Flight Performance in Older Pilots,  dalam Journal of Experimental Psychology :Applied, Vol , No 4, 313-348. American Psychological Association, Inc.

Senin, 23 April 2012

FAKTOR PSIKOLOGI PADA FATIGUE DAN KONSEKUENSINYA TERHADAP KESELAMATAN PENERBANGAN

Widura Imam Mustopo
Pendahuluan
Salah satu permasalahan yang menonjol di penerbangan adalah bila terjadi frekuensi insiden dan kecelakaan pesawat (accidents) yang meningkat. Meningkatnya insiden dan kecelakaan dapat merupakan indikator bagi kesiapan operasional penerbangan. Kecelakaan penerbangan dapat disebabkan karena berbagai kemungkinan. Salah satunya karena kegagalan pada mesin pesawat udara, atau karena kondisi cuaca yang buruk. Sebab-sebab lainnya terhadap terjadinya insiden atau kecelakaan penerbangan dapat timbul karena kesalahan di tingkat individu (penerbang atau awak pesawat lainnya) atau pengendali lalu lintas udara yang sering dikenal dengan air traffic controller (ATC). Salah satu kondisi yang sering menjadi perhatian di tingkat individu ini adalah kelelahan individu atau sering dikenal dengan fatigue.
Memperhatikan hal di atas, kajian terhadap fatigue dalam upaya untuk mencegah terjadinya kecelakaan penerbangan dan sekaligus mempromosikan derajat keselamatan penerbangan adalah upaya yang penting. Tulisan ini akan mengungkap berbagai studi tentang “fatigue”, menyangkut pengertiannya, sebab-sebab timbulnya fatigue, apa saja yang dapat menjadi indikator fatigue, dan pengaruhnya pada aspek-aspek psikologis yang berhubungan dengan kegagalan performance seseorang dan/atau penerbang pada khususnya. Pada akhir tulisan akan diulas juga upaya pencegahan penurunan performance karena sebab-sebab fatigue termasuk cara dan kiat-kiat menghadapi dan mengatasi fatigue.
Hal yang perlu diingat adalah bahwa pemahaman tentang timbulnya fatigue dan pengaruhnya terhadap performance yang dicurigai sebagai penyebab terjadinya insiden atau accident antara kasus kecelakaan yang satu dan lainnya tidak selalu sama. Tulisan ini bersifat informatif bersumber dari studi literatur yang didasarkan atas penelitian empirik maupun studi kasus (lihat daftar kepustakaan).


Pengertian
Secara harafiah, fatigue dapat diartikan secara sederhana sama dengan kelelahan yang sangat (deep tiredness), mirip stres, bersifat kumulatif. Bila dikaitkan dengan pengalaman seperti apa sebenarnya fatigue itu, pengertiannya menjadi bervariasi. Dari berbagai literatur, fatigue sering dihubungkan dengan kondisi kurang tidur, kondisi akibat tidur yang terganggu, atau kebutuhan kuat untuk tidur yang berhubungan dengan panjangnya waktu kerja, dan stres-stres kerja (dan penerbangan) yang bervariasi. Ahli lainnya sering mengkaitkan fatigue dengan perasaan lelah bersifat subjektif, hilangnya perhatian bersifat temporer, dan menurunnya respon psikomotor ; atau, berhubungan dengan gejala-gejala yang dikaitkan dengan menurunnya efisiensi performance dan skill; atau, berhubungan dengan menurunnya performance sebagai hasil dari akumulasi stres-stres dalam penerbangan. Fatigue juga kerap dikaitkan dengan kondisi non-patologis yang dapat membuat kemampuan seseorang menurun dalam mempertahankan kinerja yang berhubungan dengan stres fisik maupun mental ; atau, terganggunya siklus biologis tubuh (jet lag).


Macam Fatigue
Terdapat dua macam fatigue, yaitu fatigue jangka pendek (short-term fatigue) dan fatigue jangka panjang (long-term fatigue/chronic fatigue).


  Short-term fatigue, sering dihubungan dengan kelelahan yang biasanya dikaitkan dengan kurang tidur atau  
  istirahat, kerja fisik atau mental yang berlebihan, periode waktu tugas yang lama, kurang asupan, atau jet lag.
  Short-term fatigue relatif mudah dikenali dan dapat diatasi dengan tidak terbang dan beristirahat yang cukup.


  Long-term fatigue atau fatigue bersifat kronis lebih sulit dikenali. Fatigue jenis ini dapat muncul dari sejumlah 
  penyebab yang bervariasi termasuk ; tidak fit baik fisik maupun mental, kondisi stres baik karena masalah 
  pekerjaan ataupun rumah tangga, kekhawatiran finansial dan beban kerja. Fatigue ini juga dapat bersifat subjektif, 
  artinya ada penerbang yang memiliki toleransi yang cukup tapi lainnya tidak, bisa juga terjadi pada seorang 
 penerbang dimana saat ini ia lebih toleran terhadap fatigue waktu dari sebelumnya. Bagi siapa saja yang mengalami   fatigue yang bersifat kronis, tidak terbang adalah tindakan yang bijaksana.



Sebab-sebab Fatigue
Terdapat beberapa situasi yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi fatigue. Situasi tersebut bisa fisik-fisiologis maupun pikologis. Secara umum sebenarnya fatigue merupakan hasil dari konsumsi resources baik fisik dan/atau mental. Manifestasi fatigue dapat berupa perasaan letih (feeling of tiredness) atau menurunnya kinerja (drop of performance). Beberapa situasi yang dapat dikaitkan sebagai penyebab terjadinya fatigue, antara lain;
  • Kebutuhan tidur, baik karena kurang tidur atau terganggu.
  • Jadual waktu kerja dan istirahat yang menyebabkan circadian desynchronization.
  • Posisi duduk yang terbatas dalam durasi penerbangan yang lama.
  • Kekurangan nutrisi dan cairan yang berhubungan dengan terbatasnya asupan.
  • Cockpit ergonomics and equipment yang tak nyaman.
  • Noise atau kebisingan.
  • Vibration.
  • Hypoxic environments, perubahan tekanan atmosfer, tingkat kelembaban dan perubahan temperatur.
  • Akibat dari zat-zat dan obat-obatan tertentu, seperti; caffeine, alkohol, antihistamines, dsb.
  • Accelerative forces and G-related stress.
  • Stres-stres psikologis yang berhubungan dengan situasi kerja maupun misi-misi penerbangan khususnya di lingkungan militer.
Simptom-simptom Fatigue
Selain memahami sebab-sebab timbulnya fatigue, perlu diwaspadai konsekuensi dari timbulnya fatigue. Oleh karenanya, adalah penting untuk memperhatikan simptom-simptom penurunan performance yang disebabkan fatigue (Rosekind, et.al 2003). Beberapa simptom penurunan performance yang disebabkan fatigue, antara lain;
Penurunan motivasi dan perubahan suasana hati. Simptom awal dari fatigue dan kurang tidur biasanya adalah berubahnya perasaan/suasana hati (moods) menjadi lebih negatif. Terkait dengan hal ini, umumnya orang melaporkan munculnya rasa malas untuk memulai kerja atau merasa kurang bertenaga, mudah tersinggung, diliputi perasaan negatif, dan mengantuk. Dan, mereka yang mengalami hal tersebut seringkali menyangkal bahwa mereka mengalami hal tersebut. Perubahan minat dan motivasi sering dikaitkan dengan menurunnya performance. Menurunnya inisatif dan meningkatnya perasaan tidak suka serta perasaan mudah tersinggung pada akhirnya akan menurunkan pula kemauan untuk berinteraksi dengan orang lain, suatu indikasi dari kemungkinan kegagalan kerjasama tim.
Penurunan rentang perhatian (span of attention). Hasil sejumlah penelitian (dalam Cassie, et.al., 1964 & Dhenin, et.al. 1978) menunjukan bahwa fatigue dan terganggunya waktu tidur akan menyempitkan rentang perhatian dan kesulitan berkonsentrasi terhadap tugas-tugas tertentu khususnya yang membutuhkan tingkat kewaspadaan tinggi. Gangguan tidur seperti terbangun karena mimpi, mempunyai efek yang sama dengan gangguan sistematika berfikir yang dapat menyebabkan kehilangan perhatian sesaat (lapses of attention) dan menurunnya kemampuan konsentrasi. Sejalan dengan meningkatnya fatigue dan berkurangnya waktu tidur membuat lapses of attention menjadi meningkat pula.
Kehilangan daya ingat jangka pendek. Tanda yang jelas sebagai akibat hilangnya waktu tidur adalah ketidak mampuan mengingat apa yang pernah didengar, dilihat, atau dibaca sebelumnya (Dhenin, et.al.1978). Hilangnya daya ingat terutama terjadi pada daya ingat jangka pendek (short term memory). Seseorang yang mengalami fatigue akan lupa tentang pesan-pesan, data yang baru dibacanya. Sebuah penelitian melaporkan, individu yang tidak tidur dalam 24 jam akan gagal mengingat beberapa informasi atau materi yang baru dibacanya. Setelah 48 jam tidak tidur karena harus bekerja terus menerus maka daya ingat bahan/materi yang baru dibacanya akan menurun labih dari 40 persen.
Waktu reaksi melambat. Sebenarnya fatigue dan terganggunya waktu tidur tidak hanya menurunkan kecepatan reaksi tapi juga akurasi reaksi. Bahayanya fatigue dan hilangnya waktu tidur kadang kurang dapat diprediksi jenis respon-respon apa saja yang terganggu. Hal ini tergantung dari tugas apa yang sedang dilakukan, karena pada tugas tertentu ada yang lebih peka terhadap terganggunya waktu tidur dan fatigue, untuk tugas yang lain kurang peka. Tidak tidur dalam satu malam mungkin efeknya kecil pada 5 menit pertama pelaksanaan tugas yang menuntut kewaspadaan, tapi bila tugas tersebut harus dilakukan selama 15 menit maka performance akan memburuk. Bertambahnya tingkat kesulitan tugas menyebabkan respon jadi lebih lama yang mengakibatkan performance menjadi rusak.
Tidak menyadari adanya penurunan performance. Dalam kondisi fatigue, individu biasanya lebih mudah menerima tingkat performance yang lebih rendah dan seringkali sebenarnya mereka tahu kesalahannya tetapi tidak berusaha mengkoreksinya. Disamping itu, kondisi fatigue juga membuat seseorang kehilangan fleksibilitas dalam pendekatan masalah serta kemampuannya mengamati suatu persoalan atau dalam melihat kemungkinan baru dalam mengatasi masalah.
Menurunnya interpersonal skills dan kegagalan crew coordination. Seperti telah disinggung sebelumnya, fatigue dapat menyebabkan menurunnya inisatif dan meningkatnya perasaan negatif serta perasaan mudah tersinggung yang pada akhirnya akan menurunkan pula kemauan untuk berinteraksi dengan orang lain, suatu indikasi dari kemungkinan kegagalan interaksi antar awak yang menyebabkan menurunnya kerjasama tim (Rosekind, et.al 2003). Dapat dikatakan bahwa faktor utama yang mendukung keberhasilan dan kegagalan operasi penerbangan adalah kemampuan awak pesawat memelihara komando, kendali, dan koordinasi antar awak pesawat. Problem koordinasi antar awak pesawat sebagai dampak dari fatigue, dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu; (1) ketidak tepatan dalam menetapkan prioritas tugas, (2) komunikasi yang tidak efektif, atau (3) tidak adanya tindakan koordinasi. Ketiga macam keterampilan ini dipercaya paling peka terhadap fatigue dan hilangnya waktu tidur.
Selain hal yang telah disebutkan di atas masih terdapat simptom lainnya, yaitu; lack of awareness, menurunnya keterampilan motorik, konsentrasi terpaku, poor instrument flying, dan cenderung kembali ke kebiasaan lama.


Penyelidikan Kasus-kasus Kegagalan Penerbangan Akibat Fatigue
Selanjutnya, tanda-tanda penurunan performance seperti telah diuraikan di atas dapat kita amati melalui beberapa kasus kejadian. Beberapa kejadian atau kecelakaan penerbangan yang disebabkan penurunan performance karena fatigue diulas di bawah ini;


Fatigue dan Mental Block serta Penyempitan Rentang Perhatian. Hubungan antara pengalaman kecelakaan pesawat terbang dan situasi yang berkaitan dengan fatigue (shift kerja yang panjang, istirahat yang kurang memadai, dsb.) sebenarnya telah dibuktikan oleh Mc. Farlan, seorang peneliti di bidang penerbangan. Dalam laporan penelitiannya ia menyimpulkan bahwa bila penerbang mengalami fatigue di luar batas kemampuannya akan meningkatkan frekuensi dari “personnel error” (seperti lupa, tidak akurat dalam mengendalikan pesawat, dsb). Salah satu efek fatigue yang meningkat tajam, mengakibatkan apa yang dikenal dengan “mentalblock”. Aspek mental yang berkaitan dengan hambatan dalam mengingat dan menurunnya daya assosiatif. Dan hal ini dapat terjadi ketika seseorang sedang melakukan tugas-tugas yang relatif mudah sekalipun. Konsekuensinya, nama yang akrab menjadi tak teringat, dan detil yang penting tidak terperhatikan, walaupun sesaat sebelumnya ia mampu mengingat dengan baik. Kondisi seperti ini merupakan isyarat yang perlu diwaspadai, bahwa yang bersangkutan tidak siap untuk berfikir dan bertindak efisien.
Dalam kasus lainnya, kondisi fatigue dapat menyebabkan tatapan perhatian cenderung menyempit dan rentang perhatian menjadi terbatas. Dalam kondisi seperti ini, penerbang cenderung lupa mencek instrumen di luar rentang perhatiannya, misalnya; panel disamping. Ia lebih memusatkan perhatiannya pada pengamatan dan/atau kesulitan-kesulitan yang membuatnya khawatir daripada aspek-aspek yang lebih penting dalam situasi penerbangan (Rosekind, et.al 2003). Konsekuensinya, reaksi-reaksi yang seharusnya dilakukan terhadap tanda-tanda yang diberikan oleh instrumen utama dapat berubah secara cepat ke reaksi-reaksi otomatis (refleks) yang bersifat primitif. Suatu reaksi alamiah bila seseorang mulai menjadi takut dan panik. Selanjutnya dapat diperkirakan bahwa yang bersangkutan bisa membuat kesalahan dalam mengambil tindakan vital atau paling esensial.


Fatigue dan Fleksibilitas dalam Pengambilan Keputusan. Pengambilan keputusan merupakan salah satu mata rantai yang penting dalam tindakan penerbangan. Lebih-lebih bila penerbang menghadapi situasi emergency. Kondisi fatigue yang dialami penerbang dapat mengakibatkan dampak yang sangat merugikan di bidang ini(Rosekind, et.al 2003).
Dalam keadaan fatigue, pangambilan keputusan cenderung kaku. Penerbang menjadi tidak fleksibel dalam mengamati berbagai alternatif tindakan yang paling aman. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan dampak yang berlawanan dari apa yang diharapkan, dan tentunya dapat berakibat fatal.
Sebenarnya pengambilan keputusan tak terlepas dari faktor psikologis yang telah dibicarakan sebelumnya. Seperti telah disinggung di atas, blocking mental dan penyempitan perhatian dapat mempengaruhi penerbang terutama dalam mendapatkan data informasi untuk dasar pertimbangan (judgement) sebelum keputusan diambil.
Bilamana fatigue mulai menyempitkan perhatian dan menghambat fleksibilitas berfikir, biasanya seseorang akan mengambil beberapa kemungkinan tindakan. Kemungkinan pertama, ia berusaha mengatasi situasi darurat dengan terpaku pada satu set prosedur yang khusus (biasanya yang termudah). Misalnya, ketika ia membuat suatu manuver dalam situasi pendaratan yang sulit, ia hanya mengandalkan instrumen saja. Atau, kemungkinan lainnya, dalam menghadapi situasi yang tak menguntungkan, penerbang mulai menurunkan standar akurasi performance yang lebih rendah. Suatu penyelidikan yang dikenal dengan “Cambridge Cockpit Experiment” (Cassie, et.al., 1964) melaporkan bahwa seseorang yang mengalami fatigue cenderung meningkat keinginannya untuk menerima standar akurasi performance yang lebih rendah. Kemungkinan lain yang bisa terjadi, penerbang terpaku hanya mengandalkan satu cara atau tindakan yang sering lebih sulit untuk mengatasi situasi yang dihadapinya, karena menurut pengalaman subjektifnya bila dia tidak menggunakan cara tersebut akan mengakibatkan konsekuensi yang lebih buruk. Ia mengambil tindakan yang diyakini secara subjektif tanpa didasarkan atas pemikiran yang logis dan realistis.


Fatigue dan “End Deterioration. Efek fatigue lainnya yang menarik untuk diamati adalah kekeliruan atau kesalahan-kesalahan yang muncul bila penerbang mulai mendekati atau memasuki tempat pendaratan. Efek ini sering disebut “end deterioration (Dhenin, et.al., 1978). Suatu kecenderungan kegagalan penerbang yang meningkat pada tahap-tahap akhir penerbangan. Interpretasi dari efek ini ialah kelelahan penerbang yang tak tertahan lagi untuk relaks atau beristirahat bila pesawat terbang mendekati akhir penerbangan.
Sebenarnya efek fatigue pada tahap-tahap akhir penerbangan dapat dimengerti. Dalam suatu penerbangan yang penuh dengan stres, pada titik tertentu penerbang akan mengalami kelelahan dan keinginan yang besar untuk beristirahat. Bila keinginan tersebut tak terbendung lagi akan menyebabkan penerbang ingin cepat-cepat sampai di pangkalan. Konsekuensinya, kewaspadaan dan kesiagaan menjadi menurun. Efek yang lebih buruk lagi bila saat itu fatigue mulai mempengaruhi “skilled performance”. Beberapa eksperimen dari Bartlett dan Davis (Cassie et.al., 1964) menunjukan bahwa stres yang dialami secara terus menerus akan menyebabkan fatigue yang muncul dalam bentuk menurunnya “skilled performance”. Dilaporkan pula bahwa penurunan performance tersebut umumnya tidak disadari oleh yang bersangkutan.
Berbagai efek dari “end deterioration” tersebut mempunyai implikasi yang besar untuk terjadinya kecelakaan. Dari berbagai penelitian dilaporkan bahwa frekuensi kecelakaan pada saat pendaratan dapat dikatakan cukup tinggi. Suatu penelitian mengindikasikan bahwa kecelakaan pada saat pendaratan yang berhubungan dengan sebab-sebab fatigue adalah “undershoot” (Cassie et.al., 1964). Dilaporkan bahwa tidak kurang dari 17 kejadian diantara 23 kasus kecelakaan yang diteliti dalam jangka waktu tertentu.


Fatigue dan “Series of error. Efek fatigue tidak saja mengakibatkan kecelakaan pada akhir suatu sorti penerbangan. Ia bisa juga terjadi ketika lepas landas atau tak berapa lama setelah lepas landas. Hal ini biasanya disebabkan oleh suatu seri kesalahan (“series of error”) sejak persiapan penerbangan saat masih di darat. Dari suatu misi penerbangan yang panjang, para awak pesawat tiba dengan selamat di suatu pangkalan untuk beristirahat dan keesokan harinya akan melanjutkan penerbangan, mungkin melakukan penerbangan untuk kembali ke home base, atau melanjutkan penerbangan ke pangkalan terdepan dalam misi operasi lainnya. Diharapkan pada malam sebelumnya penerbang (dan awak pesawat lainnya) dapat memanfaatkan waktu untuk beristirahat. Tetapi sering kali keterbatasan waktu membuat tidak mungkin beristirahat secara memadai, atau pada kasus lainnya penerbang tidak memanfaatkan waktu istirahatnya dengan baik. Keadaan seperti ini jelas tidak menguntungkan kondisi fisik maupun mental yang bersangkutan. Kondisi fatigue yang disebabkan waktu istirahat yang terganggu atau tidak dimanfaatkan dengan baik setelah suatu penerbangan yang panjang dapat mengakibatkan menurunnya kewaspadaan dan kelambanan reaksi. Lebih jauh lagi bila kondisi tersebut sudah mempengaruhi pola dan sistimatika berfikir, maka sedikit banyak akan mempengaruhi persiapan dan perencanaan penerbangan.Hasil penelitian dari “series of error” (Angus et.al., 1985) yang berkaitan dengan terjadinya kecelakaan pesawat terbang dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain ; Kecenderungan kekeliruan dalam membuat persiapan penerbangan ; Penerbang melakukan error yang serius dalam memperkirakan ketahanan penerbangan ; Keliru dalam mengamati penyelurusan ketika memasuki ketinggian tertentu pada saat merencanakan penerbangan ; Keliru ketika mencek navigasi karena perkiraan posisi yang salah ; Keliru dalam mempertahankan ketinggian yang aman ; Kesalahan ketika penerbang secara prematur mulai menurunkan ketinggian.


Upaya Pencegahan Penurunan Performance Karena Fatigue
Karena biasanya penerbang atau awak pesawat lainnya tidak bisa sepenuhnya beristirahat disela-sela operasi yang terus menerus, maka penting mereka dapat memanfaatkan waktu untuk beristirahat dan tidur yang minimal, setidaknya untuk memelihara atau mengembalikan kondisi agar performance dapat tetap efektif. Beristirahat atau breaks (istirahat tapi tidak tidur) dipercaya cukup bermanfaat bagi individu yang sedang melaksanakan tugas terbang terus menerus (Angus, et.al., 1987). Performance dan kondisi suasana hati (mood) secara konsisten menjadi lebih baik segera setelah orang beristirahat lebih kurang satu jam. Namun efek positif dari istirahat disela-sela tugas operasi intensif terhadap performance bersifat jangka pendek. Cara ini tidak bermanfaat untuk seterusnya bekerja dengan performance optimal. Karena cara yang paling efektif untuk mengatasi efek negatif dari fatigue dan tidak tidur adalah dengan tidur itu sendiri. Bila tidak memungkinkan untuk tidur tanpa terganggu, tidur sejenak tetap lebih baik daripada tidak tidur samasekali, dan lebih lama waktu tidur akan lebih baik bagi kondisi seseorang untuk tetap siaga (alert). Walau ada perdebatan antar ahli dalam hal ini, namun tidur sejenak (nap) yang dilakukan antara 20 – 30 menit di tempat duduk cukup efektif untuk kembali segar, dan durasi nap minimum tidak kurang dari 10 menit untuk memperoleh efek pemulihan (Angus, et.al., 1987). Namun yang perlu diperhatikan adalah nap bersifat individual sehingga bervariasi antara individu satu dan lainnya. Ada yang mendapatkan dampak positif namun mungkin ada yang tidak mendapatkan dampak yang tidak mendapatkan manfaat bagi lainnya. Bagi mereka yang belum terbiasa melaksanakan nap, dampaknya bisa berbeda. Selain itu, yang perlu diwaspadai adalah bahwa setelah nap kondisi segar (fresh) tidak terjadi serta merta, diperlukan beberapa menit untuk mengumpulkan kesadaran, adanya reaksi yang lambat, dan umumnya untuk kembali dapat bereaksi secara normal setelah ± 5 menit terbangun.
Pada dasarnya fungsi tidur tidak diartikan bahwa seseorang harus tidur lebih lama sebagai persiapan tubuh agar hari berikutnya tidak usah tidur. Fungsi tidur tidak dilihat sebagai tabungan. Tidur normal adalah 7 sampai 8 jam sebelum tugas operasi (Rosekind, et.al 2003), bukan tidur lebih lama untuk mempersiapkan kondisi tubuh menghadapi tugas operasi dimana kemungkinan sulit untuk mencari waktu istirahat dan tidur. Waktu tidur akan lebih efektif dimanfaatkan untuk beristirahat setelah waktu yang cukup lama tidak tidur. Penelitian (Naitoh, et.al., 1986) menunjukan setelah 36 sampai 48 jam bekerja terus menerus, tingkat minimal performance dapat dicapai kembali sesudah beristirahat 12 jam, walaupun suasana hati relatif tak berubah.
Disamping cara-cara seperti tersebut di atas, masih ada beberapa kiat yang dapat dilakukan sebagai upaya mencegah penurunan performance karena fatigue, antara lain;
  • Menerima bahwa fatigue merupakan potensi yang dapat menimbulkan masalah.
  • Rencanakan tidur/istirahat secara proaktif (rencanakan tidur/istirahat sebelum melaksanakan aktivitas berdurasi lama/panjang).
  • Manfaatkan olah raga (exercise) sebagai bagian untuk relaksasi dan jaminan bahwa kita dalam kondisi fit.
  • Kendalikan emosi dan kehidupan psikologis.
  • Yakinkan diri bahwa kondisi kokpit nyaman.
  • Yakinkan diri bahwa telah tersedia makanan dan minuman yang cukup untuk penerbangan yang panjang.
  • Yakinkan diri bahwa tempat duduk sudah disesuaikan (adjusted).
Cara lain namun lebih membutuhkan keahlian, terutama dari flight surgeon (dokter penerbangan), adalah dengan memanfaatkan obat-obat tertentu seperti stimulan, atau caffeine untuk memperoleh kondisi instan tetap terjaga atau menahan kantuk. Upaya-upaya ini cukup efektif namun diperlukan keahlian dan pengalaman karena bila tidak sesuai atau berlebihan malah akan memberikan dampak yang tidak diinginkan.


Penutup
Sebenarnya, sejauh seseorang berada dalam keadaan segar, ia akan mampu melaksanakan tugas-tugas yang paling rumit sekalipun, juga bila tugas-tugas tersebut sangat menuntut perhatiannya. Bila seseorang dalam hal ini penerbang mengalami kelelahan atau fatigue, baik karena stres yang berlangsung terus menerus ataupun waktu istirahat yang tidak dimanfaatkan dengan memadai, ia akan memperlihatkan penurunan performance. Dan, cara yang paling efektif untuk mengatasi efek negatif dari fatigue dan tidak tidur adalah dengan tidur itu sendiri. Bila tidak memungkinkan untuk tidur tanpa terganggu, tidur sejenak tetap lebih baik daripada tidak tidur samasekali, dan lebih lama waktu tidur akan lebih baik bagi kondisi seseorang untuk tetap siaga (alert).

Kepustakaan
Angus, R.G., Heselgrave, R.J., Pigeu, R.A., & Jamieson, D.W., (1987). Psychological Performance Durring Sleep Loss and Continuous Mental Work: The Effort of intrajected Naps. Lyon, France: NATO Seminar, 16-17 March 1987.
Angus, R.G., Heselgrave, R.J., & Miles,W.S, (1985). Effects of Prolonged Sleep Deprivation, With and Without Chronic Physical Exercise, in Mood and Performance. Psychophysiology.
Cassie, A., Foklema, S.D., Parry, J.B., (Ed’s). (1964). Aviation Psychology: Studies on Accident Liability, Proficiency Criteria and Personnel Selection. Paris: Mouton & Co.
Dhenin, S.G., Sharp, G.R., dan Ernsting, J., (1978). Aviation Medicine, Physiology and Human Factors. London : Tri-Med Books Ltd.
Naitoh, P., Englund, C.E., & Ryman, D.H., (1986). Sleep Management in Sustained Operation’s User Guide (NHRC Report No. 86-22). San Diego: Naval Health Research Center.
Rosekind, R.M., Gregory, B.K., Miller, D.L., Lebacqz, J.V., and Brenner, M., (2003). Examiner Fatigue Factors in Accident Investigations: Analysis of Guantanmo Bay Aviation Accident. Alertness Solutions. NASA Ames Research Center, and National Transportation Safety Board.
Sells, S.B., Berry, C.A., (1961). Human Factors in Jet and Space Travel. New York : The Roland Press Co.
The Oxford Aviation Training, (2001). Human Performance and Limitation. Oxford Aviation Services Limited.