REAKSI PATOLOGIS PILOT MENGHADAPI KEJUTAN OTOMASI
Widura Imam Mustopo
Diadaptasi dari
tulisan Wayne Martin, Patrick Murray, and Paul Bates, dalam artikel tanggal 2
Mei 2013 tentang “Pathological reactions: Researchers explore pilot impairment from
severe startle, freezing and denial during unexpected critical events”. Flight Safety Foundation. Alexandria,
Virginia 22314. (diunduh dari https://t.co/
4JmE7b7V1T. 27 November,
2019).
Dalam beberapa dekade belakangan ini,
dunia telah memperoleh manfaat yang luas dengan perkembangan otomasi dalam
kontrol pesawat udara yang meningkatkan keselamatan penerbangan komersial.
Namun demikian, diakui pula bahwa pada beberapa kecelakaan besar beberapa tahun
terakhir, ditemukan pilot bisa gagal bereaksi ketika dikejutkan oleh
situasi kritis yang tak terduga. Dalam beberapa kasus, pilot bereaksi secara tidak efektif atau
tidak akurat, atau bahkan gagal bereaksi pada waktu yang tepat. Kejutan tak
terduga itu sendiri merupakan kondisi yang dapat terjadi pada sistem otomasi. Beberapa
faktor potensial yang dapat menimbulkan kejutan dalam sistem otomasi antara
lain, karena kompleksitas sistem otomasi, di mana sistem tersebut merupakan
penggabungan dari berbagai sistem lainnya, sehingga bisa terjadi informasi
umpan balik dalam sistem berlangsung tidak memadai.
Kejutan otomasi
biasanya terjadi pada salah satu dari dua kejadian di kokpit pesawat
berteknologi canggih. Pertama, bila ada
peristiwa yang tidak terduga atau situasi berubah tiba-tiba tanpa
instruksi/perintah, dan perubahan sistem terebut baik sudah dikenal atau tidak
dikenal oleh pilot. Tipe kedua, kejutan otomasi yang terjadi sebagai hasil tak
terduga dari perubahan yang diperintahkan, seperti dalam kasus autopilot gagal
menangkap informasi ketinggian pesawat ketika
pilot memperoleh input (dan mengharapkan) ke level yang telah dipilih
sebelumnya. Dalam kedua kasus tersebut, pilot mengidentifikasi adanya perbedaan
(dengan yang diharapkan), ia menjadi bingung sesaat, dan seringkali, tidak
memiliki ide langsung tentang tindakan apa yang harus diambil untuk memperbaiki
situasi. Kebingungan dan ketidakpastian ini bukan disebabkan kurang pemahaman
atau kesadaran pilot tentang keadaan pesawat, tetapi kurangnya kesadaran
tentang sistem otomasi.
Dari penelitian
eksperimen di simulator penerbangan, analisis laporan tentang accident (kecelakaan penerbangan) dan serious incident, serta tinjauan
literatur neuroscience dan psikologi
menunjukkan bahwa reaksi patologis diinduksi oleh severe startle (kejutan hebat) yang mengakibatkan stres akut dan
selanjutnya dapat menimbulkan reaksi membeku (freezing) atau menyangkal (denial)
(Martin, et.al., 2013). Dua jenis reaksi yang memberikan konsekuensi individu tidak
bertindak apa-apa ketika seharusnya ia melakukan tindakan tertentu untuk
mengatasi situasi. Reaksi ini kerap terjadi
dan sering tidak disadari. Beberapa ahli berpendapat bahwa severe startle memberikan dampak yang kuat dan serius bagi orang
yang mengalaminya.
Perilaku dalam
bentuk tidak melakukan tindakan apa-apa semacam itu jelas berpotensi memberikan
efek signifikan pada keselamatan penerbangan.
Kondisi tersebut dapat mengakibatkan kondisi pesawat tidak seperti yang
diinginkan, dan akibatnya terjadi serious
incident atau accident. Untuk mengatasinya, diperlukan penelitian
lebih lanjut, terutama untuk mengembangkan intervensi pelatihan yang sesuai di
masa mendatang. Intervensi seperti itu
dapat memvalidasi asumsi bahwa dengan memaparkan pilot pada situasi kritis yang
tidak biasa saat pelatihan di simulator, akan membuat pilot mampu mengembangkan
strategi spesifik dan generik untuk menghadapinya. Idealnya, paparan seperti itu juga akan
menimbulkan self-efficacy yang lebih
besar, dan pada gilirannya akan membuat pilot secara signifikan lebih kecil
kemungkinannya untuk mengalami reaksi stres akut ketika mengalami severe startle pada situasi nyata
(Martin, et.al., 2013).
Pada dasarnya manusia
sangat rentan terhadap reaksi stres akut, yang terjadi ketika menghadapi kejadian
yang tidak terduga, mengancam, dan/atau kritis, di mana beberapa orang gagal
mengatasinya dengan baik. Reaksi stres fisiologis telah terbukti memiliki dampak
yang kuat pada working memory dan
fungsi kognitif lainnya. Pola berpikir yang seharusnya konstruktif seringkali beralih
ke tindakan yang tidak relevan, dan konsekuensinya malah menambah kecemasan.
Reaksi stres akut, yang terkait dengan persepsi terhadap ancaman, dapat
menciptakan situasi di mana pada beberapa orang merasa kewalahan dan/atau mengandalkan
mekanisme coping seperti freezing atau denial.
Lumpuh karena Ketakutan
Reaksi stres akut seperti telah disinggung
sebelumnya, umumnya sering terjadi ketika seseorang menghadapi keadaan darurat
yang mengancam jiwa. Hal ini bisa diamati pada perilaku manusia
ketika menghadapi bencana yang terjadi di suatu tempat. Gempa bumi, banjir,
kebakaran, tenggelamnya kapal, bencana anjungan minyak yang tenggelam atau tumburan
kereta api dapat menimbulkan perilaku yang beraneka ragam. Beberapa penelitian melalui saksi mata dan wawancara terhadap korban dan para penyintas (survivor) melaporkan bahwa mereka melihat orang-orang yang tidak selamat tersebut mengalami kelumpuhan karena ketakutan dan tidak mampu bertindak apa-apa, bahkan ketika mereka seharusnya melakukan tindakan tertentu yang sebetulnya bila dilakukan dapat membantu mereka bertahan hidup. Dari perspektif keselamatan penerbangan,
tidak bertindak apa-apa (inaction)
dalam menghadapi ancaman merupakan kekhawatiran tersendiri. Observasi terhadap
perilaku penumpang pesawat selama evakuasi kecelakaan pesawat, ternyata, polanya
sama. Dalam suatu uji coba simulasi evakuasi penumpang pesawat yang mengalami
kecelakaan, peneliti menemukan perilaku lamban dan pasif ditampilkan oleh
sejumlah penumpang. (Muir, et.al.,
1989 & Muir, et.al., 1996) Suatu studi menunjukkan bahwa 10 hingga 15 persen
orang biasanya menunjukkan perilaku patologis seperti itu ketika dihadapkan
pada situasi yang mengancam jiwanya (Leach, 2004 & U.K. Air Accidents
Investigation Branch, 1988).
Reaksi lamban atau tidak bertindak
apa-apa ini, merupakan reaksi stres akut terhadap stimulus yang sangat
mengancam, yang disebabkan oleh mekanisme freezing
atau denial. Suatu eksperimen oleh
peneliti lain menunjukkan bahwa gangguan kognitif dan dexterity (kecekatan tangan/kaki) umumnya dapat bertahan hingga 30
detik setelah situasi kejut terjadi (Thackray
& Touchstone, 1983; Vlasek, 1969 ; Woodhead, 1969 & Woodhead, 1969). Reaksi-reaksi
ini dapat dianggap tipikal di sebagian kecil populasi orang yang menghadapi
ancaman. Sebagian besar orang berharap
bahwa pilot profesional, yang umumnya terlatih dengan baik, dan berpengalaman, kompeten
serta memiliki kemampuan tanpa cela akan mampu mengatasi situai darurat yang kritis
untuk menghindari bencana. Sayangnya, hal ini tidak selalu sesuai dengan
harapan dan kadang hal ini bukan karena masalah kompetensi.
Kehandalan pesawat yang sangat canggih telah
menjadi keniscayaan, namun temuan resmi dari penyelidikan accident pesawat atau serious
incident lebih sering diwarnai oleh kegagalan manusiawi yang kebetulan melibatkan
pilot. Dalam beberapa kecelakaan fatal yang relatif
baru, temuan menunjukkan bahwa crew atau
pilot telah salah menangani situasi kritis dan gagal me-recover pesawat. Biasanya, hal tersebut karena ada keterlambatan dalam bereaksi/bertindak, atau tindakan yang diambil salah, yang memperburuk masalah. Meskipun pilot aktif secara rutin berlatih menghadapi kegagalan mesin, kebakaran mesin, depresurisasi dan malfungsi sistem utama, serta jenis-jenis peristiwa kritis yang terdapat dalam data kecelakaan (termasuk kecelakaan baru-baru ini) dianggap sebagai peristiwa yang sangat tidak biasa. Pelatihan-pelatihan di simulator telah dilaksanakan dengan melibatkan situasi yang tidak terduga di mana pilot dibuat menjadi sangat terkejut dan/atau kewalahan. Namun, respon terhadap severe startle - atau reaksi stres akut berupa freezing dan denial - tetap terjadi dan kadang diperburuk oleh ekspektasi yang dikondisikan bahwa mereka dalam bertindak tidak mungkin salah (Martin, et.al., 2013).
Proses Reaksi
Inti dari reaksi stres akut terletak pada penilaian (appraisal) seseorang terhadap stimulus
tertentu yang mengancam. Di sini appraisal
diartikan sebagai "suatu proses evaluatif yang menentukan mengapa dan
sejauh mana suatu transaksi atau serangkaian transaksi tertentu antara orang
dan lingkungan itu menimbilkan stres" (Leach,
2004). Para ahli berpendapat bahwa dalam appraisal terlibat dua proses yang berbeda,
yaitu; penilaian primer, yang menentukan tingkat ancaman, dan penilaian
sekunder, yang menentukan cara penanganan yang tepat. Proses ini berlangsung sangat cepat dan biasanya mendahului proses berpikir secara sadar di korteks otak. Fakta ini jelas menguntungkan ketika situasi kritis memerlukan tindakan segera, tetapi di sisi lain fakta tersebut juga dapat menyebabkan reaksi stres akut bersifat patologis yang tidak memberikan jaminan efektivitas tindakan dalam mengatasi situasi.
Ketika
situasi dinilai sebagai ancaman, manusia akan bereaksi secara tak sadar (involuntarily) dengan menerapkan
mekanisme homeostatis emosional (yang dapat menghilangkan stres), atau
mekanisme pertahanan di tingkat sadar dengan fokus pada upaya memperbaiki
masalah. Tindakan di tingkat sadar berupa upaya memperbaiki masalah adalah
metode atau cara yang tepat, yang diekpaktasi dilakukan oleh sebagian besar
pilot di sebagian besar situasi. Namun, jika tidak ada perbaikan segera, atau
situasinya dinilai berlebihan, maka ada kemungkinan muncul beberapa bentuk
mekanisme coping yang bersifat
emosional. Dan perlu diketahui, bahwa coping
emosional sebagian besar bersifat patologis dan dapat berupa perilaku menghindar
(escape), menyangkal (denial), menipu diri (self-deception), atau distorsi realitas
(Lazarus & Folkman, 1984 ; Monat
& Lazarus, 1991). Mekanisme coping jenis ini dapat memberikan efek yang buruk pada information processing, problem solving, dan decision making (Martin, et.al., 2013). Dalam konteks situasi kritis di penerbangan hal
ini akan sangat bermasalah.
Startle atau Kejutan
Refleks kejut (startle reflex) adalah respons
manusiawi yang normal dan universal ketika orang menghadapi stimulus yang tidak
terduga atau mengejutkan. Ketika seseorang menilai suatu stimulus sebagai ancaman, aktivasi sistem saraf
simpatik memicu perubahan yang luas dan cepat dalam tubuh. Gugahan ini, yang
terkait dengan reaksi stres akut, umumnya
dikenal sebagai respon fight or flight
(melawan atau lari) dan telah terbukti berpengaruh secara signifikan pada
proses kognitif dan psikomotorik. Refleks kejut memunculkan pola gerakan melawan (menjauhi stimulus) dan menyelaraskan
perhatian ke sumber stimulus. Proses ini sangat cepat, dengan tanda-tanda
pertama reaksi terjadi hanya dalam 14 milidetik (ms) dalam beberapa tes pada manusia (Simons, 1996. ; Yeomans &
Frankland, 1996). Mengingat
bahwa proses kognitif terhadap rangsangan baru membutuhkan lebih dari 500 ms (Asli & Flaten, 2012), maka reaksi reflektif jelas merupakan
proses bawaan bersifat instinktif dari manusia untuk menghindari bahaya.
Area amygdala di otak, yang terkait erat dengan
memori emosional rasa takut, tampaknya menjadi lokasi penilaian awal terhadap
ancaman. Proyeksi dari amygdala
kemudian memulai refleks kejut dan, jika ancaman terus berlanjut, reaksi kejut
akan menguat. Pada dasarnya, ini masih merupakan respon fight or flight, suatu
proses yang sama terjadi pada reaksi stres akut. Perubahan cepat dalam sistem
tubuh dihasilkan dari gugahan sistem saraf simpatik. Perubahan tersebut diindikasikan
dengan meningkatnya denyut jantung dan pernafasan, mengarahkan lebih banyak
aliran darah ke organ vital, dan memasukkan hormon seperti adrenalin (epinefrin) ke dalam aliran darah.
Perubahan karakteristik lainnya adalah berkedip dan kontraksi otot lengan dan
kaki.
Penelitian
lainnya, menunjukkan bahwa gangguan kognitif dan penurunan dexterity atau kecekatan dapat bertahan hingga 30 detik selama
reaksi terhadap severe startle (Vlasek, 1969 & Woodhead, 1959).
Hal ini mempunyai implikasi yang signifikan karena peristiwa mendadak, tak
terduga, dan kritis adalah khas pada kondisi darurat di penerbangan. Di sejumlah
kasus accident dan serious incident, memperlihatkan bahwa pilot
yang melakukan tindakan kurang efektif pada situasi kritis, mengungkap adanya isu
severe startle yang berkontribusi terhadap
penurunan performance pilot (Martin,
et.al., 2013).
Freezing
Freezing adalah reaksi stres akut
yang merupakan cara yang disadari ataupun tidak disadari untuk menangani
stresor yang berlebihan. Satu studi mengartikan freezing sebagai "mekanisme mengatasi stres yang melibatkan
mekanisme bawah sadar untuk menghilangkan stres, atau ketidakpercayaan yang
disadari bahwa fenomena tersebut benar-benar terjadi" (Leach, 2004). Freezing umumnya merupakan gangguan cukup kuat dalam proses kognitif yang biasanya terintegrasi di dalam otak. Kadang-kadang orang yang mengalami freezing tetap sadar akan apa yang terjadi di sekitar mereka, tetapi tidak mampu mengambil tindakan secara motorik dan/ataupun secara kognitif.
Reaksi seperti ini relatif sering terjadi, dan menjadi catatan penting dalam simulasi kecelakaan dan evakuasi kecelakaan pesawat udara yang sebenarnya. Dari observasi, dalam freezing, proses kognitif diawali oleh rasa takut yang akut, sehingga working memory dikuasai oleh pikiran yang tidak relevan tentang akibat yang menakutkan. "Kelumpuhan" atau "ketakutan yang amat sangat" telah menjadi ingatan umum dari beberapa orang yang selamat dari situasi kritis seperti itu.
Reaksi seperti ini relatif sering terjadi, dan menjadi catatan penting dalam simulasi kecelakaan dan evakuasi kecelakaan pesawat udara yang sebenarnya. Dari observasi, dalam freezing, proses kognitif diawali oleh rasa takut yang akut, sehingga working memory dikuasai oleh pikiran yang tidak relevan tentang akibat yang menakutkan. "Kelumpuhan" atau "ketakutan yang amat sangat" telah menjadi ingatan umum dari beberapa orang yang selamat dari situasi kritis seperti itu.
Tidak seperti denial yang cukup sulit untuk diukur, kebanyakan orang akrab dengan konsep freezing dalam kondisi stres akut. Gejala freezing pada perilaku saat menghadapi ancaman lebih terlihat dan observable. Freezing digambarkan sebagai respons terhadap ancaman yang luar biasa di mana, pada tingkat bawah sadar, otak tidak mampu mengatasi kompleksitas dan bahaya yang ditimbulkan oleh keadaan yang berubah tiba-tiba. Laporan dari para penyintas dari kebakaran anjungan minyak dan sebuah kapal yang tenggelam, misalnya, menggambarkan orang-orang terlihat hanya membeku atau lumpuh dan tidak mampu bertindak apa-apa untuk menyelematkan diri, meskipun ada dorongan atau upaya membantu dari penumpang lain.
Beberapa kasus kecelakaan penerbangan, di alami pilot
yang mengalami freezing dalam situasi
kritis. Captain pilot atau pilot in command
tampaknya mengalami freezing setelah rejected takeoff atau aborted takeoff (Heaslip, et.al., 1991). Dia menutup tuas dorong (thrust levers), tetapi tidak mengerem, ia hanya terpaku menatap
lurus ke depan. Pesawat melaju cepat di ujung landasan pacu pada kecepatan 70
kt, dan menewaskan dua orang. Pada kasus lain (Martin, et.al., 2013), wawancara
terhadap pilot yang pernah mengalami
peristiwa kritis/darurat dalam operasi penerbangan mengungkapkan peristiwa nyata di mana captain pilot mengalami freezing
saat approach. Pesawat terus turun
jauh di bawah jalur luncur (glide path) sampai saat visual pada ketinggian yang
sangat rendah akan menabrak gedung apartemen. Beruntung, saat visual, captain bisa recover, dan mampu melakukan manuver mengelak di menit-menit
terakhir melalui celah yang sempit sehingga dapat menghindari tabrakan dengan bangunan.
Sebelumnya second officer atau co-pilot sudah berulang kali berusaha mengingatkan
captain bahwa ia menyimpang dari glide path, ia juga sudah mencoba
beberapa kali mengambil alih kontrol dan tidak berhasil sampai ia memukul captain untuk mengambil alih kontrol. Wawancara dari subjek lainnya menggambarkan situasi di mana seorang siswa pilot militer, ketika berlatih spin dengan rotasi tinggi, hanya membeku selama recover dari spin. Siswa pilot tidak responsif, dan membuat pilot instruktur harus memukul siswa secara fisik untuk membuatnya melepaskan pegangan pada kontrol. Recover yang sukses akhirnya dapat dilakukan jelang ketinggian bailout.
Denial
Denial (penyangkalan) juga merupakan mekanisme
coping yang bersifat emosional, seperti
freezing. Ini merupakan proses manusiawi yang sangat
mendasar. Ketika seseorang menilai stimulus sebagai ancaman dan tekanan, maka
mekanisme untuk mengatasi ancaman tersebut dapat berbentuk penyangkalan atau mengabaikan
stimulus yang mengancam tersebut (Martin, et.al., 2013).
Denial tampaknya juga merupakan mekanisme di bawah sadar, ketika orang menghadapi gangguan yang mengancam jiwa. Ada beberapa orang yang mengabaikan ancaman untuk beberapa waktu daripada harus memikirkan kematian yang penuh tekanan. Menyangkal adanya ancaman mungkin mungkin sangat efektif dalam menghilangkan stres. Hal ini terjadi ketika aliran informasi penting tidak diproses sebagai bagian dari mekanisme penanganan stres akut ini.
Denial bisa menjadi masalah ketika situasi seperti cuaca yang memburuk atau status pesawat menambah ancaman. Stresor yang berkembang cepat, yang memungkinkan teradinya denial, umumnya lebih diperhatikan dalam situasi kritis. Karena denial dapat menimbulkan implikasi yang lebih parah dalam situasi kritis sehingga diperlukan analisis yang cermat dan penyelesaian masalah secara logis. Wawancara terhadap pilot maskapai dalam penelitian ini (Martin et.al., 2013) mengungkapkan bahwa denial dalam jangka pendek relatif umum terjadi dalam situasi ini, responden melaporkan bahwa mereka pernah mengalami beberapa tingkat denial, setidaknya 15 dari 45 peristiwa yang mereka ingat. Umumnya merupakan denial jangka pendek, dan itu tidak menimbulkan konsekuensi bencana. Namun, yang menimbulkan pertanyaan adalah berapa banyak kecelakaan fatal yang terjadi karena kontribusi pilot mengalami denial, misalnya pilot tidak berhasil me-recovery keadaan pesawat saat mengadapi masalah atau recovery-nya tertunda terlalu lama.
Denial tampaknya juga merupakan mekanisme di bawah sadar, ketika orang menghadapi gangguan yang mengancam jiwa. Ada beberapa orang yang mengabaikan ancaman untuk beberapa waktu daripada harus memikirkan kematian yang penuh tekanan. Menyangkal adanya ancaman mungkin mungkin sangat efektif dalam menghilangkan stres. Hal ini terjadi ketika aliran informasi penting tidak diproses sebagai bagian dari mekanisme penanganan stres akut ini.
Denial bisa menjadi masalah ketika situasi seperti cuaca yang memburuk atau status pesawat menambah ancaman. Stresor yang berkembang cepat, yang memungkinkan teradinya denial, umumnya lebih diperhatikan dalam situasi kritis. Karena denial dapat menimbulkan implikasi yang lebih parah dalam situasi kritis sehingga diperlukan analisis yang cermat dan penyelesaian masalah secara logis. Wawancara terhadap pilot maskapai dalam penelitian ini (Martin et.al., 2013) mengungkapkan bahwa denial dalam jangka pendek relatif umum terjadi dalam situasi ini, responden melaporkan bahwa mereka pernah mengalami beberapa tingkat denial, setidaknya 15 dari 45 peristiwa yang mereka ingat. Umumnya merupakan denial jangka pendek, dan itu tidak menimbulkan konsekuensi bencana. Namun, yang menimbulkan pertanyaan adalah berapa banyak kecelakaan fatal yang terjadi karena kontribusi pilot mengalami denial, misalnya pilot tidak berhasil me-recovery keadaan pesawat saat mengadapi masalah atau recovery-nya tertunda terlalu lama.
Hasil wawancara dengan para pilot menunjukkan
bahwa pada periode denial yang
singkat seperti itu tidak biasa, meskipun dalam semua situasi yang dibahas oleh
responden, denial yang berlangsung
singkat dapat diatasi ketika proses rasional dimulai. Denial, jika terus berlanjut,
bisa sangat merugikan, meskipun belum ada informasi yang jelas dari data penyelidikan
kecelakaan tentang sejauhmana mekanisme denial
terlibat sebagai penyebab kecelakaan. Namun, ada beberapa contoh di mana pilot tidak mengambil tindakan pada saat intervensi tertentu diperlukan, menunjukkan bahwa denial setidaknya merupakan satu kemungkinan. Diperlukan penelitian lebih lanjut di bidang ini.
Seorang ahli dalam subjek ini berupaya menggambarkan taksonomi patologis dalam tujuh tahap mekanisme denial (Breznitz, S. 1983), yaitu; denial terhadap relevansi, denial terhadap urgensi, denial terhadap kerentanan, denial terhadap afek, denial terhadap relevansi afek, denial terhadap informasi yang mengancam, dan denial terhadap informasi. Tahap awal atau denial terhadap relevansi perlu diwaspadai dalam konteks penerbangan, sedangkan tahap terakhir atau ketika informasi yang mengancam atau semua informasi disangkal, maka kondisi ini sangat mengkhawatirkan dalam konteks keselamatan penerbangan.
Sebagai rangkuman, jika situasi kritis muncul selama operasi penerbangan tetapi pilot secara tidak sadar menyangkal isyarat adanya ancaman, maka secara substansial kemungkinan recovery akan berkurang.
Seorang ahli dalam subjek ini berupaya menggambarkan taksonomi patologis dalam tujuh tahap mekanisme denial (Breznitz, S. 1983), yaitu; denial terhadap relevansi, denial terhadap urgensi, denial terhadap kerentanan, denial terhadap afek, denial terhadap relevansi afek, denial terhadap informasi yang mengancam, dan denial terhadap informasi. Tahap awal atau denial terhadap relevansi perlu diwaspadai dalam konteks penerbangan, sedangkan tahap terakhir atau ketika informasi yang mengancam atau semua informasi disangkal, maka kondisi ini sangat mengkhawatirkan dalam konteks keselamatan penerbangan.
Sebagai rangkuman, jika situasi kritis muncul selama operasi penerbangan tetapi pilot secara tidak sadar menyangkal isyarat adanya ancaman, maka secara substansial kemungkinan recovery akan berkurang.
Referensi :
1.
Asli, O.,
and Flaten, M.A. 2012. “In the blink of an eye: Investigating the role of
awareness in fear responding by measuring the latency of startle
potentiation.” Brain
Science 2: 61–84.
2. Breznitz, S.
1983. “The seven kinds of denial.” In S. Breznitz (Ed.). The Denial of Stress. New York: International
Universities Press.
3. Duckworth,
K.L.,. Bargh, J.A, Garcia, M., and Chaiken, S. 2002. “The automatic evaluation
of novel stimuli.” Psychological
Science 13: 513–519.
4. Folkman, S.,
Lazarus, R.S., Dunkel-Schetter, C., DeLongis A., and Gruen, R.J. 1986. “Dynamics
of a stressful encounter: Cognitive appraisal, coping, and encounter
outcomes.” Journal of
Personality and Social Psychology 50 (5): 992–1003.
5. Fritz, C.E.,
and Marks, E.S. 1974. “The NORC studies of human behaviour in disaster.” Journal of Social Issues 10 (3): 26–41.
6. Heaslip,
T.W., N. Hull, R.K. McLeod, and R.K. Vermil. 1991. “The frozen pilot syndrome.” In Proceedings
of the 6th International Symposium on Aviation Psychology, Columbus, Ohio: 782–787.
7. King, G.G., 1994. General Aviation Training for “Automation
Surprise”. Metropolitan State College of Denver.
8. Lazarus, R.S. 1966. Psychological Stress and the Coping Process. New York: McGraw-Hill.
9. Lazarus, R.S., and S. Folkman. 1984. Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer.
10. Leach, J. 2004. ‘“Why People ‘Freeze’ in an Emergency:
Temporal and Cognitive Constraints on Survival Responses.” Aviation, Space, and Environmental Medicine 75
(6): 539–542.
11.
Le Doux,
J.E. 2000. “Emotion circuits in the brain.” Annual Review of Neuroscience 23: 155–184.
12. Martin, W.L., Murray, P.S., and Bates, P.R. 2010. “The
effects of stress on pilot reactions to unexpected, novel, and emergency
events.” In Proceedings
of the 9th Symposium of the Australian Aviation Psychology Association, Sydney,
19–22 April, 2010.
13. Martin, W.L., Murray, P.S., and Bates, P.R. 2013. “Pathological reactions: Researchers explore
pilot impairment from severe startle, freezing and denial during unexpected
critical events”. Flight Safety Foundation. Alexandria, Virginia 22314. https://t.co/4JmE7b7V1T. November 27, 2019.
14. Monat, A., and R.S. Lazarus. 1991. Stress and Coping. New York: Columbia
University Press.
15. Muir, H.C., C. Marrison, and A. Evans. 1989. “Aircraft
evacuations: The effect of passenger motivation and cabin configuration
adjacent to the exit.” London, U.K.: Civil Aviation Authority, CAA Paper 89019.
16. Muir, H.C., D.M. Bottomley, and C. Marrison. 1996.
“Effects of cabin configuration and motivation on evacuation behaviour and
rates of egress.” International
Journal of Aviation Psychology 6 (1) 57–77.
17. Simons, R.C. 1996. Boo!: Culture, experience, and the startle reflex. U.S.:
Oxford University Press.
18. U.K. Air Accidents Investigation Branch. 1988. “Report
on the accident to Boeing 737-236 Series 1, G-BGJL at Manchester International
Airport on 22 August 1985 (Aircraft Accident Report 8/88).” London: Her
Majesty’s Stationery Office.
19. Vlasek, M. 1969. “Effect of startle stimuli on
performance.” Aerospace
Medicine 40: 124-128.
20. Woodhead, M.M. 1959. “Effect of brief noise on
decision making.” Journal of
The Acoustic Society of America 31: 1329–1331.
21. Woodhead. 1969. “Performing a visual task in the
vicinity of reproduced sonic bangs.” Journal of Sound Vibration 9: 121–125.
22. Wolfe, T. 2001. The Right Stuff. New York: Bantam Books.
23. Yeomans, J.S., and Frankland, P.W. 1996. “The acoustic
startle reflex: Neurons and connections.” Brain Research Reviews 21: 301-314.