Automation di Lingkungan Penerbangan yang Kompleks dan Dinamis
Widura Imam Mustopo
Lingkungan kerja yang kompleks dan dinamis seperti pada
lingkungan industri penerbangan tidak dapat diingkari melibatkan teknologi
canggih dan perangkat komputer sebagai indikasi diterapkannya otomasi. Peningkatan kemampuan
peralatan dalam bentuk otomasi pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan
informasi yang lebih akurat, sehingga manusia dapat bekerja lebih efisien dan
efektif. Semakin
besar tingkat otomasi akan semakin besar manfaatnya, terutama untuk mengurangi
beban kerja operator dan menurunkan kemungkinan kesalahan manusia.
Dalam hubungan manusia-mesin, otomasi
dapat dipandang sebagai
perangkat yang membantu
pemrosesan informasi (information processing) manusia. Kemajuan sistem otomasi banyak dimanfaatkan
untuk membantu operator dalam menerima dan memproses
informasi. Konsekuensi digunakannya
otomasi seringkali mengubah secara fundamental cara kita melakukan suatu pekerjaan. Namun yang
perlu dipahami bahwa konsep dasar pemanfaatan otomasi lebih untuk membantu
operator, dalam hal ini pilot, bukan menggantikankan fungsi pilot.
Selain itu, otomasi sebagai suatu sistem, berada dalam sistem kerja atau sistem
penerbangan. Jadi, di sini sistem otomasi merupakan bagian di dalam sistem
penerbangan. Ketika sistem otomasi diaktifkan
akan memberikan dampak tindakan berurutan ke sistem lainnya sesuai ketentuan fungsi
sistem secara keseluruhan.
Tulisan berikut ini berupaya
mengungkapkan penjelasan ringkas mengenai keterkaitan antara otomasi di
lingkungan kerja yang kompleks dan dinamis dengan berbagai dampaknya bagi
manusia sebagai pengguna.
Manfaat Otomasi
Di lingkungan penerbangan saat ini, dapat
dikatakan pilot bergantung pada
sistem avionik dan otomasi canggih yang terkait dengan
operasi
pesawat udara modern. Kondisi ini membuat kendali
yang mendasar terhadap pesawat udara
dan monitor instrumen di dalam kokpit yang biasanya dilaksanakan secara
manual oleh manusia menjadi berkurang. Penelitian menunjukkan bahwa ketergantungan pilot pada kehandalan dan kemampuan autopilot
ternyata jauh lebih besar daripada antisipasi di awal diciptakannya autopilot. Padahal autopilot dapat gagal dan tidak
berfungsi seperti yang diharapkan ketika terjadi
anomali pada sistem lainnya. Keadaan ini pada dasarnya tergantung
kembali pada bagaimana hubungan antar berbagai sistem yang terdapat dalam pesawat udara, dan informasi apa saja yang dapat dimanfaatkan.
Kondisi serupa terjadi juga di Air Traffic Controler (ATC). Teknologi
canggih dalam program NextGen FAA
menyediakan peralatan yang ditingkatkan kemampuannya untuk mendukung para
petugas kontrol lalu lintas udara atau dikenal sebagai Air Traffic Controler. Peningkatan kemampuan peralatan dalam bentuk
otomatisasi pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan informasi yang lebih
akurat kepada petugas kontrol lalu lintas udara, sehingga mereka dapat
mengelola lebih banyak lalu lintas penerbangan dan mampu membuat keputusan yang
efektif berdasarkan proyeksi yang akurat.
Asumsi dibalik penggunaan sistem komputerisasi
adalah bahwa semakin besar tingkat otomasi akan semakin besar manfaatnya,
terutama untuk mengurangi beban kerja operator dan menurunkan kemungkinan terjadinya
kesalahan manusia (human error). Namun di sisi lain, otomasi dapat
meningkatkan beban kerja kognitif pada operator, terutama bila hal ini
dilakukan secara tidak proporsional pada saat situasi kritis ketika beban kerja
meningkat. Mengapa hal ini terjadi, kemungkinan
karena otomasi dirancang secara buruk sehingga bekerjanya sistem bertentangan
dengan tujuan otomasi. Kondisi ini akan terjadi ketika mesin (sistem) dan
manusia gagal berkomunikasi dan bekerja sama. Akibatnya, mereka gagal untuk
bekerja sebagai sebuah tim.
Seiring berjalannya waktu, transisi
ini akan mengubah peran petugas pengontrol lalu lintas udara, seperti
"sistem di dalam sistem" yang mencakup jaringan kerja lalu lintas
udara. Petugas pengendali lalu lintas udara mungkin akan menghadapi pola tugas
yang tidak lagi terlibat secara taktis mengendalikan setiap penerbangan, tetapi
mereka dalam bekerja akan lebih ke arah mengelola (me-manage) lalu lintas penerbangan.
Petugas baru bertindak secara langsung ketika mendapati operasi berjalan
tidak sesuai rencana atau ketika terjadi sesuatu hal yang tidak terduga.
Untuk membantu mengatasi masalah ini,
perusahaan biasanya menyiapkan prosedur dan pelatihan khusus untuk memastikan
bahwa pilot dan/atau air traffic
controler dapat memantau manuver atau pergerakan pesawat setiap saat dalam berbagai kondisi. Tuntutan pada operator bisa sangat tinggi di
lingkungan kerja yang kompleks, dinamis dan sensitif terhadap waktu seperti di
lingkungan kerja para pengawas lalu lintas udara, cockpit pesawat, dan/atau di pembangkit tenaga nuklir. Semakin
canggih suatu sistem maka sistem monitor dan sistem kendali harus beralih ke
otomasi yang dikendalikan komputer untuk memberikan dukungan dan panduan kepada
operator manusia dalam situasi kerja seperti ini.
Otomasi dan Relasi
Manusia-Mesin
Pada dasarnya, otomasi dipandang sebagai cara
terbaik untuk membantu operator dalam menerima dan memproses aliran data yang
kompleks khas lingkungan kerja yang melibatkan teknologi tinggi. Seperti telah disinggung sebelumnya, konsekuensi digunakannya
otomasi seringkali mengubah secara fundamental cara manusia melaksanakan suatu pekerjaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pemanfaatan
teknologi baru akan selalu memberikan konsekuensi efek yang kompleks. Kondisi tersebut
tidak cukup hanya diantisipasi dengan mengganti satu media dengan media yang
lain, misalnya strip penerbangan berbasis kertas diganti dengan panduan berbasis
layar monitor, sembari dalam tindakan atau dalam melakukan tugas tetap bertahan
pada cara lama. Perubahan teknologi umumnya
memberikan konsekuensi yang mengarah kepada perubahan suatu set yang kompleks,
baik di tingkat kerja organisasi maupun individu. Sifat dan sejauh mana efek
transformasi dari perubahan ini sering tak terduga dan tidak jarang disalahpahami.
Perilaku yang menghasilkan kegagalan dalam relasi
manusia-mesin sebenarnya tidak berbeda dengan perilaku manusia yang menyebabkan
hambatan dalam kerja sama tim atau kerja sama antar rekan. Tidak jarang difungsikannya otomasi menimbulkan
kesulitan dalam komunikasi dan kerjasama tim. Pola komunikasi dan kerjasama dalam tim perlu disesuaikan
dengan sistem yang berlaku. Oleh karena
itu desain sistem otomasi harus benar-benar merupakan desain sebuah sistem kooperasi
manusia-mesin. Membuat otomasi sebagai pemain tim membutuhkan perhatian yang lekat
dengan konteks di mana perangkat akan digunakan, dan jenis tugas yang akan ditampilkan
pengguna. Bila hal ini tidak diwaspadai, maka yang terjadi bukan otomasi mengurangi
kemungkinan terjadinya kesalahan manusia, tetapi otomasi malah dapat
menyebabkan kegagalan jenis baru pada sistem, yang sebelumnya tidak ada.
Tantangan Otomasi
Tantangan yang terkait dengan menerapkan otomasi dalam sistem apapun adalah mengembangkan kiat-kiat atau cara-cara untuk membuat manusia tetap sadar terhadap kinerja sistem. Operator harus memiliki akses "tepat-waktu" ke informasi sistem yang sesuai dalam format yang mendukung asesmen kinerja sistem secara akurat. Ini diperlukan agar manusia sebagai operator dapat secara efektif masuk (atau bertindak) ketika ia dibutuhkan untuk intervensi.
Dalam kebanyakan kasus, sebenarnya sistem otomasi mampu beroperasi dengan sangat baik bahkan tanpa keterlibatan operator manusia – sesuai dengan tujuan dari diterapkannya otomasi. Namun, ada keadaan ketika otomasi tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan, atau ketika situasi yang muncul mengharuskan perubahan dari otomasi ke manual. Paradoksnya, justru karena otomasi menjalankan banyak fungsi sistem secara rutin yang membuat operator tidak selalu waspada dan siap untuk bertindak ketika dibutuhkan.
Sebagai contoh, umumnya pengemudi mobil yang mengandalkan GPS ketika menuju suatu lokasi akan menjalankan kendaraannya sesuai instruksi GPS, walaupun mungkin mengikuti GPS bukan tindakan yang paling atau selalu tepat. Contohnya, GPS menginstruksikan pengemudi belok kanan karena sistem navigasi satelit "menyarankan" itu, meskipun sebenarnya manuver itu dilarang karena ada rambu jalan melarang untuk belok kanan. Dalam kasus ini, ketergantungan pada otomasi mungkin merupakan kasus "tidak membahayakan, dan tidak salah" – asalkan tidak ada polisi yang mengamati perilaku tersebut. Pada contoh di atas, instruksi GPS perlu menyertakan peringatan bahwa operator tetap bertanggung jawab atas semua tindakan, dan/atau rambu jalan yang melarang belok kanan sudah terlihat sangat jelas. Jadi, orang memang dituntut mempercayai otomasi, namun dalam beberapa situasi tertentu mereka tetap lebih baik mengandalkan pertimbangan mereka sendiri.
Kepercayaan pada Otomasi
Sistem otomasi yang tingkat kehandalannya sangat baik, membuat operator sangat percaya bahwa otomasi tidak mungkin gagal. Terkait dengan isu “kepercayaan” pada sistem otomasi, merupakan pertanyaan besar, karena kepercayaan pada otomasi adalah masalah yang kompleks. Terkadang ada ketidaksesuaian antara kemampuan aktual suatu sistem dengan apa yang diyakini pengguna pada kemampuan sistem. Kemampuan ini dipengaruhi oleh pengalaman pengguna sebelumnya dengan sistem. Pengguna cenderung mempercayai otomasi yang membantu mereka mencapai tujuan - tetapi dalam situasi yang tidak pasti, atau ambigu atau tidak biasa, pengguna dan otomasi mungkin bekerja dengan tujuan yang berbeda.
"Kepercayaan" dalam otomasi juga dapat berarti sesuatu hal yang berbeda bagi orang yang berbeda. Misalnya, seseorang yang memiliki keyakinan bahwa sistem alarm yang berbunyi adalah bukan alarm palsu, berbeda dengan pengguna yang memiliki keyakinan buta bahwa keputusan otomasi pasti benar, bahkan bila dihadapkan pada informasi atau fakta yang bertentangan. Dalam beberapa hal, ada peran budaya dan perbedaan generasi usia dalam penggunaan dan kepercayaan terhadap teknologi dan otomasi. Suatu penelitian di penerbangan mengungkapkan bahwa pilot yang lebih senior cenderung tidak mudah percaya pada sistem komputer yang lebih baru dibandingkan dengan pilot yang lebih muda, sehingga mereka lebih kesulitan beradaptasi dengan kemajuan otomasi.
Memahami bagaimana otomatisasi terkini atau terbaru akan berinteraksi dengan manusia yang memproses dalam memperoleh dan menganalisis informasi, dan membuat keputusan serta melaksanakannya, menjadi hal yang sangat penting dalam merancang perangkat dan alat yang mendukung manusia sebagai pengguna otomasi.
Seperti dalam kasus di ATC, petugas pengontrol tidak akan menggunakan sistem otomasi yang tidak mereka percayai, namun berinteraksi dengan otomasi adalah satu-satunya cara petugas pengontrol dapat mengembangkan kepercayaan pada sistem. Memperkenalkan versi teknologi yang tepat kepada sekelompok orang yang tepat pada waktu yang tepat sangat penting untuk mencapai implementasi operasional yang sukses.
Compalcency Otomasi
Kepercayaan yang sangat besar pada kehandalan sistem otomasi dapat memberikan konsekuensi terjadinya complacency (kepuasan) terhadap otomasi yang berdampak kurang menguntungkan secara psikologis pada manusia operator. (Parasuraman, Molloy, & Singh, 1993) Setidaknya terdapat dua efek complacency, tidak memperhatikan penerbangan secara umum karena mengandalkan otomasi, dan tidak melakukan monitoring pada fase kritis ketika autopilot difungsikan. Di sini terlihat bahwa umumnya complacency dapat menyebabkan menurunnya monitoring operator terhadap sistem dan memungkinkan menurunnya kemampuan mendeteksi kegagalan fungsi sistem. Dan, ketidak pengalaman menghadapi kerusakan sistem selama operasi penerbangan berlangsung normal akan menurunkan keterampilan awak pesawat dalam menangani terjadinya kegagalan otomasi.
Studi tentang complacency otomasi melibatkan proses kognitif, di mana umumnya terjadi pada situasi kondisi beban kerja multi-tugas ketika tugas manual dan tugas otomasi secara bersama menuntut perhatian operator. Gejala ini bisa ditemukan baik pada operator yang baru (yunior) ataupun pada operator ahli berpengalaman. Complacency otomasi dapat berdampak pada terjadinya kesalahan karena keliru dalam bertindak (error of commision).
Kejutan Otomasi
Kejutan otomasi terjadi
ketika sesuatu di dalam pesawat tiba-tiba menyimpang dari performa yang
diharapkan. Sebagai bagian dari sistem, maka sistem otomasi bergabung secara terintegrasi
dalam sistem kendali dan operasi pesawat udara yang kompleks. Sebagai sistem yang bekerja secara terintegrasi,
masing-masing sub-sistem akan saling berhubungan dengan meneruskan informasi
dan memberikan umpan balik atau feed-back. Kadang kala, umpan balik antar sistem tidak
berlangsung memadai.
Terdapat dua isu tipe kejutan otomasi di
kokpit pesawat. Pertama, bila ada peristiwa
yang tidak terduga atau tanpa instruksi/perintah, dan biasanya merupakan
perubahan sistem baik sudah dikenal atau tidak dikenal oleh pilot. Contohnya, perubahan
tak terduga pada mode navigasi dari mode "NAV" ke mode
"PIT" atau "DR". Tipe
kedua, kejutan otomasi yang terjadi sebagai hasil tak terduga dari perubahan
yang diperintahkan, seperti dalam kasus autopilot
gagal menangkap informasi ketinggian pesawat ketika pilot memperoleh input (dan
mengharapkan) ke level yang telah dipilih sebelumnya. Dalam kedua kasus
tersebut, pilot menemukan perbedaan, ia menjadi bingung sesaat dan, seringkali,
tidak memiliki ide tentang tindakan apa yang harus diambil untuk memperbaiki
situasi. Kebingungan dan ketidakpastian ini bukan akibat dari kurangnya
pemahaman atau kesadaran tentang keadaan pesawat, tetapi kurangnya kesadaran
tentang kondisi otomasi.
Di sisi lain, tidak dipungkiri
beberapa sistem otomasi di desain secara ceroboh (Boehm-Davis, D. A.,
Holt, R. W., Diez, M., & Hansberger, J. T., 2002). Sehingga pilot tidak memiliki ide apa-apa yang harus dilakukan untuk mengatasi keadaan. Laporan Advanced Technology Aircraft Safety Survey ATSB/BASI (Australian Transport Safety Bureau/Bureau of Air Safety Investigation) terhadap 1,200 pilot di Asia-Pasifik, mengungkapkan
bahwa 21% pilot yang disurvei melaporkan bahwa mereka
khawatir sistem otomasi “mungkin
melakukan sesuatu yang mereka tidak ketahui”.
Efek kejutan otomasi dapat menyebabkan gangguan atau hambatan secara psikologis yang dapat menyebabkan bencana dalam bentuk kecelakaan. Terdapat beberapa gejala psikologis yang perlu diwaspadai karena dampaknya pada performa operator. Menganai topik ini akan diulas secara khusus pada tulisan lain.
Penutup
Demikian penjelasan ringkas mengenai otomasi
di lingkungan kerja penerbangan yang kompleks dan dinamis. Penggunaan sistem otomasi sesuai tujuannya, terutama
untuk mengurangi beban kerja operator dan menurunkan kemungkinan terjadinya kesalahan
manusia. Namun demikian, di sisi lain berbagai dampaknya memberikan tantangan
tersendiri. Desain sistem otomasi harus benar-benar
mengikuti kaidah desain sistem kooperasi manusia-mesin. Bila hal ini tidak
diwaspadai, maka yang terjadi bukan otomasi mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan
manusia, melainkan dapat menyebabkan kegagalan jenis baru pada sistem, yang
sebelumnya tidak ada.
Referensi:
Baker, J. (2018). The Role of Automation in Air Traffic Control. https://airport.nridigital.com/ air_aug18/the_role_of_automation_in_air_traffic_control
Boehm-Davis, D.A., Holt, R.W., Diez, M., and Hansberger, J.T. (2002). Developing and Validating Cockpit Interventions Based On Cognitive Modeling. Proceedings of The 24th Annual Meeting of The Cognitive Science Society. Fairfax, VA.
Departement of Transport and Regional Development Bureau of Air Safety Investigation (1998). Advanced Technology Aircraft Safety Survey Report. ISBN 0 642 27456 8 June 1998. This report was produced by the Bureau of Air Safety Investigation (BASI).
Orlady, H. and Orlady, L. (1999). Human Factors in Multi-Crew Flight Operations. Brookfield: Ashgate Publishing Ltd.
Parasuraman, R., Molloy, R., and Singh, I.L., (1993). Performance Consequences of Automation Induced Complacency. International Journal of Aviation Psychology. 3 (1), 1-23. https://doi.org/10.1207/s15327108ijap0301_1.
Pervez, S. and Ur-Rehman, S.K. (2017). Impact of Automation in Aviation. A Research Project Submitted to Aviation Department in Partial Fulfillment of Requirement of Degree of Aviation Management, Department of Aviation Management, Department of Institute of Aviation Studies. University of Management and Technology. Lahore: Johar Town.
Wiener, E.L., and Curry, R.E. (1980). Flight-Deck Automation: Promises and Problems. NASA (National Aeronautics & Space Administration). Ames Research Center. Moftel: Field California.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar