Bertujuan untuk memperkenalkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan terapan psikologi di bidang penerbangan.
Kamis, 19 Juli 2012
Senin, 23 April 2012
FAKTOR PSIKOLOGI PADA FATIGUE DAN KONSEKUENSINYA TERHADAP KESELAMATAN PENERBANGAN
Pengertian
Macam Fatigue
Short-term fatigue, sering dihubungan dengan kelelahan yang biasanya dikaitkan dengan kurang tidur atau
istirahat, kerja fisik atau mental yang berlebihan, periode waktu tugas yang lama, kurang asupan, atau jet lag.
Short-term fatigue relatif mudah dikenali dan dapat diatasi dengan tidak terbang dan beristirahat yang cukup.
Long-term fatigue atau fatigue bersifat kronis lebih sulit dikenali. Fatigue jenis ini dapat muncul dari sejumlah
penyebab yang bervariasi termasuk ; tidak fit baik fisik maupun mental, kondisi stres baik karena masalah
pekerjaan ataupun rumah tangga, kekhawatiran finansial dan beban kerja. Fatigue ini juga dapat bersifat subjektif,
artinya ada penerbang yang memiliki toleransi yang cukup tapi lainnya tidak, bisa juga terjadi pada seorang
penerbang dimana saat ini ia lebih toleran terhadap fatigue waktu dari sebelumnya. Bagi siapa saja yang mengalami fatigue yang bersifat kronis, tidak terbang adalah tindakan yang bijaksana.
Sebab-sebab Fatigue
- Jadual waktu kerja dan istirahat yang menyebabkan circadian desynchronization.
- Posisi duduk yang terbatas dalam durasi penerbangan yang lama.
- Kekurangan nutrisi dan cairan yang berhubungan dengan terbatasnya asupan.
- Cockpit ergonomics and equipment yang tak nyaman.
- Noise atau kebisingan.
- Vibration.
- Hypoxic environments, perubahan tekanan atmosfer, tingkat kelembaban dan perubahan temperatur.
- Akibat dari zat-zat dan obat-obatan tertentu, seperti; caffeine, alkohol, antihistamines, dsb.
- Accelerative forces and G-related stress.
- Stres-stres psikologis yang berhubungan dengan situasi kerja maupun misi-misi penerbangan khususnya di lingkungan militer.
Penyelidikan Kasus-kasus Kegagalan Penerbangan Akibat Fatigue
Fatigue dan Mental Block serta Penyempitan Rentang Perhatian. Hubungan antara pengalaman kecelakaan pesawat terbang dan situasi yang berkaitan dengan fatigue (shift kerja yang panjang, istirahat yang kurang memadai, dsb.) sebenarnya telah dibuktikan oleh Mc. Farlan, seorang peneliti di bidang penerbangan. Dalam laporan penelitiannya ia menyimpulkan bahwa bila penerbang mengalami fatigue di luar batas kemampuannya akan meningkatkan frekuensi dari “personnel error” (seperti lupa, tidak akurat dalam mengendalikan pesawat, dsb). Salah satu efek fatigue yang meningkat tajam, mengakibatkan apa yang dikenal dengan “mentalblock”. Aspek mental yang berkaitan dengan hambatan dalam mengingat dan menurunnya daya assosiatif. Dan hal ini dapat terjadi ketika seseorang sedang melakukan tugas-tugas yang relatif mudah sekalipun. Konsekuensinya, nama yang akrab menjadi tak teringat, dan detil yang penting tidak terperhatikan, walaupun sesaat sebelumnya ia mampu mengingat dengan baik. Kondisi seperti ini merupakan isyarat yang perlu diwaspadai, bahwa yang bersangkutan tidak siap untuk berfikir dan bertindak efisien.
Fatigue dan Fleksibilitas dalam Pengambilan Keputusan. Pengambilan keputusan merupakan salah satu mata rantai yang penting dalam tindakan penerbangan. Lebih-lebih bila penerbang menghadapi situasi emergency. Kondisi fatigue yang dialami penerbang dapat mengakibatkan dampak yang sangat merugikan di bidang ini(Rosekind, et.al 2003).
Fatigue dan “End Deterioration”. Efek fatigue lainnya yang menarik untuk diamati adalah kekeliruan atau kesalahan-kesalahan yang muncul bila penerbang mulai mendekati atau memasuki tempat pendaratan. Efek ini sering disebut “end deterioration” (Dhenin, et.al., 1978). Suatu kecenderungan kegagalan penerbang yang meningkat pada tahap-tahap akhir penerbangan. Interpretasi dari efek ini ialah kelelahan penerbang yang tak tertahan lagi untuk relaks atau beristirahat bila pesawat terbang mendekati akhir penerbangan.
Fatigue dan “Series of error”. Efek fatigue tidak saja mengakibatkan kecelakaan pada akhir suatu sorti penerbangan. Ia bisa juga terjadi ketika lepas landas atau tak berapa lama setelah lepas landas. Hal ini biasanya disebabkan oleh suatu seri kesalahan (“series of error”) sejak persiapan penerbangan saat masih di darat. Dari suatu misi penerbangan yang panjang, para awak pesawat tiba dengan selamat di suatu pangkalan untuk beristirahat dan keesokan harinya akan melanjutkan penerbangan, mungkin melakukan penerbangan untuk kembali ke home base, atau melanjutkan penerbangan ke pangkalan terdepan dalam misi operasi lainnya. Diharapkan pada malam sebelumnya penerbang (dan awak pesawat lainnya) dapat memanfaatkan waktu untuk beristirahat. Tetapi sering kali keterbatasan waktu membuat tidak mungkin beristirahat secara memadai, atau pada kasus lainnya penerbang tidak memanfaatkan waktu istirahatnya dengan baik. Keadaan seperti ini jelas tidak menguntungkan kondisi fisik maupun mental yang bersangkutan. Kondisi fatigue yang disebabkan waktu istirahat yang terganggu atau tidak dimanfaatkan dengan baik setelah suatu penerbangan yang panjang dapat mengakibatkan menurunnya kewaspadaan dan kelambanan reaksi. Lebih jauh lagi bila kondisi tersebut sudah mempengaruhi pola dan sistimatika berfikir, maka sedikit banyak akan mempengaruhi persiapan dan perencanaan penerbangan.Hasil penelitian dari “series of error” (Angus et.al., 1985) yang berkaitan dengan terjadinya kecelakaan pesawat terbang dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain ; Kecenderungan kekeliruan dalam membuat persiapan penerbangan ; Penerbang melakukan error yang serius dalam memperkirakan ketahanan penerbangan ; Keliru dalam mengamati penyelurusan ketika memasuki ketinggian tertentu pada saat merencanakan penerbangan ; Keliru ketika mencek navigasi karena perkiraan posisi yang salah ; Keliru dalam mempertahankan ketinggian yang aman ; Kesalahan ketika penerbang secara prematur mulai menurunkan ketinggian.
Upaya Pencegahan Penurunan Performance Karena Fatigue
- Menerima bahwa fatigue merupakan potensi yang dapat menimbulkan masalah.
- Rencanakan tidur/istirahat secara proaktif (rencanakan tidur/istirahat sebelum melaksanakan aktivitas berdurasi lama/panjang).
- Manfaatkan olah raga (exercise) sebagai bagian untuk relaksasi dan jaminan bahwa kita dalam kondisi fit.
- Kendalikan emosi dan kehidupan psikologis.
- Yakinkan diri bahwa kondisi kokpit nyaman.
- Yakinkan diri bahwa telah tersedia makanan dan minuman yang cukup untuk penerbangan yang panjang.
- Yakinkan diri bahwa tempat duduk sudah disesuaikan (adjusted).
Penutup
Jumat, 23 September 2011
"Fear of Flying"
Widura IM
Pendahuluan
Studi dalam bentuk penelitian tentang takut terbang atau fear of flying termasuk jarang dilakukan. Salah satu penelitian yang paling penting tentang takut terbang dilakukan pada tahun 1980 ketika dua peneliti dari perusahaan industri penerbangan Boeing menemukan bahwa ternyata 18,1% orang dewasa di AS takut untuk terbang, dan 12,6% orang dewasa lainnya mengalami kecemasan ketika mereka terbang. Hal ini mengungkapkan adanya fakta bahwa sekitar satu dari tiga orang dewasa di Amerika takut untuk terbang. Penelitian ini juga menarik karena memberikan informasi tentang alasan mengapa mereka menghindari terbang. Sekitar setengah dari jumlah responden yang diteliti melaporkan bahwa meraka takut terbang tanpa ada alasan yang jelas, hanya sekitar enam persen yang berpendapat bahwa mereka takut terbang karena ketidak amanan penerbangan. Sebuah jajak pendapat lainnya yang dilakukan oleh Majalah Newsweek pada tahun 1999 menemukan bahwa 50% dari orang dewasa pengguna penerbangan komersial yang disurvei menunjukan ada gejala takut setidaknya kadang-kadang. Penelitian sejenis belum pernah dilakukan di Indonesia, padahal bila kita amati jumlah pengguna pesawat komersial cukup meningkat dan belum diketahui apakah sebenarnya mereka memanfaatkan jasa transportasi udara dengan menyenangkan atau sebenarnya karena terpaksa dan dengan ketakutan.
Dalam tulisan ini, penulis berusaha menguraikan pengertian, proses timbulnya fear of flying, apa saja simptomnya dan bagaimana mengatasinya. Diharapkan tulisan ini dapat menjadi bahan informasi untuk pembaca yang berminat untuk mengetahuinya dan lebih menarik lagi bila ada rekan-rekan pembaca yang berminat menelitinya lebih dalam.
Reaksi Takut
Setiap orang memberikan respon takut terbang yang bervariasi. Reaksi yang umum adalah bahwa mereka berusaha kuat menghindari terbang dengan pesawat udara. Ada cukup banyak orang yang lebih senang memanfaatkan jasa transportasi darat ketika harus melakukan perjalanan bisnisnya atau perjalanan berlibur, mereka menghindari menggunakan pesawat udara. Tapi ada juga karena tuntutan dan sarana, terpaksa tidak bisa menghindar untuk memanfaatkan jasa transportasi udara. Bagi mereka yang takut, gejala yang dapat muncul ditunjukan melalui reaksi fisik, seperti berkeringat, detak jantung dan/atau bernafas bertambah cepat, atau mual. Bentuk reaksi lainnya untuk sementara orang adalah menggunakan obat-obatan penenang, dll.
Sebenarnya bila ditelusuri secara statistik, pesawat udara merupakan sarana transportasi yang lebih aman dibandingkan transportasi darat seperti kendaraan roda empat atau dua, sehingga penumpang atau calon penumpang pesawat udara tidak perlu takut. Bagi sebagian besar orang yang memiliki kecemasan yang berhubungan dengan menggunakan pesawat udara, statistik ini mepunyai makna bahwa dalam banyak kasus, rasa takut tidak secara langsung berhubungan dengan risiko kecelakaan pada transportasi pesawat udara. Dengan kata lain, risiko dan takut adalah dua hal yang berbeda, dan kita tidak dapat menggunakan statistik kecilnya risiko pesawat udara untuk meyakinkan seseorang bahwa terbang adalah aman.
Pengertian
Fear of flying secara sederhana dapat diartikan sebagai takut terbang, dan sebagai gejala takut, hal ini dapat terjadi pada penerbang dan awak pesawat lainnya maupun orang awam (baca: penumpang pesawat udara). Namun demikian, fear of flying sebagai gejala psikologis perlu difahami dengan benar agar tidak terjadi salah pengertian.
Beberapa ahli mengatakan, “fear of flying” dapat diklasifikasikan sebagai takut (atau “fear”) yang alamiah dan biasa terjadi terhadap kondisi objektif dan nyata. Misalnya, seseorang yang takut terbang karena ia pernah mengalami kecelakaan terbang atau dia melihat kondisi pesawat tidak sempurna sehingga dapat mencelakakannya. Dalam pengertian takut (fear), “fear or flying” dapat diartikan takut untuk terbang reaksi rasa takut yang bersifat objektif, dan temporer. Dasar dari rasa takut disini bukan “anxiety” tetapi takut (“fear”). Sedangkan pengertian lainnya, “fear of flying” diasosiasikan dengan ketakutan yang dikaitkan dengan kecemasan (anxiety) dan biasanya mempunyai sebab yang lebih dalam, seperti phobia, atau mansifestasi tak langsung dari satu atau beberapa gejala phobia seperti claustrophobia (takut terhadap ruangan tertutup) atau acrophobia (takut pada ketinggian).
Suatu kenyataan bahwa fear of flying muncul bukan semata-mata karena takut terbang saja namun disebabkan gabungan beberapa perasaan takut. Takut terhadap ruang sempit (claustrophobia), misalnya ketakutan ketika berada di kabin pesawat yang dirasakan sempit. Atau, takut terhadap ketinggian (acrophobia), atau takut yang berlebihan karena kemungkinan mendapatkan serangan yang mendadak misalnya karena pembajakan atau serangan terorisme dimana ia sulit untuk menghindar (agoraphobia). Atau, takut terhadap guncangan pesawat (turbulence), atau takut terbang karena pasawat melintasi perairan/laut yang luas atau terbang di malam hari, atau takut akan terjadi kecelakaan yang menyebabkan cidera atau kematian, atau perasaan aneh dan sensasi (naik pesawat udara) yang terjadi di sekitarnya. Atau, ketakutan yang disebabkan perasaan sangat tergantung pada keputusan penerbang yang tidak dikenal (being dependent on an unknown pilot’s judgment).
Proses terbentuknya fear of flying
Dari kondisi yang mendasarinya, secara teoritik fear of flying dapat terbentuk karena rasa takut (fear) dan cemas (anxiety). Dan dalam prosesnya, fear of flying dapat muncul tanpa sebab yang jelas (disebabkan mekanisme pertahanan diri yang terjadi secara tak sadar) atau karena ada penyebab faktual sebelumnya (sesudah mengalami kecelakaan atau atau nyaris celaka/nearmis atau karena melihat kecelakaan). Dilihat dari mekanisme terbentuknya fear of flying tentunya akan memberikan konsekuensi pada taktik intervensinya, karena seringkali khususnya pada penerbang (lebih-lebih di lingkungan militer) mereka akan lebih mudah mengatakan bahwa “saya sakit” daripada “saya takut”.
Apapun kondisi psikologis yang mendasarinya maupun mekanisme terbentuknya, perlu sama-sama difahami bahwa fear of flying perlu diwaspadai mengingat beberapa simptom yang menyertainya dapat menghambat performance seseorang. Kondisi ini menjadi sangat serius bila penerbang yang mengalaminya. Pesawat udara itu sendiri secara umum merupakan sarana transportasi paling aman yang ada. Menurut data statistik dari Departemen Transportasi Amerika, transportasi udara lebih aman dibandingkan dengan transportasi darat. Permasalahan yang terjadi adalah Departemen Transportasi kurang dapat membantu seseorang untuk menghentikan rasa takut untuk terbang.
Setiap orang yang terbang, bahkan seseorang yang tidak memiliki rasa takut untuk terbang, memahami bahwa memang ada risiko kecelakaan. Dalam menghadapi kecelakaan pesawat udara, pilot secara spesifik telah dilatih untuk tetap bersikap tenang dan berpikir jernih pada saat keadaan darurat, dan mereka diyakini mampu mengendalikan pesawat dalam keadaan darurat. Tanpa latihan khusus seperti yang dilakukan para pilot, maka banyak penumpang akan merasa khawatir terhadap bahaya yang akan terjadi saat pesawat mengudara.
Dari informasi yang ada, kita bisa menyadari bahwa sebagai manusia, kita merupakan sosok yang lemah, kita harus memiliki kontrol terhadap rasa takut tersebut, bukan hanya dalam perjalanan di udara tetapi juga di darat. Walaupun kadang diri kita tidak berada dalam posisi mengkontrol keadaan, namun kita masih bisa belajar secara psikologis untuk memiliki kamampuan dalam mengendalikan pikiran kita sendiri.
Secara teknis, beberapa buku mengkatagorikan takut terbang (fear of flying) sebagai fobia yang spesifik, merupakan salah satu bagian dari gangguan kecemasan (anxiety). Sebagai suatu kecemasan, “fear of flying” lebih disebabkan oleh sesuatu yang mungkin akan terjadi (atau suatu ketakutan bersifat subjektif) daripada terhadap sesuatu yang secara nyata atau faktual dapat terjadi.
Contohnya, ketika seseorang berada di dalam pesawat udara lalu ada asap yang keluar dari mesin pesawat ketika pilot mencoba untuk melakukan pendaratan darurat, maka jelas akan terjadi suatu bahaya, dan setiap orang pasti akan merasa takut. Tetapi ketika seseorang berada di dalam pesawat dengan semua sistem berfungsi secara normal dan aman, tetapi orang tersebut merasa takut seakan-akan terjadi sesuatu hal yang berbahaya, itu yang dinamakan kecemasan (anxiety).
Symptoms
Secara umum, seseorang yang memiliki pengalaman takut terbang memberikan informasi tentang dua gejala dasar, yaitu reaksi fisiologis, dan gejala psikologis.
- Reaksi fisiologis
- ketegangan otot; tremors
- sulit bernafas
- lemah jantung; sakit pada dada
- ketidaknyamanan pada organ abdominal dan intestinal
- berkeringat, pusing, prickly sensations, mulut kering, wajah memucat
- Gejala Psikologis
- daya ingat melemah
- penyempitan persepsi
- pertimbangan yang buruk (poor or clouded judgment)
- ekpektasi negatif
- berpikir perseverasi
Penyebab dasar fear of flying:
Dari pengalaman seorang psikolog yang kebetulan bertugas di lingkungan sekolah penerbang terdapat beberapa kejadian yang muncul dari para siswa sekolah penerbang yang menunjukan gejala fear of flying.
(a) Fear of flying dapat timbul karena minimnya informasi tentang prosedur dasar penerbangan, tentunya hal ini terjadi khususnya bagi para siswa sekolah penerbang yang menunjukan gejala fear of flying.
(b) Beberapa trauma psikologis yang berasal dari pengalaman atau mengamati kecelakaan penerbangan pesawat udara, dan
(c) Transference bersifat simbolik dari konflik interpersonal terhadap pengalaman terbang.
Bisa juga disamping empat alasan takut terbang di atas, terdapat alasan lainnya yang ditemukan pada siswa penerbang yang berkaitan dengan isu-isu latihan terbang yang menghasilkan buruknya kepercayaan diri.
Classification
- Reaksi naluriah (instinct reaction)
- Kecemasan dan ketakutan (anxiety & fear)
- Mekanisme pertahan diri dan sindrom dekompensasi (defence mechanism & decompensation syndrome)
- Sindrom Dekompensasi Primer – didasarkan oleh kecemasan dan berlanjut menjadi fobi.
- Sindrom Dekompensasi Sekunder – didasarkan karena pernah mengalami kecelakaan dan atau melihat terjadi kecelakaan pesawat udara.
Treatment, pemulihan mendasar untuk ganguan takut terbang:
a) Intervensi Terapi Quasi (Quasi-Therapeutic Intervention)
- Pemulihan dengan suport dan informasi
- Konseling & Critical Incident Stress Debriefing b) Behavioral therapy
- Relaksasi otot atau dengan latihan autogenik (Autogenic Exercise)
- Systematic Desensitization
c) Behavioral therapy “in-vivo” , Behavior therapy “in-vivo”, klien/pasien atau penerbang yang mengalaminya secara bertahap diajak terbang kembali.
Kepustakaan
Colebunders, R., (2011). Cured of Fear of Flying, Travel Medicine and Infectious Disease, Vol. 9, Issue 2, March 2011, p.82 . Institute of Tropical Medicine, University of Antwerp, Antwerp, Belgium
Freiberger JJ, Denoble PJ, Pieper CF, Uguccioni DM, Pollock NW, Vann RD. (2002). The Relative Risk of Decompression Sickness During and After Air Travel Following Diving. Aviation, Space, and Environmental Medicine 2002; 73:980–984.
Jones, DR. (1986). Flying and Danger, Joy and Fear. Aviation, Space, and Environmental Medicine 1986; 57:131–136.
Kraaij V, Garnefski N, and van Gerwen, L. (2003). Cognitive Coping and Anxiety Symptoms Among People Who Seek Help for Fear of Flying. Aviation, Space, and Environmental Medicine 2003; 74:273–277.
Oakesa, M., and Robert Borb R. (2010). The Psychology of Fear of Flying (Part I): A Critical Evaluation of Current Perspectives On The Nature, Prevalence and Etiology of Fear of Flying, Travel Medicine and Infectious Disease, Vol. 8, Issue 6, November 2010, p. 327-338
Strongin TS. (1987). A Historical Review of The Fear of Flying Among Aircrewmen. Aviation, Space, and Environmental Medicine 1987; 58:263–267.
Voge VM. (1989). Failing Aviator Syndrome: A Case History. Aviation, Space, and Environmental Medicine 1989; 60(7, Suppl.):A89–91.
Picano JJ. (1990). An Empirical Assessment of Stress-Coping Styles in Military Pilots. Aviation, Space, and Environmental Medicine 1990; 61:356–360.