Minggu, 05 Januari 2020


REAKSI PATOLOGIS PILOT MENGHADAPI KEJUTAN OTOMASI

Widura Imam Mustopo

Diadaptasi dari tulisan Wayne Martin, Patrick Murray, and Paul Bates, dalam artikel tanggal 2 Mei 2013 tentang “Pathological reactions: Researchers explore pilot impairment from severe startle, freezing and denial during unexpected critical events”. Flight Safety Foundation. Alexandria, Virginia 22314. (diunduh dari https://t.co/ 4JmE7b7V1T. 27 November, 2019).

Dalam beberapa dekade belakangan ini, dunia telah memperoleh manfaat yang luas dengan perkembangan otomasi dalam kontrol pesawat udara yang meningkatkan keselamatan penerbangan komersial. Namun demikian, diakui pula bahwa pada beberapa kecelakaan besar beberapa tahun terakhir, ditemukan pilot bisa gagal bereaksi ketika dikejutkan oleh situasi kritis yang tak terduga. Dalam beberapa kasus, pilot bereaksi secara tidak efektif atau tidak akurat, atau bahkan gagal bereaksi pada waktu yang tepat. Kejutan tak terduga itu sendiri merupakan kondisi yang dapat terjadi pada sistem otomasi. Beberapa faktor potensial yang dapat menimbulkan kejutan dalam sistem otomasi antara lain, karena kompleksitas sistem otomasi, di mana sistem tersebut merupakan penggabungan dari berbagai sistem lainnya, sehingga bisa terjadi informasi umpan balik dalam sistem berlangsung tidak memadai.
Kejutan otomasi biasanya terjadi pada salah satu dari dua kejadian di kokpit pesawat berteknologi canggih.  Pertama, bila ada peristiwa yang tidak terduga atau situasi berubah tiba-tiba tanpa instruksi/perintah, dan perubahan sistem terebut baik sudah dikenal atau tidak dikenal oleh pilot. Tipe kedua, kejutan otomasi yang terjadi sebagai hasil tak terduga dari perubahan yang diperintahkan, seperti dalam kasus autopilot gagal menangkap informasi ketinggian pesawat ketika pilot memperoleh input (dan mengharapkan) ke level yang telah dipilih sebelumnya. Dalam kedua kasus tersebut, pilot mengidentifikasi adanya perbedaan (dengan yang diharapkan), ia menjadi bingung sesaat, dan seringkali, tidak memiliki ide langsung tentang tindakan apa yang harus diambil untuk memperbaiki situasi. Kebingungan dan ketidakpastian ini bukan disebabkan kurang pemahaman atau kesadaran pilot tentang keadaan pesawat, tetapi kurangnya kesadaran tentang sistem otomasi.
Dari penelitian eksperimen di simulator penerbangan, analisis laporan tentang accident (kecelakaan penerbangan) dan serious incident, serta tinjauan literatur neuroscience dan psikologi menunjukkan bahwa reaksi patologis diinduksi oleh severe startle (kejutan hebat) yang mengakibatkan stres akut dan selanjutnya dapat menimbulkan reaksi membeku (freezing) atau menyangkal (denial) (Martin, et.al., 2013). Dua jenis reaksi yang memberikan konsekuensi individu tidak bertindak apa-apa ketika seharusnya ia melakukan tindakan tertentu untuk mengatasi situasi.  Reaksi ini kerap terjadi dan sering tidak disadari. Beberapa ahli berpendapat bahwa severe startle memberikan dampak yang kuat dan serius bagi orang yang mengalaminya.
Perilaku dalam bentuk tidak melakukan tindakan apa-apa semacam itu jelas berpotensi memberikan efek signifikan pada keselamatan penerbangan.  Kondisi tersebut dapat mengakibatkan kondisi pesawat tidak seperti yang diinginkan, dan akibatnya terjadi serious incident atau accident.  Untuk mengatasinya, diperlukan penelitian lebih lanjut, terutama untuk mengembangkan intervensi pelatihan yang sesuai di masa mendatang.  Intervensi seperti itu dapat memvalidasi asumsi bahwa dengan memaparkan pilot pada situasi kritis yang tidak biasa saat pelatihan di simulator, akan membuat pilot mampu mengembangkan strategi spesifik dan generik untuk menghadapinya.  Idealnya, paparan seperti itu juga akan menimbulkan self-efficacy yang lebih besar, dan pada gilirannya akan membuat pilot secara signifikan lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami reaksi stres akut ketika mengalami severe startle pada situasi nyata (Martin, et.al., 2013).
Pada dasarnya manusia sangat rentan terhadap reaksi stres akut, yang terjadi ketika menghadapi kejadian yang tidak terduga, mengancam, dan/atau kritis, di mana beberapa orang gagal mengatasinya dengan baik. Reaksi stres fisiologis telah terbukti memiliki dampak yang kuat pada working memory dan fungsi kognitif lainnya. Pola berpikir yang seharusnya konstruktif seringkali beralih ke tindakan yang tidak relevan, dan konsekuensinya malah menambah kecemasan. Reaksi stres akut, yang terkait dengan persepsi terhadap ancaman, dapat menciptakan situasi di mana pada beberapa orang merasa kewalahan dan/atau mengandalkan mekanisme coping seperti freezing atau denial.

Lumpuh karena Ketakutan
Reaksi stres akut seperti telah disinggung sebelumnya, umumnya sering terjadi ketika seseorang menghadapi keadaan darurat yang mengancam jiwa. Hal ini bisa diamati pada perilaku manusia ketika menghadapi bencana yang terjadi di suatu tempat. Gempa bumi, banjir, kebakaran, tenggelamnya kapal, bencana anjungan minyak yang tenggelam atau tumburan kereta api dapat menimbulkan perilaku yang beraneka ragam. Beberapa penelitian melalui saksi mata dan wawancara terhadap korban dan para penyintas (survivor) melaporkan bahwa mereka melihat orang-orang yang tidak selamat tersebut mengalami kelumpuhan karena ketakutan dan tidak mampu bertindak apa-apa, bahkan ketika mereka seharusnya melakukan tindakan tertentu yang sebetulnya bila dilakukan dapat membantu mereka bertahan hidup. Dari perspektif keselamatan penerbangan, tidak bertindak apa-apa (inaction) dalam menghadapi ancaman merupakan kekhawatiran tersendiri. Observasi terhadap perilaku penumpang pesawat selama evakuasi kecelakaan pesawat, ternyata, polanya sama. Dalam suatu uji coba simulasi evakuasi penumpang pesawat yang mengalami kecelakaan, peneliti menemukan perilaku lamban dan pasif ditampilkan oleh sejumlah penumpang. (Muir, et.al., 1989 & Muir, et.al., 1996) Suatu studi menunjukkan bahwa 10 hingga 15 persen orang biasanya menunjukkan perilaku patologis seperti itu ketika dihadapkan pada situasi yang mengancam jiwanya (Leach, 2004 & U.K. Air Accidents Investigation Branch, 1988). 
Reaksi lamban atau tidak bertindak apa-apa ini, merupakan reaksi stres akut terhadap stimulus yang sangat mengancam, yang disebabkan oleh mekanisme freezing atau denial. Suatu eksperimen oleh peneliti lain menunjukkan bahwa gangguan kognitif dan dexterity (kecekatan tangan/kaki) umumnya dapat bertahan hingga 30 detik setelah situasi kejut terjadi (Thackray & Touchstone, 1983; Vlasek, 1969 ; Woodhead, 1969 & Woodhead, 1969). Reaksi-reaksi ini dapat dianggap tipikal di sebagian kecil populasi orang yang menghadapi ancaman.  Sebagian besar orang berharap bahwa pilot profesional, yang umumnya terlatih dengan baik, dan berpengalaman, kompeten serta memiliki kemampuan tanpa cela akan mampu mengatasi situai darurat yang kritis untuk menghindari bencana. Sayangnya, hal ini tidak selalu sesuai dengan harapan dan kadang hal ini bukan karena masalah kompetensi.
Kehandalan pesawat yang sangat canggih telah menjadi keniscayaan, namun temuan resmi dari penyelidikan accident pesawat atau serious incident lebih sering diwarnai oleh kegagalan manusiawi yang kebetulan melibatkan pilot. Dalam beberapa kecelakaan fatal yang relatif baru, temuan menunjukkan bahwa crew atau pilot telah salah menangani situasi kritis dan gagal me-recover pesawat. Biasanya, hal tersebut karena ada keterlambatan dalam bereaksi/bertindak, atau tindakan yang diambil salah, yang memperburuk masalah. Meskipun pilot aktif secara rutin berlatih menghadapi kegagalan mesin, kebakaran mesin, depresurisasi dan malfungsi sistem utama, serta jenis-jenis peristiwa kritis yang terdapat dalam data kecelakaan (termasuk kecelakaan baru-baru ini) dianggap sebagai peristiwa yang sangat tidak biasa. Pelatihan-pelatihan di simulator telah dilaksanakan dengan melibatkan situasi yang tidak terduga di mana pilot dibuat menjadi sangat terkejut dan/atau kewalahan. Namun, respon terhadap severe startle - atau reaksi stres akut berupa freezing dan denial - tetap terjadi dan kadang diperburuk oleh ekspektasi yang dikondisikan bahwa mereka dalam bertindak tidak mungkin salah (Martin, et.al., 2013). 


Proses Reaksi
Inti dari reaksi stres akut terletak pada penilaian (appraisal) seseorang terhadap stimulus tertentu yang mengancam. Di sini appraisal diartikan sebagai "suatu proses evaluatif yang menentukan mengapa dan sejauh mana suatu transaksi atau serangkaian transaksi tertentu antara orang dan lingkungan itu menimbilkan stres" (Leach, 2004). Para ahli berpendapat bahwa dalam appraisal terlibat dua proses yang berbeda, yaitu; penilaian primer, yang menentukan tingkat ancaman, dan penilaian sekunder, yang menentukan cara penanganan yang tepat. Proses ini berlangsung sangat cepat dan biasanya mendahului proses berpikir secara sadar di korteks otak. Fakta ini jelas menguntungkan ketika situasi kritis memerlukan tindakan segera, tetapi di sisi lain fakta tersebut juga dapat menyebabkan reaksi stres akut bersifat patologis yang tidak memberikan jaminan efektivitas tindakan dalam mengatasi situasi. 
Ketika situasi dinilai sebagai ancaman, manusia akan bereaksi secara tak sadar (involuntarily) dengan menerapkan mekanisme homeostatis emosional (yang dapat menghilangkan stres), atau mekanisme pertahanan di tingkat sadar dengan fokus pada upaya memperbaiki masalah. Tindakan di tingkat sadar berupa upaya memperbaiki masalah adalah metode atau cara yang tepat, yang diekpaktasi dilakukan oleh sebagian besar pilot di sebagian besar situasi. Namun, jika tidak ada perbaikan segera, atau situasinya dinilai berlebihan, maka ada kemungkinan muncul beberapa bentuk mekanisme coping yang bersifat emosional. Dan perlu diketahui, bahwa coping emosional sebagian besar bersifat patologis dan dapat berupa perilaku menghindar (escape), menyangkal (denial), menipu diri (self-deception), atau distorsi realitas (Lazarus &  Folkman, 1984 ; Monat & Lazarus, 1991). Mekanisme coping jenis ini dapat memberikan efek yang buruk pada information processing, problem solving, dan decision making (Martin, et.al., 2013).  Dalam konteks situasi kritis di penerbangan hal ini akan sangat bermasalah. 

Startle atau Kejutan
Refleks kejut (startle reflex) adalah respons manusiawi yang normal dan universal ketika orang menghadapi stimulus yang tidak terduga atau mengejutkan. Ketika seseorang menilai suatu stimulus sebagai ancaman, aktivasi sistem saraf simpatik memicu perubahan yang luas dan cepat dalam tubuh. Gugahan ini, yang terkait dengan reaksi stres akut, umumnya dikenal sebagai respon fight or flight (melawan atau lari) dan telah terbukti berpengaruh secara signifikan pada proses kognitif dan psikomotorik. Refleks kejut memunculkan pola gerakan melawan (menjauhi stimulus) dan menyelaraskan perhatian ke sumber stimulus. Proses ini sangat cepat, dengan tanda-tanda pertama reaksi terjadi hanya dalam 14 milidetik (ms) dalam beberapa tes pada manusia (Simons, 1996. ; Yeomans &  Frankland, 1996). Mengingat bahwa proses kognitif terhadap rangsangan baru membutuhkan lebih dari 500 ms (Asli & Flaten, 2012), maka reaksi reflektif jelas merupakan proses bawaan bersifat instinktif dari manusia untuk menghindari bahaya.
Area amygdala di otak, yang terkait erat dengan memori emosional rasa takut, tampaknya menjadi lokasi penilaian awal terhadap ancaman. Proyeksi dari amygdala kemudian memulai refleks kejut dan, jika ancaman terus berlanjut, reaksi kejut akan menguat. Pada dasarnya, ini masih merupakan respon fight or flight, suatu proses yang sama terjadi pada reaksi stres akut. Perubahan cepat dalam sistem tubuh dihasilkan dari gugahan sistem saraf simpatik. Perubahan tersebut diindikasikan dengan meningkatnya denyut jantung dan pernafasan, mengarahkan lebih banyak aliran darah ke organ vital, dan memasukkan hormon seperti adrenalin (epinefrin) ke dalam aliran darah. Perubahan karakteristik lainnya adalah berkedip dan kontraksi otot lengan dan kaki.
Penelitian lainnya, menunjukkan bahwa gangguan kognitif dan penurunan dexterity atau kecekatan dapat bertahan hingga 30 detik selama reaksi terhadap severe startle (Vlasek, 1969 & Woodhead, 1959). Hal ini mempunyai implikasi yang signifikan karena peristiwa mendadak, tak terduga, dan kritis adalah khas pada kondisi darurat di penerbangan. Di sejumlah kasus accident dan serious incident, memperlihatkan bahwa pilot yang melakukan tindakan kurang efektif pada situasi kritis, mengungkap adanya isu severe startle yang berkontribusi terhadap penurunan performance pilot (Martin, et.al., 2013). 

Freezing
       Freezing adalah reaksi stres akut yang merupakan cara yang disadari ataupun tidak disadari untuk menangani stresor yang berlebihan. Satu studi mengartikan freezing sebagai "mekanisme mengatasi stres yang melibatkan mekanisme bawah sadar untuk menghilangkan stres, atau ketidakpercayaan yang disadari bahwa fenomena tersebut benar-benar terjadi" (Leach, 2004)Freezing umumnya merupakan gangguan cukup kuat dalam proses kognitif yang biasanya terintegrasi di dalam otak. Kadang-kadang orang yang mengalami freezing tetap sadar akan apa yang terjadi di sekitar mereka, tetapi tidak mampu mengambil tindakan secara motorik dan/ataupun secara kognitif.
         Reaksi seperti ini relatif sering terjadi, dan menjadi catatan penting dalam simulasi kecelakaan dan evakuasi kecelakaan pesawat udara yang sebenarnya. Dari observasi, dalam freezing, proses kognitif diawali oleh rasa takut yang akut, sehingga working memory dikuasai oleh pikiran yang tidak relevan tentang akibat yang menakutkan. "Kelumpuhan" atau "ketakutan yang amat sangat" telah menjadi ingatan umum dari beberapa orang yang selamat dari situasi kritis seperti itu.
 Tidak seperti denial yang cukup sulit untuk diukur, kebanyakan orang akrab dengan konsep freezing dalam kondisi stres akut. Gejala freezing pada perilaku saat menghadapi ancaman lebih terlihat dan observable. Freezing digambarkan sebagai respons terhadap ancaman yang luar biasa di mana, pada tingkat bawah sadar, otak tidak mampu mengatasi kompleksitas dan bahaya yang ditimbulkan oleh keadaan yang berubah tiba-tiba. Laporan dari para penyintas dari kebakaran anjungan minyak dan sebuah kapal yang tenggelam, misalnya, menggambarkan orang-orang terlihat hanya membeku atau lumpuh dan tidak mampu bertindak apa-apa untuk menyelematkan diri, meskipun ada dorongan atau upaya membantu dari penumpang lain.
Beberapa kasus kecelakaan penerbangan, di alami pilot yang mengalami freezing dalam situasi kritis. Captain pilot atau pilot in command tampaknya mengalami freezing setelah rejected takeoff atau aborted takeoff  (Heaslip, et.al., 1991).  Dia menutup tuas dorong (thrust levers), tetapi tidak mengerem, ia hanya terpaku menatap lurus ke depan. Pesawat melaju cepat di ujung landasan pacu pada kecepatan 70 kt, dan menewaskan dua orang.  Pada kasus lain (Martin, et.al., 2013), wawancara terhadap pilot yang pernah mengalami peristiwa kritis/darurat dalam operasi penerbangan mengungkapkan peristiwa nyata di mana captain pilot mengalami freezing saat approach. Pesawat terus turun jauh di bawah jalur luncur (glide path) sampai saat visual pada ketinggian yang sangat rendah akan menabrak gedung apartemen.  Beruntung, saat visual, captain bisa recover, dan mampu melakukan manuver mengelak di menit-menit terakhir melalui celah yang sempit sehingga dapat menghindari tabrakan dengan bangunan. Sebelumnya second officer atau co-pilot sudah berulang kali berusaha mengingatkan captain bahwa ia menyimpang dari glide path, ia juga sudah mencoba beberapa kali mengambil alih kontrol dan tidak berhasil sampai ia memukul captain untuk mengambil alih kontrol. Wawancara dari subjek lainnya menggambarkan situasi di mana seorang siswa pilot militer, ketika berlatih spin dengan rotasi tinggi, hanya membeku selama recover dari spin. Siswa pilot tidak responsif, dan membuat pilot instruktur harus memukul siswa secara fisik untuk membuatnya melepaskan pegangan pada kontrol. Recover yang sukses akhirnya dapat dilakukan jelang ketinggian bailout.

Denial
Denial (penyangkalan) juga merupakan mekanisme coping yang bersifat emosional, seperti freezing.  Ini merupakan proses manusiawi yang sangat mendasar. Ketika seseorang menilai stimulus sebagai ancaman dan tekanan, maka mekanisme untuk mengatasi ancaman tersebut dapat berbentuk penyangkalan atau mengabaikan stimulus yang mengancam tersebut (Martin, et.al., 2013).
Denial tampaknya juga merupakan mekanisme di bawah sadar, ketika orang menghadapi gangguan yang mengancam jiwa. Ada beberapa orang yang mengabaikan ancaman untuk beberapa waktu daripada harus memikirkan kematian yang penuh tekanan. Menyangkal adanya ancaman mungkin mungkin sangat efektif dalam menghilangkan stres. Hal ini terjadi ketika aliran informasi penting tidak diproses sebagai bagian dari mekanisme penanganan stres akut ini.
Denial bisa menjadi masalah ketika situasi seperti cuaca yang memburuk atau status pesawat menambah ancaman. Stresor yang berkembang cepat, yang memungkinkan teradinya denial, umumnya lebih diperhatikan dalam situasi kritis. Karena denial dapat menimbulkan implikasi yang lebih parah dalam situasi kritis sehingga diperlukan analisis yang cermat dan penyelesaian masalah secara logis. Wawancara terhadap pilot maskapai dalam penelitian ini (Martin et.al., 2013) mengungkapkan bahwa denial dalam jangka pendek relatif umum terjadi dalam situasi ini, responden melaporkan bahwa mereka pernah mengalami beberapa tingkat denial, setidaknya 15 dari 45 peristiwa yang mereka ingat.  Umumnya merupakan denial jangka pendek, dan itu tidak menimbulkan konsekuensi bencana. Namun, yang menimbulkan pertanyaan adalah berapa banyak kecelakaan fatal yang terjadi karena kontribusi pilot mengalami denial, misalnya pilot tidak berhasil me-recovery keadaan pesawat saat mengadapi masalah atau recovery-nya tertunda terlalu lama.
Hasil wawancara dengan para pilot menunjukkan bahwa pada periode denial yang singkat seperti itu tidak biasa, meskipun dalam semua situasi yang dibahas oleh responden, denial yang berlangsung singkat dapat diatasi ketika proses rasional dimulai. Denial, jika terus berlanjut, bisa sangat merugikan, meskipun belum ada informasi yang jelas dari data penyelidikan kecelakaan tentang sejauhmana mekanisme denial terlibat sebagai penyebab kecelakaan.  Namun, ada beberapa contoh di mana pilot tidak mengambil tindakan pada saat intervensi tertentu diperlukan, menunjukkan bahwa denial setidaknya merupakan satu kemungkinan. Diperlukan penelitian lebih lanjut di bidang ini.
Seorang ahli dalam subjek ini berupaya menggambarkan taksonomi patologis dalam tujuh tahap mekanisme denial (Breznitz, S. 1983),  yaitu; denial terhadap relevansi, denial terhadap urgensi, denial terhadap kerentanan, denial terhadap afek, denial terhadap relevansi afek, denial terhadap informasi yang mengancam, dan denial terhadap informasi. Tahap awal atau denial terhadap relevansi perlu diwaspadai dalam konteks penerbangan, sedangkan tahap terakhir atau ketika informasi yang mengancam atau semua informasi disangkal, maka kondisi ini sangat mengkhawatirkan dalam konteks keselamatan penerbangan.
Sebagai rangkuman, jika situasi kritis muncul selama operasi penerbangan tetapi pilot secara tidak sadar menyangkal isyarat adanya ancaman, maka secara substansial kemungkinan recovery akan berkurang. 

Referensi :
1.      Asli, O., and Flaten, M.A. 2012. “In the blink of an eye: Investigating the role of awareness in fear responding by measuring the latency of startle potentiation.” Brain Science 2: 61–84.
2.   Breznitz, S. 1983. “The seven kinds of denial.” In S. Breznitz (Ed.). The Denial of Stress.  New York: International Universities Press.
3.   Duckworth, K.L.,. Bargh, J.A, Garcia, M., and Chaiken, S. 2002. “The automatic evaluation of novel stimuli.” Psychological Science 13: 513–519.
4.     Folkman, S., Lazarus, R.S., Dunkel-Schetter, C., DeLongis A., and Gruen, R.J. 1986. “Dynamics of a stressful encounter: Cognitive appraisal, coping, and encounter outcomes.” Journal of Personality and Social Psychology 50 (5): 992–1003.
5.    Fritz, C.E., and Marks, E.S. 1974. “The NORC studies of human behaviour in disaster.” Journal of Social Issues 10 (3): 26–41.
6.  Heaslip, T.W., N. Hull, R.K. McLeod, and R.K. Vermil. 1991. “The frozen pilot syndrome.”  In Proceedings of the 6th International Symposium on Aviation Psychology, Columbus, Ohio: 782–787.
7.  King, G.G., 1994. General Aviation Training for “Automation Surprise”. Metropolitan State College of Denver.

8.   Lazarus, R.S. 1966. Psychological Stress and the Coping Process. New York: McGraw-Hill.

9.   Lazarus, R.S., and S. Folkman. 1984. Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer.

10.  Leach, J. 2004. ‘“Why People ‘Freeze’ in an Emergency: Temporal and Cognitive Constraints on Survival Responses.” Aviation, Space, and Environmental Medicine 75 (6): 539–542.
11.  Le Doux, J.E. 2000. “Emotion circuits in the brain.” Annual Review of Neuroscience 23: 155–184.

12. Martin, W.L., Murray, P.S., and Bates, P.R. 2010. “The effects of stress on pilot reactions to unexpected, novel, and emergency events.” In Proceedings of the 9th Symposium of the Australian Aviation Psychology Association, Sydney, 19–22 April, 2010.

13. Martin, W.L., Murray, P.S., and Bates, P.R.  2013. “Pathological reactions: Researchers explore pilot impairment from severe startle, freezing and denial during unexpected critical events”. Flight Safety Foundation. Alexandria, Virginia 22314. https://t.co/4JmE7b7V1T. November 27, 2019.
14.  Monat, A., and R.S. Lazarus. 1991. Stress and Coping. New York: Columbia University Press.
15. Muir, H.C., C. Marrison, and A. Evans. 1989. “Aircraft evacuations: The effect of passenger motivation and cabin configuration adjacent to the exit.” London, U.K.: Civil Aviation Authority, CAA Paper 89019.
16. Muir, H.C., D.M. Bottomley, and C. Marrison. 1996. “Effects of cabin configuration and motivation on evacuation behaviour and rates of egress.” International Journal of Aviation Psychology 6 (1) 57–77.
17. Simons, R.C. 1996. Boo!: Culture, experience, and the startle reflex. U.S.: Oxford University Press.
18.  U.K. Air Accidents Investigation Branch. 1988. “Report on the accident to Boeing 737-236 Series 1, G-BGJL at Manchester International Airport on 22 August 1985 (Aircraft Accident Report 8/88).” London: Her Majesty’s Stationery Office.
19.  Vlasek, M. 1969. “Effect of startle stimuli on performance.” Aerospace Medicine 40: 124-128.
20. Woodhead, M.M. 1959. “Effect of brief noise on decision making.” Journal of The Acoustic Society of America 31: 1329–1331.
21.  Woodhead. 1969. “Performing a visual task in the vicinity of reproduced sonic bangs.” Journal of Sound Vibration 9: 121–125.
22.  Wolfe, T. 2001. The Right Stuff. New York: Bantam Books.
23. Yeomans, J.S., and Frankland, P.W. 1996. “The acoustic startle reflex: Neurons and connections.” Brain Research Reviews 21: 301-314.



Rabu, 25 Desember 2019


Automation di Lingkungan Penerbangan yang Kompleks dan Dinamis

Widura Imam Mustopo
              
            Lingkungan kerja yang kompleks dan dinamis seperti pada lingkungan industri penerbangan tidak dapat diingkari melibatkan teknologi canggih dan perangkat komputer sebagai indikasi diterapkannya otomasi. Peningkatan kemampuan peralatan dalam bentuk otomasi pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan informasi yang lebih akurat, sehingga manusia dapat bekerja lebih efisien dan efektif. Semakin besar tingkat otomasi akan semakin besar manfaatnya, terutama untuk mengurangi beban kerja operator dan menurunkan kemungkinan kesalahan manusia.
Dalam hubungan manusia-mesin, otomasi dapat dipandang sebagai perangkat yang membantu pemrosesan informasi (information processing) manusia. Kemajuan sistem otomasi banyak dimanfaatkan untuk membantu operator dalam menerima dan memproses informasi. Konsekuensi digunakannya otomasi seringkali mengubah secara fundamental cara kita melakukan suatu pekerjaan.  Namun yang perlu dipahami bahwa konsep dasar pemanfaatan otomasi lebih untuk membantu operator, dalam hal ini pilot, bukan menggantikankan fungsi pilot. Selain itu, otomasi sebagai suatu sistem, berada dalam sistem kerja atau sistem penerbangan. Jadi, di sini sistem otomasi merupakan bagian di dalam sistem penerbangan.  Ketika sistem otomasi diaktifkan akan memberikan dampak tindakan berurutan ke sistem lainnya sesuai ketentuan fungsi sistem secara keseluruhan.
Tulisan berikut ini berupaya mengungkapkan penjelasan ringkas mengenai keterkaitan antara otomasi di lingkungan kerja yang kompleks dan dinamis dengan berbagai dampaknya bagi manusia sebagai pengguna.

Manfaat Otomasi

Di lingkungan penerbangan saat ini, dapat dikatakan pilot bergantung pada sistem avionik dan otomasi canggih yang terkait dengan operasi pesawat udara modern.  Kondisi ini membuat kendali yang mendasar terhadap pesawat udara dan monitor instrumen di dalam kokpit yang biasanya dilaksanakan secara manual oleh manusia menjadi berkurang. Penelitian menunjukkan bahwa ketergantungan pilot pada kehandalan dan kemampuan autopilot ternyata jauh lebih besar daripada antisipasi di awal diciptakannya autopilot.  Padahal autopilot dapat gagal dan tidak berfungsi seperti yang diharapkan ketika terjadi anomali pada sistem lainnya.  Keadaan ini pada dasarnya tergantung kembali pada bagaimana hubungan antar berbagai sistem yang terdapat dalam pesawat udara, dan informasi apa saja yang dapat dimanfaatkan.  
            Kondisi serupa terjadi juga di Air Traffic Controler (ATC). Teknologi canggih dalam program NextGen FAA menyediakan peralatan yang ditingkatkan kemampuannya untuk mendukung para petugas kontrol lalu lintas udara atau dikenal sebagai Air Traffic Controler. Peningkatan kemampuan peralatan dalam bentuk otomatisasi pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan informasi yang lebih akurat kepada petugas kontrol lalu lintas udara, sehingga mereka dapat mengelola lebih banyak lalu lintas penerbangan dan mampu membuat keputusan yang efektif berdasarkan proyeksi yang akurat.
            Asumsi dibalik penggunaan sistem komputerisasi adalah bahwa semakin besar tingkat otomasi akan semakin besar manfaatnya, terutama untuk mengurangi beban kerja operator dan menurunkan kemungkinan terjadinya kesalahan manusia (human error).  Namun di sisi lain, otomasi dapat meningkatkan beban kerja kognitif pada operator, terutama bila hal ini dilakukan secara tidak proporsional pada saat situasi kritis ketika beban kerja meningkat.  Mengapa hal ini terjadi, kemungkinan karena otomasi dirancang secara buruk sehingga bekerjanya sistem bertentangan dengan tujuan otomasi. Kondisi ini akan terjadi ketika mesin (sistem) dan manusia gagal berkomunikasi dan bekerja sama. Akibatnya, mereka gagal untuk bekerja sebagai sebuah tim.
            Seiring berjalannya waktu, transisi ini akan mengubah peran petugas pengontrol lalu lintas udara, seperti "sistem di dalam sistem" yang mencakup jaringan kerja lalu lintas udara. Petugas pengendali lalu lintas udara mungkin akan menghadapi pola tugas yang tidak lagi terlibat secara taktis mengendalikan setiap penerbangan, tetapi mereka dalam bekerja akan lebih ke arah mengelola (me-manage) lalu lintas penerbangan.  Petugas baru bertindak secara langsung ketika mendapati operasi berjalan tidak sesuai rencana atau ketika terjadi sesuatu hal yang tidak terduga.
            Untuk membantu mengatasi masalah ini, perusahaan biasanya menyiapkan prosedur dan pelatihan khusus untuk memastikan bahwa pilot dan/atau air traffic controler dapat memantau manuver atau pergerakan pesawat setiap saat dalam berbagai kondisi.  Tuntutan pada operator bisa sangat tinggi di lingkungan kerja yang kompleks, dinamis dan sensitif terhadap waktu seperti di lingkungan kerja para pengawas lalu lintas udara, cockpit pesawat, dan/atau di pembangkit tenaga nuklir. Semakin canggih suatu sistem maka sistem monitor dan sistem kendali harus beralih ke otomasi yang dikendalikan komputer untuk memberikan dukungan dan panduan kepada operator manusia dalam situasi kerja seperti ini.  

Otomasi dan Relasi Manusia-Mesin

Pada dasarnya, otomasi dipandang sebagai cara terbaik untuk membantu operator dalam menerima dan memproses aliran data yang kompleks khas lingkungan kerja yang melibatkan teknologi tinggi.  Seperti telah disinggung sebelumnya, konsekuensi digunakannya otomasi seringkali mengubah secara fundamental cara manusia melaksanakan suatu pekerjaan.  Tidak dapat dipungkiri bahwa pemanfaatan teknologi baru akan selalu memberikan konsekuensi efek yang kompleks. Kondisi tersebut tidak cukup hanya diantisipasi dengan mengganti satu media dengan media yang lain, misalnya strip penerbangan berbasis kertas diganti dengan panduan berbasis layar monitor, sembari dalam tindakan atau dalam melakukan tugas tetap bertahan pada cara lama.  Perubahan teknologi umumnya memberikan konsekuensi yang mengarah kepada perubahan suatu set yang kompleks, baik di tingkat kerja organisasi maupun individu. Sifat dan sejauh mana efek transformasi dari perubahan ini sering tak terduga dan tidak jarang disalahpahami.
Perilaku yang menghasilkan kegagalan dalam relasi manusia-mesin sebenarnya tidak berbeda dengan perilaku manusia yang menyebabkan hambatan dalam kerja sama tim atau kerja sama antar rekan.  Tidak jarang difungsikannya otomasi menimbulkan kesulitan dalam komunikasi dan kerjasama tim.  Pola komunikasi dan kerjasama dalam tim perlu disesuaikan dengan sistem yang berlaku.  Oleh karena itu desain sistem otomasi harus benar-benar merupakan desain sebuah sistem kooperasi manusia-mesin. Membuat otomasi sebagai pemain tim membutuhkan perhatian yang lekat dengan konteks di mana perangkat akan digunakan, dan jenis tugas yang akan ditampilkan pengguna. Bila hal ini tidak diwaspadai, maka yang terjadi bukan otomasi mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan manusia, tetapi otomasi malah dapat menyebabkan kegagalan jenis baru pada sistem, yang sebelumnya tidak ada.  

Tantangan Otomasi
Tantangan yang terkait dengan menerapkan otomasi dalam sistem apapun adalah mengembangkan kiat-kiat atau cara-cara untuk membuat manusia tetap sadar terhadap kinerja sistem.  Operator harus memiliki akses "tepat-waktu" ke informasi sistem yang sesuai dalam format yang mendukung asesmen kinerja sistem secara akurat. Ini diperlukan agar manusia sebagai operator dapat secara efektif masuk (atau bertindak) ketika ia dibutuhkan untuk intervensi. 
Dalam kebanyakan kasus, sebenarnya sistem otomasi mampu beroperasi dengan sangat baik bahkan tanpa keterlibatan operator manusia – sesuai dengan tujuan dari diterapkannya otomasi.  Namun, ada keadaan ketika otomasi tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan, atau ketika situasi yang muncul mengharuskan perubahan dari otomasi ke manual.  Paradoksnya, justru karena otomasi menjalankan banyak fungsi sistem secara rutin yang membuat operator tidak selalu waspada dan siap untuk bertindak ketika dibutuhkan. 
Sebagai contoh, umumnya pengemudi mobil yang mengandalkan GPS ketika menuju suatu lokasi akan menjalankan kendaraannya sesuai instruksi GPS, walaupun mungkin mengikuti GPS bukan tindakan yang paling atau selalu tepat. Contohnya, GPS menginstruksikan pengemudi belok kanan karena sistem navigasi satelit "menyarankan" itu, meskipun sebenarnya manuver itu dilarang karena ada rambu jalan melarang untuk belok kanan. Dalam kasus ini, ketergantungan pada otomasi mungkin merupakan kasus "tidak membahayakan, dan tidak salah" – asalkan tidak ada polisi yang mengamati perilaku tersebut.  Pada contoh di atas, instruksi GPS perlu menyertakan peringatan bahwa operator tetap bertanggung jawab atas semua tindakan, dan/atau rambu jalan yang melarang belok kanan sudah terlihat sangat jelas. Jadi, orang memang dituntut mempercayai otomasi, namun dalam beberapa situasi tertentu mereka tetap lebih baik mengandalkan pertimbangan mereka sendiri.

Kepercayaan pada Otomasi
Sistem otomasi yang tingkat kehandalannya sangat baik, membuat operator sangat percaya bahwa otomasi tidak mungkin gagal. Terkait dengan isu “kepercayaan” pada sistem otomasi, merupakan pertanyaan besar, karena kepercayaan pada otomasi adalah masalah yang kompleks. Terkadang ada ketidaksesuaian antara kemampuan aktual suatu sistem dengan apa yang diyakini pengguna pada kemampuan sistem.  Kemampuan ini dipengaruhi oleh pengalaman pengguna sebelumnya dengan sistem. Pengguna cenderung mempercayai otomasi yang membantu mereka mencapai tujuan - tetapi dalam situasi yang tidak pasti, atau ambigu atau tidak biasa, pengguna dan otomasi mungkin bekerja dengan tujuan yang berbeda.  
"Kepercayaan" dalam otomasi juga dapat berarti sesuatu hal yang berbeda bagi orang yang berbeda. Misalnya, seseorang yang memiliki keyakinan bahwa sistem alarm yang berbunyi adalah bukan alarm palsu, berbeda dengan pengguna yang memiliki keyakinan buta bahwa keputusan otomasi pasti benar, bahkan bila dihadapkan pada informasi atau fakta yang bertentangan. Dalam beberapa hal, ada peran budaya dan perbedaan generasi usia dalam penggunaan dan kepercayaan terhadap teknologi dan otomasi.  Suatu penelitian di penerbangan mengungkapkan bahwa pilot yang lebih senior cenderung tidak mudah percaya pada sistem komputer yang lebih baru dibandingkan dengan pilot yang lebih muda, sehingga mereka lebih kesulitan beradaptasi dengan kemajuan otomasi. 
Memahami bagaimana otomatisasi terkini atau terbaru akan berinteraksi dengan manusia yang memproses dalam memperoleh dan menganalisis informasi, dan membuat keputusan serta melaksanakannya, menjadi hal yang sangat penting dalam merancang perangkat dan alat yang mendukung manusia sebagai pengguna otomasi. 
Seperti dalam kasus di ATC, petugas pengontrol tidak akan menggunakan sistem otomasi yang tidak mereka percayai, namun berinteraksi dengan otomasi adalah satu-satunya cara petugas pengontrol dapat mengembangkan kepercayaan pada sistem. Memperkenalkan versi teknologi yang tepat kepada sekelompok orang yang tepat pada waktu yang tepat sangat penting untuk mencapai implementasi operasional yang sukses. 

Compalcency Otomasi
Kepercayaan yang sangat besar pada kehandalan sistem otomasi dapat memberikan konsekuensi terjadinya complacency (kepuasan) terhadap otomasi yang berdampak kurang menguntungkan secara psikologis pada manusia operator. (Parasuraman, Molloy, & Singh, 1993)  Setidaknya terdapat dua efek complacency, tidak memperhatikan penerbangan secara umum karena mengandalkan otomasi, dan tidak melakukan monitoring pada fase kritis ketika autopilot difungsikan. Di sini terlihat bahwa umumnya complacency dapat menyebabkan menurunnya monitoring operator terhadap sistem dan memungkinkan menurunnya kemampuan mendeteksi kegagalan fungsi sistem. Dan, ketidak pengalaman menghadapi kerusakan sistem selama operasi penerbangan berlangsung normal akan menurunkan keterampilan awak pesawat dalam menangani terjadinya kegagalan otomasi
Studi tentang complacency otomasi melibatkan proses kognitif, di mana umumnya terjadi pada situasi kondisi beban kerja multi-tugas ketika tugas manual dan tugas otomasi secara bersama menuntut perhatian operator.  Gejala ini bisa ditemukan baik pada operator yang baru (yunior) ataupun pada operator ahli berpengalaman.  Complacency otomasi dapat berdampak pada terjadinya kesalahan karena keliru dalam bertindak (error of commision).
       
Kejutan Otomasi
Kejutan otomasi terjadi ketika sesuatu di dalam pesawat tiba-tiba menyimpang dari performa yang diharapkan. Sebagai bagian dari sistem, maka sistem otomasi bergabung secara terintegrasi dalam sistem kendali dan operasi pesawat udara yang kompleks.  Sebagai sistem yang bekerja secara terintegrasi, masing-masing sub-sistem akan saling berhubungan dengan meneruskan informasi dan memberikan umpan balik atau feed-back.  Kadang kala, umpan balik antar sistem tidak berlangsung memadai. 
Terdapat dua isu tipe kejutan otomasi di kokpit pesawat.  Pertama, bila ada peristiwa yang tidak terduga atau tanpa instruksi/perintah, dan biasanya merupakan perubahan sistem baik sudah dikenal atau tidak dikenal oleh pilot. Contohnya, perubahan tak terduga pada mode navigasi dari mode "NAV" ke mode "PIT" atau "DR".  Tipe kedua, kejutan otomasi yang terjadi sebagai hasil tak terduga dari perubahan yang diperintahkan, seperti dalam kasus autopilot gagal menangkap informasi ketinggian pesawat ketika pilot memperoleh input (dan mengharapkan) ke level yang telah dipilih sebelumnya. Dalam kedua kasus tersebut, pilot menemukan perbedaan, ia menjadi bingung sesaat dan, seringkali, tidak memiliki ide tentang tindakan apa yang harus diambil untuk memperbaiki situasi. Kebingungan dan ketidakpastian ini bukan akibat dari kurangnya pemahaman atau kesadaran tentang keadaan pesawat, tetapi kurangnya kesadaran tentang kondisi otomasi.
Di sisi lain, tidak dipungkiri beberapa sistem otomasi di desain secara ceroboh (Boehm-Davis, D. A., Holt, R. W., Diez, M., & Hansberger, J. T., 2002).  Sehingga pilot tidak memiliki ide apa-apa yang harus dilakukan untuk mengatasi keadaan. Laporan Advanced Technology Aircraft Safety Survey ATSB/BASI (Australian Transport Safety Bureau/Bureau of Air Safety Investigation) terhadap 1,200 pilot di Asia-Pasifik, mengungkapkan bahwa 21% pilot yang disurvei melaporkan bahwa mereka khawatir sistem otomasimungkin melakukan sesuatu yang mereka tidak ketahui”. 
Efek kejutan otomasi dapat menyebabkan gangguan atau hambatan secara psikologis yang dapat menyebabkan bencana dalam bentuk kecelakaan.  Terdapat beberapa gejala psikologis yang perlu diwaspadai karena dampaknya pada performa operator. Menganai topik ini akan diulas secara khusus pada tulisan lain.  

Penutup
Demikian penjelasan ringkas mengenai otomasi di lingkungan kerja penerbangan yang kompleks dan dinamis.  Penggunaan sistem otomasi sesuai tujuannya, terutama untuk mengurangi beban kerja operator dan menurunkan kemungkinan terjadinya kesalahan manusia. Namun demikian, di sisi lain berbagai dampaknya memberikan tantangan tersendiri.  Desain sistem otomasi harus benar-benar mengikuti kaidah desain sistem kooperasi manusia-mesin. Bila hal ini tidak diwaspadai, maka yang terjadi bukan otomasi mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan manusia, melainkan dapat menyebabkan kegagalan jenis baru pada sistem, yang sebelumnya tidak ada. 


Referensi:

Baker, J. (2018). The Role of Automation in Air Traffic Controlhttps://airport.nridigital.com/ air_aug18/the_role_of_automation_in_air_traffic_control 

Boehm-Davis, D.A., Holt, R.W., Diez, M., and Hansberger, J.T. (2002). Developing and Validating Cockpit Interventions Based On Cognitive Modeling. Proceedings of The 24th Annual Meeting of The Cognitive Science Society. Fairfax, VA.

Departement of Transport and Regional Development Bureau of Air Safety Investigation (1998). Advanced Technology Aircraft Safety Survey Report. ISBN 0 642 27456 8 June 1998. This report was produced by the Bureau of Air Safety Investigation (BASI).

Orlady, H. and Orlady, L. (1999). Human Factors in Multi-Crew Flight Operations. Brookfield: Ashgate Publishing Ltd.

Parasuraman, R.,  Molloy, R., and Singh, I.L., (1993). Performance Consequences of Automation Induced ComplacencyInternational Journal of Aviation Psychology. 3 (1), 1-23. https://doi.org/10.1207/s15327108ijap0301_1.

Pervez, S. and Ur-Rehman, S.K. (2017). Impact of Automation in Aviation. A Research Project Submitted to Aviation Department in Partial Fulfillment of Requirement of Degree of Aviation Management, Department of Aviation Management, Department of Institute of Aviation Studies. University of Management and Technology. Lahore: Johar Town.

Wiener, E.L., and Curry, R.E. (1980). Flight-Deck Automation: Promises and Problems. NASA (National Aeronautics & Space Administration). Ames Research Center.  Moftel: Field California.