Selasa, 05 Mei 2020

BUDAYA KESELAMATAN DAN PERILAKU TIDAK AMAN DI PENERBANGAN


Widura Imam Mustopo
Pendahuluan

Upaya yang sungguh-sungguh dari semua pihak untuk mencapai keselamatan penerbangan secara maksimal adalah hal yang esensial.  Tindakan untuk meningkatkan keselamatan penerbangan harus selalu dilakukan termasuk memahami pentingnya budaya (culture) khususnya dalam memberikan kontribusi pada keselamatan penerbangan.  Diperlukan pemahaman secara komprehensif tentang pengaruh budaya terhadap operasi penerbangan bila upaya keselamatan penerbangan ingin berhasil (Helmreich, 1999). 
Berkaitan dengan pentingnya usaha memahami pengaruh budaya terhadap operasi penerbangan, maka tulisan ini mengulas budaya dalam dunia penerbangan, khususnya budaya keselamatan.  Untuk itu perlu dimengerti bagaimana pengaruh budaya keselamatan terhadap perilaku penerbang terutama perilaku tidak aman (unsafe act/behavior).  Tentunya perlu diketahui lebih dahulu pengertian budaya keselamatan, terutama dari sudut pandang psikologi, termasuk kaitan antara budaya keselamatan dan perilaku tidak aman, faktor-faktor psikologis apa saja yang membangun budaya keselamatan, serta apa yang dimaksud dengan perilaku tidak aman, bagaimana model hubungan antar faktor-faktor psikologis budaya keselamatan dengan perilaku tidak aman.   

Budaya Nasional dan Keselamatan Penerbangan

Helmreich (1999) mengemukakan bahwa budaya dibangun oleh nilai-nilai (values), keyakinan (beliefs), dan perilaku anggota kelompok atau organisasi.   Budaya akan mengikat anggota kelompok dalam organisasi untuk bertingkah laku sesuai budaya yang berlaku.  Ketika berpikir tentang budaya, hal pertama yang ada di pikiran adalah budaya nasional, suatu atribut yang membedakan orang-orang yang berasal dari suatu budaya tertentu dengan orang-orang lainnya dari budaya yang berbeda.  Berkaitan dengan hubungan budaya dengan keselamatan penerbangan, masih terbatas informasi yang menunjukan bahwa budaya merupakan faktor yang dapat memberikan kontribusi bagi terjadinya kecelakaan.  Namun demikian, ide bahwa karakteristik budaya nasional juga berperan dalam penerbangan bukanlah hal yang aneh (Helmreich & Merrit, dalam Soeters dan Boer, 2000).
Studi tentang budaya dalam organisasi yang fenomenal karena banyak digunakan untuk memahami dimensi-dimensi budaya adalah Hofstede (1983).   Hofstede (2001) melalui studi tentang budaya nasional di lima puluh negara dari tiga benua, mendapatkan setidaknya lima dimensi budaya yang secara stabil selalu muncul, yaitu;  small vs large power distance, individualism vs collectivsm, masculinity vs feminity, uncertainty avoidance, dan long vs short term orientation. Pada 20 tahun terakhir, beberapa studi yang menghubungkan antar budaya dan keselamatan penerbangan berkembang cukup pesat.  Beberapa penelitian melaporkan adanya korelasi antar kedua variabel tersebut yang cukup menarik.  
Penelitian Mjos (2002) yang dilakukan selama sepuluh tahun dari 1986 sampai dengan 1996 di perusahaan penerbangan Norwegia menunjukan bahwa variabel budaya dari Hofstede yang mencakup Power Distance dan Individuality, serta iklim sosial (social climate) dan komunikasi berkorelasi secara signifikan dengan kinerja awak pesawat, terutama dalam penurunan kegagalan operasional. 
Penelitian Weener (dalam Soeters dan Boer, 2000) juga menunjukan terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah kecelakaan dengan karakteristik budaya nasional dari Hofstede.  Hasil penelitian yang hampir sama juga dilaporkan oleh Infortunio (2006), bahwa variabel budaya berkorelasi secara signifikan dengan tingkat kecelakaan fatal di 43 negara yang diteliti.  Dari penelitian Infortunio terhadap dimensi budaya Hofstede pada tujuh macam kelompok industri di 43 negara, ia mendapatkan dimensi Power Distance, Uncertainty Avoidance, dan Individuality berkorelasi secara signifikan dengan terjadinya kecelakaan fatal. 
Dari berbagai studi dan penelitian yang diulas di atas, terungkap bahwa perbedaan budaya di berbagai negara berhubungan secara signifikan dengan tingkat kecelakaan fatal terutama di lingkungan penerbangan.  Memang budaya tidak langsung mempengaruhi terjadinya kecelakaan yang fatal, namun penelitian-penelitian yang telah dilakukan mengungkap adanya hubungan bahkan mungkin pengaruh budaya terhadap faktor-faktor individual yang muncul dalam perilaku tidak aman.  Hal ini membuat bahwa tidak dapat dipungkiri bahwa budaya memiliki pengaruh yang kuat terhadap terbentuknya perilaku keselamatan dan/atau perilaku tidak aman dari individu. 

Budaya di dalam Organisasi Penerbangan

Seperti telah dikemukan sebelumnya bahwa budaya akan mengikat anggota kelompok atau organisasi dan berperan sebagai petunjuk bagaimana anggota kelompok bertingkah laku.   Bagi penerbang setidaknya terdapat tiga budaya yang bekerja untuk membentuk sikap dan tindakan (Helmreich, 1999).  Ke tiga budaya tersebut adalah, budaya nasional, budaya profesional, dan terakhir budaya organisasi.
Budaya nasional merupakan representasi dari kehidupan nasional di mana individu berada.  Budaya nasional mencakup semua norma-norma, sikap, dan nilai-nilai yang hidup di lingkungan tersebut.   Pola perilaku yang diikat oleh budaya nasional memberikan konsekuensi pada perbedaan perilaku seperti telah diulas sebelum ini. Selain budaya nasional, penerbang akan melibatkan pola perilaku yang mengikuti budaya profesinya.   Helmreich (1999) mengemukakan bahwa satu hal yang positif dari budaya penerbang adalah kebanggaan yang besar pada profesinya.  Dari penelitiannya, para penerbang sangat mencintai pekerjaannya dan termotivasi untuk bekerja sebaik-baiknya.  Hal ini tentunya positif bagi organisasi dan dapat membantu efisiensi dan keselamatan operasi penerbangan.  Tetapi budaya profesional penerbang juga mempunyai efek negatif, yaitu ketidak pekaan terhadap hal-hal tertentu.  Dari studinya, Helmreich menemukan bahwa sebagian besar penerbang meyakini bahwa mereka mampu mengambil keputusan sama baiknya dalam situasi normal maupun situasi darurat.  Para penerbang berpendapat bahwa performance mereka tidak terpengaruh oleh masalah-masalah pribadi, dan mereka tidak mungkin bertindak salah dalam situasi yang sangat menekan.   Hal-hal ini dapat merugikan karena bisa membuat penerbang tidak waspada dan menjadi kontraproduktif.  
Terakhir adalah budaya organisasi, yang menjadi ruang di mana budaya nasional dan budaya profesional berinteraksi.  Budaya organisasi menjadi determinan yang kuat dalam mempengaruhi perilaku.  Pengaruhnya cukup besar bahkan dapat menciptakan dan memantapkan budaya keselamatan (safety culture)  (Helmreich, 1999).   Oleh karena ituuntuk mencapai budaya keselamatan yang positif diperlukan komitmen kuat para pemimpin organisasi dan komitmen tersebut terlihat dalam kebijakan yang menggariskan komunikasi terbuka serta tidak melakukan tindakan-tindakan menghindar sebagai reaksi bila ada masalah atau risiko. 
Dari ketiga macam budaya tersebut, budaya nasional lebih resisten terhadap perubahan mengingat budaya nasional berpengaruh kuat terhadap individu karena sejak lahir ia hidup bersamanya.  Sedangkan budaya profesional dan budaya organisasi relatif dapat berubah bila terdapat insentif yang kuat.  Namun demikian, ketiga budaya tersebut tetap dianggap penting di dalam cockpit karena pengaruhnya terhadap perilaku penerbang ketika bekerja. 
Budaya organisasi penerbangan yang melibatkan teknologi tinggi dan menerapkan organisasi kerja yang sangat terstruktur, sistemik, dan terkontrol merupakan kerangka di mana di dalamnya budaya nasional dan budaya profesi (penerbang, teknisi, dll.) saling berinteraksi.  Kondisi ini dipercaya dapat membangun budaya keselamatan (safety culture) dan selanjutnya membentuk sikap dan perilaku terhadap keselamatan penerbangan (Heilmreich, 1999; Cooper, 2000). 

Budaya Keselamatan dalam perspektif psikologis

Sesuai pengertian yang dikemukakan oleh ACSNI (Advisory Committee on the Safety of Nuclear Installations); budaya keselamatan merupakan produk dari nilai-nilai, sikap-sikap, persepsi, kompetensi-kompetensi dan pola-pola perilaku individu dan kelompok, yang menentukan komitmen terhadap, dan gaya serta proficiency, manajemen keselamatan suatu organisasi (Gadd & Collins, 2002).  Organisasi dengan budaya keselamatan yang positif dicirikan oleh komunikasi yang dilandasi hubungan saling percaya, adanya diseminasi informasi tentang pentingnya keselamatan, dan upaya-upaya pencegahan dalam mencapai tujuan keselamatan. 
Sikap terhadap keselamatan dapat diasumsikan merupakan salah satu indikator dari budaya keselamatan.  Namun demikian perlu dipertimbangkan pendapat Ajzen (dalam Fogarty & Shaw, 2003), bahwa sikap seringkali gagal untuk menampilkan korelasi yang kuat dengan perilaku karena banyaknya faktor yang secara potensial menghalangi berubahnya sikap menjadi perilaku.   Untuk itu, Ajzen mengenalkan konsep intensi (intention) sebagai penghubung antara sikap dan perilaku.   Disini, sikap dapat digunakan untuk memprediksi intensi individu yang selanjutnya akan menampilkan perilaku aktual. 
Melalui kajian literatur tentang berbagai penelitian budaya keselamatan, Gadd dan Collins (2002) mengindikasikan ada tiga komponen yang utama dalam budaya keselamatan, yaitu; komponen psikologis, komponen situasional, dan komponen perilaku. Komponen situasional menyangkut struktur organisasi, misalnya; kebijakan, prosedur kerja, sistem manajemen, dsb.   Komponen perilaku mencakup kinerja (performance), termasuk disini perilaku keselamatan dan perilaku tidak aman.  Sedangkan komponen psikologis berhubungan dengan iklim keselamatan (safety climate) yang menyangkut norma, nilai-nilai, persepsi dan sikap terhadap keselamatan.   Oleh karenanya, Cox dan Flin (dalam Gadd dan Collins, 2002) mengemukakan bahwa untuk memahami budaya keselamatan secara psikologis, iklim keselamatan dapat dipandang sebagai salah satu indikator.

Perilaku Tidak Aman
           
            Berkaitan dengan komponen perilaku dari budaya keselamatan, maka perilaku tidak aman dapat dikategorikan sebagai komponen perilaku.   Untuk mengklasifikasi perilaku tidak aman, Shappell dan Wiegman (2004) mengembangkan konsep HFACS atau Human Factors Analysis dan Classification System, yang merupakan konsep aplikasi dari ”Swiss Cheese” model human error dari Reason (1990).   Dalam model Reason ini, dijelaskan empat tingkat kegagalan (failure) manusia, di mana tingkat sebelumnya akan mempengaruhi tingkat di bawahnya, yaitu;  1) pengaruh organisasi (organization influnces), 2) supervisi tidak aman (unsafe supervision), 3) prakondisi untuk tindakan tidak aman (precondition for unsafe acts), dan 4)  tindakan tidak aman (unsafe acts).   
Seperti telah disinggung di atas, dalam HFACS, Shappell dan Wiegman mengungkapkan bahwa perilaku pelanggaran (violation) merupakan salah satu bentuk perilaku tidak aman.   Perilaku tidak aman ini muncul dalam bentuk tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur atau ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan oleh otoritas.   Tindakan atau perilaku pelanggaran ini dapat bersifat rutin, atau merupakan kebiasaan yang dilakukan dan tidak menimbulkan dampak terhadap keselamatan.  Tindakan pelanggaran juga dapat bersifat pengecualian, karena situasi yang mendesak dan tidak ada prosedur yang jelas sehingga penerbang melakukan tindakan pelenggaran.
Shappell dan Wiegman (2004), mengembangkan HFACS atau Human Factors Analysis dan Classification System.  HFACS merupakan konsep aplikasi ”Swiss Cheese” model dari Reason (1990).  Dalam HFACS, Shappell dan Wiegman mengkasifikasikan tindakan atau perilaku tidak aman menjadi dua bentuk perilaku, yaitu; error (kesalahan) dan violation (pelanggaran).   Kesalahan atau error yang berhubungan dengan perilaku tidak aman dapat terjadi dalam bentuk kesalahan pengambilan keputusan (decisions error), kesalahan dalam keterampilan dasar (skill-based error), dan kesalahan pengamatan (perceptual error).  Sedangkan perilaku tidak aman dalam bentuk violation berkaitan dengan tindakan individu yang tidak sesuai prosedur atau ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan oleh otoritas.  Violation dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu; pelanggaran rutin (routine violation), dan pelanggaran dengan pengecualian (violation by exceptional).

Iklim Keselamatan dan Perilaku Tidak Aman dalam aplikasi Theory of Planned Behavior

Dalam studi iklim keselamatan, sejumlah peneliti berusaha mengkatagorikan variabel-variabel iklim keselamatan untuk mengkonstruk model dalam rangka menjelaskan interaksi diantara variabel tersebut.  Pada umumnya pengkatagorian variabel-variabel yang ada diorganisasikan mengikuti level atau tingkat di mana variabel tersebut berpengaruh.  Jadi, variabel-variabel yang ada akan diklasifikasikan apakah berada di level organisasi, kelompok, atau individu.   Sebagai contoh, Fogarty et.al. (2001) mengembangkan suatu model untuk menjelaskan penyebab kesalahan (error) dalam pemeliharaan pesawat udara.  Penyelidikannya mengenai pengaruh variabel organisasional, jabatan pekerjaan (job), dan individu terhadap terjadinya kesalahan menggunakan Structural Equation Model (SEM).  Hasilnya menunjukan bahwa efek faktor-faktor di level organisasional terhadap terjadinya kesalahan dimediasi oleh faktor-faktor di level individual, seperti kondisi kesehatan dan stres.  Studi yang sama dilakukan oleh Lawton (dalam Fogarty and Shaw, 2003) yang meneliti penyebab terjadinya pelanggaran (violation) pada juru langsir kereta api di Inggris.  Walaupun variabel akibat yang diteliti berbeda (kesalahan vs pelanggaran), namun kedua model memperlihatkan kesamaan bahwa variabel di tingkat individual merupakan mediator hubungan antara faktor-faktor organisasional dengan perilaku tidak aman.   Fogarty dan Neal (2002) menggabungkan kedua variabel dalam penelitiannya terhadap penyebab terjadinya kesalahan dan pelanggaran di industri konstruksi.  Laporan penelitian mengungkap bahwa variabel iklim keselamatan dapat memprediksi kesalahan, di mana variabel di tingkat individual memprediksi kesalahan. 
Terdapat kelemahan dari model pendekatan iklim keselamatan di atas tidak menampilkan gambaran yang dapat menjelaskan bagaimana perubahan perilaku sesuai alur utama (mainstream) psikologi.  Konstruk-konstruk  psikologi yang saling berkaitan sebenarnya dapat disusun dan dilakukan untuk menjelaskan model iklim keselamatan.  Misalnya, sikap terhadap keselamatan dapat diasumsikan merupakan salah satu indikator dari budaya keselamatan.  Namun demikian ternyata sikap terhadap suatu objek atau peristiwa/situasi tidak sertamerta membentuk perilaku tertentu yang sesuai.  Ajzen (dalam Fogarty and Shaw, 2003), mengungkapkan bahwa sikap seringkali gagal menampilkan korelasi yang kuat dengan perilaku karena banyaknya faktor yang secara potensial menghalangi berubahnya sikap menjadi perilaku.   Untuk itu, Ajzen melalui Theory of Planned Behavior (TPB) mengenalkan konsep intensi (intention) sebagai penghubung antara sikap dan perilaku.   Disini, sikap dapat digunakan untuk memprediksi intensi individu yang selanjutnya akan menampilkan perilaku aktual.   Menggabungkan intensi sebagai variabel mediasi akan memperkuat hubungan antara sikap dan perilaku dalam aplikasi TPB di berbagai variasi seting situasi (Conner, Warren, Close, & Sparks, 1999 ; Furnham & Lovett, 2001, dalam Fogarty and Shaw, 2003).  
Norma subjektif seperti yang dikenalkan oleh Ajzen sebagai salah satu variabel prediksi intensi merupakan konsep yang cukup kompleks.  Norma subjektif berhubungan dengan keyakinan (beliefs) dan perilaku orang yang dapat mempengaruhi pandangan individu.  Misalnya, bila seorang pekerja tidak mempercayai bahwa manajemen atau rekan-rekan kerjanya memperhatikan keselamatan kerja, maka mereka akan mempunyai anggapan bahwa keselamatan itu tidak penting.    Selain konsep norma subjek, Ajzen juga mengenalkan variebal prediktor ketiga yang ia sebut kontrol perilaku yang diamati (perceived behavioral control).  Variabel ini juga dapat langsung berhubungan dengan perilaku tidak aman.   Menurut Ajzen, perceived behavioral control memperkuat hubungan antara intensi dengan perilaku. 
Dalam aplikasi yang lebih luas, TPB dapat dimanfaatkan untuk studi tentang iklim keselamatan dengan meneliti variabel di level individual, kelompok, dan organisasional.   Sikap individu terhadap keselamatan sering digunakan sebagai variabel iklim keselamatan (Fogarty and Shaw, 2003).   Studi tentang iklim keselamatan mengamati pengaruh norma subjektif.  Individu dalam organisasi dilihat sebagai anggota suatu kelompok kerja.  Norma yang dikembangkan oleh kelompok kerja cenderung mempengaruhi perilaku pekerja yang merasa sebagai anggota atau bagian dari kelompok.  Dalam level kelompok, beberapa penelitian dalam studi iklim keselamatan menunjukan cukup besarnya peran norma kelompok dalam perilaku keselamatan.  Dapatlah dikatakan bahwa perceived behavioral control merupakan tekanan di tempat kerja (workplace pressure) yang mencegah pekerja melanggar dan untuk mengikuti prosedur.  Dari sudut pandang ini, perceived behavioral control dapat diasosiasikan sebagai intensi untuk melanggar prosedur, sehingga mengapa variabel ini dapat dijadikan prediktor perilaku pelanggaran. 

Gambar 1:         Model Teoritik Keselamatan, Sikap terhadap Pelanggaran, Norma Kelompok tentang Keselamatan, Tekanan di Tempat Kerja, Intensi untuk Melanggar, dengan Perilaku Pelanggaran

Dalam studi iklim keselamatan terdapat satu variabel yang juga penting, yaitu; sikap manajemen terhadap keselamatan.  Menurut Zohar (1980), melalui studi iklim keselamatan, dilaporkan bahwa persepsi karyawan mengenai sikap manajernya terhadap keselamatan merupakan prediktor yang sangat penting.  Dalam studi iklim keselamatan, sikap manajemen terhadap keselamatan mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap perilaku melanggar melalui sikap individu, norma subjektif, perceived control.   Hubungan antar variabel dapat dilihat pada gambar 1.

Manfaat Kajian sebagai Kesimpulan

Terdapat beberapa manfaat yang dapat diperoleh dengan dijelaskannya model hubungan budaya keselamatan dan perilaku tidak aman penerbang.  Pertama, diperoleh gambaran yang utuh mengenai komponen-komponen yang membangun budaya keselamatan.  Kedua, sejauhmana budaya keselamatan melalui faktor-faktornya berpengaruh terhadap perilaku tidak aman penerbang.  Ketiga, dengan dapat dijelaskannya mengenai hubungan antar faktor-faktor di dalam budaya keselamatan dengan perilaku tidak aman penerbang, maka dapat dikembangkan strategi intervensi yang efektif terhadap faktor-faktor budaya keselamatan yang dapat mempengaruhi perilaku keselamatan dan/atau mencegah timbulnya perilaku tidak aman.

KEPUSTAKAAN

Ajzen, I., (1988).  Attitudes, Personality, and Behaviour.  Milton Keynes:  Open University.

Cooper, M.D., (2000).  Towards a Model of Safety Culture.  Safety Science. Vol 36(2), Nov 2002, pp. 111-136.

Falconer, B.T., (2006). Attitudes to Safety and Organisational Culture In Australian Military Aviation. A Thesis Submitted in Fulfilment of The Requirements for The Degree of Doctor of Philosophy. New South Wales: University of New South Wales, Departement of Aviation.

Fogarty, G.J., Saunders, R., and Coolyer, R., (2001).  The Role of Individual and Organizational Factors in aviation maintenance.  Paper presented at the Eleventh International Symposium on Aviation Psychology, Colombus Ohio.

Fogarty, G.J., and Neal, T., (2002).  Explaining Safety violations and errors in the Construction Industry.  XXV International Congress of Applied Psychology, Singapore, July 7-12.

Fogarty, G.J., and Shaw, A., (2003).  Safety Climate and the Theory of Planned Behaviour: Towards the Prediction of Unsafe Behaviour.  In 5th Australian Industrial and Organizational Psychology Conference, 26-29 June 2003, Melbourne, Australia. (Unpublished).

Gadd, S., Collins, A.M., (2002).  Safety Culture: A Review of The Literature.  Broad Lane, Shefield: Health & Safety Laboratory.

Grote, G., (2007).  Understanding and Assessing Safety Culture Through The Lens of Organizational Management of Uncertainty. Safety Science. Vol 45(6), Jul 2007, pp.637-652.

Helmreich, R.L., (1999).  Building Safety in The Three Cultures of Aviation.  In The Proceeding of The IATA Human Factors Seminar (pp. 39-43). Bangkok, Thailand.

Hofstede, G., (1983). Dimensions of National Cultures in Fifty Caountries and three Regions. In, Deregowski, J.B., Dziurawiec, S., and Annies, R.C. (Ed’s), Expiscations in Cross-cultural Psychology. Lisse, Netherlands: Swets & Zeitlinger.

Hofstede, G., (2001). Culture’s Consequences, 2’nd Edition: Comparing Values, Behaviours, Institutions, and Organizations across Nations. Sage Publications, England.

Hopkins, A., (2006).  Studying Organisational Culture and Their Effects on Safety. National Research Centre for OHS Regulation ANU. 

Hudson, P., (2001).  Aviation Safety Culture. Leiden University: Centre for Safety Science.  

Infortunio, F.A., (2006).  An Exploration of The Correlations Between Fatal Accident Rates Across Nations and The Cultural Dimensions of Power Distance, Uncertainty, Individuality, and Masculinity.  Dissertation Abstracts International Section A: Humanities and Social Sciences Vol 67(5-A), pp. 1809.

Li, Wen-Chin, Harris, D., and Chen, A., (2007).  Eastern Minds in Western Cockpits: Meta-anlaysis of Human Factors in Mishaps From Three Nations.  Aviation, Space, and Environmental Medicine, Vol 78(4, Sect 1), Apr 2007, pp. 420-425.

Li, Wen-Chin, Harris, D., and Yu, Chung-San, (2008).  Routes to Failure: Analysis of 41 Civil Aviation Accidents From The Republic of China Using The Human Factors Analysis and Classification System.  Accident Analysis and Prevention. Vol 40(2), Mar 2008, pp. 426-434.
Mjos, K., (2004).  Basic Cultural Elements Affecting the Team Function On the Flight Deck.  The International Journal of Aviation Pasychology. Vol 14(2), April 2004, pp. 151-169.

Orasanu, J.M., (1992).  Shared Problem Models and Flight Crew Performance. Dalam, Johnston, N., McDonald, N., dan, Fuller, R. (Eds). Aviation Psychology in Practice.  Vermont : Ashgate Publishing Company.

Patankar, M.S., (2003).  Study of Safety Culture at an Aviation Organization.  International Journal of Applied Studies. Vol 3(2), 2003, pp. 243-255.

Shappell, S.A., and Wiegmann, D.A., (2004).   Department of Defense Human Factors Analysis and Classification System:  A Mishap Investigation and Data Analysis Tool (DoD HFACS).  Washington, DC.: DoD.

Soeters, J.L., and Boer, P.C., (2000).  Culture and Flight Safety in Military Aviation. The International Journal of Aviation Psychology. Vol 10(2), pp. 111-133. Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Taylor, J.C., Thomas, R.L., (2003).  Toward Measuring Safety Culture in Aviation Maintenance: The Structure of Trust and Professionalism. The International Journal of Aviation Psychology, Vol 13(4), Oct. 2003, pp. 321-343. 

Thaden, T.L., Kessel, J., and Ruengvisesh, D., (2008).  Measuring Indicators of Safety Culture in a Major European Airline’s Flight Operations Departement.  The Proceeding of the 8th International Symposium of the Australian Aviation Psychology Association. Novotel Brighton Beach, Sydney, 8-11 April.

Wiegman, D.A., Zhang, H., Thaden, T.L., Sharma, G., and Gibbons, A.M., (2004).  Safety Culture: An Integrative Review.  The International Journal of Aviation Psychology, 14(2), 117-134.  Illinois:  Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Wiegman, D.A., Zhang, H., Thaden, T.L., Sharma, G., and Mitchell, A.A., (2002).  A Synthesis of Safety Culture and Safety Climate Research.  Tchnical Report ARL-02-3/FAA-02-2.  Prepared for Federal Aviation Administration Atlantic City International Airport, NJ.  Illinois: University of Illinois.

You, X., Li, Y., Shi, X., and Jin., L., (2005).  A Factors Analysis of The Evaluation Method of Safety Culture In Airline Flight. Psychological Science (China), pp. 837-840.




Minggu, 26 April 2020

PSIKOLOGI PENERBANGAN: SUATU PENGENALAN


Widura Imam Mustopo

Pendahuluan
              
               Psikologi secara umum dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang perilaku dan proses mental manusia, meskipun perilaku hewan juga dipelajari, terutama sebagai sarana untuk lebih memahami perilaku manusia. Secara luas psikologi mencakup banyak bidang kekhususan. American Psychological Association (APA), suatu organisasi psikolog profesional di Amerika Serikat, memiliki daftar lebih dari 50 divisi dan masing-masing divisi mewakili aspek studi psikologi yang saling terpisah. Sedangkan di Indonesia Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) setidaknya terdaftar 20 Asosiasi/Ikatan Minat Bidang Psikologi yang beragam berkaitan dengan berbagai aspek psikologi, seperti klinis, kesehatan, industri dan organisasi, pendidikan, sekolah, forensik, militer, penerbangan dan lainnya. Semua ini berkaitan dengan pemahaman bagaimana perilaku manusia dan proses mental mempengaruhi atau dipengaruhi oleh masalah domain khusus mereka. 
             Tulisan ini mengulas apa yang dimaksud dengan psikologi penerbangan. Pembaca dikenalkan pada hal-hal yang termasuk dalam bahasan psikologi penerbangan, dan berbagai hal penting untuk membedakan psikologi penerbangan dan dunia psikologi lainnya.  Tetapi sebelumnya, perlu disingkirkan dulu citra populer tentang psikologi yang berhubungan dengan seseorang yang mengungkapkan keluhan atau masalahnya, ataupun seseorang yang berbaring di sofa menceritakan masa kecilnya dan riwayat perkembangan emosinya.  Pandangan tentang psikologi yang populer seperti tersebut itu lebih merupakan bidang yang berkaitan dengan psikologi klinis. Meskipun psikologi klinis merupakan komponen utama di bidang psikologi yang lebih luas, namun dapat dikatakan sedikit relevansinya dengan psikologi penerbangan. Itu tidak berarti bahwa pilot dan orang-orang yang terlibat di dunia penerbangan sama sekali tidak berhubungan dengan masalah mental atau apa yang dialami oleh umat manusia pada umumnya. Hanya saja di sini tidak membahas aspek-aspek psikologi manusia yang biasanya ditangani di bidang klinis melainkan mengulas aspek-aspek psikologi yang dapat mempengaruhi kinerja manusia dalam lingkungan penerbangan. Lebih menekankan pada semua aspek fungsi mental pilot, teknisi pemelihara, pengontrol lalu lintas udara, dan awak pendukung lainnya yang secara tak terelakkan dapat memengaruhi perilaku menjadi lebih baik atau lebih buruk.
          Pembahasan akan memilah psikologi penerbangan dari fokus psikoterapi psikologi klinis tradisional. Psikologi penerbangan akan lebih memusatkan perhatian pada perilaku maladaptif yang harus dibuktikan dengan perilaku yang tampil seperti minum berlebihan atau mengungkap gagasan yang membingungkan terkait dengan gangguan kepribadian, tetapi itu dilakukan untuk tujuan memahami dan memprediksi efek dari gangguan dan perilaku tersebut pada kegiatan yang terkait penerbangan, bukan untuk tujuan intervensi bentuk psikoterapi. Pendekatan yang digunakan dalam memahami psikologi penerbangan di sini jauh lebih mendasar. Fokus perhatian di sini tidak hanya terhadap perilaku (apa yang dilakukan orang) dan ide (apa yang dipikirkan orang) dari orang-orang dengan berbagai gangguan mental. Tetapi juga, perhatian terhadap bagaimana orang berperilaku pada umumnya. Psikologi pada tingkat paling inklusif adalah studi tentang perilaku orang pada umumnya. Psikologi di sini mempertanyakan mengapa dalam kondisi tertentu orang berperilaku dengan cara tertentu dan dalam kondisi berbeda mereka berperilaku dengan cara yang berbeda. Bagaimana peristiwa sebelumnya atau pengalaman, struktur kognitif, keterampilan, pengetahuan, kemampuan, preferensi, sikap, persepsi, dan sejumlah konstrak psikologi lainnya dapat mempengaruhi perilaku? Psikologi ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang hal itu, dan berupaya mendapatkan mekanisme untuk menemukan jawaban. Ini semua memungkinkan pembaca dapat memahami dan memprediksi perilaku manusia.
       Dalam hal ini, ada kontribusi dari beberapa sub-disiplin bidang psikologi terhadap psikologi penerbangan. Ini termasuk psikofisiologis, psikologi kerekayasaan, dan disiplin lainnya yang terkait erat dengan faktor manusia, seperti; psikologi personil, psikologi kognitif, dan psikologi organisasi. Meskipun psikologi penerbangan sangat bergantung pada disiplin ilmu psikologi lainnya, namun sebenarnya disiplin ilmu lainnya juga sangat berhutang budi pada psikologi penerbangan karena mendukung kemajuan psikologi, khususnya di bidang psikologi terapan. Ini terutama disebabkan oleh ikatan historis psikologi penerbangan dengan penerbangan militer. Karena sejumlah alasan, penerbangan, dan pilot khususnya, selalu menjadi masalah yang sangat besar bagi militer. Pelatihan pilot militer adalah proses yang mahal dan panjang, sehingga perhatian besar telah diberikan, sejak Perang Dunia I, untuk meningkatkan kualitas seleksi individu-individu calon pilot ini untuk mengurangi kegagalan dalam pelatihan, asal-usul personel dan psikologi pelatihan. Demikian pula, biaya pesawat udara yang besar dan kerugiannya karena kecelakaan berkontribusi pada pengembangan faktor manusia dan psikologi kerekayasaan. Interaksi manusia dengan sistem otomasi, sekarang menjadi perhatian besar di era komputer, dan telah menjadi problem studi selama beberapa dekade dalam penerbangan, mulai dari pengenalan sistem penerbangan dan dalam beberapa tahun terakhir kokpit kaca canggih. Banyak penelitian yang dikembangkan dalam manajemen operasional penerbangan untuk sistem canggih ini sama-sama sesuai dengan tampilan dan kontrol canggih yang juga akan segera muncul di mobil dan truk.


Pengertian, Ruang Lingkup Psikologi Penerbangan

Dari pengertiannya yang umum, psikologi penerbangan dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia di dunia penerbangan.  Psikologi penerbangan ingin menelaah aspek-aspek perilaku manusia yang terkait dengan lingkungan penerbangan.  Secara lebih spesifik beberapa ahli psikologi penerbangan mendefinisikan sesuai dengan latar belakang dan tujuan masing-masing ahli tersebut. Psikologi penerbangan didefinisikan sebagai “Ilmu terapan yang mempelajari perilaku manusia dalam upaya untuk menyesuaikan diri  dengan lingkungan penerbangan" (Bond, et.al., 1962).  Bond dan kawan-kawan mencoba mendefinisikan psikologi penerbangan sebagai ilmu terapan, artinya psikologi penerbangan dikembangkan sebagai ilmu yang berorientasi pada pemecahan permasalahan di lapangan dan atau operasional, dalam hal ini operasional penerbangan.  Roscoe (dalam Roscoe & Williams, 1980) mendefinisikan psikologi penerbangan sebagai ilmu tentang perilaku manusia dalam pengoperasian sistem penerbangan". Martinussen & Hunter (2018) mendefinisikan sebagai studi tentang individu yang terlibat dalam kegiatan yang terkait penerbangan. Dari definisi di atas, secara ringkas psikologi penerbangan merupakan ilmu terapan yang pokok studinya adalah perilaku manusia dalam aktivitasnya di dunia penerbangan. 
Para ahli mengungkapkan bahwa psikologi penerbangan pada dasarnya mempelajari perilaku manusia.  Perilaku di sini dapat diartikan luas mencakup tindakan manusia, proses kognitif, dan emosional, termasuk di dalamnya hal-hal yang mempengaruhinya seperti perbedaan lintas budaya, antar dan intra-individu.  Dan perilaku manusia tersebut secara khusus dipelajari dalam lingkungan sistem yang kompleks di penerbangan. 
Sebagai ilmu terapan, psikologi penerbangan mengembangkan dan mengaplikasikan metode-metode dan teknik-teknik psikologi ilmiah berbasis empiris.  Metode dan teknik-teknik psikologi tersebut terutama yang terkait dengan bidang psikologi terapan, seperti psikologi kerja, psikologi organisasi, psikologi personel, psikologi sosial, psikologi pendidikan, diagnostik psikologi, psikologi kesehatan, dan psikologi klinis.
            Memperhatikan ruang lingkup studi psikologi penerbangan tersebut di atas, maka psikolog penerbangan bekerja dan bertanggung jawab atas bidang psikologi dalam area kerja: Seleksi, kualifikasi, dan pelatihan ; optimalisasi kondisi kerja dan pengembangan sistem ; pengurangan risiko keselamatan ; investigasi kecelakaan dan insiden ; intervensi krisis dan intervensi psikologis klinis ; manajemen beban kerja ; kualitas kerja tim dan sumber daya tim.


Tujuan Psikologi Penerbangan

Tujuan dari psikologi penerbangan adalah untuk memahami dan memprediksi perilaku individu dalam lingkungan penerbangan. Mampu, walaupun tidak sempurna, untuk memprediksi perilaku mempunyai manfaat besar bagi dunia penerbangan. Memprediksi secara akurat bagaimana pilot akan bereaksi (berperilaku) dalam membaca instrumen memungkinkan kita untuk mengurangi kesalahan pilot, yaitu dengan merancang instrumen yang lebih mudah ditafsirkan dan tidak mengarah pada potensi reaksi yang salah. Memprediksi bagaimana perilaku teknisi pemeliharaan ketika diberi serangkaian instruksi baru dapat menyebabkan peningkatan produktivitas melalui pengurangan waktu yang diperlukan untuk melakukan tindakan pemeliharaan. Memprediksi bagaimana lama istirahat akan mempengaruhi pengontrol lalu lintas udara ketika dihadapkan dengan konflik lalu lintas yang dapat meningkatkan keselamatan.  Memprediksi apakah restrukturisasi perusahaan pada budaya keselamatan suatu organisasi dapat mengidentifikasi area di mana konflik mungkin terjadi dan area di mana keselamatan cenderung menurun.
Dari tujuan umum untuk memahami dan memprediksi perilaku individu dalam lingkungan penerbangan, dapat diidentifikasi tiga tujuan yang lebih spesifik. Pertama, untuk mengurangi kesalahan oleh manusia dalam aktivitas penerbangan; kedua, untuk meningkatkan produktivitas; dan ketiga, untuk meningkatkan kenyamanan pekerja dan penumpangnya. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini diperlukan kegiatan yang terkoordinasi dari banyak kelompok orang yang terlibat di penerbangan. Ini termasuk pilot, teknisi-pemelihara, operator kontrol lalu lintas udara, manajer organisasi penerbangan, pengangkut bagasi, supir truk bahan bakar, katering, ahli meteorologi, dispatcher, dan petugas kabin. Semua kelompok kerja ini, ditambah beberapa kelompok kerja pendukung lainnya, memiliki peran dalam mencapai ketiga tujuan psikologi penerbangan yaitu: keselamatan, efisiensi, dan kenyamanan. Namun, karena mengulas semua kelompok itu menjadi sangat luas maka pembahasan umumnya difokuskan pada pilot.  Alasan lain mengapa fokus pada pilot karena sebagian besar penelitian psikologi penerbangan dilakukan pada pilot. Hal ini perlahan berubah, dan belakangan ini lebih banyak penelitian yang telah dilaksanakan atau sedang dilakukan ditujukan pada pengontrol lalu lintas udara, anggota kru, dan kelompok pekerjaan lain yang terlibat dalam penerbangan.

Kepustakaan:

Bond, N.A., Bryan, G.L., (1962).  Aviation Psychology.  L.A. :   Aviation and Missile Safety Division.Goeters, K.M.(Ed), Aviation Psychology :  A Science and a Profession.  Vermont: Ashgate Publishing Co. 
Martinussen, M., and Hunter, D.R., (2018). Aviation Psychology and Human Factors (Second Edition). NW, Suite 300: Taylor & Francis Group, LLC., CRC Press.
Roscoe, S.N., and Williams, A.C. (1980). Aviation Psychology. NY: John Wiley & Sons,  
       Incorporated.
Tsang, P.S., and Vidulich, M.A., (2003). Introduction to Aviation Psychology. In, Tsang, P.S., and Vidulich, M.A. (Ed’s), Principle and Practice of Aviation Psychology Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers.
Widura IM., (1986). Psikologi Dalam Lingkungan Penerbangan. Dalam : Kumpulan Karya Tulis Alumni Fakultas Psikologi Unpad, Dalam Rangka Lustrum V & Hari Sarjana Fakultas Psikologi Unpad.  Bandung :  Fakultas Psikologi Unpad. 




Minggu, 05 Januari 2020


REAKSI PATOLOGIS PILOT MENGHADAPI KEJUTAN OTOMASI

Widura Imam Mustopo

Diadaptasi dari tulisan Wayne Martin, Patrick Murray, and Paul Bates, dalam artikel tanggal 2 Mei 2013 tentang “Pathological reactions: Researchers explore pilot impairment from severe startle, freezing and denial during unexpected critical events”. Flight Safety Foundation. Alexandria, Virginia 22314. (diunduh dari https://t.co/ 4JmE7b7V1T. 27 November, 2019).

Dalam beberapa dekade belakangan ini, dunia telah memperoleh manfaat yang luas dengan perkembangan otomasi dalam kontrol pesawat udara yang meningkatkan keselamatan penerbangan komersial. Namun demikian, diakui pula bahwa pada beberapa kecelakaan besar beberapa tahun terakhir, ditemukan pilot bisa gagal bereaksi ketika dikejutkan oleh situasi kritis yang tak terduga. Dalam beberapa kasus, pilot bereaksi secara tidak efektif atau tidak akurat, atau bahkan gagal bereaksi pada waktu yang tepat. Kejutan tak terduga itu sendiri merupakan kondisi yang dapat terjadi pada sistem otomasi. Beberapa faktor potensial yang dapat menimbulkan kejutan dalam sistem otomasi antara lain, karena kompleksitas sistem otomasi, di mana sistem tersebut merupakan penggabungan dari berbagai sistem lainnya, sehingga bisa terjadi informasi umpan balik dalam sistem berlangsung tidak memadai.
Kejutan otomasi biasanya terjadi pada salah satu dari dua kejadian di kokpit pesawat berteknologi canggih.  Pertama, bila ada peristiwa yang tidak terduga atau situasi berubah tiba-tiba tanpa instruksi/perintah, dan perubahan sistem terebut baik sudah dikenal atau tidak dikenal oleh pilot. Tipe kedua, kejutan otomasi yang terjadi sebagai hasil tak terduga dari perubahan yang diperintahkan, seperti dalam kasus autopilot gagal menangkap informasi ketinggian pesawat ketika pilot memperoleh input (dan mengharapkan) ke level yang telah dipilih sebelumnya. Dalam kedua kasus tersebut, pilot mengidentifikasi adanya perbedaan (dengan yang diharapkan), ia menjadi bingung sesaat, dan seringkali, tidak memiliki ide langsung tentang tindakan apa yang harus diambil untuk memperbaiki situasi. Kebingungan dan ketidakpastian ini bukan disebabkan kurang pemahaman atau kesadaran pilot tentang keadaan pesawat, tetapi kurangnya kesadaran tentang sistem otomasi.
Dari penelitian eksperimen di simulator penerbangan, analisis laporan tentang accident (kecelakaan penerbangan) dan serious incident, serta tinjauan literatur neuroscience dan psikologi menunjukkan bahwa reaksi patologis diinduksi oleh severe startle (kejutan hebat) yang mengakibatkan stres akut dan selanjutnya dapat menimbulkan reaksi membeku (freezing) atau menyangkal (denial) (Martin, et.al., 2013). Dua jenis reaksi yang memberikan konsekuensi individu tidak bertindak apa-apa ketika seharusnya ia melakukan tindakan tertentu untuk mengatasi situasi.  Reaksi ini kerap terjadi dan sering tidak disadari. Beberapa ahli berpendapat bahwa severe startle memberikan dampak yang kuat dan serius bagi orang yang mengalaminya.
Perilaku dalam bentuk tidak melakukan tindakan apa-apa semacam itu jelas berpotensi memberikan efek signifikan pada keselamatan penerbangan.  Kondisi tersebut dapat mengakibatkan kondisi pesawat tidak seperti yang diinginkan, dan akibatnya terjadi serious incident atau accident.  Untuk mengatasinya, diperlukan penelitian lebih lanjut, terutama untuk mengembangkan intervensi pelatihan yang sesuai di masa mendatang.  Intervensi seperti itu dapat memvalidasi asumsi bahwa dengan memaparkan pilot pada situasi kritis yang tidak biasa saat pelatihan di simulator, akan membuat pilot mampu mengembangkan strategi spesifik dan generik untuk menghadapinya.  Idealnya, paparan seperti itu juga akan menimbulkan self-efficacy yang lebih besar, dan pada gilirannya akan membuat pilot secara signifikan lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami reaksi stres akut ketika mengalami severe startle pada situasi nyata (Martin, et.al., 2013).
Pada dasarnya manusia sangat rentan terhadap reaksi stres akut, yang terjadi ketika menghadapi kejadian yang tidak terduga, mengancam, dan/atau kritis, di mana beberapa orang gagal mengatasinya dengan baik. Reaksi stres fisiologis telah terbukti memiliki dampak yang kuat pada working memory dan fungsi kognitif lainnya. Pola berpikir yang seharusnya konstruktif seringkali beralih ke tindakan yang tidak relevan, dan konsekuensinya malah menambah kecemasan. Reaksi stres akut, yang terkait dengan persepsi terhadap ancaman, dapat menciptakan situasi di mana pada beberapa orang merasa kewalahan dan/atau mengandalkan mekanisme coping seperti freezing atau denial.

Lumpuh karena Ketakutan
Reaksi stres akut seperti telah disinggung sebelumnya, umumnya sering terjadi ketika seseorang menghadapi keadaan darurat yang mengancam jiwa. Hal ini bisa diamati pada perilaku manusia ketika menghadapi bencana yang terjadi di suatu tempat. Gempa bumi, banjir, kebakaran, tenggelamnya kapal, bencana anjungan minyak yang tenggelam atau tumburan kereta api dapat menimbulkan perilaku yang beraneka ragam. Beberapa penelitian melalui saksi mata dan wawancara terhadap korban dan para penyintas (survivor) melaporkan bahwa mereka melihat orang-orang yang tidak selamat tersebut mengalami kelumpuhan karena ketakutan dan tidak mampu bertindak apa-apa, bahkan ketika mereka seharusnya melakukan tindakan tertentu yang sebetulnya bila dilakukan dapat membantu mereka bertahan hidup. Dari perspektif keselamatan penerbangan, tidak bertindak apa-apa (inaction) dalam menghadapi ancaman merupakan kekhawatiran tersendiri. Observasi terhadap perilaku penumpang pesawat selama evakuasi kecelakaan pesawat, ternyata, polanya sama. Dalam suatu uji coba simulasi evakuasi penumpang pesawat yang mengalami kecelakaan, peneliti menemukan perilaku lamban dan pasif ditampilkan oleh sejumlah penumpang. (Muir, et.al., 1989 & Muir, et.al., 1996) Suatu studi menunjukkan bahwa 10 hingga 15 persen orang biasanya menunjukkan perilaku patologis seperti itu ketika dihadapkan pada situasi yang mengancam jiwanya (Leach, 2004 & U.K. Air Accidents Investigation Branch, 1988). 
Reaksi lamban atau tidak bertindak apa-apa ini, merupakan reaksi stres akut terhadap stimulus yang sangat mengancam, yang disebabkan oleh mekanisme freezing atau denial. Suatu eksperimen oleh peneliti lain menunjukkan bahwa gangguan kognitif dan dexterity (kecekatan tangan/kaki) umumnya dapat bertahan hingga 30 detik setelah situasi kejut terjadi (Thackray & Touchstone, 1983; Vlasek, 1969 ; Woodhead, 1969 & Woodhead, 1969). Reaksi-reaksi ini dapat dianggap tipikal di sebagian kecil populasi orang yang menghadapi ancaman.  Sebagian besar orang berharap bahwa pilot profesional, yang umumnya terlatih dengan baik, dan berpengalaman, kompeten serta memiliki kemampuan tanpa cela akan mampu mengatasi situai darurat yang kritis untuk menghindari bencana. Sayangnya, hal ini tidak selalu sesuai dengan harapan dan kadang hal ini bukan karena masalah kompetensi.
Kehandalan pesawat yang sangat canggih telah menjadi keniscayaan, namun temuan resmi dari penyelidikan accident pesawat atau serious incident lebih sering diwarnai oleh kegagalan manusiawi yang kebetulan melibatkan pilot. Dalam beberapa kecelakaan fatal yang relatif baru, temuan menunjukkan bahwa crew atau pilot telah salah menangani situasi kritis dan gagal me-recover pesawat. Biasanya, hal tersebut karena ada keterlambatan dalam bereaksi/bertindak, atau tindakan yang diambil salah, yang memperburuk masalah. Meskipun pilot aktif secara rutin berlatih menghadapi kegagalan mesin, kebakaran mesin, depresurisasi dan malfungsi sistem utama, serta jenis-jenis peristiwa kritis yang terdapat dalam data kecelakaan (termasuk kecelakaan baru-baru ini) dianggap sebagai peristiwa yang sangat tidak biasa. Pelatihan-pelatihan di simulator telah dilaksanakan dengan melibatkan situasi yang tidak terduga di mana pilot dibuat menjadi sangat terkejut dan/atau kewalahan. Namun, respon terhadap severe startle - atau reaksi stres akut berupa freezing dan denial - tetap terjadi dan kadang diperburuk oleh ekspektasi yang dikondisikan bahwa mereka dalam bertindak tidak mungkin salah (Martin, et.al., 2013). 


Proses Reaksi
Inti dari reaksi stres akut terletak pada penilaian (appraisal) seseorang terhadap stimulus tertentu yang mengancam. Di sini appraisal diartikan sebagai "suatu proses evaluatif yang menentukan mengapa dan sejauh mana suatu transaksi atau serangkaian transaksi tertentu antara orang dan lingkungan itu menimbilkan stres" (Leach, 2004). Para ahli berpendapat bahwa dalam appraisal terlibat dua proses yang berbeda, yaitu; penilaian primer, yang menentukan tingkat ancaman, dan penilaian sekunder, yang menentukan cara penanganan yang tepat. Proses ini berlangsung sangat cepat dan biasanya mendahului proses berpikir secara sadar di korteks otak. Fakta ini jelas menguntungkan ketika situasi kritis memerlukan tindakan segera, tetapi di sisi lain fakta tersebut juga dapat menyebabkan reaksi stres akut bersifat patologis yang tidak memberikan jaminan efektivitas tindakan dalam mengatasi situasi. 
Ketika situasi dinilai sebagai ancaman, manusia akan bereaksi secara tak sadar (involuntarily) dengan menerapkan mekanisme homeostatis emosional (yang dapat menghilangkan stres), atau mekanisme pertahanan di tingkat sadar dengan fokus pada upaya memperbaiki masalah. Tindakan di tingkat sadar berupa upaya memperbaiki masalah adalah metode atau cara yang tepat, yang diekpaktasi dilakukan oleh sebagian besar pilot di sebagian besar situasi. Namun, jika tidak ada perbaikan segera, atau situasinya dinilai berlebihan, maka ada kemungkinan muncul beberapa bentuk mekanisme coping yang bersifat emosional. Dan perlu diketahui, bahwa coping emosional sebagian besar bersifat patologis dan dapat berupa perilaku menghindar (escape), menyangkal (denial), menipu diri (self-deception), atau distorsi realitas (Lazarus &  Folkman, 1984 ; Monat & Lazarus, 1991). Mekanisme coping jenis ini dapat memberikan efek yang buruk pada information processing, problem solving, dan decision making (Martin, et.al., 2013).  Dalam konteks situasi kritis di penerbangan hal ini akan sangat bermasalah. 

Startle atau Kejutan
Refleks kejut (startle reflex) adalah respons manusiawi yang normal dan universal ketika orang menghadapi stimulus yang tidak terduga atau mengejutkan. Ketika seseorang menilai suatu stimulus sebagai ancaman, aktivasi sistem saraf simpatik memicu perubahan yang luas dan cepat dalam tubuh. Gugahan ini, yang terkait dengan reaksi stres akut, umumnya dikenal sebagai respon fight or flight (melawan atau lari) dan telah terbukti berpengaruh secara signifikan pada proses kognitif dan psikomotorik. Refleks kejut memunculkan pola gerakan melawan (menjauhi stimulus) dan menyelaraskan perhatian ke sumber stimulus. Proses ini sangat cepat, dengan tanda-tanda pertama reaksi terjadi hanya dalam 14 milidetik (ms) dalam beberapa tes pada manusia (Simons, 1996. ; Yeomans &  Frankland, 1996). Mengingat bahwa proses kognitif terhadap rangsangan baru membutuhkan lebih dari 500 ms (Asli & Flaten, 2012), maka reaksi reflektif jelas merupakan proses bawaan bersifat instinktif dari manusia untuk menghindari bahaya.
Area amygdala di otak, yang terkait erat dengan memori emosional rasa takut, tampaknya menjadi lokasi penilaian awal terhadap ancaman. Proyeksi dari amygdala kemudian memulai refleks kejut dan, jika ancaman terus berlanjut, reaksi kejut akan menguat. Pada dasarnya, ini masih merupakan respon fight or flight, suatu proses yang sama terjadi pada reaksi stres akut. Perubahan cepat dalam sistem tubuh dihasilkan dari gugahan sistem saraf simpatik. Perubahan tersebut diindikasikan dengan meningkatnya denyut jantung dan pernafasan, mengarahkan lebih banyak aliran darah ke organ vital, dan memasukkan hormon seperti adrenalin (epinefrin) ke dalam aliran darah. Perubahan karakteristik lainnya adalah berkedip dan kontraksi otot lengan dan kaki.
Penelitian lainnya, menunjukkan bahwa gangguan kognitif dan penurunan dexterity atau kecekatan dapat bertahan hingga 30 detik selama reaksi terhadap severe startle (Vlasek, 1969 & Woodhead, 1959). Hal ini mempunyai implikasi yang signifikan karena peristiwa mendadak, tak terduga, dan kritis adalah khas pada kondisi darurat di penerbangan. Di sejumlah kasus accident dan serious incident, memperlihatkan bahwa pilot yang melakukan tindakan kurang efektif pada situasi kritis, mengungkap adanya isu severe startle yang berkontribusi terhadap penurunan performance pilot (Martin, et.al., 2013). 

Freezing
       Freezing adalah reaksi stres akut yang merupakan cara yang disadari ataupun tidak disadari untuk menangani stresor yang berlebihan. Satu studi mengartikan freezing sebagai "mekanisme mengatasi stres yang melibatkan mekanisme bawah sadar untuk menghilangkan stres, atau ketidakpercayaan yang disadari bahwa fenomena tersebut benar-benar terjadi" (Leach, 2004)Freezing umumnya merupakan gangguan cukup kuat dalam proses kognitif yang biasanya terintegrasi di dalam otak. Kadang-kadang orang yang mengalami freezing tetap sadar akan apa yang terjadi di sekitar mereka, tetapi tidak mampu mengambil tindakan secara motorik dan/ataupun secara kognitif.
         Reaksi seperti ini relatif sering terjadi, dan menjadi catatan penting dalam simulasi kecelakaan dan evakuasi kecelakaan pesawat udara yang sebenarnya. Dari observasi, dalam freezing, proses kognitif diawali oleh rasa takut yang akut, sehingga working memory dikuasai oleh pikiran yang tidak relevan tentang akibat yang menakutkan. "Kelumpuhan" atau "ketakutan yang amat sangat" telah menjadi ingatan umum dari beberapa orang yang selamat dari situasi kritis seperti itu.
 Tidak seperti denial yang cukup sulit untuk diukur, kebanyakan orang akrab dengan konsep freezing dalam kondisi stres akut. Gejala freezing pada perilaku saat menghadapi ancaman lebih terlihat dan observable. Freezing digambarkan sebagai respons terhadap ancaman yang luar biasa di mana, pada tingkat bawah sadar, otak tidak mampu mengatasi kompleksitas dan bahaya yang ditimbulkan oleh keadaan yang berubah tiba-tiba. Laporan dari para penyintas dari kebakaran anjungan minyak dan sebuah kapal yang tenggelam, misalnya, menggambarkan orang-orang terlihat hanya membeku atau lumpuh dan tidak mampu bertindak apa-apa untuk menyelematkan diri, meskipun ada dorongan atau upaya membantu dari penumpang lain.
Beberapa kasus kecelakaan penerbangan, di alami pilot yang mengalami freezing dalam situasi kritis. Captain pilot atau pilot in command tampaknya mengalami freezing setelah rejected takeoff atau aborted takeoff  (Heaslip, et.al., 1991).  Dia menutup tuas dorong (thrust levers), tetapi tidak mengerem, ia hanya terpaku menatap lurus ke depan. Pesawat melaju cepat di ujung landasan pacu pada kecepatan 70 kt, dan menewaskan dua orang.  Pada kasus lain (Martin, et.al., 2013), wawancara terhadap pilot yang pernah mengalami peristiwa kritis/darurat dalam operasi penerbangan mengungkapkan peristiwa nyata di mana captain pilot mengalami freezing saat approach. Pesawat terus turun jauh di bawah jalur luncur (glide path) sampai saat visual pada ketinggian yang sangat rendah akan menabrak gedung apartemen.  Beruntung, saat visual, captain bisa recover, dan mampu melakukan manuver mengelak di menit-menit terakhir melalui celah yang sempit sehingga dapat menghindari tabrakan dengan bangunan. Sebelumnya second officer atau co-pilot sudah berulang kali berusaha mengingatkan captain bahwa ia menyimpang dari glide path, ia juga sudah mencoba beberapa kali mengambil alih kontrol dan tidak berhasil sampai ia memukul captain untuk mengambil alih kontrol. Wawancara dari subjek lainnya menggambarkan situasi di mana seorang siswa pilot militer, ketika berlatih spin dengan rotasi tinggi, hanya membeku selama recover dari spin. Siswa pilot tidak responsif, dan membuat pilot instruktur harus memukul siswa secara fisik untuk membuatnya melepaskan pegangan pada kontrol. Recover yang sukses akhirnya dapat dilakukan jelang ketinggian bailout.

Denial
Denial (penyangkalan) juga merupakan mekanisme coping yang bersifat emosional, seperti freezing.  Ini merupakan proses manusiawi yang sangat mendasar. Ketika seseorang menilai stimulus sebagai ancaman dan tekanan, maka mekanisme untuk mengatasi ancaman tersebut dapat berbentuk penyangkalan atau mengabaikan stimulus yang mengancam tersebut (Martin, et.al., 2013).
Denial tampaknya juga merupakan mekanisme di bawah sadar, ketika orang menghadapi gangguan yang mengancam jiwa. Ada beberapa orang yang mengabaikan ancaman untuk beberapa waktu daripada harus memikirkan kematian yang penuh tekanan. Menyangkal adanya ancaman mungkin mungkin sangat efektif dalam menghilangkan stres. Hal ini terjadi ketika aliran informasi penting tidak diproses sebagai bagian dari mekanisme penanganan stres akut ini.
Denial bisa menjadi masalah ketika situasi seperti cuaca yang memburuk atau status pesawat menambah ancaman. Stresor yang berkembang cepat, yang memungkinkan teradinya denial, umumnya lebih diperhatikan dalam situasi kritis. Karena denial dapat menimbulkan implikasi yang lebih parah dalam situasi kritis sehingga diperlukan analisis yang cermat dan penyelesaian masalah secara logis. Wawancara terhadap pilot maskapai dalam penelitian ini (Martin et.al., 2013) mengungkapkan bahwa denial dalam jangka pendek relatif umum terjadi dalam situasi ini, responden melaporkan bahwa mereka pernah mengalami beberapa tingkat denial, setidaknya 15 dari 45 peristiwa yang mereka ingat.  Umumnya merupakan denial jangka pendek, dan itu tidak menimbulkan konsekuensi bencana. Namun, yang menimbulkan pertanyaan adalah berapa banyak kecelakaan fatal yang terjadi karena kontribusi pilot mengalami denial, misalnya pilot tidak berhasil me-recovery keadaan pesawat saat mengadapi masalah atau recovery-nya tertunda terlalu lama.
Hasil wawancara dengan para pilot menunjukkan bahwa pada periode denial yang singkat seperti itu tidak biasa, meskipun dalam semua situasi yang dibahas oleh responden, denial yang berlangsung singkat dapat diatasi ketika proses rasional dimulai. Denial, jika terus berlanjut, bisa sangat merugikan, meskipun belum ada informasi yang jelas dari data penyelidikan kecelakaan tentang sejauhmana mekanisme denial terlibat sebagai penyebab kecelakaan.  Namun, ada beberapa contoh di mana pilot tidak mengambil tindakan pada saat intervensi tertentu diperlukan, menunjukkan bahwa denial setidaknya merupakan satu kemungkinan. Diperlukan penelitian lebih lanjut di bidang ini.
Seorang ahli dalam subjek ini berupaya menggambarkan taksonomi patologis dalam tujuh tahap mekanisme denial (Breznitz, S. 1983),  yaitu; denial terhadap relevansi, denial terhadap urgensi, denial terhadap kerentanan, denial terhadap afek, denial terhadap relevansi afek, denial terhadap informasi yang mengancam, dan denial terhadap informasi. Tahap awal atau denial terhadap relevansi perlu diwaspadai dalam konteks penerbangan, sedangkan tahap terakhir atau ketika informasi yang mengancam atau semua informasi disangkal, maka kondisi ini sangat mengkhawatirkan dalam konteks keselamatan penerbangan.
Sebagai rangkuman, jika situasi kritis muncul selama operasi penerbangan tetapi pilot secara tidak sadar menyangkal isyarat adanya ancaman, maka secara substansial kemungkinan recovery akan berkurang. 

Referensi :
1.      Asli, O., and Flaten, M.A. 2012. “In the blink of an eye: Investigating the role of awareness in fear responding by measuring the latency of startle potentiation.” Brain Science 2: 61–84.
2.   Breznitz, S. 1983. “The seven kinds of denial.” In S. Breznitz (Ed.). The Denial of Stress.  New York: International Universities Press.
3.   Duckworth, K.L.,. Bargh, J.A, Garcia, M., and Chaiken, S. 2002. “The automatic evaluation of novel stimuli.” Psychological Science 13: 513–519.
4.     Folkman, S., Lazarus, R.S., Dunkel-Schetter, C., DeLongis A., and Gruen, R.J. 1986. “Dynamics of a stressful encounter: Cognitive appraisal, coping, and encounter outcomes.” Journal of Personality and Social Psychology 50 (5): 992–1003.
5.    Fritz, C.E., and Marks, E.S. 1974. “The NORC studies of human behaviour in disaster.” Journal of Social Issues 10 (3): 26–41.
6.  Heaslip, T.W., N. Hull, R.K. McLeod, and R.K. Vermil. 1991. “The frozen pilot syndrome.”  In Proceedings of the 6th International Symposium on Aviation Psychology, Columbus, Ohio: 782–787.
7.  King, G.G., 1994. General Aviation Training for “Automation Surprise”. Metropolitan State College of Denver.

8.   Lazarus, R.S. 1966. Psychological Stress and the Coping Process. New York: McGraw-Hill.

9.   Lazarus, R.S., and S. Folkman. 1984. Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer.

10.  Leach, J. 2004. ‘“Why People ‘Freeze’ in an Emergency: Temporal and Cognitive Constraints on Survival Responses.” Aviation, Space, and Environmental Medicine 75 (6): 539–542.
11.  Le Doux, J.E. 2000. “Emotion circuits in the brain.” Annual Review of Neuroscience 23: 155–184.

12. Martin, W.L., Murray, P.S., and Bates, P.R. 2010. “The effects of stress on pilot reactions to unexpected, novel, and emergency events.” In Proceedings of the 9th Symposium of the Australian Aviation Psychology Association, Sydney, 19–22 April, 2010.

13. Martin, W.L., Murray, P.S., and Bates, P.R.  2013. “Pathological reactions: Researchers explore pilot impairment from severe startle, freezing and denial during unexpected critical events”. Flight Safety Foundation. Alexandria, Virginia 22314. https://t.co/4JmE7b7V1T. November 27, 2019.
14.  Monat, A., and R.S. Lazarus. 1991. Stress and Coping. New York: Columbia University Press.
15. Muir, H.C., C. Marrison, and A. Evans. 1989. “Aircraft evacuations: The effect of passenger motivation and cabin configuration adjacent to the exit.” London, U.K.: Civil Aviation Authority, CAA Paper 89019.
16. Muir, H.C., D.M. Bottomley, and C. Marrison. 1996. “Effects of cabin configuration and motivation on evacuation behaviour and rates of egress.” International Journal of Aviation Psychology 6 (1) 57–77.
17. Simons, R.C. 1996. Boo!: Culture, experience, and the startle reflex. U.S.: Oxford University Press.
18.  U.K. Air Accidents Investigation Branch. 1988. “Report on the accident to Boeing 737-236 Series 1, G-BGJL at Manchester International Airport on 22 August 1985 (Aircraft Accident Report 8/88).” London: Her Majesty’s Stationery Office.
19.  Vlasek, M. 1969. “Effect of startle stimuli on performance.” Aerospace Medicine 40: 124-128.
20. Woodhead, M.M. 1959. “Effect of brief noise on decision making.” Journal of The Acoustic Society of America 31: 1329–1331.
21.  Woodhead. 1969. “Performing a visual task in the vicinity of reproduced sonic bangs.” Journal of Sound Vibration 9: 121–125.
22.  Wolfe, T. 2001. The Right Stuff. New York: Bantam Books.
23. Yeomans, J.S., and Frankland, P.W. 1996. “The acoustic startle reflex: Neurons and connections.” Brain Research Reviews 21: 301-314.