Minggu, 12 Juli 2020

Aspek Psikologi Dalam Pelatihan Penerbangan


Widura Imam Mustopo

            Pelatihan merupakan istilah yang pengertiannya cukup luas, namun secara sederhana pelatihan dapat diartikan sebagai proses sistematis untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang mengarah pada perilaku terampil.  Dalam proses pelatihan tercakup sejumlah kegiatan yang dapat dilakukan dalam berbagai kategori, termasuk juga dalam pelatihan penerbangan. Secara umum pelatihan dapat dikategorikan menurut waktu atau kapan pelatihan itu dilakukan, misalnya, pelatihan mula atau pelatihan dasar (primary atau basic training) yang diperlukan untuk menanamkan sejumlah keterampilan baru, berbeda dengan pelatihan penyegaran (refreshing atau recurrent training) yang diperlukan untuk mempertahankan keterampilan. Itu juga dapat dikategorikan menurut di mana pelatihan itu terjadi, misalnya, apakah itu terjadi di ruang kelas, di simulator, atau di dalam pesawat udara. Pelatihan juga dapat dikategorikan menurut kontennya, misalnya, apakah pelatihan itu berkaitan dengan masalah belajar dan berlatih keterampilan teknis penerbangan semata, atau berhubungan dengan masalah non-teknis, seperti koordinasi antar kru, pengambilan keputusan, kepemimpinan dan lainnya.
            Terlepas dari bagaimana mengkategorikan pelatihan, namun tujuan dari kegiatan pelatihan secara umum, adalah mengembangkan seperangkat pengetahuan dan keterampilan peserta pelatihan, ke tingkat kompetensi tertentu.  Keterampilan itu sendiri adalah suatu keahlian atau prestasi dalam bidang apa pun; khususnya, pola perilaku yang kompleks dan terorganisir yang diperoleh melalui pelatihan dan praktik, termasuk keterampilan kognitif, persepsi, motorik, dan sosial.
            Mengingat luas dan beragamnya kategori pelatihan penerbangan, maka tulisan ini difokuskan pada pelatihan mula ketika ab-initio menjadi pilot yang memiliki keterampilan dasar untuk menerbangkan pesawat udara dari lepas landas sampai mendaratkan kembali.  Terdapat beberapa aspek psikologi yang menjadi perhatian, yaitu; proses pembelajaran, tahap belajar keterampilan, dan isu-isu psikologi yang kerap penting untuk diulas karena cukup mempengaruhi kelancaran proses belajar seorang siswa pilot.  Isu-isu tersebut antara lain; masalah motivasi, kecemasan, sikap, dan relasi sosial termasuk relasi instruktur-siswa.

Proses Belajar dan Keterampilan Pilot
            Aspek psikologi dalam pelatihan tingkat mula bagi pilot, diawali sejak dari perencanaan pelatihan, aktivitas teknis dalam pelatihan pilot sampai dengan evaluasi hasil pelatihan termasuk proses pelatihannya.   Aplikasi ilmu psikologi dapat diamati melalui pemanfaatan konsep-konsep psikologi belajar, metode dan teknik instruksi, model simulasi termasuk teknik evaluasi dan re-evaluasi hasil belajar. Dan, tidak kalah pentingnya adalah pemantauan motivasi dan faktor psikologi lainnya yang berpengaruh terhadap keberhasilan seorang siswa pilot dalam memperoleh dan mengembangkan keterampilannya.
            Pola pelatihan calon pilot dapat dikatakan terstruktur secara ketat, sistematis dan berkelanjutan. Pola pelatihan tersebut diyakini dapat mengembangkan perilaku terampil para siswa pilot.  Proses dan metode yang digunakan untuk mencapai tujuan pelatihan dalam proses pembelajaran telah lama diteliti, setidaknya sejak akhir abad ke-19 oleh Ebbinghaus (dalam Tsang & Vidullich, 2003). Penelitian-penelitiannya banyak diarahkan untuk memahami kondisi yang mempengaruhi pembelajaran manusia.  Ebbinghaus menyelidiki dua isu utama yang diasosiasikan dengan pelatihan, yaitu; belajar dan lupa. Kurva pembelajaran (Gambar 1.1) menunjukkan seberapa banyak pelatihan ulang yang dibutuhkan untuk mencapai performance yang sempurna. Bila diamati,

 Gambar 1.1  Kurva Belajar

         Percobaan Belajar

ketika seseorang mulai mempelajari suatu materi belajar, sekitar 50% dari materi dipertahankan pada hari berikutnya.  Ketika mereka kembali menghafal untuk mengingat dengan sempurna keesokan harinya, sekitar 65% dari materi tersebut dapat diingat kembali, dan pada hari berikutnya 75% dapat disimpan. Peningkatan kurva yang paling tajam, yang mengindikasikan pembelajaran tercepat, terjadi setelah percobaan pertama dan kemudian secara bertahap berkurang, yang berarti bahwa lebih banyak informasi akan disimpan setelah setiap pengulangan belajar kembali. Kurva ini, seperti kurva lupa pada Gambar 1.2. Sementara kurva belajar menunjukkan seberapa cepat informasi diperoleh, kurva lupa menunjukkan seberapa cepat informasi hilang. Seperti dalam kurva pembelajaran, perubahan paling tajam (dalam hal ini, penurunan paling cepat) terjadi dalam beberapa menit pertama dan menurun secara signifikan setelah jam pertama, dan mendatar setelah sekitar 1 hari.

     Gambar 1.2  Kurva Lupa
                    Penurunan Ingatan saat Belajar

Kurva belajar dan lupa yang dijelaskan oleh Ebbinghaus dilakukan dengan cara menghafal materi verbal berupa suku kata yang tak berarti, yang dapat dianalogikan juga terjadi pada banyak aspek pelatihan penerbangan (misalnya, mempelajari nama-nama awan dalam meteorologi), mempelajari pola dari tugas motorik yang rumit. Untuk sebagian besar proses pembelajaran, kemajuan hasil belajar keterampilan biasanya mengikuti kurva berbentuk S. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.3, awalnya kemajuannya lambat, dan kemudian peserta didik mengalami kenaikan yang cepat pada grafik.

          Gambar 1.3  Kurva Belajar Keterampilan Motorik
 
Percobaan Pelatihan
                  Tahap Kognitif      Tahap Asosatif       Tahap Otonom


Untuk beberapa tugas yang sangat kompleks, kemajuan dapat dicirikan sebagai serangkaian perubahan kinerja berbentuk S ini. Fitts dan Posner (1967) menemukan bahwa peningkatan bertahap dengan latihan terjadi di hampir semua keterampilan motorik. Meskipun laju peningkatan bisa melambat, umumnya tidak pernah ada grafik mendatar yang tinggi secara tetap di mana tidak ada peningkatan performance. Bagi pilot, ini berarti bahwa meskipun mereka mungkin berpikir tidak ada kemajuan dalam belajar beberapa keterampilan baru (misalnya, approach landing dengan ILS), sebenarnya mereka tidak dapat menilai secara akurat bahwa keterampilan mereka sendiri sebenarnya mengalami peningkatan walau tidak besar. Pada awalnya pembelajaran berlangsung lambat karena orang belum menjadi terbiasa dengan komponen dasar dari suatu keterampilan, kemudian hasil belajar dengan cepat meningkat ketika komponen yang mendasar dari suatu keterampilan sudah menjadi otomatis (sudah terbiasa). Dalam contoh pelatihan ILS approach, selama tahap awal pembelajaran, siswa pilot harus secara aktif berpikir tentang cara mengontrol pesawat untuk menyelaraskan glide-slope dan indikator localizer. Kemudian pada saat aktivitas ini dilakukan berulangkali maka tindakan akan menjadi lebih otomatis, dan pilot dapat mencurahkan lebih banyak perhatian dan upaya untuk menyempurnakan approach dengan mengarahkan indikator untuk menghindari overshooting (mengejar jarum) selama approach.

Dalam proses pembelajaran keterampilan motorik tersebut, terlibat tiga tahap yang berbeda (Fitts dan Posner, 1967 ; Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978), yaitu: 1) tahap kognitif ; 2) tahap asosiatif ; dan 3) tahap otonom.

Tahap kognitif. Pembelajar pemula fokus untuk memperoleh pemahaman dan pemecahan masalah yang berorientasi pada aspek kognitif. Dalam tahap ini pilot belajar untuk memahami semua tugas yang harus dilakukan.  Ia tidak hanya belajar tentang materi yang berhubungan dengan aspek-aspek teori, tapi juga belajar mengenai semua tindakan motorik yang efisien, efektif, dan akurat.  

Tahap asosiatif.  Di sini calon pilot dituntut dapat mempraktekan tugas-tugas yang diperoleh melalui tahap kognitif secara runtut melalui latihan yang terkontrol agar mampu mengembangkan performance secara optimal. Calon pilot juga belajar mengaitkan isyarat dari lingkungan dengan tindakan sesuai prosedur standar, dan terus berlatih untuk memperbaiki performance agar lebih konsisten.

Tahap otonom atau otomatisasi. Calon pilot berlatih lebih intensif untuk mengalihkan kontrol kognitif ke gerakan otonom yang bersifat otomatis. Ia mampu mengaplikasikan keterampilannya secara efisien dan efektif. di mana performance keterampilan dilakukan secara otomatis.

Pada tahap pertama, ketika pilot mulai memperoleh keterampilan baru, seperti melakukan ILS approach, mereka dihadapkan dengan beberapa masalah yang mengarah pada aspek kognitif yang sangat spesifik. Seperti, apa tugas dasarnya? Bagaimana pilot tahu kapan harus memulai descent (turun)? Berapa rate of descent nya (dan mengatur power terkait) yang akan membuat pilot tetap dapat menyelaraskan dengan glide slope? Seberapa besar diperlukan koreksi ketika jarum localizer berada pada tiga titik di kedua sisi? Masing-masing dari pertanyaan ini menunjukkan tingkat pentingnya faktor kognitif dasar saat pilot beroperasi, Tahap ini ditandai dengan kemungkinan sejumlah besar kesalahan dalam performance. Sebagai contoh, pilot untuk melakukan koreksi mungkin berbelok ke arah yang salah (menjauh dari jarum localizer). Pilot mungkin tahu bahwa dia melakukan sesuatu yang salah, tetapi belum tahu secara tetap bagaimana hal itu harus dilakukan secara berbeda. Oleh karena itu, dibutuhkan umpan balik yang spesifik yang dapat membantu memperbaiki kesalahan.
Selama tahap kedua, tahap asosiatif merupakan perubahan pembelajaran keterampilan dari aktivitas kognitif di tahap pertama.  Di tahap asosiatif pembelajar telah memperoleh banyak pengetahuan dasar keterampilan sampai batas tertentu, dan tidak lagi harus mencurahkan banyak upaya kognitif untuk memahami persyaratan dasar pelaksanaan tugas. Mereka sekarang berkonsentrasi untuk memperbaiki keterampilan mereka dan mengembangkan kemampuan untuk mengenali beberapa kesalahan mereka sendiri. Sekarang mereka tahu apa salah, dan umumnya tahu apa yang seharusnya mereka lakukan. Sebagai contoh, mereka mungkin overshoot saat localizer, tetapi mereka tahu bahwa mereka melakukannya itu karena mereka terlalu terpaku untuk mengoreksi tingkat descent atau sambil melakukan panggilan radio. Mereka mulai menjadi lebih proaktif dan dapat mengantisipasi kebutuhan untuk bertindak, dan variabilitas performance mereka mulai berkurang. Kesalahan masih terjadi, tetapi lebih jarang terjadi dan tidak terlalu parah.
Pada tahap ketiga., setelah melaksanakan banyak latihan, pembelajar melanjutkan ke tahap akhir pembelajaran, yaitu tahap otonom. Pada tahap ini, keterampilan telah menjadi hampir otomatis, upaya kognitif menjadi lebih sedikit. Keterampilan motorik dasar telah dikuasai, dan pembelajar dapat mencurahkan upaya kognitif untuk membuat penyesuaian (misalnya, mungkin membagi perhatian untuk mempertimbangkan angin yang sangat kuat selama ILS approach), atau bekerja secara simultan untuk kegiatan lain (misalnya sambil menangani masalah mesin). Variasi kecil dalam performance masih mungkin terjadi namun secara keseluruhan umumnya sudah mendekati batas atas persyaratan atau tuntutan standar performance yang harus dicapai.
Berbeda dengan pengetahuan deklaratif seperti suku kata bermakna yang digunakan oleh Ebbinghaus, keterampilan motorik sangat lambat rusak atau hilangnya, biasanya akan diingat selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Schendel, Shields, dan Katz (1978) mempelajari retensi keterampilan motorik dan menemukan bahwa;
Satu-satunya penentu paling penting dari retensi adalah tingkat pembelajaran.  Tugas prosedural akan dilupakan dalam beberapa hari, minggu, atau bulan, sedangkan tugas kontrol biasanya diingat selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun.  Retensi keterampilan motorik tergantung pada rentang lamanya periode tanpa praktik/latihan, jenis tugas, dan kegiatan praktik lain yang mengganggu.  Retensi dapat ditingkatkan dengan overtraining — yaitu, pelatihan dengan target tingkat di atas tingkat kecakapan minimum yang disyaratkan.
Bentuk keseluruhan kurva yang menggambarkan retensi keterampilan motorik (lihat Gambar 1.4) mirip dengan kurva untuk pengetahuan deklaratif. Namun, untuk keterampilan motorik, sebagian besar hilangnya kemampuan terjadi segera setelah latihan berhenti, dan kemudian dengan cepat turun agar tetap stabil untuk periode yang cukup lama, tergantung pada faktor-faktor yang tercantum sebelumnya.

                           Gambar 1.4  Retensi Keterampilan Motorik
                                 
Waktu berjalan

.
Tentang aspek-aspek keterampilan itu sendiri, secara lebih spesifik dapat dikelompokan menjadi tiga kategori, yaitu:

1.         Perseptual motorik yang melibatkan beberapa keterampilan yang lebih spesifik, yakni:

Keterampilan fisik yaitu keterampilan yang berhubungan dengan kelenturan jasmani, kesiagaan fisik, dsb.  Pada keterampilan ini, dapat dikatakan faktor psikologis kecil pengaruhnya.  

Keterampilan manipulatif yang berkaitan dengan efisiensi dan efektivitas gerakan kontrol yang berguna untuk mengendalikan berbagai instrumen pengendali sistem.  Keterampilan ini cukup peka dipengaruhi faktor  psikologis pilot.

Keterampilan menangkap & memproses informasi.  Keterampilan ini berhubungan erat dengan kemampuan seseorang menangkap informasi penting, daya timbang (judgement) serta pengambilan keputusan (decision making).  Faktor psikologis cukup besar pengaruhnya pada pengembangan keterampilan ini. Kegagalan dalam mewujudkan aspek keterampilan ini dapat berakibat fatal.  Hasil analisis FAA (Federal Aviation Administration) menunjukan bahwa kesalahan pilot dalam membuat judgement dan keputusan menyumbang tak kurang dari 50% terjadinya kecelakaan pesawat udara yang fatal. 

2.         Keterampilan bahasa.  Keterampilan ini erat kaitannya dengan kemampuan verbal yang penting untuk berkomunikasi, berpikir dan memecahkan masalah (Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978).  Keterampilan bahasa menjadi perhatian penting, khususnya di negara-negara di mana bahasa Inggris bukan “bahasa ibu” para pilot, mengingat bahasa penerbangan yang  tertera di software maupun yang digunakan dalam kegiatan operasional penerbangan secara universal menggunakan bahasa Inggris.  Di dunia penerbangan, keterampilan bahasa menjadi penting karena kesalahan menyampaikan pesan maupun interpretasi dapat berakibat fatal.  Ada tiga fungsi bahasa di bidang ini, antara lain; membagi informasi, mengarahkan tindakan, dan merefleksikan pikiran.  Ketiga fungsi ini sangat penting terutama ketika keterampilan bahasa dibutuhkan untuk mendukung pemecahan masalah (Orasanu, 1994).

3.         Keterampilan sosial. Keterampilan ini berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk menjalin kerjasama dan koordinasi.   Suatu keterampilan yang relevan dengan aktivitas individu untuk membangun relasi antarpribadi, saling percaya, bertukar informasi dan sikap, dsb.  Tujuan utama dari interaksi sosial adalah koordinasi.  Penelitian menunjukan bahwa meningkatnya situasi abnormal atau emergency akan menambah pentingnya koordinasi di antara crew (Orasanu, 1994).   Koordinasi ini tidak hanya berlaku pada pesawat berawak lebih dari satu, melainkan juga bagi pesawat udara berawak tunggal seperti halnya di pesawat jet tempur.  
           
            Keterampilan-keterampilan yang telah diuraikan di atas tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri.  Dalam aplikasinya, keterampilan tersebut saling terkait erat dan saling mendukung bahkan juga dapat saling menghambat.  Oleh karenanya diperlukan pelatihan yang sistematik dan berkelanjutan serta pengalaman yang cukup untuk mewujudkan aspek-aspek keterampilan tersebut secara utuh, efisien dan efektif.  Tahap-tahap pelatihan tersebut penting untuk diikuti sebagai proses yang berkelanjutan dalam rangka membentuk perilaku terampil. Pada dasarnya proses belajar untuk mendapatkan perilaku terampil mengikuti prinsip keurutan (sequential) dan secara psikologis tidak ada perilaku terampil yang muncul sendiri-sendiri (Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978). 
Mempelajari suatu keterampilan merupakan rangkaian aktivitas yang berlangsung berurutan dan saling tergantung satu sama lain, demikian pula dengan proses pelatihannya. Menerbangkan pesawat udara menuntut penguasaan keterampilan tertentu, dan keterampilan tersebut bukan sesuatu yang dibawa sejak lahir, melainkan melalui belajar secara bertahap dan dikuasai melalui latihan yang tak jarang memerlukan waktu relatif lama. Seorang calon pilot tidak hanya dituntut untuk mempelajari berbagai aspek keterampilan pilot melainkan juga harus mampu menguasai prosedur untuk mendapatkan ketepatan tindakan layaknya manusia sebagai instrumen mesin/pesawat.

Isu-isu Psikologis dalam Pelatihan Penerbangan
Pelatihan pilot dapat merupakan suatu situasi yang unik, terutama bila dilihat bahwa posisi dari “belajar terbang” sebagai situasi peralihan. Peralihan dari kodrat manusia sebagai makhluk daratan menjadi makhluk yang berusaha hidup di lingkungan angkasa dengan berbagai sarana pendukungnya (pesawat udara).   Ciri khas dari suatu peralihan adalah proses adaptasi yang kadang bagi orang yang mengalaminya tak luput dari tekanan dan keadaan ketidak seimbangan (stres).   Kondisi umum yang berpengaruh pada masa peralihan, antara lain faktor kebiasaan dan sikap, melaksanakan suatu peralihan yang menuntut beberapa perubahan kebiasaan dan sikap. Para calon pilot tidak hanya harus belajar mengenai cara pandang, cara berpikir dan tingkah laku baru, tetapi juga harus meninggalkan cara pandang, cara berpikir dan cara bertingkah laku lama yang menghambat penguasaan keterampilan dan prosedur tertentu.  Hal ini seringkali tidak mudah untuk dilakukan.
Untuk memastikan efektivitas pelatihan, program pelatihan tidak hanya harus menyediakan praktik dan dukungan instrukasional yang tepat tetapi juga harus memastikan bahwa peserta pelatihan memiliki sikap positif terhadap belajar dan lingkungan penerbangan. Selain itu, peserta juga harus memiliki motivasi untuk belajar dan berhasil dalam pelatihan. Dapat dikatakan bahwa salah satu persyaratan yang mendasar untuk berhasil dalam penyesuaian diri dan sukses dalam belajar terbang adalah sikap yang positif terhadap penerbangan.  Sikap ini harus muncul dari motivasi yang sehat dan didasarkan atas kesadaran diri yang wajar.  Pada dasarnya motivasi dibangun melalui dorongan/keinginan (drive), tujuan (goal) dan aktivitas. Umumnya saat awal memasuki pendidikan siswa mempunyai motivasi besar untuk menjadi pilot, tapi tak jarang keinginan tersebut menurun selama proses pelatihan berlangsung.  Oleh karenanya sikap dan motivasi siswa penting untuk dipantau selama proses pelatihan.
            Penguasaan terhadap aspek-aspek keterampilan pilot menghendaki lebih daripada sekedar keinginan ”to fly around” yang bersifat romantis.  Motivasi tidak sehat biasanya didasarkan pada self regard (penolakan diri), misalnya keinginan menjadi pilot sebagai pelarian dari kehidupan suram, atau harapan menjadi pilot untuk meraih status sosial yang lebih tinggi, ataupun hanya karena tak mau kalah dengan teman-teman yang kebetulan melamar jadi pilot.  Alasan seperti itu biasanya merupakan dasar motivasi yang tidak cukup kuat untuk mendukung upaya seorang siswa pilot mengatasi kesulitan-kesulitan di pelatihan mula atau dasar. Hal yang lebih penting adalah enthusiasme yang wajar, sikap positif dan motivasi yang sehat.  Artinya, seseorang menjadi pilot karena karena keinginan untuk menguasai keterampilan yang dibutuhkan untuk menjadi pilot yang didukung oleh usaha yang kuat untuk berhasil. Siswa harus memiliki efikasi diri (self-effication) atau keyakinan diri bahwa ia mampu berprestasi dan berhasil menguasai keterampilan yang dipersyaratkan untuk menjadi pilot. Kondisi ini lebih menguntungkan untuk mengembangkan kemauan belajar yang sungguh-sungguh dalam menguasai aspek-aspek yang lebih sukar dalam mempelajari keterampilan penerbangan maupun untuk bertahan terhadap situasi stres selama proses pelatihan.
            Kondisi emosi yang negatif seperti cemas dan takut akan berkembang setelah siswa mengikuti pelatihan. Disamping kondisi ini merupakan dampak siswa yang tidak selalu berhasil dalam prestasi, hal ini juga tak lepas dari situasi pelatihan sebagai situasi peralihan yang penuh tekanan. Situasi pelatihan seperti ini cenderung mempengaruhi diri siswa yang selanjutnya dapat menyebabkan problem emosional di mana pada batas-batas tertentu dapat menghambat prestasi siswa.  Masalahnya, emosi atau rasa cemas ini biasanya tersembunyi, tak disadari dan tidak jarang sebab-sebabnya sangat mendalam, sehingga tidak selamanya dapat segera diketahui.  Oleh karenanya, pemantauan dan bila diperlukan intervensi kondisi psikologis siswa penting dilakukan guna dapat memelihara efisiensi dan efektivitas siswa dalam mencapai keberhasilan pelatihan.
           
Penutup
Dari ulasan di atas, dapat diamati bahwa pelatihan awal atau tingkat mula ditujukan untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dasar untuk menjadi pilot.  Dan, pelatihan ini harus diikuti melalui proses kegiatan belajar, praktik dan latihan yang sistematis.  Pelatihan awal untuk menjadi pilot tidak hanya menyangkut pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga pengembangan sikap dan motivasi yang mendkung. Ditinjau dari apek psikologi, setidaknya terdapat tiga hal yang dalam pelatihan di penerbangan, yaitu; kemampuan kognitif, penguasaan keterampilan dan pembentukan sikap, termasuk di dalamnya pengembangan motivasi, perubahan kebiasaan, dan pengembangan emosi yang stabil guna bertahan terhadap tekanan-tekanan yang dihadapinya dalam berkiprah di dunia penerbangan.


Kepustakaan
Dhenin, S.G., Sharp, G.R., dan Ernsting, J., (1978). Aviation Medicine, Physiology and Human Factors. London : Tri-Med Books Ltd.
Fitts, P.M., and Posner, M.I., (1967). Human Performance.  Michigan: Brooks/Cole Publishing Company
ICAO, (1989).  Human Factors Digest No 1 – Fundamental Human Factors Concepts. ICAO Circular 216-AN/131. Montreal: Secretary General of International Civil Aviation Organization.
ICAO, (1998). Human Factors Training Manual.1’st Ed. Doc 9683-AN/950. Montreal: Secretary General of International Civil Aviation Organization.
Martinussen, M., and Hunter, D.R., (2018). Aviation Psychology and Human Factors, 2nd Ed. New York: Taylor & Francis Group, LLC.
Mustopo, W.I., (1986). Psikologi  Dalam  Lingkungan Penerbangan. Dalam : Kumpulan Karya Tulis Alumni Fakultas Psikologi Unpad, Dalam Rangka Lustrum V & Hari Sarjana Fakultas Psikologi UnpadBandung :  Fakultas Psikologi Unpad.

Orasanu, J.M., (1994).  Shared Problem Models and Flight Performance. Dalam, Johnston, N., McDonald, N., dan Fuller, R.,(Eds).  Aviation Psychology in Practice.  Aldershot  : Avebury Technical Ashgate Publ. Ltd.
Tsang, P.S., and Vidullich, M.A., (2003). Principles and Practice of Aviation Psychology. New Jersey London: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
 


Selasa, 05 Mei 2020

BUDAYA KESELAMATAN DAN PERILAKU TIDAK AMAN DI PENERBANGAN


Widura Imam Mustopo
Pendahuluan

Upaya yang sungguh-sungguh dari semua pihak untuk mencapai keselamatan penerbangan secara maksimal adalah hal yang esensial.  Tindakan untuk meningkatkan keselamatan penerbangan harus selalu dilakukan termasuk memahami pentingnya budaya (culture) khususnya dalam memberikan kontribusi pada keselamatan penerbangan.  Diperlukan pemahaman secara komprehensif tentang pengaruh budaya terhadap operasi penerbangan bila upaya keselamatan penerbangan ingin berhasil (Helmreich, 1999). 
Berkaitan dengan pentingnya usaha memahami pengaruh budaya terhadap operasi penerbangan, maka tulisan ini mengulas budaya dalam dunia penerbangan, khususnya budaya keselamatan.  Untuk itu perlu dimengerti bagaimana pengaruh budaya keselamatan terhadap perilaku penerbang terutama perilaku tidak aman (unsafe act/behavior).  Tentunya perlu diketahui lebih dahulu pengertian budaya keselamatan, terutama dari sudut pandang psikologi, termasuk kaitan antara budaya keselamatan dan perilaku tidak aman, faktor-faktor psikologis apa saja yang membangun budaya keselamatan, serta apa yang dimaksud dengan perilaku tidak aman, bagaimana model hubungan antar faktor-faktor psikologis budaya keselamatan dengan perilaku tidak aman.   

Budaya Nasional dan Keselamatan Penerbangan

Helmreich (1999) mengemukakan bahwa budaya dibangun oleh nilai-nilai (values), keyakinan (beliefs), dan perilaku anggota kelompok atau organisasi.   Budaya akan mengikat anggota kelompok dalam organisasi untuk bertingkah laku sesuai budaya yang berlaku.  Ketika berpikir tentang budaya, hal pertama yang ada di pikiran adalah budaya nasional, suatu atribut yang membedakan orang-orang yang berasal dari suatu budaya tertentu dengan orang-orang lainnya dari budaya yang berbeda.  Berkaitan dengan hubungan budaya dengan keselamatan penerbangan, masih terbatas informasi yang menunjukan bahwa budaya merupakan faktor yang dapat memberikan kontribusi bagi terjadinya kecelakaan.  Namun demikian, ide bahwa karakteristik budaya nasional juga berperan dalam penerbangan bukanlah hal yang aneh (Helmreich & Merrit, dalam Soeters dan Boer, 2000).
Studi tentang budaya dalam organisasi yang fenomenal karena banyak digunakan untuk memahami dimensi-dimensi budaya adalah Hofstede (1983).   Hofstede (2001) melalui studi tentang budaya nasional di lima puluh negara dari tiga benua, mendapatkan setidaknya lima dimensi budaya yang secara stabil selalu muncul, yaitu;  small vs large power distance, individualism vs collectivsm, masculinity vs feminity, uncertainty avoidance, dan long vs short term orientation. Pada 20 tahun terakhir, beberapa studi yang menghubungkan antar budaya dan keselamatan penerbangan berkembang cukup pesat.  Beberapa penelitian melaporkan adanya korelasi antar kedua variabel tersebut yang cukup menarik.  
Penelitian Mjos (2002) yang dilakukan selama sepuluh tahun dari 1986 sampai dengan 1996 di perusahaan penerbangan Norwegia menunjukan bahwa variabel budaya dari Hofstede yang mencakup Power Distance dan Individuality, serta iklim sosial (social climate) dan komunikasi berkorelasi secara signifikan dengan kinerja awak pesawat, terutama dalam penurunan kegagalan operasional. 
Penelitian Weener (dalam Soeters dan Boer, 2000) juga menunjukan terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah kecelakaan dengan karakteristik budaya nasional dari Hofstede.  Hasil penelitian yang hampir sama juga dilaporkan oleh Infortunio (2006), bahwa variabel budaya berkorelasi secara signifikan dengan tingkat kecelakaan fatal di 43 negara yang diteliti.  Dari penelitian Infortunio terhadap dimensi budaya Hofstede pada tujuh macam kelompok industri di 43 negara, ia mendapatkan dimensi Power Distance, Uncertainty Avoidance, dan Individuality berkorelasi secara signifikan dengan terjadinya kecelakaan fatal. 
Dari berbagai studi dan penelitian yang diulas di atas, terungkap bahwa perbedaan budaya di berbagai negara berhubungan secara signifikan dengan tingkat kecelakaan fatal terutama di lingkungan penerbangan.  Memang budaya tidak langsung mempengaruhi terjadinya kecelakaan yang fatal, namun penelitian-penelitian yang telah dilakukan mengungkap adanya hubungan bahkan mungkin pengaruh budaya terhadap faktor-faktor individual yang muncul dalam perilaku tidak aman.  Hal ini membuat bahwa tidak dapat dipungkiri bahwa budaya memiliki pengaruh yang kuat terhadap terbentuknya perilaku keselamatan dan/atau perilaku tidak aman dari individu. 

Budaya di dalam Organisasi Penerbangan

Seperti telah dikemukan sebelumnya bahwa budaya akan mengikat anggota kelompok atau organisasi dan berperan sebagai petunjuk bagaimana anggota kelompok bertingkah laku.   Bagi penerbang setidaknya terdapat tiga budaya yang bekerja untuk membentuk sikap dan tindakan (Helmreich, 1999).  Ke tiga budaya tersebut adalah, budaya nasional, budaya profesional, dan terakhir budaya organisasi.
Budaya nasional merupakan representasi dari kehidupan nasional di mana individu berada.  Budaya nasional mencakup semua norma-norma, sikap, dan nilai-nilai yang hidup di lingkungan tersebut.   Pola perilaku yang diikat oleh budaya nasional memberikan konsekuensi pada perbedaan perilaku seperti telah diulas sebelum ini. Selain budaya nasional, penerbang akan melibatkan pola perilaku yang mengikuti budaya profesinya.   Helmreich (1999) mengemukakan bahwa satu hal yang positif dari budaya penerbang adalah kebanggaan yang besar pada profesinya.  Dari penelitiannya, para penerbang sangat mencintai pekerjaannya dan termotivasi untuk bekerja sebaik-baiknya.  Hal ini tentunya positif bagi organisasi dan dapat membantu efisiensi dan keselamatan operasi penerbangan.  Tetapi budaya profesional penerbang juga mempunyai efek negatif, yaitu ketidak pekaan terhadap hal-hal tertentu.  Dari studinya, Helmreich menemukan bahwa sebagian besar penerbang meyakini bahwa mereka mampu mengambil keputusan sama baiknya dalam situasi normal maupun situasi darurat.  Para penerbang berpendapat bahwa performance mereka tidak terpengaruh oleh masalah-masalah pribadi, dan mereka tidak mungkin bertindak salah dalam situasi yang sangat menekan.   Hal-hal ini dapat merugikan karena bisa membuat penerbang tidak waspada dan menjadi kontraproduktif.  
Terakhir adalah budaya organisasi, yang menjadi ruang di mana budaya nasional dan budaya profesional berinteraksi.  Budaya organisasi menjadi determinan yang kuat dalam mempengaruhi perilaku.  Pengaruhnya cukup besar bahkan dapat menciptakan dan memantapkan budaya keselamatan (safety culture)  (Helmreich, 1999).   Oleh karena ituuntuk mencapai budaya keselamatan yang positif diperlukan komitmen kuat para pemimpin organisasi dan komitmen tersebut terlihat dalam kebijakan yang menggariskan komunikasi terbuka serta tidak melakukan tindakan-tindakan menghindar sebagai reaksi bila ada masalah atau risiko. 
Dari ketiga macam budaya tersebut, budaya nasional lebih resisten terhadap perubahan mengingat budaya nasional berpengaruh kuat terhadap individu karena sejak lahir ia hidup bersamanya.  Sedangkan budaya profesional dan budaya organisasi relatif dapat berubah bila terdapat insentif yang kuat.  Namun demikian, ketiga budaya tersebut tetap dianggap penting di dalam cockpit karena pengaruhnya terhadap perilaku penerbang ketika bekerja. 
Budaya organisasi penerbangan yang melibatkan teknologi tinggi dan menerapkan organisasi kerja yang sangat terstruktur, sistemik, dan terkontrol merupakan kerangka di mana di dalamnya budaya nasional dan budaya profesi (penerbang, teknisi, dll.) saling berinteraksi.  Kondisi ini dipercaya dapat membangun budaya keselamatan (safety culture) dan selanjutnya membentuk sikap dan perilaku terhadap keselamatan penerbangan (Heilmreich, 1999; Cooper, 2000). 

Budaya Keselamatan dalam perspektif psikologis

Sesuai pengertian yang dikemukakan oleh ACSNI (Advisory Committee on the Safety of Nuclear Installations); budaya keselamatan merupakan produk dari nilai-nilai, sikap-sikap, persepsi, kompetensi-kompetensi dan pola-pola perilaku individu dan kelompok, yang menentukan komitmen terhadap, dan gaya serta proficiency, manajemen keselamatan suatu organisasi (Gadd & Collins, 2002).  Organisasi dengan budaya keselamatan yang positif dicirikan oleh komunikasi yang dilandasi hubungan saling percaya, adanya diseminasi informasi tentang pentingnya keselamatan, dan upaya-upaya pencegahan dalam mencapai tujuan keselamatan. 
Sikap terhadap keselamatan dapat diasumsikan merupakan salah satu indikator dari budaya keselamatan.  Namun demikian perlu dipertimbangkan pendapat Ajzen (dalam Fogarty & Shaw, 2003), bahwa sikap seringkali gagal untuk menampilkan korelasi yang kuat dengan perilaku karena banyaknya faktor yang secara potensial menghalangi berubahnya sikap menjadi perilaku.   Untuk itu, Ajzen mengenalkan konsep intensi (intention) sebagai penghubung antara sikap dan perilaku.   Disini, sikap dapat digunakan untuk memprediksi intensi individu yang selanjutnya akan menampilkan perilaku aktual. 
Melalui kajian literatur tentang berbagai penelitian budaya keselamatan, Gadd dan Collins (2002) mengindikasikan ada tiga komponen yang utama dalam budaya keselamatan, yaitu; komponen psikologis, komponen situasional, dan komponen perilaku. Komponen situasional menyangkut struktur organisasi, misalnya; kebijakan, prosedur kerja, sistem manajemen, dsb.   Komponen perilaku mencakup kinerja (performance), termasuk disini perilaku keselamatan dan perilaku tidak aman.  Sedangkan komponen psikologis berhubungan dengan iklim keselamatan (safety climate) yang menyangkut norma, nilai-nilai, persepsi dan sikap terhadap keselamatan.   Oleh karenanya, Cox dan Flin (dalam Gadd dan Collins, 2002) mengemukakan bahwa untuk memahami budaya keselamatan secara psikologis, iklim keselamatan dapat dipandang sebagai salah satu indikator.

Perilaku Tidak Aman
           
            Berkaitan dengan komponen perilaku dari budaya keselamatan, maka perilaku tidak aman dapat dikategorikan sebagai komponen perilaku.   Untuk mengklasifikasi perilaku tidak aman, Shappell dan Wiegman (2004) mengembangkan konsep HFACS atau Human Factors Analysis dan Classification System, yang merupakan konsep aplikasi dari ”Swiss Cheese” model human error dari Reason (1990).   Dalam model Reason ini, dijelaskan empat tingkat kegagalan (failure) manusia, di mana tingkat sebelumnya akan mempengaruhi tingkat di bawahnya, yaitu;  1) pengaruh organisasi (organization influnces), 2) supervisi tidak aman (unsafe supervision), 3) prakondisi untuk tindakan tidak aman (precondition for unsafe acts), dan 4)  tindakan tidak aman (unsafe acts).   
Seperti telah disinggung di atas, dalam HFACS, Shappell dan Wiegman mengungkapkan bahwa perilaku pelanggaran (violation) merupakan salah satu bentuk perilaku tidak aman.   Perilaku tidak aman ini muncul dalam bentuk tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur atau ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan oleh otoritas.   Tindakan atau perilaku pelanggaran ini dapat bersifat rutin, atau merupakan kebiasaan yang dilakukan dan tidak menimbulkan dampak terhadap keselamatan.  Tindakan pelanggaran juga dapat bersifat pengecualian, karena situasi yang mendesak dan tidak ada prosedur yang jelas sehingga penerbang melakukan tindakan pelenggaran.
Shappell dan Wiegman (2004), mengembangkan HFACS atau Human Factors Analysis dan Classification System.  HFACS merupakan konsep aplikasi ”Swiss Cheese” model dari Reason (1990).  Dalam HFACS, Shappell dan Wiegman mengkasifikasikan tindakan atau perilaku tidak aman menjadi dua bentuk perilaku, yaitu; error (kesalahan) dan violation (pelanggaran).   Kesalahan atau error yang berhubungan dengan perilaku tidak aman dapat terjadi dalam bentuk kesalahan pengambilan keputusan (decisions error), kesalahan dalam keterampilan dasar (skill-based error), dan kesalahan pengamatan (perceptual error).  Sedangkan perilaku tidak aman dalam bentuk violation berkaitan dengan tindakan individu yang tidak sesuai prosedur atau ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan oleh otoritas.  Violation dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu; pelanggaran rutin (routine violation), dan pelanggaran dengan pengecualian (violation by exceptional).

Iklim Keselamatan dan Perilaku Tidak Aman dalam aplikasi Theory of Planned Behavior

Dalam studi iklim keselamatan, sejumlah peneliti berusaha mengkatagorikan variabel-variabel iklim keselamatan untuk mengkonstruk model dalam rangka menjelaskan interaksi diantara variabel tersebut.  Pada umumnya pengkatagorian variabel-variabel yang ada diorganisasikan mengikuti level atau tingkat di mana variabel tersebut berpengaruh.  Jadi, variabel-variabel yang ada akan diklasifikasikan apakah berada di level organisasi, kelompok, atau individu.   Sebagai contoh, Fogarty et.al. (2001) mengembangkan suatu model untuk menjelaskan penyebab kesalahan (error) dalam pemeliharaan pesawat udara.  Penyelidikannya mengenai pengaruh variabel organisasional, jabatan pekerjaan (job), dan individu terhadap terjadinya kesalahan menggunakan Structural Equation Model (SEM).  Hasilnya menunjukan bahwa efek faktor-faktor di level organisasional terhadap terjadinya kesalahan dimediasi oleh faktor-faktor di level individual, seperti kondisi kesehatan dan stres.  Studi yang sama dilakukan oleh Lawton (dalam Fogarty and Shaw, 2003) yang meneliti penyebab terjadinya pelanggaran (violation) pada juru langsir kereta api di Inggris.  Walaupun variabel akibat yang diteliti berbeda (kesalahan vs pelanggaran), namun kedua model memperlihatkan kesamaan bahwa variabel di tingkat individual merupakan mediator hubungan antara faktor-faktor organisasional dengan perilaku tidak aman.   Fogarty dan Neal (2002) menggabungkan kedua variabel dalam penelitiannya terhadap penyebab terjadinya kesalahan dan pelanggaran di industri konstruksi.  Laporan penelitian mengungkap bahwa variabel iklim keselamatan dapat memprediksi kesalahan, di mana variabel di tingkat individual memprediksi kesalahan. 
Terdapat kelemahan dari model pendekatan iklim keselamatan di atas tidak menampilkan gambaran yang dapat menjelaskan bagaimana perubahan perilaku sesuai alur utama (mainstream) psikologi.  Konstruk-konstruk  psikologi yang saling berkaitan sebenarnya dapat disusun dan dilakukan untuk menjelaskan model iklim keselamatan.  Misalnya, sikap terhadap keselamatan dapat diasumsikan merupakan salah satu indikator dari budaya keselamatan.  Namun demikian ternyata sikap terhadap suatu objek atau peristiwa/situasi tidak sertamerta membentuk perilaku tertentu yang sesuai.  Ajzen (dalam Fogarty and Shaw, 2003), mengungkapkan bahwa sikap seringkali gagal menampilkan korelasi yang kuat dengan perilaku karena banyaknya faktor yang secara potensial menghalangi berubahnya sikap menjadi perilaku.   Untuk itu, Ajzen melalui Theory of Planned Behavior (TPB) mengenalkan konsep intensi (intention) sebagai penghubung antara sikap dan perilaku.   Disini, sikap dapat digunakan untuk memprediksi intensi individu yang selanjutnya akan menampilkan perilaku aktual.   Menggabungkan intensi sebagai variabel mediasi akan memperkuat hubungan antara sikap dan perilaku dalam aplikasi TPB di berbagai variasi seting situasi (Conner, Warren, Close, & Sparks, 1999 ; Furnham & Lovett, 2001, dalam Fogarty and Shaw, 2003).  
Norma subjektif seperti yang dikenalkan oleh Ajzen sebagai salah satu variabel prediksi intensi merupakan konsep yang cukup kompleks.  Norma subjektif berhubungan dengan keyakinan (beliefs) dan perilaku orang yang dapat mempengaruhi pandangan individu.  Misalnya, bila seorang pekerja tidak mempercayai bahwa manajemen atau rekan-rekan kerjanya memperhatikan keselamatan kerja, maka mereka akan mempunyai anggapan bahwa keselamatan itu tidak penting.    Selain konsep norma subjek, Ajzen juga mengenalkan variebal prediktor ketiga yang ia sebut kontrol perilaku yang diamati (perceived behavioral control).  Variabel ini juga dapat langsung berhubungan dengan perilaku tidak aman.   Menurut Ajzen, perceived behavioral control memperkuat hubungan antara intensi dengan perilaku. 
Dalam aplikasi yang lebih luas, TPB dapat dimanfaatkan untuk studi tentang iklim keselamatan dengan meneliti variabel di level individual, kelompok, dan organisasional.   Sikap individu terhadap keselamatan sering digunakan sebagai variabel iklim keselamatan (Fogarty and Shaw, 2003).   Studi tentang iklim keselamatan mengamati pengaruh norma subjektif.  Individu dalam organisasi dilihat sebagai anggota suatu kelompok kerja.  Norma yang dikembangkan oleh kelompok kerja cenderung mempengaruhi perilaku pekerja yang merasa sebagai anggota atau bagian dari kelompok.  Dalam level kelompok, beberapa penelitian dalam studi iklim keselamatan menunjukan cukup besarnya peran norma kelompok dalam perilaku keselamatan.  Dapatlah dikatakan bahwa perceived behavioral control merupakan tekanan di tempat kerja (workplace pressure) yang mencegah pekerja melanggar dan untuk mengikuti prosedur.  Dari sudut pandang ini, perceived behavioral control dapat diasosiasikan sebagai intensi untuk melanggar prosedur, sehingga mengapa variabel ini dapat dijadikan prediktor perilaku pelanggaran. 

Gambar 1:         Model Teoritik Keselamatan, Sikap terhadap Pelanggaran, Norma Kelompok tentang Keselamatan, Tekanan di Tempat Kerja, Intensi untuk Melanggar, dengan Perilaku Pelanggaran

Dalam studi iklim keselamatan terdapat satu variabel yang juga penting, yaitu; sikap manajemen terhadap keselamatan.  Menurut Zohar (1980), melalui studi iklim keselamatan, dilaporkan bahwa persepsi karyawan mengenai sikap manajernya terhadap keselamatan merupakan prediktor yang sangat penting.  Dalam studi iklim keselamatan, sikap manajemen terhadap keselamatan mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap perilaku melanggar melalui sikap individu, norma subjektif, perceived control.   Hubungan antar variabel dapat dilihat pada gambar 1.

Manfaat Kajian sebagai Kesimpulan

Terdapat beberapa manfaat yang dapat diperoleh dengan dijelaskannya model hubungan budaya keselamatan dan perilaku tidak aman penerbang.  Pertama, diperoleh gambaran yang utuh mengenai komponen-komponen yang membangun budaya keselamatan.  Kedua, sejauhmana budaya keselamatan melalui faktor-faktornya berpengaruh terhadap perilaku tidak aman penerbang.  Ketiga, dengan dapat dijelaskannya mengenai hubungan antar faktor-faktor di dalam budaya keselamatan dengan perilaku tidak aman penerbang, maka dapat dikembangkan strategi intervensi yang efektif terhadap faktor-faktor budaya keselamatan yang dapat mempengaruhi perilaku keselamatan dan/atau mencegah timbulnya perilaku tidak aman.

KEPUSTAKAAN

Ajzen, I., (1988).  Attitudes, Personality, and Behaviour.  Milton Keynes:  Open University.

Cooper, M.D., (2000).  Towards a Model of Safety Culture.  Safety Science. Vol 36(2), Nov 2002, pp. 111-136.

Falconer, B.T., (2006). Attitudes to Safety and Organisational Culture In Australian Military Aviation. A Thesis Submitted in Fulfilment of The Requirements for The Degree of Doctor of Philosophy. New South Wales: University of New South Wales, Departement of Aviation.

Fogarty, G.J., Saunders, R., and Coolyer, R., (2001).  The Role of Individual and Organizational Factors in aviation maintenance.  Paper presented at the Eleventh International Symposium on Aviation Psychology, Colombus Ohio.

Fogarty, G.J., and Neal, T., (2002).  Explaining Safety violations and errors in the Construction Industry.  XXV International Congress of Applied Psychology, Singapore, July 7-12.

Fogarty, G.J., and Shaw, A., (2003).  Safety Climate and the Theory of Planned Behaviour: Towards the Prediction of Unsafe Behaviour.  In 5th Australian Industrial and Organizational Psychology Conference, 26-29 June 2003, Melbourne, Australia. (Unpublished).

Gadd, S., Collins, A.M., (2002).  Safety Culture: A Review of The Literature.  Broad Lane, Shefield: Health & Safety Laboratory.

Grote, G., (2007).  Understanding and Assessing Safety Culture Through The Lens of Organizational Management of Uncertainty. Safety Science. Vol 45(6), Jul 2007, pp.637-652.

Helmreich, R.L., (1999).  Building Safety in The Three Cultures of Aviation.  In The Proceeding of The IATA Human Factors Seminar (pp. 39-43). Bangkok, Thailand.

Hofstede, G., (1983). Dimensions of National Cultures in Fifty Caountries and three Regions. In, Deregowski, J.B., Dziurawiec, S., and Annies, R.C. (Ed’s), Expiscations in Cross-cultural Psychology. Lisse, Netherlands: Swets & Zeitlinger.

Hofstede, G., (2001). Culture’s Consequences, 2’nd Edition: Comparing Values, Behaviours, Institutions, and Organizations across Nations. Sage Publications, England.

Hopkins, A., (2006).  Studying Organisational Culture and Their Effects on Safety. National Research Centre for OHS Regulation ANU. 

Hudson, P., (2001).  Aviation Safety Culture. Leiden University: Centre for Safety Science.  

Infortunio, F.A., (2006).  An Exploration of The Correlations Between Fatal Accident Rates Across Nations and The Cultural Dimensions of Power Distance, Uncertainty, Individuality, and Masculinity.  Dissertation Abstracts International Section A: Humanities and Social Sciences Vol 67(5-A), pp. 1809.

Li, Wen-Chin, Harris, D., and Chen, A., (2007).  Eastern Minds in Western Cockpits: Meta-anlaysis of Human Factors in Mishaps From Three Nations.  Aviation, Space, and Environmental Medicine, Vol 78(4, Sect 1), Apr 2007, pp. 420-425.

Li, Wen-Chin, Harris, D., and Yu, Chung-San, (2008).  Routes to Failure: Analysis of 41 Civil Aviation Accidents From The Republic of China Using The Human Factors Analysis and Classification System.  Accident Analysis and Prevention. Vol 40(2), Mar 2008, pp. 426-434.
Mjos, K., (2004).  Basic Cultural Elements Affecting the Team Function On the Flight Deck.  The International Journal of Aviation Pasychology. Vol 14(2), April 2004, pp. 151-169.

Orasanu, J.M., (1992).  Shared Problem Models and Flight Crew Performance. Dalam, Johnston, N., McDonald, N., dan, Fuller, R. (Eds). Aviation Psychology in Practice.  Vermont : Ashgate Publishing Company.

Patankar, M.S., (2003).  Study of Safety Culture at an Aviation Organization.  International Journal of Applied Studies. Vol 3(2), 2003, pp. 243-255.

Shappell, S.A., and Wiegmann, D.A., (2004).   Department of Defense Human Factors Analysis and Classification System:  A Mishap Investigation and Data Analysis Tool (DoD HFACS).  Washington, DC.: DoD.

Soeters, J.L., and Boer, P.C., (2000).  Culture and Flight Safety in Military Aviation. The International Journal of Aviation Psychology. Vol 10(2), pp. 111-133. Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Taylor, J.C., Thomas, R.L., (2003).  Toward Measuring Safety Culture in Aviation Maintenance: The Structure of Trust and Professionalism. The International Journal of Aviation Psychology, Vol 13(4), Oct. 2003, pp. 321-343. 

Thaden, T.L., Kessel, J., and Ruengvisesh, D., (2008).  Measuring Indicators of Safety Culture in a Major European Airline’s Flight Operations Departement.  The Proceeding of the 8th International Symposium of the Australian Aviation Psychology Association. Novotel Brighton Beach, Sydney, 8-11 April.

Wiegman, D.A., Zhang, H., Thaden, T.L., Sharma, G., and Gibbons, A.M., (2004).  Safety Culture: An Integrative Review.  The International Journal of Aviation Psychology, 14(2), 117-134.  Illinois:  Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Wiegman, D.A., Zhang, H., Thaden, T.L., Sharma, G., and Mitchell, A.A., (2002).  A Synthesis of Safety Culture and Safety Climate Research.  Tchnical Report ARL-02-3/FAA-02-2.  Prepared for Federal Aviation Administration Atlantic City International Airport, NJ.  Illinois: University of Illinois.

You, X., Li, Y., Shi, X., and Jin., L., (2005).  A Factors Analysis of The Evaluation Method of Safety Culture In Airline Flight. Psychological Science (China), pp. 837-840.




Minggu, 26 April 2020

PSIKOLOGI PENERBANGAN: SUATU PENGENALAN


Widura Imam Mustopo

Pendahuluan
              
               Psikologi secara umum dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang perilaku dan proses mental manusia, meskipun perilaku hewan juga dipelajari, terutama sebagai sarana untuk lebih memahami perilaku manusia. Secara luas psikologi mencakup banyak bidang kekhususan. American Psychological Association (APA), suatu organisasi psikolog profesional di Amerika Serikat, memiliki daftar lebih dari 50 divisi dan masing-masing divisi mewakili aspek studi psikologi yang saling terpisah. Sedangkan di Indonesia Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) setidaknya terdaftar 20 Asosiasi/Ikatan Minat Bidang Psikologi yang beragam berkaitan dengan berbagai aspek psikologi, seperti klinis, kesehatan, industri dan organisasi, pendidikan, sekolah, forensik, militer, penerbangan dan lainnya. Semua ini berkaitan dengan pemahaman bagaimana perilaku manusia dan proses mental mempengaruhi atau dipengaruhi oleh masalah domain khusus mereka. 
             Tulisan ini mengulas apa yang dimaksud dengan psikologi penerbangan. Pembaca dikenalkan pada hal-hal yang termasuk dalam bahasan psikologi penerbangan, dan berbagai hal penting untuk membedakan psikologi penerbangan dan dunia psikologi lainnya.  Tetapi sebelumnya, perlu disingkirkan dulu citra populer tentang psikologi yang berhubungan dengan seseorang yang mengungkapkan keluhan atau masalahnya, ataupun seseorang yang berbaring di sofa menceritakan masa kecilnya dan riwayat perkembangan emosinya.  Pandangan tentang psikologi yang populer seperti tersebut itu lebih merupakan bidang yang berkaitan dengan psikologi klinis. Meskipun psikologi klinis merupakan komponen utama di bidang psikologi yang lebih luas, namun dapat dikatakan sedikit relevansinya dengan psikologi penerbangan. Itu tidak berarti bahwa pilot dan orang-orang yang terlibat di dunia penerbangan sama sekali tidak berhubungan dengan masalah mental atau apa yang dialami oleh umat manusia pada umumnya. Hanya saja di sini tidak membahas aspek-aspek psikologi manusia yang biasanya ditangani di bidang klinis melainkan mengulas aspek-aspek psikologi yang dapat mempengaruhi kinerja manusia dalam lingkungan penerbangan. Lebih menekankan pada semua aspek fungsi mental pilot, teknisi pemelihara, pengontrol lalu lintas udara, dan awak pendukung lainnya yang secara tak terelakkan dapat memengaruhi perilaku menjadi lebih baik atau lebih buruk.
          Pembahasan akan memilah psikologi penerbangan dari fokus psikoterapi psikologi klinis tradisional. Psikologi penerbangan akan lebih memusatkan perhatian pada perilaku maladaptif yang harus dibuktikan dengan perilaku yang tampil seperti minum berlebihan atau mengungkap gagasan yang membingungkan terkait dengan gangguan kepribadian, tetapi itu dilakukan untuk tujuan memahami dan memprediksi efek dari gangguan dan perilaku tersebut pada kegiatan yang terkait penerbangan, bukan untuk tujuan intervensi bentuk psikoterapi. Pendekatan yang digunakan dalam memahami psikologi penerbangan di sini jauh lebih mendasar. Fokus perhatian di sini tidak hanya terhadap perilaku (apa yang dilakukan orang) dan ide (apa yang dipikirkan orang) dari orang-orang dengan berbagai gangguan mental. Tetapi juga, perhatian terhadap bagaimana orang berperilaku pada umumnya. Psikologi pada tingkat paling inklusif adalah studi tentang perilaku orang pada umumnya. Psikologi di sini mempertanyakan mengapa dalam kondisi tertentu orang berperilaku dengan cara tertentu dan dalam kondisi berbeda mereka berperilaku dengan cara yang berbeda. Bagaimana peristiwa sebelumnya atau pengalaman, struktur kognitif, keterampilan, pengetahuan, kemampuan, preferensi, sikap, persepsi, dan sejumlah konstrak psikologi lainnya dapat mempengaruhi perilaku? Psikologi ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang hal itu, dan berupaya mendapatkan mekanisme untuk menemukan jawaban. Ini semua memungkinkan pembaca dapat memahami dan memprediksi perilaku manusia.
       Dalam hal ini, ada kontribusi dari beberapa sub-disiplin bidang psikologi terhadap psikologi penerbangan. Ini termasuk psikofisiologis, psikologi kerekayasaan, dan disiplin lainnya yang terkait erat dengan faktor manusia, seperti; psikologi personil, psikologi kognitif, dan psikologi organisasi. Meskipun psikologi penerbangan sangat bergantung pada disiplin ilmu psikologi lainnya, namun sebenarnya disiplin ilmu lainnya juga sangat berhutang budi pada psikologi penerbangan karena mendukung kemajuan psikologi, khususnya di bidang psikologi terapan. Ini terutama disebabkan oleh ikatan historis psikologi penerbangan dengan penerbangan militer. Karena sejumlah alasan, penerbangan, dan pilot khususnya, selalu menjadi masalah yang sangat besar bagi militer. Pelatihan pilot militer adalah proses yang mahal dan panjang, sehingga perhatian besar telah diberikan, sejak Perang Dunia I, untuk meningkatkan kualitas seleksi individu-individu calon pilot ini untuk mengurangi kegagalan dalam pelatihan, asal-usul personel dan psikologi pelatihan. Demikian pula, biaya pesawat udara yang besar dan kerugiannya karena kecelakaan berkontribusi pada pengembangan faktor manusia dan psikologi kerekayasaan. Interaksi manusia dengan sistem otomasi, sekarang menjadi perhatian besar di era komputer, dan telah menjadi problem studi selama beberapa dekade dalam penerbangan, mulai dari pengenalan sistem penerbangan dan dalam beberapa tahun terakhir kokpit kaca canggih. Banyak penelitian yang dikembangkan dalam manajemen operasional penerbangan untuk sistem canggih ini sama-sama sesuai dengan tampilan dan kontrol canggih yang juga akan segera muncul di mobil dan truk.


Pengertian, Ruang Lingkup Psikologi Penerbangan

Dari pengertiannya yang umum, psikologi penerbangan dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia di dunia penerbangan.  Psikologi penerbangan ingin menelaah aspek-aspek perilaku manusia yang terkait dengan lingkungan penerbangan.  Secara lebih spesifik beberapa ahli psikologi penerbangan mendefinisikan sesuai dengan latar belakang dan tujuan masing-masing ahli tersebut. Psikologi penerbangan didefinisikan sebagai “Ilmu terapan yang mempelajari perilaku manusia dalam upaya untuk menyesuaikan diri  dengan lingkungan penerbangan" (Bond, et.al., 1962).  Bond dan kawan-kawan mencoba mendefinisikan psikologi penerbangan sebagai ilmu terapan, artinya psikologi penerbangan dikembangkan sebagai ilmu yang berorientasi pada pemecahan permasalahan di lapangan dan atau operasional, dalam hal ini operasional penerbangan.  Roscoe (dalam Roscoe & Williams, 1980) mendefinisikan psikologi penerbangan sebagai ilmu tentang perilaku manusia dalam pengoperasian sistem penerbangan". Martinussen & Hunter (2018) mendefinisikan sebagai studi tentang individu yang terlibat dalam kegiatan yang terkait penerbangan. Dari definisi di atas, secara ringkas psikologi penerbangan merupakan ilmu terapan yang pokok studinya adalah perilaku manusia dalam aktivitasnya di dunia penerbangan. 
Para ahli mengungkapkan bahwa psikologi penerbangan pada dasarnya mempelajari perilaku manusia.  Perilaku di sini dapat diartikan luas mencakup tindakan manusia, proses kognitif, dan emosional, termasuk di dalamnya hal-hal yang mempengaruhinya seperti perbedaan lintas budaya, antar dan intra-individu.  Dan perilaku manusia tersebut secara khusus dipelajari dalam lingkungan sistem yang kompleks di penerbangan. 
Sebagai ilmu terapan, psikologi penerbangan mengembangkan dan mengaplikasikan metode-metode dan teknik-teknik psikologi ilmiah berbasis empiris.  Metode dan teknik-teknik psikologi tersebut terutama yang terkait dengan bidang psikologi terapan, seperti psikologi kerja, psikologi organisasi, psikologi personel, psikologi sosial, psikologi pendidikan, diagnostik psikologi, psikologi kesehatan, dan psikologi klinis.
            Memperhatikan ruang lingkup studi psikologi penerbangan tersebut di atas, maka psikolog penerbangan bekerja dan bertanggung jawab atas bidang psikologi dalam area kerja: Seleksi, kualifikasi, dan pelatihan ; optimalisasi kondisi kerja dan pengembangan sistem ; pengurangan risiko keselamatan ; investigasi kecelakaan dan insiden ; intervensi krisis dan intervensi psikologis klinis ; manajemen beban kerja ; kualitas kerja tim dan sumber daya tim.


Tujuan Psikologi Penerbangan

Tujuan dari psikologi penerbangan adalah untuk memahami dan memprediksi perilaku individu dalam lingkungan penerbangan. Mampu, walaupun tidak sempurna, untuk memprediksi perilaku mempunyai manfaat besar bagi dunia penerbangan. Memprediksi secara akurat bagaimana pilot akan bereaksi (berperilaku) dalam membaca instrumen memungkinkan kita untuk mengurangi kesalahan pilot, yaitu dengan merancang instrumen yang lebih mudah ditafsirkan dan tidak mengarah pada potensi reaksi yang salah. Memprediksi bagaimana perilaku teknisi pemeliharaan ketika diberi serangkaian instruksi baru dapat menyebabkan peningkatan produktivitas melalui pengurangan waktu yang diperlukan untuk melakukan tindakan pemeliharaan. Memprediksi bagaimana lama istirahat akan mempengaruhi pengontrol lalu lintas udara ketika dihadapkan dengan konflik lalu lintas yang dapat meningkatkan keselamatan.  Memprediksi apakah restrukturisasi perusahaan pada budaya keselamatan suatu organisasi dapat mengidentifikasi area di mana konflik mungkin terjadi dan area di mana keselamatan cenderung menurun.
Dari tujuan umum untuk memahami dan memprediksi perilaku individu dalam lingkungan penerbangan, dapat diidentifikasi tiga tujuan yang lebih spesifik. Pertama, untuk mengurangi kesalahan oleh manusia dalam aktivitas penerbangan; kedua, untuk meningkatkan produktivitas; dan ketiga, untuk meningkatkan kenyamanan pekerja dan penumpangnya. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini diperlukan kegiatan yang terkoordinasi dari banyak kelompok orang yang terlibat di penerbangan. Ini termasuk pilot, teknisi-pemelihara, operator kontrol lalu lintas udara, manajer organisasi penerbangan, pengangkut bagasi, supir truk bahan bakar, katering, ahli meteorologi, dispatcher, dan petugas kabin. Semua kelompok kerja ini, ditambah beberapa kelompok kerja pendukung lainnya, memiliki peran dalam mencapai ketiga tujuan psikologi penerbangan yaitu: keselamatan, efisiensi, dan kenyamanan. Namun, karena mengulas semua kelompok itu menjadi sangat luas maka pembahasan umumnya difokuskan pada pilot.  Alasan lain mengapa fokus pada pilot karena sebagian besar penelitian psikologi penerbangan dilakukan pada pilot. Hal ini perlahan berubah, dan belakangan ini lebih banyak penelitian yang telah dilaksanakan atau sedang dilakukan ditujukan pada pengontrol lalu lintas udara, anggota kru, dan kelompok pekerjaan lain yang terlibat dalam penerbangan.

Kepustakaan:

Bond, N.A., Bryan, G.L., (1962).  Aviation Psychology.  L.A. :   Aviation and Missile Safety Division.Goeters, K.M.(Ed), Aviation Psychology :  A Science and a Profession.  Vermont: Ashgate Publishing Co. 
Martinussen, M., and Hunter, D.R., (2018). Aviation Psychology and Human Factors (Second Edition). NW, Suite 300: Taylor & Francis Group, LLC., CRC Press.
Roscoe, S.N., and Williams, A.C. (1980). Aviation Psychology. NY: John Wiley & Sons,  
       Incorporated.
Tsang, P.S., and Vidulich, M.A., (2003). Introduction to Aviation Psychology. In, Tsang, P.S., and Vidulich, M.A. (Ed’s), Principle and Practice of Aviation Psychology Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers.
Widura IM., (1986). Psikologi Dalam Lingkungan Penerbangan. Dalam : Kumpulan Karya Tulis Alumni Fakultas Psikologi Unpad, Dalam Rangka Lustrum V & Hari Sarjana Fakultas Psikologi Unpad.  Bandung :  Fakultas Psikologi Unpad.