Widura Imam Mustopo
Pendahuluan
Beberapa kasus kecelakaan penerbangan
membangkitkan kembali perhatian pada isu-isu Kesehatan mental di lingkungan
awak pesawat, terutama pilot. Besarnya masalah atau gangguan kesehatan jiwa
dalam penerbangan tidak diketahui secara jelas. Namun secara teoritis, kesehatan
mental dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik pribadi ataupun pekerjaan. Terkait
dengan gangguan mental, publikasi ICAO menyebutkan mayoritas gangguan mencakup
depresi, kecemasan (anxiety), dan ketergantungan obat & alkohol
(Jordaan, 2016). Sumber lain
mengungkapkan masalah psikologis yang umum pada pilot, antara lain menyangkut gangguan
penyesuaian, gangguan mood, kecemasan dan stres kerja, masalah relasi sosial,
disfungsi seksual, dan masalah alkohol (Bor et al., 2017).
Dalam tulisan berikut ini akan diulas
mengenai kesehatan mental dan gangguan mental umum atau common mental
disorders (CMD) di lingkungan awak pesawat. Akan diuraikan latar belakang
munculnya perhatian lebih besar terhadap isu kesehatan mental di lingkungan
penerbangan, bagaimana para pemangku kepentingan baik dari kalangan kesehatan
dan psikologi penerbangan, asosiasi pilot, operator, dan regulator dalam
merespon permasalahan kesehatan mental dan upaya menanganinya serta mendapatkan
solusi. Tulisan juga menyinggung isu-isu apa saja yang muncul terkait
permasalahan Kesehatan mental di penerbangan, dan apa saja Langkah pertimbangan
ICAO (International Civil aviation Organization) dalam merespon masalah
Kesehatan mental di lingkungan penerbangan.
Latar Belakang
Beberapa kasus kecelakaan penerbangan
yang berhubungan dengan isu-isu kesehatan mental awak pesawat telah menarik
perhatian dan menjadi latar belakang tulisan ini, antara lain;
JetBlue
Flight 191. 27 Maret 2012, JetBlue Flight 191, terbang dari Bandara John F.
Kennedy, New York menuju Las Vegas. Saat
itu penerbangan dialihkan ke Amarillo menyusul komentar dan ancaman yang
mengganggu dilakukan oleh Captain pesawat. Menyadari perilaku aneh Captain,
maka First officer mengunci cockpit dari dalam. Di dalam kabin, Captain
diamankan oleh penumpang. Pilot JetBlue lainnya yang tidak bertugas, membantu First
officer dalam mengalihkan pesawat ke Amarillo dengan lancar (Fernandez,
2012). Laporan awal dari maskapai menungkapkan bahwa pilot mengalami serangan
panik (panic attack) (Donaldson, 2012).
Malaysia
Flight 370. 8 Maret 2014, Malaysia Flight 370, dalam penerbangan dari Kuala
Lumpur ke Beijing, menghilang di atas Samudera Hindia. Pada kejadian ini 12 awak pesawat dan 227
penumpang menjadi korban (ATSB, dalam DeHoff & Cusick, 2018). Pencarian pesawat
terhambat karena sistem pelaporan otomatis pesawat dinonaktifkan. Tidak ada informasi
apapun yang terdengar dari pesawat dalam 38 menit sebelum kejadian. Penemuan sejumlah
kecil puing pesawat, mengarahkan investigator mencurigai bahwa pesawat itu
tidak dikonfigurasi untuk pendaratan di air atau ditching saat menyentuh
laut (ATSB, 2017). Selain itu, pesawat
juga tidak dikonfigurasi untuk mendukung kelangsungan hidup awak dan penumpang.
Investigator menyimpulkan bahwa
seseorang mengendalikan pesawat di akhir penerbangannya. Informasi yang diambil
dari komputer pribadi Captain mengungkap bahwa beberapa waktu sebelumnya
Captain telah membuat simulasi "penerbangan" di Boeing
777-200LR, termasuk mengemudikan pesawat ke daerah-daerah terpencil di Samudera
Hindia. Pengungkapan konfigurasi pesawat dan simulasi penerbangan yang dibuat Captain
di komputer pribadinya mengarahkan dugaan investigator bahwa kecelakaan itu sebagai
kasus bunuh diri yang dilakukan oleh Captain pesawat. Walaupun, Biro
Keselamatan Transportasi Australia pada akhirnya menyimpulkan bahwa penyebab
kecelakaan tidak dapat ditentukan dengan pasti mengingat puing-puing utama belum
ditemukan (ATSB, dalam DeHoff & Cusick, 2018).
Germanwings
Flight 9525. 24 Maret 2015, Germanwings Flight 9525, terbang dari Barcelona
ke Düsseldorf. Tak lama setelah mencapai
ketinggian jelajah Captain pilot keluar dari kokpit, dan First
officer mengunci pintu kokpit dari dalam. Sendirian di kokpit, First officer
mengendalikan pesawat hingga pesawat menabrak lereng gunung dengan kecepatan
350 knot (BEA, 2016). Kecelakaan terjadi
di Pegunungan Alpen dan menewaskan seluruh 150 penumpang serta awak pesawat. Investigasi mengungkapkan beberapa peristiwa
sebelum kecelakaan itu terjadi. Dari
Riwayat kerja, First officer terbang untuk Germanwings kurang dari satu
tahun sebelum kecelakaan. Dilaporkan ia memiliki
masalah kesehatan mental sejak 2009. Sejak
2009, sertifikat medisnya, yang diperbarui setiap tahun, termasuk waiver
untuk episode gejala depresi berat non-psikotik terjadi pada tahun tersebut. Waiver tersebut menyatakan bahwa jika
episode gejala depresi terulang kembali, maka sertifikat medis First officer
tidak berlaku. Pada bulan Desember, kira-kira empat bulan sebelum
kecelakaan itu, First officer mengalami kembali gejala depresi. Ketika itu, dia berobat ke beberapa dokter dan
diberi otorisasi dari dokter untuk mengambil cuti dari tugas penerbangannya. Namun
otorisasi ini tidak diteruskan ke Germanwings, termasuk kepada pimpinan dan medical
examiner bahwa ia mengalami depresi kembali (BEA, 2016). Dapat dikatakan
bahwa kecelakaan ini mengejutkan dan mengaktifkan berbagai lembaga regulator
penerbangan di dunia untuk lebih memahami implikasi kesehatan mental di
penerbangan.
Telah banyak yang telah ditulis
tentang insiden JetBlue, Malaysia, dan Germanwings. Dua kasus terakhir
mendorong berbagai pemangku kepentingan termasuk badan regulator di seluruh
dunia untuk mememperhatikan kembali kondisi kesehatan mental awak pesawat.
Gangguan
Mental Umum (Common Mental Disorders) di Penerbangan
Besarnya masalah gangguan kesehatan
mental dalam penerbangan tidak diketahui secara pasti, namun yang jelas
kesehatan mental dipengaruhi oleh berbagai faktor pribadi dan pekerjaan. Problem
kesehatan mental sebetulnya sudah mendapatkan perhatian sejak lama,
permasalahan ini memang berbeda dengan isu Kesehatan Fisik. Gangguan Mental Umum (Common Mental
Disorders [CMD]) dapat terkait dengan depresi, kecemasan, dan
ketergantungan obat dan alcohol (Jordaan, 2016). Suatu penelitian untuk memperkirakan
prevalensi kasus dugaan gangguan mental, utamanya CMD pada pilot penerbangan
sipil Brasil telah dilakukan tahun 2009.
Secara khusus, penelitian ini ditujukan untuk menyelidiki hubungan
antara CMD, demografi, dan variabel tenaga kerja.
Penelitian ini menggunakan Job Content
Questionnaire (JCQ) dan Self-Reporting Questionnaire (SRQ-20). Studi cross-sectional kuantitatif
dilakukan pada 807 pilot yang bekerja antara Oktober 2009 dan Oktober 2010. Hasil penelitian tersebut melaporkan, prevalensi
CMD secara keseluruhan adalah 6,7% kasus positif. 10,2% menunjukkan dugaan CMD muncul
pada individu yang tidak berolahraga. 23,7% menunjukkan dugaan CMD di antara
mereka yang bekerja dengan beban kerja yang berat. Kesimpulan hasil penelitian
mengngkap hanya variabel yang berkaitan dengan beban kerja dan aktivitas
(olahraga) fisik yang secara signifikan berkorelasi dengan estimasi CMD.
Dilaporkan bahwa olahraga secara
teratur memberikan efek perlindungan terhadap kasus dugaan CMD, sementara
prevalensi kasus dugaan CMD yang lebih tinggi terjadi di antara subjek dengan
beban kerja yang berat. Hasil penelitian ini menunjukkan ada korelasi yang signifikan
antara pekerjaan yang sangat menuntut (demanding) dan prevalensi CMD,
dibandingkan dengan pilot dengan pekerjaan yang kurang menuntut. Prevalensi CMD
yang diekspaktasi pada pilot dengan pekerjaan yang sangat menuntut, beban kerja
berat, dan tidak berolahraga secara teratur adalah 39,7%, dibandingkan dengan
subkelompok pilot dengan pekerjaan yang kurang menuntut, olah raga teratur, dan
beban kerja ringan, yang menunjukkan prevalensi yang diekpaktasi sebesar 0,4%.
Hasil penelitian ini mengungkapkan
bahwa kondisi kerja dapat dianggap sebagai faktor potensial yang berkontribusi
terhadap CMD, dengan kemungkinan berdampak pada keselamatan penerbangan. Dimasukkannya
topik kesehatan mental di antara target dan prioritas penerbangan sipil di
Brasil sangat penting. Mengatasi masalah seperti olahraga rutin dan beban kerja
dapat berkontribusi untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik antara
keselamatan dan produktivitas penerbangan.
Penelitian lainnya berbentuk survei
juga telah dilakukan pada tahun 2016 oleh para peneliti dari Harvard T. H. Chan
School of Public Health. Survei dilakukan
terhadap 1837 pilot. Hasil penelitian mendukung bahwa masalah kesehatan mental di
populasi pilot maskapai serupa dengan populasi AS pada umumnya. Wu dkk. (2016)
menemukan bahwa lebih dari 12% pilot yang merespon survei memenuhi tingkat
ambang batas depresi. Selain itu, lebih dari 13% dari responden yang melaporkan
telah bekerja sebagai pilot dalam 30 hari sebelumnya memenuhi: kriteria yang
sama. Lebih mengejutkan Wu dkk. juga menemukan lebih dari 4% peserta penelitian
melaporkan memiliki pikiran untuk bunuh diri dalam dua minggu sebelumnya .
Sebuah review sistematis terhadap 20
studi yang meneliti depresi pada pilot maskapai penerbangan menemukan bahwa
prevalensi gangguan depresi mayor yang dialami oleh pilot maskapai komersial
berkisar antara 1,9% hingga 12,6% (Pasha & Stokes, 2018). Survei untuk mengidentifikasi
tren serupa juga ditemukan di pekerjaan-pekerjaan dengan stres tinggi lainnya.
Gejala yang terkait dengan gangguan depresi mayor dilaporkan menunjukan prevalensi
12% dan 13% pada personel militer AS yang dikerahkan untuk suatu operasi, 7% ditemukan
pada teknisi medis darurat dan 17% pada petugas polisi (Wu dkk., 2016).
Penelitian Wu dkk. ini menyajikan
kasus yang menarik bahwa tantangan kesehatan mental, khususnya depresi pada
komunitas pilot selaras dengan populasi (di AS) pada umumnya. Ini mengungkap bahwa
perhatian lebih besar perlu diarahkan pada diagnosis dan terapi yang efektif,
sehingga tantangan kesehatan mental ini dapat ditangani dan tidak berpotensi
membahayakan keselamatan penerbangan. Lebih lanjut Wu dkk. menyarankan agar
pendekatan lebih diarahkan kepada upaya-upaya preventif terhadap kesehatan
mental pilot daripada pada kebijakan seleksi, evaluasi, dan penyimpanan catatan.
Problem Kesehatan Mental dan Konsekuensinya
Ketika seseorang didiagnosa mengalami problem mental, umumnya muncul
beberapa kemungkinan yang bisa terjadi, antara lain: Isu-isu terkait menurunnya kepercayaan
diri dan menghargai diri sendiri (self-esteem), adanya keengganan
mencari bantuan karena masalah kerahasiaan medis, berupaya mencari bantuan
tetapi menolak ketika harus diterapi, memperoleh perawatan namun tidak
mengungkapkan kondisi sebenarnya atau tidak menginformasikan pelaksanaan
perawatannya kepada otoritas, rekan kerja ragu-ragu untuk melaporkan
kekhawatiran mereka kepada atasan/manajemen/pihak otoritas, meningkatnya stres
dan perasaan terisolasi, dan efek memburuk dari perkembangan gejala gangguan
mental, serta meningkatnya risiko keselamatan penerbangan
Selain itu, ketika seorang pilot
didiagnosa mengalami masalah mental, hal yang bisa terjadi, yaitu: yang
bersangkutan mendapatkan stigma and diskriminasi dari lingkungan, ada biaya
tambahan misalnya pemeriksaan dan perawatan untuk mendapatkan sertifikat medis,
larangan terbang disebabkan status kesehatan mental, yang memberikan
konsekuensi kehilangan pendapatan, dan takut kehilangan pekerjaan
Work-related Stress & Coping
Strategies
Sejak kecelakaan Germanwings 9525
tahun 2015, masalah mengelola dan mendukung pilot dalam mengatasi problem
kesehatan mental yang berkaitan dengan stres terkait pekerjaan (stres kerja) telah
mendapatkan perhatian yang meningkat.
Banyak pihak pemangku kepentingan menganjurkan diterapkannya praktik
perilaku sehat karena dipercaya dapat memperkuat daya tahan seseorang terhadap
stres (Morimoto & Shimada, 2015).
Praktik-praktik tersebut antara lain strategi koping stres yang umum, olahraga
secara rutin, menerapkan praktik teknik relaksasi, upaya mencari dukungan
sosial dan/atau partisipasi sosial, manajemen tidur dan manajemen diet, tidak
merokok dan alkohol. Dan, satu hal lagi
yang lebih bersifat psikologis adalah memperkuat efikasi diri.
Efikasi diri, adalah keyakinan
seseorang bahwa ia mampu berhasil dalam menghadapi situasi tertentu. Menurut
suatu penelitian, tingkat efikasi diri yang tinggi dapat membantu seseorang lebih
efektif mengatasi stres kerja (Jordan et al., 2016). Memperkuat efikasi diri
adalah kunci keberhasilan dalam intervensi yang dirancang untuk mengurangi
gejala depresi (Blazer, 2002).
Tanggapan
Terhadap Problem Kesehatan Mental di Penerbangan
Perhatian terhadap isu-isu kesehatan
mental, terutama setelah kejadian Germanwing Flight 9525 juga menarik sejumlah
organisasi dan regulator untuk memberikan tanggapan. European Cockpit Association (ECA), European
Association for Aviation Psychology (EAAP), dan European Society of Aerospace
Medicine (ESAM), membuat pernyataan bersama untuk mempromosikan kesehatan
mental dan membantu para pilot yang membutuhkan bantuan mengatasi masalah
Kesehatan mental (ECA, 2015). Beberapa pernyataan mereka antara lain:
· Kinerja pilot yang aman selama karir, sehat
dan memuaskan harus menjadi tujuan bersama pilot profesional, spesialis
aeromedis dan psikologi, manajemen maskapai penerbangan, dan pihak-pihak
otoritas yang berwenang.
· Kesehatan mental harus dilihat sebagai bagian
integral dari kesehatan dan kesejahteraan para profesional secara keseluruhan.
·
Memberikan dukungan kuat untuk menyelenggarakan
pilot Peer Support Programmes.
· Melaksanakan evaluasi psikologis awal terhadap
pilot pada tahap sebelum bekerja sesuai dengan standar yang diterima secara
internasional.n standar yang diterima secara
internasional.
Pernyataan
Bersama tersebut searah dengan rekomendasi The Aerospace Medical Association
(AsMA) terkait Kesehatan mental di antara para pilot (EASA, 2015). Rekomendasi tersebut antara lain:
·
Kesejahteraan mental dan tidak adanya gangguan
mental sangat penting bagi kinerja dan tugas pilot yang aman serta keselamatan
penerbangan.
· Gangguan/penyakit mental yang serius seperti
psikosis akut relatif sedikit, dan kemunculannya sulit diprediksi.
· Perhatian harus lebih diberikan pada masalah
dan kondisi kesehatan mental yang ringan dan lebih umum ketika pemeriksaan
regular kondisi aeromedis pilot.
· Harus digunakan metode yang tepat untuk
membangun hubungan dan kepercayaan dengan pilot di lingkungan yang tidak mengancam.
Secara umum, kalangan industri
penerbangan dan komunitas pilot mengutamakan promosi pentingnya kesejahteraan
positif (positive well being) dan praktik perilaku sehat bagi para
profesional penerbangan.
ICAO
CONSIDERATION-Mental Health Advocacy
Problem kesehatan mental pada
kenyataannya memang membuat sementara pihak dilematis, karena di satu pihak merupakan
permasalahan di mana yang mengalaminya kadang mendapatkan perlakuan tidak adil
dan tidak jarang muncul dari persepsi yang subjektif, namun di pihak lain
permasalahan kesehatan mental perlu diwaspadai dan diatasi agar tidak
memberikan konsekuensi negative bagi kesejahteraan psikologis dan keselematan
penerbangan. Menghadapi kondisi ini,
ICAO memberikan pertimbangan pentingnya advokasi atau perlindungan untuk
mengantisipasi mereka yang potensial mengalami permasalahan kesehatan mental.
Beberapa pertimbangan tersebut antara lain, mengembangkan advokasi untuk
mempromosikan hak asasi orang dengan gangguan mental dan untuk mengurangi
stigma serta diskriminasi, advokasi ini mencakup tindakan yang bertujuan untuk
mengubah hambatan struktural dan sikap agar tercapai hasil kesehatan mental
yang positif, dan menitik beratkan kebutuhan dan hak orang dengan gangguan jiwa
ringan dan kebutuhan kesehatan jiwa secara umum.
Pertimbangan-pertimbangan ini
diwujudkan dalam tindakan kongkrit dengan meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya
praktik perilaku sehat dan memelihara kesejahteraan psikologis ; memberikan informasi, edukasi and pelatihan
tentang penyebab dan mengatasi problem Kesehatan mental ; mengembangkan
jaringan dukungan sosial untuk pertukaran informasi; dukungan emosional dan
instrumental (misal, memberikan fasilitas pertemuan dan kontak dengan kelompok
lain) ; memberikan layanan Kesehatan mental (konseling dan dukungan profesional)
bila diperlukan ; mempromosikan pembentukan aliansi pemangku kepentingan untuk
advokasi kesehatan mental ; dan, melaksanakan evaluasi dan kajian mengenai pelaksanaan
advokasi.
Penutup
Sebagai penutup tulisan ini, dapat
dirangkum beberapa hal untuk menjadi perhatian, antara lain: Kesehatan mental
dipengaruhi oleh berbagai faktor pribadi dan pekerjaan ; Industri dan kelompok
pilot penting untuk mempromosikan kesejahteraan positif dan praktik perilaku
sehat ; CMD di penerbangan lebih banyak dialami oleh para pilot yang menghadapi
dengan beban berat dan menuntut serta kurang berolahraga ; Mendapatkan label
memiliki problem kesehatan mental di penerbangan dapat menimbulkan konsekuensi negatif
; dan, Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut ICAO lebih mempertimbangkan pentingnya
kebutuhan advokasi para pilot terhadap kemungkinan mengalami permasalahan kesehatan
mental termasuk konsekuensinya.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Bureau
d’Enquêtes et d’Analyse (BEA). (2016). Final Report Accident on 24 March 2015
at Prads-Haute-Bléone (Alpes-de-Haute-Provence, France) to the Airbus A320-211
registered D-AIPX operated by Germanwings
Cahill
J., Cullen, P., Anwer, S., Wilson, S. & Gaynor, K. (2021): Pilot Work
Related Stress (WRS), Effects on Wellbeing and Mental Health, and Coping
Methods, The International Journal of Aerospace Psychology, DOI: 10.1080/24721840.2020.1858714.
Chong, C.H. (2016). DME Training –
Mental Health in Civil Aviation. CAMB – CAAS. Atlantic City, 27 April 2016.
Collins,
P.Y. (2020). What is global mental health? Department of Psychiatry and
Behavioral Sciences and Department of Global Health, University of Washington :
Seattle, WA, USA.
DeHoff,
M. C., & Cusick, S. K. (2018). Mental Health in Commercial Aviation -
Depression & Anxiety of Pilots. International Journal of Aviation,
Aeronautics, and Aerospace, 5(5). Retrieved from https://commons.erau.edu/ijaaa/vol5/iss5/5.
ESAM, ECA, EAAP. (2015). Aeromedical,
Aviation Psychological & Pilot Associations Join Forces to facilitate Pilot
Medical Fitness 30/11/2015. www.esam.aero
; www.eurocockpit.be
; www.eaap.net
Feijó,
D., Luiz, R.R., & Camara, V.M. (2012). Common mental disorders among civil
aviation pilots. Aviat Space Environ Med. 2012 May ; 83(5):509-13. DOI:
10.3357/asem.3185.2012.
Jordaan,
A. (2016). Strengthening mental health in Civil Aviation. Aviation Medicine
Section, ICAO. Atlantic City: ICAO
Scarpa, P.J. (2016). AsMA Pilot Mental
Health Working Group Recommendations –Revised 2015. Atlantic City: Aerospace
Medical Association.
Wu, A. C., Donnelly-McLay, D.,
Weisskopf, M. G., McNeely, E., Betancourt, T. S., & Allen, J. G. (2016).
Airline pilot mental health and suicidal thoughts: a cross-sectional
description study via anonymous web-based survey. Environmental Health, 15:121.
DOI: 10.1186/s12940-016-0200-6