Kamis, 08 Januari 2009

Psikologi Penerbangan dalam Perspektif Human Factors

Oleh : Widura IM.


Pendahuluan

Psikologi yang diaplikasikan dalam penerbangan merupakan suatu bidang tersendiri yang menuntut pemahaman topik-topik psikologi dan perilaku pada umumnya, seperti ; persepsi dan perhatian, berfikir, psikofisiologis, industri/ organisasi, psikologi sosial, pendidikan dan klinis. Seperti dikemukakan oleh Roscoe (1980), psikologi penerbangan adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia dalam operasi sistem penerbangan. Sejalan dengan batasan tersebut, peran psikologi dalam sistem penerbangan berhubungan dengan bagaimana konsep-konsep dan teori-teori psikologi yang dapat mendukung, dan menambah informasi mengenai bagaimana tingkah laku dalam operasi penerbangan itu terjadi atau mungkin dilakukan (Donald dan Johnston, 1994). Tentunya, dalam mempelajari psikologi penerbangan, orang perlu mengetahui bidang penerbangan itu sendiri, seperti ; tugas-tugas penerbang, dari daya ingat sampai pengambilan keputusan penerbang, seleksi penerbang, cockpit designs, interaksi manusia komputer, training systems development, program manajemen dan human performance research.

Mengamati perilaku manusia khususnya penerbang dalam kegiatan operasional penerbangan, penerbang dapat dipandang sebagai suatu sistem di dalam sistem (Sells & Berry, 1961). Sebagai penerbang, yang bersangkutan meru-pakan mata rantai atau komponen yang penting dalam sistem kontrol pesawat terbang, tetapi sebagai manusia juga dapat dilihat sebagai sistem yang independen. Dengan kata lain, seorang penerbang dapat dilihat sebagai salah satu komponen instrumen dalam sistem kegiatan operasional penerbangan yang tak terlepas dari sistem organisasi yang menyelenggarakan operasi penerbangan itu sendiri, dan sebagai organisme manusia dengan sistem psikofisiknya.
Dalam mengulas topik psikologi dalam konteks yang luas seperti di lingkungan penerbangan, studi psikologi penerbangan masuk dalam lingkup kajian human factors. Terutama hal ini dianggap penting dalam menelaah keselamatan penerbangan, termasuk upaya pencegahan kecelakaan sampai dengan penyelidikan kecelakaan penerbangan. Khususnya dalam tulisan disini akan diungkap aspek-aspek psikologi penerbangan dalam perspektif human factors yang mencoba menelaah upaya-upaya pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya incident dan accident dalam konteks keselamatan penerbangan.

Manusia Dalam Sistem Operasi Penerbangan

Organisasi kerja awak pesawat, terutama penerbang sangat erat kaitannya dengan sistem kerja mesin, sehingga mereka dalam menjalankan tugasnya sering dianalogikan sebagai suatu mata rantai sistem operasional mesin yang “identik” dengan sub-sistem mesin. Sebagai sub-sistem mereka harus dapat bekerja layaknya mesin yang efisien, efektif, dan terpelihara kualifikasinya. Kondisi ini tentunya memberikan konsekuensi pada keseluruhan sistem organisasi kerja yang dipersyaratkan bagi penerbang. Penerbang dituntut ability atau kemampuan untuk menangani tugas-tugasnya. Ada kualifikasi profesi yang dipersyaratkan bagi individu yang melaksanakan tugas penerbangan, dan kualifikasi ini hanya dapat diperoleh melalui seleksi yang ketat, pendidikan serta latihan terprogram yang membutuhkan waktu relatif lama, dilakukan dengan intensif, juga pengalaman tugas yang kadang membutuhkan waktu cukup panjang selama masa penerapan profesinya.

Salah satu tuntutan atau persyaratan disamping tuntutan kemampuan dan keterampilan, sangat ditekankan penguasaan prosedur kerja baku atau SOP (Standard Operation Procedure) yang terinci sesuai jenis pesawat yang diawaki. Untuk itu dalam melaksanakan tugasnya, walaupun mereka diyakini sudah menguasai prosedur yang harus dijalankan, mereka tetap dilengkapi checklist prosedur tindakan yang harus diikuti dengan penuh disiplin. Bahkan penguasaan terhadap prosedur ini harus diuji secara periodik oleh pihak otoritas agar tetap memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan. Tidak dapat dielakkan bahwa untuk mengoperasikan pesawat terbang dengan segala peralatan dan sistem pendukungnya, dibutuhkan individu yang memiliki keterampilan tinggi disamping kemampuan dan kemauannya dalam mematuhi prosedur kerja dengan penuh disiplin.

Agar individu atau manusia yang bergerak dalam sistem penerbangan dapat berfungsi layaknya subsistem mesin dengan berbagai tuntutan seperti telah diuraikan di atas, maka tak dapat dielakan bahwa hal ini menuntut sistem organisasi dan sistem manajemen yang sesuai, serta dapat bekerja optimal untuk memfasilitasi berjalannya fungsi-fungsi sub-sistem di dalamnya. Kelemahan dan kegagalan dari salah satu sub-sistem dipercaya dapat berdampak buruk pada berfungsinya sistem secara keseluruhn mengingat manusia secara teoritik merupakan sub-sistem yang paling sensisitif terhadap pengaruh yang dapat berdampak pada kegagalan performance. Bila kegagalan tersebut terjadi pada penerbang (sebagai salah satu sub-sistem) maka tentunya incident atau kecelakaan penerbangan tidak dapat dihindari.

Aktivitas Psikologi dalam Perspektif Human Factors

Pemahaman tentang kapabilitas dan keterbatasan (limitasi) manusia serta aplikasi pemahaman ini adalah perhatian utama dari human factors. Dan studi tentang human factors sejak setengah abad ini sudah berkembang ke aspek-aspek kognitif dari tugas-tugas penerbang. Kecenderungan ini terus berlanjut memasuki area studi yang lebih luas, antara lain ; upaya-upaya mengoptimalkan peran manusia di lingkungan kerja kompleks yang melibatkan semua aspek dari performance dan perilaku manusia, seperti ; pengambilan keputusan dan proses-proses kognitif lainnya, design display dan control serta layout kabin, perangkat lunak komunikasi dan komputer, charts dan map-map, dokumen-dokumen manual operasi, checklist, dsb. Termasuk juga pengetahuan yang menyangkut seleksi personel, pelatihan, monitoring, dan penyelidikan kecelakaan.

Human factors sebagai ilmu pengetahuan pada dasarnya merupakan pengetahuan multidisplin. Sebagai contoh, pengetahuan tentang informasi dijelaskan oleh psikologi untuk memahami bagaimana manusia memproses informasi sampai ia membuat keputusan. Dari psikologi dan fisiologi, dipahami proses sensori dalam arti mendeteksi dan mengirimkan (transimiting) informasi. Sedangkan antropometri dan biomekanika berupaya menjelaskan gerakan dan tindakan tubuh sehingga dapat dioptimalkan rancangan desain serta layout kendali yang sesuai dan tepat. Dan tak kurang pentingnya adalah pemahaman tentang dasar-dasar statistik dalam rangka menganalisis data yang diperoleh melalui survey berbagai kejadian dan kegiatan di lingkungan penerbangan.

Seperti diketahui, manusia sebagai komponen sistem atau sub-sistem adalah yang paling fleksibel, adaptable dan valuable dari sistem penerbangan, tapi juga yg paling sensitif terhadap pengaruh yang dapat berdampak pada performance. Setidaknya berbagai publikasi tentang topik keselamatan penerbangan menunjukan 3 dari 4 kecelakaan penerbangan dalam satu periode disebabkan kurang optimalnya performance manusia, dan seringkali hal ini diistilahkan dengan ”pilot error”. Sebenarnya penggunaan istilah ”pilot error” tidak membantu dari segi usaha pencegahan kecelakaan penerbangan. Istilah ini sering kontraproduktif karena, walaupun ”pilot error” dapat memberi indikasi ”dimana” terjadinya kelemahan (breakdown) di dalam sistem, namun tidak dapat menjadi petunjuk ”mengapa” kecelakaan itu terjadi. Roscoe (1980) mengungkapkan bila membatasi tanggung jawab hanya pada penerbang saja berarti membebaskan orang lain atau faktor lain yang mungkin terlibat. Karena, suatu kesalahan (error) dalam sistem penerbangan mungkin atau dapat saja disebabkan antara lain ; oleh kesalahan design atau karena pelatihannya yang tidak adekuat, karena rancangan prosedur atau konsep layout checklist dan manual yang buruk, dan/atau kegagalan manajemen. Sehingga penggunaan istilah ”pilot error” cenderung akan membuat fakta-fakta pendukung terjadinya kecelakaan tetap tersembunyi yang sebenarnya bila dikenali lebih awal dapat mencegah terjadinya kecelakaan.

Jadi human factors esensinya menekankan perhatiannya pada pemecahan masalah praktis dari dunia nyata. Human factors pada hakekatnya adalah pengetahuan praktis yang berorientasi pada solusi masalah dibandingkan orientasi pada disiplin ilmu bersifat teoritik yang ketat. Human factors adalah aktivitas tentang manusia dalam kehidupan maupun situasi kerja, tentang hubungan manusia dengan mesin, tentang hubungannya dengan prosedur dan lingkungannya serta aturan-aturan, dan tentang hubungan manusia dengan manusia lainnya. Dalam hal ini human factors merupakan pengetahuan terapan bersifat praktis dari teori-teori psikologi yang menekankan pada optimasi hubungan antar manusia beserta aktivitasnya, dengan aplikasi sistematikanya, yang terintegrasi dalam kerangka kerja ”system engineering”. Sasarannya adalah efektivitas sistem, termasuk keselamatan dan efisiensi, serta kesejahteraan (well being) individu.

Upaya Pencegahan Kecelakaan Penerbangan

Kemajuan industri penerbangan yang pesat dalam beberapa puluh tahun terakhir yang ditandai dengan meningkatnya kehandalan dan kinerja pesawat generasi baru hingga diaplikasikannya inovasi-inovasi peralatan dan prosedur-prosedur ATC (air traffic control) pada kenyataannya tidak menurunkan angka kecelakaan penerbangan yang disebabkan kesalahan manusia (human error). Menurut Chappell (1994), hampir 75% dari keseluruhan kecelakaan (accidents) maupun insiden (incidents) penerbangan disebabkan karena kegagalan manusia dalam memantau, mengelola dan mengoperasikan sistem penerbangan itu sendiri. Apa pun alasannya, kecelakaan penerbangan harus dicegah, demi keselamatan manusia itu sendiri, kesiapan operasional maupun tempur dan tentu saja untuk alasan-alasan ekonomis (efisiensi). Karena itu program zero accident di kalangan operator penerbangan baik sipil maupun militer perlu terus menerus diupayakan, antara lain dengan memanfaatkan data insiden penerbangan maupun data-data bahaya (hazard) dalam penerbangan jauh sebelum kecelakaan terjadi.

Studi terinci (Budiman Z, 1996) dari sejumlah ratusan kecelakaan penerbangan menunjukan bahwa setiap satu kali terjadi kecelakaan besar (ada korban manusia) terdapat 30 kecelakaan kecil (tidak ada korban manusia) dan 300 bahaya (hazard). Studi lainnya menunjukan hasil yang hampir sama walaupun istilah yang digunakan berbeda, yaitu ; hazard, incident & accident, atau hazard, minor dan mayor incident. Hubungan antara hazard, incident dan accident juga penting dalam penelitian tentang permasalahan human factors. Bagaimana hubungan antara ketiga kejadian tersebut dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini.
ACCIDENT
INCIDENT
HAZARDS
INVESTIGATION PROCESS
PREVENTION MEASURES







Gambar 1. Hubungan Hazard, Incident dan Accident.

Hubungan antara hazard, incident dan accident dapat dijelaskan sebagai berikut. Misalnya, seorang penerbang transport yang melaksanakan penerbangan jarak jauh, suatu ketika membuat kesalahan dalam approach dan membaca peta. Apabila penerbang atau awak pesawatnya menyadari situasi tersebut dan melakukan koreksi sebelum problem berikutnya muncul, kejadian ini dapat dikategorikan sebagai manifestasi dari adanya bahaya (hazards). Hal ini mungkin disebabkan penerangan yang lemah di dalam cockpit, atau lay out peta yang buruk, atau lelah karena penerbangan yang lama. Tetapi apabila kejadian tersebut tidak disadari sampai kebetulan muncul pesawat lain dengan tujuan sama, sehingga penerbang terpaksa mengadakan gerakan mendadak untuk menghindari kecelakaan, maka kejadian ini dapat dikategorikan sebagai insiden/incident. Sedangkan apabila sampai terjadi tabrakan, maka kejadian tersebut diklasifikasikan sebagai kecelakaan/accident. Sebenarnya terjadinya hazards dan insiden telah diatur atau “dipersyaratkan” untuk segera dilaporkan. Namun pada sebagian besar awak pesawat termasuk penerbang tidak pernah melaporkannya, terutama bila pada saat itu tidak ada kerusakan atau tidak ada penumpang yang mengetahuinya. Padahal, apabila peraturan fundamental yang menekankan pada kewajiban “mendokumentasikan” hazard dan insiden, serta ”memahami” bahwa hazard dan insiden pada hakekatnya harus diperlakukan sama dengan kecelakaan (accident), maka kecelakaan dapat dicegah lebih dini dan keselamatan penerbangan dapat ditegakan secara optimal.

Model Pendekatan Reason dalam Penyelidikan Kecelakaan Penerbangan

Bila pada uraian di atas mencoba mengungkapkan bagaimana upaya yang selayaknya dilakukan dalam rangka pencegahan kecelakaan penerbangan, maka selanjutnya akan diulas pendekatan dalam penyelidikan sebab-sebab kecelakaan penerbangan secara menyeluruh dan terintegrasi dengan memposisikan operasi penerbangan kerjsebagai kerja suatu sistem. Adalah Jim Reason, seorang peneliti human factors pada akhir 1980-an memunculkan gagasan mengenai human error yang pengaruhnya sangat diperhitungkan dalam memahami keselamatan penerbangan atau aviation safety. Model pendekatan Reason tidak hanya melibatkan pendekatan sistemik dalam menganalisis suatu kecelakaan, tapi juga bermanfaat untuk menganalisis kecelakaan pada berbagai moda transportasi termasuk insiden dan kecelakaan penerbangan, kapal laut dan kereta api, kebakaran, dsb.

Model dari Reason ini dapat dikatakan merupakan kelanjutan dari bentuk pendekatan human factors sebelumnya, yaitu ; dari kinerja penerbang secara individual ke arah kinerja tim (crew performance), kemudian menuju kinerja organisasi (organizational performance), walaupun fokus perhatian dalam dimensi-dimensi itu tetaplah pada individunya. Reason didukung ahli-ahli dari ICAO memperkenalkan paradigma sentral dari pendekatan sistem terhadap safety yang membedakan antara active failures (kegagalan aktif) dan latent failures (kegagalan laten).
Active failures berkaitan dengan kesalahan operator, dalam hal ini penerbang atau petugas ATC. Sedangkan latent failures merupakan kondisi yang mempengaruhi bagaimana kinerja operator saat melaksanakan tugasnya, atau bagaimana pengaruh kemampuan sistem untuk mengatasi perilaku atau situasi yang tidak diharapkan. Latent failures ini dapat mencakup kegagalan komponen, seperti kegagalan struktur dari sistem atau tidak berfungsinya sistem, dan kegagalan ini dapat muncul jauh sebelum terjadinya kecelakaan. Model Reason yang disederhankan dapat dilihat pada gambar 2.

Defences

Organisational Local Unsafe Accidents
Deficiencies Factors Acts



Gambar 2. Skema sederhana dari Model Reason (dikutip dari Hobbs, 1998).


Latent failures yang berhubungan dengan lingkungan yang terkait langsung dimana active failures terjadi dikenal sebagai local factors. Dalam kategori ini faktor-faktornya antara lain ; moril di tempat kerja, kelelahan (fatigue) operator, dan/atau masalah prosedur kerja. Latent failures yang berhubungan dengan organisasi atau sistem penerbangan terkait dengan kelemahan-kelemahan organisasional atau sering juga disebut kelemahan faktor sistemik. Dalam suatu kecelakaan atau kegagalan sistem, biasanya local factors akan menyebabkan operator (penerbang) bertindak tidak aman (unsafe act). Tindakan ini selanjutnya akan memberikan konsekuensi buruk yaitu kecelakaan bila tidak dapat diidentifikasi atau dikontrol oleh defences atau safety net (jaringan keselamatan). Local factors dan defences atau safety net yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh isu-isu sistemik yang lebih luas, seperti komunikasi antar sub-sistem yang buruk (tidak ada koordinasi) atau prosedur-prosedur yang tidak adekuat.

Dari model Reason ini, dapat dipelajari bahwa sebab-sebab kecelakaan dapat ditelusuri jauh sebelum kejadian, dan umumnya terjadi karena interaksi dari kelemahan-kelamahan sistem dan buruknya sistem deteksi serta kontrol. Sebenarnya, kelemahan-kelemahan tersebut masih dapat dikendalikan atau dihambat bila defences atu safety net berfungsi optimal, namun seringkali buruknya komunikasi antar sub-sistem (departemen dalam struktur organisasi) atau tidak adekuatnya prosedur membuat sub-sistem pelindung terakhir tidak mampu menghambat terjadinya kecelakaan.

Kesimpulan
Dari uraian di atas tentang psikologi penerbangan dalam perspektif human factors dalam mengupayakan keselamatan penerbangan, dapat disimpulkan beberapa pemikiran, yaitu ;

a. Dalam upaya mendukung keselamatan penerbangan termasuk memantau, mengendalikan, dan menyelidiki sebab-sebab terjadinya insiden dan kecelakaan, diperlukan pemahaman bahwa lingkungan operasional penerbangan harus dilihat sebagai suatu sistem.
b. Faktor manusia marupakan elemen atau sub-sistem yang fleksibel dan adaptable, tetapi juga sekaligus paling sensitif terhadap pengaruh dari sub-sistem lain terhadap kegagalan performance.
c. Human factors merupakan studi multidisiplin berbagai ilmu pengetahuan dimana teori-teori psikologi terutama psikologi penerbangan dimanfaatkan secara luas sejak dipelajarinya aspek-aspek proses informasi, pengambilan keputusan sampai dengan psikologi organisasi.
d. Pencegahan kecelakaan penerbangan harus terus menerus diupyakan karena sebelum suatu kecelakaan penerbangan terjadi, diasumsikan secara teoritis akan mengikuti siklus terjadinya hazards, incident dan kemudian accident. Sehingga sistem pemantauan, deteksi, dan dokumentasi merupakan kewajiban operator dan awak pesawat untuk melaporkannya.
e. Pada dasarnya terjadinya kecelakaan penerbangan dapat dideteksi jauh sebelum kejadian dengan memperhatikan berbagai kelemahan bersifat laten maupun aktif, bersifat organisasional dan lokal dalam kerangka sistemik.


Kepustakaan


Bond, N.A., Bryan, G.L., (1962). Aviation Psychology. L.A. : Aviation and Missile Safety Division.
Budiman Z., (1996). Aspek Human Factors Pada Kecelakan Pesawat. Bandung : Lembaga Psikologi TNI AU.

Cassie, A., Foklema, S.D., Parry, J.B., (Ed’s). (1964). Aviation Psychology : Studies on Accident Liability, Proficiency Criteria and Personnel Selection. Paris : Mouton & Co.

Dhenin, S.G., Sharp, G.R., dan Ernsting, J., (1978). Aviation Medicine, Physiology and Human Factors. London : Tri-Med Books Ltd.

ICAO, (1989). Human Factors Digest No 1 – Fundamental Human Factors Concepts. ICAO Circular 216-AN/131. Montreal : Secretary General of International Civil Aviation Organization.

Orasanu, J.M., (1994). Shared Problem Models and Flight Performance. Dalam, Johnston, N., McDonald, N., dan Fuller, R.,(Eds). Aviation Psychology in Practice. Aldershot : Avebury Technical Ashgate Publ. Ltd.

Peter G. Harle. 1994. Investigation of human factors: The link to accident prevention, in Neil Johnston, Nick McDonald and Ray Fuller (ed.), Aviation Psychology in Practice, Avebury Technical, England,

Sells, S.B., Berry, C.A., (1961). Human Factors in Jet and Space Travel. New York : The Roland Press Co.

Sukmo Gunardi. 2002. Konsepsi Pembuatan Sistem Pelaporan Insiden Sukarela Dalam Rangka Mendukung Program ”Zero Accident” Industri Penerbangan Nasional Pada 10 Tahun Mendatang, Kertas Karya Perorangan ”Sastrajaya” Sekolah Staf dan Komando TNI AU (SESKOAU) Angkatan XXXVIII, TP. 2001-2002, Lembang, Bandung.

Sukmo G., (2004). Psikologi Penerbangan Dalam Perspektif Human Factors. Makalah pada Semiloka Psikologi Penerbangan di Dinas Psikologi TNI AU, tanggal 24-26 Agustus 2004. Jakarta : Dispsiau.

Widura IM., (2005). Psikologi Dalam Mendukung Operasi Penerbangan. Makalah pada Seminar Psikologi Militer di Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Yani, Cimahi. Jakarta : Dispsiau.



Senin, 29 Desember 2008

Emosi dan Pengambilan Keputusan

Widura I.M.

Pendahuluan

Kemampuan penerbang dalam membuat pertimbangan dan mengambil keputusan sangat penting dalam keselamatan terbang. Dapat dikatakan bahwa pengambilan keputusan merupakan salah satu mata rantai yang esensial dalam tindakan penerbang, lebih-lebih dalam menghadapi situasi emergency. Hasil analisis FAA (Federal Aviation Administration) seperti dilaporkan Jensen dan Bennel (Orasanu, 1992) menunjukan bahwa kesalahan penerbang dalam membuat pertimbangan (judgement) menyumbang lebih dari 50% terjadinya kecelakaan fatal pada tahun 1970 – 1974. Sedangkan penelitian NTSB (National Transportation Safety Board) sebelumnya melaporkan bahwa tidak kurang dari 47% kecelakaan penerbangan antara tahun 1983 – 1987 disebabkan kesalahan penerbang dalam judgement dan pengambilan keputusan.
Kegagalan penerbang dalam bertindak tentunya tidak serta merta karena pertimbangan atau pengambilan keputusan yang keliru. Terdapat sejumlah aspek psikologis yang perlu diperhatikan sebagai faktor yang bertanggung jawab terhadap kegagalan tersebut. Dalam tulisan ini akan diulas faktor emosi sebagai aspek psikologis yang dapat menghambat proses pengambilan keputusan, dan bagaimana sebaiknya upaya pencegahannya.

Emosi dan Stres Psikologis
Setiap orang tentunya tidak asing dengan gejala emosi, seperti gugup, dada berdebar, telapak tangan berkeringat, dsb. Kondisi tersebut jelas adalah reaksi emosi dan umumnya merupakan ciri-ciri dari perasaan takut atau marah yang ekstrim. Namun bisa juga kondisi tersebut disebabkan emosi yang tak terlalu ekstrim seperti perasaan khawatir, bahkan mungkin saja reaksi emosi muncul karena pengalaman yang menyenangkan seperti luapan kegembiraan. Jadi pada hakekatnya, emosi dapat bernilai negatif (marah, takut, cemas, dsb.) atau positif seperti kegembiraan, rasa puas, dsb.
Dari sudut pandang psikologi, apapun bentuk gejala emosi – positif atau negatif - pada dasarnya perlu mendapatkan perhatian karena dampaknya dapat berakibat fatal khususnya dalam pengambilan keputusan. Dikatakan oleh Lazarus (1976), kondisi emosi yang diakibatkan oleh situasi stres dapat berdampak kumulatif (menumpuk) bila tidak segera mendapat penanganan yang tepat, dan konsekuensinya akan menghambat performance.
Situasi tugas yang dihadapi seorang penerbang sering cukup membebani, seperti saat lepas landas, mendarat, atau ketika menghadapi cuaca buruk maupun kondisi emerbency lainnya. Situasi tersebut sering dirasakan sebagai pengalaman yang stressful dan bila melibatkan emosi dapat berdampak kuat pada performance penerbang.
Kondisi stres yang melibatkan emosi, misalnya terjadi pada seorang penerbang saat menghadapi situasi emergency dimana ia harus bertindak cepat untuk mengatasinya, namun di sisi lain pilihan tindakan yang harus diambil melibatkan sejumlah alternatif tindakan yang saling bertentangan (konflik). Atau, situasi yang dihadapi berkaitan dengan kekhawatiran pada hal-hal yang tidak diketahuinya bila ia keliru dalam mengambil keputusan. Atau, kekeliruan dalam mengambil keputusan akan membuatnya kehilangan muka (malu) ataupun menurunkan harga diri. Situasi stres emosi seperti tersebut di atas seringkali mempunyai dampak yang cukup mendalam.
Dampak yang umum terjadi adalah orang menjadi waspada secara berlebihan (hypervigilance) dan hal ini sering dikaitkan dengan kesalahan pengambilan keputusan (Janis, 1982). Suatu kondisi yang dapat menghambat berfungsinya kemampuan berfikir seseorang dan tentunya memberikan akibat pada kekeliruan dalam pengambilan keputusan.

Stres Emosi, Persepsi dan Perhatian
Stres emosi kuat yang menyebabkan hypervigilance umumnya ditandai oleh kesiagaan berlebihan dan selanjutnya dapat mengakibatkan perhatian yang menyebar dan tidak terfokus (diffused attention). Kondisi ini merupakan salah satu sumber inefisiensi dalam berfikir yang menyebabkan judgement yang buruk, keputusan impulsif dan tidak sesuai dengan situasi nyata.
Janis (1982) mengemukakan beberapa bentuk inefisiensi berfikir yang berhubungan dengan diffused attention, antara lain :
â Gagal memperoleh informasi yang dapat dipercaya (reliable).
â Gagal mengingat tindakan yang harus dilakukan ketika situasi ancaman yang dihadapi sama seperti waktu sebelumnya.
â Terlalu berlebihan dalam memperhatikan ancaman.
â Obsesif terhadap segala hal yang dapat berakibat buruk.
â Cepat berpindah perhatian pada bentuk-bentuk ancaman yang kadang tidak realistik atau tidak penting.
â Tidak efisien dalam membagi perhatian sehingga banyak menghabiskan waktu dalam melakukan tindakan yang efektif untuk menyelamatkan diri.

Disamping mengakibatkan diffused attention, stres emosi juga dapat menimbulkan hambatan dalam mengamati situasi lingkungan dalam upaya memperoleh informasi penting. Gejala ini dapat diidentifikasi ketika penerbang mengalami penyempitan penglihatan (tunnel vision) yang muncul dalam bentuk terbatasnya rentang penglihatan yang menyebabkan kegagalan dalam mengamati informasi kritis (Orasanu, 1994).
Konsekuensi dari kondisi-kondisi di atas sangat berpengaruh pada perolehan data informasi penerbang sebagai dasar pertimbangan (judgement) atau penilaian situasi sebelum keputusan diambil.

Stres Emosi dan Judgement
Faktor lainnya yang cukup kuat dipengaruhi oleh pengalaman stres emosi adalah kemampuan berfikir, khususnya fleksibilitas berfikir. Hambatan pada faktor ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam mempertimbangkan alternatif tindakan yang paling efektif untuk mengatasi situasi ancaman.
Bila direntangkan suatu garis maka judgement berada di antara “berfikir” dengan “emosi”, dengan judgement berada lebih dekat ke arah “emosi”, sehingga secara teoritis, judgement lebih rentan terhadap gangguan emosi (Lihat Gambar).

Gambar : Emosi dan Judgement

Kognisi/Berfikir Emosi


Kecerdasan, Kemampuan, Pengetahuan Judgment Stres, Emotional fatigue


Bilamana stres emosi mulai menyempitkan perhatian dan mengganggu fleksibilitas berfikir, biasanya penerbang akan mengambil beberapa alternatif tindakan, antara lain :
â Berusaha mengatasi situasi dengan terpaku pada satu set prosedur yang biasanya termudah.
â Mempertimbangkan untuk melakukan tindakan yang menurutnya benar tanpa didasarkan pemikiran yang logis dan realistik.
â Terpaku dalam mengandalkan cara atau alternatif tindakan yang lebih sulit karena menurut pengalamannya bila tidak dilakukan dengan cara tersebut akan berakibat fatal.
â Membuat pilihan tindakan yang prematur.

Stres Emosi dan Kepribadian
Pertanyaan kemudian adalah apakah stres emosi selalu menimbulkan gejala seperti telah diuraikan di atas ? Umumnya memang demikian, terutama bila stres emosi yang timbul cukup kuat. Namun bila stres emosi tak terlalu kuat tetapi sudah menimbulkan gejala seperti telah diuraikan sebelumnya, maka patut dipertimbangkan kondisi kepribadian (personality) individu.
Dalam mengamati gangguan emosi yang berdampak negatif pada pengambilan keputusan tetap perlu dilihat kondisi kepribadian individu. Karena sejauh mana stres emosi dapat berpengaruh pada pengambilan keputusan tergantung pada daya tahan stres (ego strength), kepercayaan diri, kemampuan pemecahan masalah, dan predisposisi kecemasan yang bersifat kronis (Janis, 1982). Sehingga dalam mengevaluasi proses kegagalan pengambilan keputusan penerbang dalam suatu kejadian kecelakaan penerbangan tetap perlu memperhitungkan kepribadian (personality) sebagai variabel yang cukup penting.

Kiat Mengatasi Hambatan Emosi
Sebelum menguraikan bagaimana kiat mengatasi permasalahan dampak emosi terhadap pengambilan keputusan, perlu diingat lebih dahulu beberapa asumsi tentang kondisi emosi seperti telah diuraikan sebelumnya.
Pertama, stres emosi umumnya bersifat kumulatif atau menumpuk, dan kalau sudah menumpuk mendekati batas toleransi biasanya orang menjadi bingung dengan cara dan hendak memulai dari mana mengatasinya. Untuk mengatasi stres emosi agar tidak menumpuk adalah mencari saluran untuk mengeluarkannya dengan cara membicarakan permasalahan emosi yang dialami kepada sahabat yang dipercaya, atau para ahli.

Kesimpulan
Sebagai penutup tulisan ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam mengamati gangguan emosi ternyata perlu diperhatikan sejumlah faktor psikologis yang dapat memberikan kontribusi terhadap kegagalan pengambilan keputusan. Pertama, harus disadari bahwa gangguan emosi dapat muncul dari reaksi emosi yang ringan bahkan positif, sampai pada reaksi emosi negatif yang menekan kuat. Apapun bentuk gejala dan reaksi emosi pada dasarnya perlu mendapatkan perhatian karena dampaknya kumulatif dan dapat berakibat fatal bagi penerbang khususnya dalam proses pengambilan keputusan.
Kedua, gangguan emosi dalam bentuk stres emosi dapat menghambat kemampuan berfikir dalam bentuk meningkatnya kesiagaan secara berlebihan yang dapat memberikan konsekuensi pada, hambatan perhatian, dan menyempitnya pengamatan seseorang. Dan terakhir, kondisi stres emosi juga mempengaruhi fleksibilitas berfikir penerbang dalam melakukan penilaian situasi sebagai dasar pertimbangannya untuk bertindak secara efisien dan efektif.

Jakarta,
Desember, 2008

Kepustakaan :

1. Beaty, D., (1979). The Human Factors in Aircraft Accidents. London : Secker & Warbung, Camelot Press Ltd.
2. Janis, I.L., (1982). Decision Making Under Stress. Dalam, Goldberger, L. & Breznitz, S. Handbook of Stress, Theoretical and Clinical Aspects. New York : Macmillan Publishing Co., Inc.
3. Kaempf, G.L., & Klein, G., (1992). Aeronautical Decision Making : The Next Generation. Dalam, Johnston, N., McDonald, N., & Fuller, R., Aviation Psychology in Practice. Vermont : Ashgate Publishing Company.
4. Lazarus, R.S., (1976). Patterns of Adjustment, 3’rd ed. Tokyo : Mc Graw Hill Kogakusha Ltd.